Karya: Gu Long Judul : Naga Kemala Putih Judul Asli : Bai Yu Diao Long Judul Barat : White-Jade Carved Dragon Tahun Terbit : 1981 Saduran: Tjan I.D Lanjutan dari HARIMAU KEMALA PUTIH Bab 1. Kebetulan atau Penyelidikan? Bulan lima tanggal satu. Malam yang sangat gelap, malam tanpa rembulan. Ketika angin berhembus lewat, awan mulai bergerak menuju ke sudut langit, pelan-pelan cahaya bintang mulai tampak di angkasa, menyebar meliputi seluruh langit. Siapa pun tahu, malam seperti ini adalah tanda akan turunnya hujan yang lebat. Siapa yang mau ----------------------- Page 2----------------------- http://zheraf.net berada di luar rumah? Siapa yang tak mau berkumpul dengan anak isteri dan keluarga dalam rumah? Ada! Di cuaca seperti ini ternyata masih ada orang yang tidak berada dalam rumah, bukan saja tidak di dalam rumah, bahkan sedang mendekam di wuwungan rumah. Orang ini berpakaian hitam ketat, kepalanya dibungkus kain hitam, mulutnya juga tertutup kain hitam. Yang tampak hanya sepasang lubang hidung serta sepasang mata yang lebih tajam dari mata kucing. Mata yang sangat tajam itu sedang mengawasi sesuatu, mengawasi seseorang yang sedang duduk termangu-mangu di dalam kamar. Walaupun orang yang duduk itu memandang ke luar jendela, bahkan pandangan matanya tepat terarah ke tempat sembunyi si baju hitam itu, nampaknya ia sama sekali tidak merasakan atau menyadarinya. Karena dia sedang termenung, karena segenap pikiran dan perasaannya sedang tenggelam dalam lamunannya. Mengingat suatu kejadian yang amat menggetarkan hati. Peristiwa yang amat menggetarkan hati itu terjadi pada malam itu juga, kira-kira tiga jam sebelumnya. Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat dia terpana, mimpi pun dia tak pernah menyangka akan mengalami kejadian seperti itu. Sasaran yang diburu dan dicarinya dengan susah payah selama ini, tiba-tiba saja menguap dan lenyap tanpa bekas setelah terjadinya perubahan itu! Bahkan kenyataan yang didapatnya justru memutarbalikkan segala sesuatu yang telah didapatnya selama ini. Segala sesuatu terjadi begitu mendadak, tak heran kalau sedari senja sampai sekarang dia masih duduk termangu di situ. Begitu terpananya ia hingga ketika orang datang menyalakan lampu baginya saja tak terasakan olehnya. Kini ia sedang berada dalam sebuah kamar, kamar itu ada di dalam Benteng Keluarga Tong. Dengan susah payah ia mendatangi Benteng Keluarga Tong, tujuannya adalah untuk membunuh musuh besar yang telah membinasakan ayahnya. Tapi perubahan di luar dugaan yang terjadi tiga jam sebelumnya membuat ia menemukan satu rahasia kecil, sehingga bukan saja ia tidak bisa membunuh musuh besar yang telah membantai ayahnya itu, malah sebaliknya ia harus menggunakan semua kekuatan dan pikiran yang dimilikinya untuk melindungi orangku! ----------------------- Page 3----------------------- http://zheraf.net Kejadian ini benar-benar membuat hatinya tergoncang. Sejak mengetahui rahasia itu sampai ia kembali ke kamar itu, ia hanya duduk tercenung di situ. Siapakah yang telah menyalakan lampu baginya? Ia tak tahu. Ia hanya duduk termangu-mangu sambil memandang keluar, ke taman. Segenap pikiran dan perasaannya tenggelam dalam perenungan yang menekan, menyedihkan dan sangat menyakitkan. Kenapa urusan bisa berubah sampai jadi seperti ini? Ia terus merenung, ia mulai menulah rangkaian peristiwa, membayangkan kembali semua kejadian itu satu bagian demi satu bagian.... Tak seorang pun di dunia peralatan yang tidak mengenal Tayhong-tong, Perkumpulan Angin Topan. Tayhong-tong bukan partai atau perkumpulan biasa, kelompok ini adalah sangat besar dan sangat rahasia. Pengaruhnya meliputi wilayah yang sangat luas. Tujuan dan semboyan Tayhong-tong sangat sederhana, “Menolong Kaum Lemah, Menentang Golongan Kuat” Karena itu tidak saja Tayhong-tong amat disegani orang, kaum persilatan pun menaruh hormat kepada mereka. Ada tiga orang yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang Tayhong- tong, yaitu Tio Kian, Sugong Siau-hong serta Sangkoan Jin. Dan pemuda ini, Tio Bu-ki, tak lain adalah putera tunggal Tio Kian. Hari itu, hari terjadinya peristiwa itu, adalah tepat hari pernikahannya. Dia akan menikah dengan seorang gadis yang cantik, jadi hari itu adalah hari kegembiraan keluarga besar Tio. Hampir semua anggota keluarga Tio, dari tertua sampai termuda, tampil dengan wajah berseri-seri dan senyum riang. Wajah Tio Bu-ki juga dipenuhi senyum riang karena ia segera akan menikah, mengawini Wi Hong-nio, seorang gadis rupawan yang termasyhur akan kecerdasan serta kecantikan wajahnya. Sayang, senyum yang menghiasi wajah Tio Bu-ki tidak dapat bertahan hingga saat upacara pernikahan akan dilangsungkan. Ketika itu, di gedung utama tempat akan berlangsungnya upacara pernikahan, ketika ia melihat ayahnya belum hadir, dengan senyum masih menghias wajahnya, ia menyusul ke kamar baca. Ketika di situ ayahnya tak ditemukan, senyumnya masih menghias wajahnya, sebab hari Itu dia benar-benar sangat gembira. Ketika lemari buku di dinding sebelah kiri mulai bergeser ke samping, ketika ia masuk ke dalam ruang rahasia dan menemukan tubuh ayahnya, senyum di wajahnya baru lenyap tak berbekas. ----------------------- Page 4----------------------- http://zheraf.net Karena tubuh yang ditemukannya adalah tubuh tanpa kepala. Hanya empat orang yang mengetahui ruang rahasia ini. Selain Tio Bu-ki, mereka adalah Tio Kian, Sugong Siau-hong serta Sangkoan Jin. Ruang rahasia ini adalah ruang yang paling rahasia dalam gedung Tayhong-tong, tempat diadakannya rapat-rapat penting. Itu berarti pembunuhnya hanya mungkin dua orang. Kalau bukan Sangkoan Jin, pasti Sugong Siau-hong. Tapi mungkinkah Itu? Sangkoan Jin, Sugong Siau-hong dan Tio Kian adalah tiga saudara angkat yang sangat erat hubungannya. Mungkinkah mereka berbuat sekejam ini terhadap saudara angkat sendiri? Tapi kecuali Sangkoan Jin dan Sugong Siau-hong, siapa lagi yang bisa melakukun pembunuhan itu? Dari dua orang ini, Sangkoan Jin lebih mencurigakan, sebab sore itu hanya Sangkoan Jin yang berada bersama Tio Kian. Yang lebih mencurigakan lagi, sejak itu Sangkoan Jin ikut lenyap tak berbekas. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata memang Sangkoan Jin yang telah membunuh Tio Kian. Bahkan dengan menggunakan batok kepala yang dipenggalnya sebagai hadiah, ia telah bergabung dengan Keluarga Tong di Sucoan. Keluarga Tong dan Sucoan adalah musuh besar Tayhong- tong. Maka tanpa berpikir panjang, Tio Bu-ki segera berangkat meninggalkan Gedung Tio dan pergi menuju Benteng Keluarga Tong di Sucoan untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Ia tinggalkan isterinya yang belum resmi dikawini, meninggalkan juga adik kesayangannya Tio Cian-cian, tanpa mengindahkan tentangan anggota-anggota yang lain. Ketika ia pergi meninggalkan rumah, yang terpikir olehnya saat itu hanya dua kata, “Balas Dendam!” Tapi ada satu hal yang ia pahami benar-benar. Jika ilmu silatmu tak mampu menandingi lawan, tak usah berharap dendam itu bisa terbalas! Maka dengan menggunakan segenap kemampuan yang dimilikinya, ia pergi belajar ilmu pedang tanpa mengenal lelah. Siang malam ia belajar dan belajar terus, sampai Wi Hong-nio yang pergi mencarinya pun tak mengenalinya sewaktu berjumpa dengan pemuda ini, karena dari pemuda tampan yang gagah dan kekar, kini ia telah berubah menjadi lelaki kurus kering yang wajahnya dipenuhi cambang. Ia berhasil menguasai ilmu pedang maha sakti dan dengan menyamar sebagai seorang pembunuh bayaran pengembara, ia ----------------------- Page 5----------------------- http://zheraf.net berhasil menyusup masuk ke dalam Benteng Keluarga Tong. Menyusup masuk ke dalam Benteng Keluarga Tong bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Mula-mula ia harus membunuh Tong Giok lebih dulu, kemudian dengan menggunakan berbagai taktik, siasat dan akal muslihat, dengan susah payah ia mendekati Tong Koat, sebelum akhirnya diterima oleh Tong Koat sebagai anggota perkumpulannya. Dia mengaku bernama Li Giok-t ong, berasal dari Cisi Satu hal yang membuatnya tak habis mengerti adalah walaupun hasil penyelidikan yang dilakukan orang-orang Benteng Keluarga Tong memastikan bahwa Li Giok-tong dari Cisi jelas seorang gadungan, kenapa orang semacam itu tetap bisa ada di situ? Ia tidak berusaha untuk meneliti urusan ini sampai leta, sebab ia beranggapan bahwa sekalipun pihak Benteng Keluarga Tong sengaja ingin rnembohoginya atau malah mungkin sejak awal sudah mengetahui identitas dirinya yang sebenarnya, dia beranggapan semua itu tidak penting. Yang terpenting baginya saat ini adalah menemukan Sangkoan Jin. Bukan saja ia berhasil berjumpa dengan Sangkoan Jin, bahkan dia pun memperoleh kesempatan untuk membunuh orangku. Pada saat yang paling menentukan itu, entah disengaja atau tidak, putri Sangkoan Jin, Siangkoan Ling-ling, menggunakan tubuhnya untuk menahan datangnya tusukan pedang yang ia lancarkan untuk menembus jantung musuhnya itu. Saat itulah tiba-tiba Tio Bu-ki teringat sesuatu, suatu masalah penting yang seharusnya sudah diingatnya sejak awal. Sugong Siau-hong pernah menyerahkan Harimau Kemala Putih kepadanya dan berpesan, “Sebelum kau bunuh Sangkoan Jin, rahasia Harimau Kemala Putih harus sudah berhasil kau pecahkan dan kau pahami dulu.” Ternyata ia telah melupakan pesan ini, rasa benci dan dendam telah mengaburkan pikirannya, melupakan masalah yang sangat penting itu. Seandainya Siangkoan Ling-ling tidak menghalangi tusukan mautnya, mungkin ia sudah membunuh Sangkoan Jin dan membalaskan dendam atas kematian ayahnya. Tapi seandainya ia benar-benar berbuat demikian, lalu bagaimana pertanggung- jawabannya nanti kepada almarhum ayahnya? ----------------------- Page 6----------------------- http://zheraf.net Ternyata rahasia Harimau Kemala Putih adalah bahwa Tio Kian sebenarnya mengidap suatu penyakit yang tak mungkin bisa disembuhkan. Sekalipun diobati, paling banyak ia hanya bisa hidup setengah tahun lagi. Maka mereka bertiga, Tio Kian, Sangkoan Jin dan Sugong Siau-hong merencanakan sebuah siasat, suatu siasat yang sangat hebat untuk memusnahkan musuh-musuhnya. Musuh besar paling tangguh perkumpulan Tayhong-tong adalah Keluarga Tong. Keluarga Tong tak mungkin bisa dimusnahkan memakai kekerasan, keluarga itu hanya bisa diatasi dengan akal muslihat. Kalau saja mereka bisa mengirim seseorang masuk ke dalam Keluarga Tong sebagai musuh dalam selimut dan berhasil mempengaruhi anggota-anggota Keluarga Tong hingga menerimanya dalam kedudukan yang penting, maka semua rahasia pasti akan terkuasai. Untuk menemukan orang seperti ini harus dicari seorang pengkhianat, seseorang yang punya peran dan kedudukan sangat penting dalam Tayhong-tong sehingga ketika orang itu mengkhianati Tay-hong-tong lalu bergabung dengan Keluarga Tong, orang-orang Benteng Keluarga Tong pasti akan memandang tinggi orang itu, sebab orang itu banyak mengetahui rahasia Tayhong-tong. Seandainya orang itu datang bergabung sambil membawa batok kepala Tio Kian sebagai persembahan, pihak Benteng Keluarga Tong tak mungkin akan menaruh curiga pada orang itu. Kalau pada akhirnya Tio Kian harus mati dan kematian itu sudah diketahui akan terjadi paling lama setengah tahun kemudian, mengapa ia tidak mati dengan lebih bermakna? Mati sebagai pembela kaumnya? Seorang pahlawan? Jadi mereka lalu memutuskan akan menjalankan rencana besar itu tepat saat keluarga itu sedang menyelenggarakan pesta perkawinan puteranya. Rencana ini mereka namakan Harimau Kemala Putih. Rencana ini mereka laksanakan di luar sepengetahuan Tio Bu-ki, satu keputusan yang sangat cerdas. Ketika Tio Bu-ki mengetahui bahwa ayahnya dibunuh Sangkoan Jin, ia pasti tergoncang kesadarannya, pikiran dan perasaannya pasti akan terbakar oleh rasa dendam, ia pasti akan berusaha mencari Sangkoan Jin dan berusaha mati-matian untuk menuntut balas. Asal saja Tio Bu-ki memperlihatkan reaksi tersebut, berita itu dengan cepat akan diketahui oleh orang-orang Benteng Keluarga Tong, dan pihak Keluarga Tong tentu akan semakin mempercayai Sangkoan ----------------------- Page 7----------------------- http://zheraf.net Jin. Memang ini akan menyengsarakan Tio Bu-ki. Tapi demi kejayaan Tayhong-tong, pengorbanan ini rasanya masih cukup berharga untuk dilaksanakan. Ternyata terjadi sesuatu yang sama sekali di luar dugaan Sangkoan Jin bertiga. Mereka selalu menganggap bahwa Benteng Keluarga Tong adalah perkumpulan yang amat ketat dan kuat penjagaannya. Sekalipun Tio Bu-ki ingin membalas dendam, mustahil bagi pemuda itu akan bisa masuk Benteng Keluarga Tong dengan gampang. Di luar dugaan, ternyata Tio Bu-ki berhasil menyusup ke dalam Benteng Keluarga Tong, malahan ia berhasil jadi congkoan (kepala pengurus rumah tangga), congkoan dari Keluarga Tong! Dengan adanya perubahan di luar dugaan ini, seluruh rencana Harimau Kemala Putih terancam gagal total. Sejak berhasil masuk Benteng Keluarga Tong, meskipun Sangkoan Jin telah berhasil mendapat kepercayaan besar Keluarga Tong, ia belum berhasil menyelidiki dengan jelas semua rahasia Benteng Keluarga Tong. Sampai saat itu, Sangkoan Jin belum pernah bertemu dengan tokoh utama Keluarga Tong, tokoh yang menjadi otak semua sepak- terjang Keluarga Tong selama ini, Tong Ou. Bukan karena Tong Ou segan bertemu dengannya, namun ketika Sangkoan Jin datang untuk bergabung sambil membawa batok kepala Tio Kian, Tong Ou sudah pergi dari situ. Kabarnya ia sedang berke¬liling ke pelbagai wilayah untuk menghimpun dukungan serta menyempurnakan rencana besarnya untuk menggempur markas Tayhong-tong! Kini Tio Bu-ki sudah berhasil menyusup masuk. Sekalipun pihak Keluarga Tong telah berulang kali melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, Sangkoan Jin selalu berhasil mengelabui orang-orang Keluarga Tong. Hanya saja kenyataan sebenarnya tetap saja belum jelas. Apakah orang-orang Keluarga Tong sesungguhnya sudah mengetahui identitas asli Bu-ki dan pura-pura tidak tahu, atau memang benar-benar tidak tahu? Mengapa Tong Koat mengangkat Bu-ki menjadi congkoan? Mungkinkah di balik pengangkatan itu terselip suatu rencana keji lain? Jika Keluarga Tong memang sengaja mengatur demikian, sudah tentu secara rahasia mereka akan menugaskan orang untuk mengawasinya secara diam-diam Apabila memang Bu-ki mencari ----------------------- Page 8----------------------- http://zheraf.net Sangkoan Jin untuk membalas dendam, maka mereka akan segera tahu bahwa orang yang mengaku bernama Li Giok-tong ini sebenarnya adalah Tio Bu-ki dari Tayhong-tong. Sebaliknya jika setelah Bu-ki melakukan pembalasan dendamnya terhadap Sangkoan Jin lalu Tio Bu-ki menemukan bahwa tak ada orang dari pihak Keluarga Tong yang mengawasi mereka, maka ini menunjukkan bahwa pihak Keluarga Tong sama sekali tidak tahu bahwa kedatangan pemuda itu sebenarnya adalah untuk membalas dendam pada Sangkoan Jin. Tapi kalau pihak Keluarga Tong memang sudah tahu pasti identitas Bu-ki yang sesungguhnya dan kini apakah mereka sengaja menggunakannya untuk menguji Sangkoan Jin? Sekarang apa yang harus dilakukan Bu-ki? Tindakan apa yang sebaiknya harus ia lakukan agar tidak melakukan kesalahan fatal? Seandainya keselamatan jiwa Sangkoan Jin terancam, apakah ia harus berusaha melindunginya dengan mati-matian ataukah lebih baik ia berpeluk-tangan saja? Setelah urusan berkembang sejauh ini, apakah dia masih perlu membunuh Sangkoan Jin? Bagaimanapun juga, sudah jelas bahwa Sangkoan Jin memang orang yang telah membunuh ayahnya. Apabila dilihat bahwa hubungan mereka bertiga begitu akrab, sekalipun gagasan siasat Harimau Kemala Putih muncul dari benak ayahnya, tetap saja tidak seharusnya Sangkoan Jin bertindak begitu tega terhadap saudara angkat sendiri. Mana yang lebih penting, urusan Tayhong-tong atau hubungan persaudaraan? Urusan perkumpulan menyangkut jangka waktu yang panjang sedangkan tali persaudaraan hanya berlangsung dalam waktu singkat. Juga jika ditinjau dari sudut pandang lain lagi, sebenarnya apakah tujuan Sangkoan Jin hingga dia rela memikul dosa sebagai seorang pengkhianat yang dicaci orang banyak karena begitu tega membunuh saudara angkat sendiri? Apakah ia harus memuji tindakan Sangkoan Jin itu, ataukah mencerca dan mengutuknya? Dia tak tahu. Setelah menghela napas panjang ia bangkit berdiri lalu menengadahkan kepalanya memandang kegelapan malam yang mencekam jagad. Ketika Bu-ki menengadahkan kepalanya, semestinya orang berbaju hitam yang bersembunyi di atas wuwungan rumah itu berusaha menyembunyikan diri dari pandangannya. Tapi ternyata ----------------------- Page 9----------------------- http://zheraf.net orang itu tidak berbuat demikian, mungkinkah dia punya andalan yang kuat sehingga tak perlu merasa takut? Atau dia beranggapan suasana terlalu gelap sehingga gerak-geriknya tak akan terlihat oleh Bu-ki? Atau mungkin dia memang sengaja berbuat begitu agar ketahuan oleh Bu-ki? Bu-ki tidak menyadari kehadirannya, karena meskipun ia mendongakkan kepalanya, namun sorot matanya kosong. Entah apa yang sedang direnungkan olehnya waktu itu? Tepat saat itulah tiba-tiba orang berbaju hitam itu melesat ke depan lalu melayang turun ke serumpun bunga di sisi kanan Bu- ki, kembali sebuah tindakan yang amat mengherankan! Mengapa ia justru melompat turun pada saat itu, sewaktu Bu-ki sedang menengadahkan kepalanya memandang ke atas? Sisi kanan dan rumpun bunga itu adalah jalan menuju ke kamar tidur Sangkoan Jin. Bukan saja orang berbaju hitam itu muncul di saat itu, bahkan dia seperti sengaja mematahkan sebatang ranting pohon sehingga menimbulkan suara keras. Saat itu, bila Tio Bu-ki masih belum mendengar juga, dia bukanlah Tio Bu-ki yang masih hidup tapi seseorang yang entah sudah mati berapa kali. Dengan cepat pemuda itu bereaksi, mencabut pedang, memadamkan lampu lalu berdiri di tepi dinding dan memeriksa keadaan di luar jendela. Tampaknya sasaran orang berbaju hitam itu adalah Sangkoan Jin, bukan Tio Bu-ki. Begitu sampai di muka tanah, kembali ia melejit dan langsung menerobos ke dalam kamar tidur Sangkoan Jin melalui jendela sebelah kanan. Selincah seekor kelinci Tio Bu-ki meluncur ke belakang orang berbaju hitam itu, jarak mereka berdua sebenarnya tidak terlalu dekat, tapi gerakan tubuh orang berbaju hitam itu jauh lebih lambat dibandingkan dengan gerak tubuh Bu-ki Karenanya sewaktu orang berbaju hitam itu bersiap melompat ke dalam kamar, tusukan pedang Bu-ki telah mengancam punggungnya. Kembali satu peristiwa aneh terjadi... Orang berbaju hitam itu dengan cepat membalikkan pedangnya menangkis tusukan itu dan dengan meminjam tenaga tusukan Bu-ki, ia melesat ke sisi kiri kemudian dengan sekali menjejak pagar taman, tubuhnya sudah naik lagi ke atas wuwungan rumah. Tanpa menunggu Bu-ki berhasil berdiri tegak, bayangan tubuh orang berbaju hitam itu sudah lenyap tak berbekas. ----------------------- Page 10----------------------- http://zheraf.net Pada saat itulah mendadak terdengar Sangkoan Jin membentak gusar sambil menerobos keluar dari kamarnya. “Siapa di situ?” Menyusul kemudian tubuhnya menerobos keluar dari dalam kamar lewat daun jendela sebelah kiri. Diam-diam Tio Bu-ki merasa kagum dan memuji dalam hati, sebab kalau dilihat dari rambut serta pakaiannya yang acak-acakan, jelas Sangkoan Jin sudah tertidur tadi. Setelah mengalami peristiwa yang luar biasa tegangnya beberapa jam yang lalu, kemudian juga harus merawat luka yang diderita puterinya, mestinya Sangkoan Jin tentu sudah sangat lelah. Tapi dalam keadaan seperti itu pun ternyata ia masih mampu bereaksi begitu cepat, bahkan bisa memperhitungkan secara tepat dari mana dia harus keluar. Ini membuktikan bahwa pengalaman serta nama besarnya memang bukan nama kosong belaka. Begitu keluar dari kamar dan bertemu Bu-ki, Sangkoan Jin segera bertanya. “Siapa?” “Entah!” Bu-ki menggeleng, “seseorang berbaju hitam yang mengenakan kerudung hitam, lihay sekali ilmu meringankan tubuhnya!” “Ayo, masuk dulu baru bicara,” ajak Sangkoan Jin. Setelah menyalakan lampu dan mengenakan mantel luarnya. Sangkoan Jin duduk di hadapan Bu-ki. “Hebat sekali ilmu meringankan tubuh orang itu!” kata Bu-ki setelah termenung sebentar. Sangkoan Jin tidak menjawab. “Dia tidak seharusnya mengeluarkan suara begitu berisik,” kembali Bu-ki berkata. “Suara berisik apa?” “Sewaktu melayang turun ke tanah, tidak seharusnya ia menyentuh ranting pohon hingga mengeluarkan suara berisik. Tampaknya dia sengaja berbuat begitu untuk memancing perhatianku.” “Kenapa? Bukankah dia hendak membokongku?” “Keliru, walaupun dia melakukan gerakan seolah-olah hendak menerobos masuk ke dalam kamarmu, tapi ketika kulancarkan tusukan tadi, ia justru menangkisnya dengan cepat lalu dengan meminjam daya pantul seranganku, ia kabur dari sini. ----------------------- Page 11----------------------- http://zheraf.net Memang betul tujuannya seolah-olah hendak membokongmu, tapi aku merasa, tampaknya ia sedang menyelidiki reaksiku.” “Siapa yang melakukan hal itu?” kata Sangkoan Jin, “Jangan-jangan masih ada orang dari Keluarga Tong yang menaruh curiga kepada kita berdua?” “Aku memang berpendapat begitu.” “Apa alasanmu?” “Aku masih ingat perkataan Tong Koat, dia bilang bahwa masuk ke Benteng Keluarga Tong tidak susah, tapi kalau ingin ke dalam 'taman bunga', barulah susah sekali!” “Di sinilah taman bunga!” “Benar! Hanya tamu terhormat yang bisa sampai di sini Aku sendiri pun harus melalui pemeriksaan yang amat ketat, kemudian setelah mendapat ijin dari nenek Tong Koat, yaitu Lo-cocong, Si Nenek Moyang dan diangkat menjadi congkoan, baru aku diijinkan masuk kemari. Dari sini bisa disimpulkan bahwa orang yang baru datang itu pasti berasal dari Keluarga Tong!” “Seharusnya pihak Keluarga Tong tak mungkin menaruh curiga lagi kepadamu maupun aku, sebab segala sesuatu yang menyangkut asal-usulmu sudah kututupi dengan menyuap orang yang diutus ke Cisi untuk menyelidiki asal-usulmu. Mestinya sekarang mereka sudah tidak mencurigai lagi asal-usulmu!” “Tapi orang yang tadi menyusup itu jelas bertujuan untuk melakukan penyelidikan, tapi apa yang sedang dia selidiki? Bila mereka mencurigai aku sebagai Tio Bu-ki, maka seharusnya mereka juga tahu kalau tujuan kedatanganku kemari adalah untuk membunuhmu.” “Jika orang yang datang tadi adalah utusan yang dikirim pihak Keluarga Tong untuk melakukan penyelidikan, mungkin dia ingin tahu, seandainya ia membokong aku apakah kau akan turun tangan menolongku, jika kau berpangku tangan saja berarti kau adalah Bu-ki, sebaliknya bila kau datang menolong, berarti kau tak ingin melihat aku mati, maka...” “Berarti aku benar-benar adalah Li Giok-tong, bukan Tip Bu- ki!” potong Bu-ki cepat. Sangkoan Jin tertawa, tapi di balik senyuman itu masih tersembunyi sedikit rasa kuatir. Sayang Tio Bu-ki tidak melihatnya. Apa yang masih dikuatirkan Sangkoan Jin? ----------------------- Page 12----------------------- http://zheraf.net Bab 2. Pembicaraan antara Tong Koat dan Neneknya “Lapor Lo-cocong!” kata Tong Koat, “aku menemukan dua persoalan!” “Dua persoalan?” tanya si nenek. “Pertama, sejak masuk ke dalam kebun bunga, tiba-tiba Li Giok-tong nampak banyak pikiran, dia melamun terus.” “Kemudian?” “Dia benar-benar telah turun tangan menolong Sangkoan Jin!” “Oh ya?” “Jadi sekarang asal-usulnya tak perlu dicurigai lagi bukan?” “Kau yakin?” “Tentu saja, kalau dia tak ingin Sangkoan Jin mati, berarti dia bukan Tio Bu-ki!” “Hanya karena dia tak ingin Sangkoan Jin mati, lalu kau menyim¬pulkan dia pasti bukan Tio Bu-ki?” tanya Lo-cocong. “Masa masih ada dugaan lain?” “Tentu saja masih ada!” “Aku tidak mengerti,” seru Tong Koat. “Siapa tahu dia memang tak ingin melihat Sangkoan Jin mati di tangan orang lain?” “Selain itu?” “Mungkin dia tak ingin Sangkoan Jin mati begitu cepat dan begitu gampang.” “Nenek Moyang, kau memang hebat!” puji Tong Koat cepat. “Kau tak perlu jilat pantat, aku lihat kau masih belum terlalu percaya dengan perkataanku!” “Aku... Nenek Moyang, bukankah kita telah mengutus orang untuk melakukan penyelidikan di Cisi? Bukankah sudah terbukti bahwa Li Giok-tong memang dia?” “Siapa yang mengatakan begitu?” tanya si nenek. “Kami telah mengutus Wan Sam untuk membuktikan hal ini.” ----------------------- Page 13----------------------- http://zheraf.net “Kau tahu berapa banyak anggota Tayhong-tong yang telah kita beli?” “Empatpuluh tujuh orang!” “Kita bisa membeli anggota Tayhong-tong, memangnya pihak Tayhong-tong tidak bisa membeli orang-orang kita?” “Maksud nenek, Wan Sam telah menerima suap dan memberikan keterangan palsu?” “Aku tidak berkata begitu!” “Lalu...” “Aku hanya mengatakan kemungkinan seperti ini bukannya tidak mungkin terjadi,” si nenek menjelaskan. “Tapi tak ada orang yang tahu kalaukita mengutus Wan Sam!” “Ada!” “Siapa?” “Sangkoan Jin!” “Dia? Mana mungkin dia? Mana mungkin dia membantu Tio Bu-ki untuk merahasiakan identitasnya?” “Jalan pikiran kita terlalu sederhana dan hanya tertuju satu hal, bagaimana kalau seandainya dia bukan Tio Bu-ki?” “Lo-cocong, kau membuat aku makin lama semakin bingung,” keluh Tong Koat dengan perasaan tak habis mengerti. “Menurut laporan yang kita terima dari mata-mata, Tio Bu-ki benar-benar hendak membunuh Sangkoan Jin untuk membalaskan dendam sakit hati ayahnya, bukan begitu?” “Benar!” “Mengapa Sangkoan Jin bergabung dengan kita?” “Karena dia beranggapan perkumpulan Tayhong-tong cepat atau lambat akhirnya akan dimusnahkan oleh kita, maka dia membunuh Tio Kian untuk menunjukkan kesetiaannya bergabung dengan kita!” “Moga-moga saja dia memang bermaksud begitu...” kata si nenek pelan. “Masa dia hanya berpura-pura?” “Dalam menghadapi persoalan apa pun, tak ada salahnya kalau kita bertindak lebih hati-hati.” “Lantas baru saja kau mengatakan...” ----------------------- Page 14----------------------- http://zheraf.net “Aku kuatir Sangkoan Jin punya rencana dan tujuan lain, siapa tahu Li Giok-tong memang khusus menyusup kemari untuk bisa bergabung dengannya?” “Mana mungkin bisa begitu? Kita sendiri yang mengangkat Li Giok-tong menjadi congkoannya Sangkoan Jin.” “Itulah yang aku katakan tadi.” sela si nenek cepat, “jalan pikiran kita selalu tertuju ke satu arah saja. Selama ini kita hanya menduga dia adalah Tio Bu-ki, maka dari itu kita sengaja mengirim dia untuk melayani Sangkoan Jin sambil mengawasi reaksinya, jika seandainya dia bukan Tio Bu-ki dan tujuannya kemari hanya ingin menyusup jadi mata-mata, bukankah perkiraan kita jadi keliru besar?” “Aku tidak percaya kalau kedatangan Sangkoan Jin hanya untuk menjadi mata-mata,” seru Tong Koat. “Sebetulnya aku sendiri juga tidak percaya,” si nenek menyambung, “tapi yang baru saja terjadi itu menimbulkan kembali rasa curigaku!” “Kejadian apa?” “Wan Sam telah hilang, suratnya dikirim balik melaku burung merpati, tapi orangnya hingga hari ini belum juga kembali.” “Oh ya?” “Oleh sebab itu aku mulai menaruh curiga lagi terhadap Sangkoan Jin dan Li Giok-tong.” “Betul, jika Wan Sam sampai terbunuh maka orang yang paling dicurigai adalah Sangkoan Jin.” Lo-cocong mengangguk. “Tidak salah, cuma... Wan Sam adalah seorang penjudi, bisa saja dia sedang kecanduan main judi hingga pulangnya tertunda.” “Terus...” “Oleh sebab itu aku putuskan untuk menunggu satu hari lagi. Besok pasti ada berita tentang dia, entah berita itu dibawa cha sendiri atau berita tentang kematiannya karena dibunuh orang!” “Berarti nenek sudah mengutus orang untuk melakukan penyelidikan?” “Besok, besok baru akan kukirim!” “Lantas apa yang harus kita lakukan terhadap Li Giok-t ong?” “Apa pun tidak kita lakukan, tunggu.” “Tunggu? Menunggu apa?” ----------------------- Page 15----------------------- http://zheraf.net “Tunggu seseorang!” “Seseorang? Siapa?” tanya Tong Koat keheranan. “Tong Ou!” “Kenapa harus menunggu toako?” “Sebab selama ini perhitungannya tak pernah meleset!” “Perhitunganku juga tak pernah meleset, kenapa kau lebih membela dia? Apakah nenek menganggap aku tak mampu bekerja?” “Sudah, pergilah tidur...” tukas si nenek. Bab 3. Catatan Harian Wi Hong-nio Perjalanan hidup manusia memang aneh, Wi Hong-nio adalah seorang gadis berhati luhur dan rupawan. Ia tak pernah mengharapkan kekayaan, tak pernah mengharapkan kemuliaan, ia hanya berharap bisa mpnikah dengan seorang pemuda yang mencintainya, walaupun harus hidup sederhana dan jauh dan keramaian dunia ia akan merasa sangat puas. Tapi justru gadis polos seperti ini harus mengalami kejadian hebat yang amat memilukan hati, belum sempat upacara pernikahan dilangsungkan ayah Bu-ki sudah ditemukan mati terbantai. Walaupun Bu-ki telah pergi meninggalkan rumah untuk mencari balas, bahkan sewaktu pergi meninggalkan dirinya, jangan lagi mengucap sepatah kata, memandang ke arahnya sekejap pun tidak, tapi Wi Hong-nio tahu, Bu-ki sangat mencintainya karena hanya orang yang benar-benar mencintainya yang mampu melakukan tindakan seperti itu. Ia tahu mengapa Bu-ki tidak mau memandang ke arahnya, jaga tahu mengapa ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, Bu-ki pasti khawatir ia akan mengucapkan kata-kata yang bernada menahan kepergian pemuda itu dan jika dia memohonnya, Bu-ki pasti tak tega dan akhirnya urung pergi membalas dendam. Sebenarnya dugaan Bu-ki keliru besar, apa pun yang akan dilakukan pemuda itu Wi Hong-nio pasti akan mendukungnya. Tapi ia sama sekali tak menyalahkan Bu-ki, bahkan ia juga tak punya pikiran untuk mengeluh kepada Thian atas ketidak-adilan yang menimpanya, sebab dia tahu kebahagiaan hanya bisa diperoleh bila ia mau memperjuangkannya. Menyalahkan orang lain tak ada ----------------------- Page 16----------------------- http://zheraf.net gunanya, kebahagiaan tak mungkin diperoleh hanya dengan menyalahkan orang lain. Karena itu, dia bersama Cian-cian, adik perempuan Bu-ki, berangkat untuk mencarinya. Biarpun kebahagiaan hanya bisa diperoleh melalui suatu perjuangan, bukan berarti bahwa dengan melakukan suatu perjuangan lalu kebahagiaan akan didapat. Begitu juga dengan Wi Hong-nio. Mimpi pun dia tak mengira bahwa perjalanan hidupnya harus mengalami banyak siksaan dan penderitaan. Mengikuti petunjuk-petunjuk yang diperolehnya, bersama- sama Cian-cian ia berhasil mencapaj bukit Kiu-hoa-san. Ketika tiba di bukit Kiu-hoa-san, ia berpisah dari Tio Cian-cian tapi bertemu dengan Siau Tang-lo. Siau Tang-lo boleh dibilang seorang cacad, karena tubuhnya harus ditopang sebatang tongkat untuk bisa berdiri tegak, biarpun begitu, dia masih nampak gagah dan penuh wibawa sehingga orang tidak berani memandang enteng dirinya. Ketika Wi Hong-nio bertemu dengannya, pada waktu itu Bu- ki telah belajar ilmu pedang. Tapi ia tidak memberitahukan hal ini kepada Hong-nio, ia hanya berpesan kepada gadis ini bahwa asal dia mau menunggu di situ, cepat atau lambat pasti dapat berjumpa dengan Bu-ki. Mungkin penampilan serta cara berbicara Siau Tang-lo sangat meyakinkan sehingga Hong-nio sangat mempercayai kata- katanya itu, maka tinggallah nona itu di bukit Kiu-hoa-san. Hong-nio memangg seorang perempuan seperti ini, dengan tenang dan tabah ia tinggal di bukit Kiu-hoa-san, tak ada apa-apa lagi yang ia pertanyakan. Kadang-kadang ia sangat merindukan masakan dari desanya dan asal ia membuka suara menyatakan keinginannya itu, pada makan malam berikutnya masakanyang ia inginkan itu sudah terhidang. Ia tahu Siau Tang-lo pasti bukan orang sembarangan, sebab ia tinggal dalam sebuah gua tapi kelengkapannya tak kalah dibandingkan istana kaisar. Semua arak simpanannya adalah arak pilihan semua pembantunya rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, terutama yang bernama Toat-beng-keng-hu (Pemukul Kentongan Pencabut Nyawa) Liu Sam keng, biarpun matanya buta tapi kelihayannya beberapa ratus kali lipat daripada orang biasa. ----------------------- Page 17----------------------- http://zheraf.net Di dasar hatinya ia punya banyak pertanyaan dan prasangka atas penghuni serta keadaan gua itu, tapi ia tak pernah bertanya, urusan ini hanya dipendamnya di hati, dicatat di buku hariannya. Menulis catatan harian adalah pekerjaan yang dilakukan olehnya setiap hari. Bulan lima tanggal satu. Sudah banyak hari tinggal bersama Siau Tang-lo di bukit Kiu-hoa-san. Selama ini perasaanku belum juga tenang. Hari itu, Siau Tang-lo mengajakku masuk kebagian gua paling dalam untuk menengok seseorang. Orang itu kurus kering, rambutnya kusut tidak karuan, ia begitu mabuk dengan ilmu pedangnya sehingga tak menyadari kehadiranku disana. Dia adalah Bu-ki yang kuimpikan siang dan malam. Selama banyak hari hatiku selalu terusik pemandangan itu, hanya saja hari ini, setelah pindah kerumab penginapan ini, tiba-tiba saja muncul perasaan menyesalku. Mengapa saat itu aku tidak memanggilnya, “Bu-Ki!” Aku ingin tahu bagaimana tangsppansertaperasaannya. Ai! Bu-ki, seandainya orang itu benar kau, aku benar-benar telah melewatkan kesempatan yang sangat untuk berkumpul kembali dengan dirimu! Satu-satunya yang bisa menghibur hatiku hanyalah kata- kata Siau Tang-lo bahwa asal Bu-ki berhasil mempelajari ilmu pedangnya, dia pasti akan menjumpaiku lagi. Kalau memang kegitu, apakah orang ituBu-ki atau bukan, kemunculanku bisa-bisa hanya akan mengacaukan pikiran serta konsentrasinya Ai! Kenapa ingatan yang selalu muncul di dalam benakku belakangan ini selalu hanyalah rasa kangenku kepada Bu-ki? Mengapa rasa kangenku teihadapnya kian hari kian mendalam? Aku tahu sikap Siau Tang-lo sangat baik terhadapku, tapi seharusnya dia juga tahu kalau hati dan perasaanku hanya milik Bu- ki seorang. Beberapa hari belakangan aku selalu berada di samping Siau Tang-lo, apa yang akan dipikir Bu-ki seandainya ia menyaksikan hal ini? Aku tidak tahu, aku hanya merasa hatiku sangat tenteram sekarang Lebih baik aku menulis apa yang terjadikan ini! Tempat yang kukunjungi hari ini sangat menarik, kami menaiki semacam Kendaraan yang disebut “bambu luncur', yaitu dua batang bambu yang diikatkan melintang pada sebuah bangku sehingga orang dapat ----------------------- Page 18----------------------- http://zheraf.net duduk di situ sementara dua pemikul menyangga bambu itu dari sisi kiri dan kanannya. Jalanan perbukitan sangat sulit dilalui tapi pemikul “bambu luncur' dapat berjalan seperti ditempat yang rata saja, sungguh luar biasa! Aku tahu 'bambu luncur' adalah kendaraan yang biasa digunakan orang Sucoan untuk bepergian. Ini berarti kami telah memasuki wilayah Sucoan selatan, namun mau apa kami masuk ke wilayah ini?Aku tidak tahu. Yang kuketabui hanya bahwa Keluarga Tong tinggal di Sucoan, paman Siangkoan berada disitu dan aku juga tahu, bila Bu-ki telah berhasil mempelajari ilmu pedangnya, ia pasti akan mendatangi Keluarga Tong untuk rnembuat perhitungan. Mungkinkah Siau Tang-lo sedang menuju ke Benteng Keluarga Tong? Kalau ditmjau dari cara hidupnya yang mewah bagai hidup dalam istana, tidak seharusnya ia mendatangi Keluarga Tong. Tapi ketika tiba disebuah losmen, aku mendenga rLiu Sam- keng berbicara dengan seseorang yang amat sangat gemuk. “Kami telah datang lagi!” kata Liu Sam-keng. “Apa yang kalian bawa kali ini?” tanya sigemuk. “Seseorang!” “Orang? Kami tidak mau!” “Kami tidak mungkin memberikan orang ini kepadamu, kami hanya ingin menunjukkan orang ini kepada kalian!'' “Ohya?” “Bukankah kalian sedang menyelidiki asal-usul seseorang? Orang yang kami bawa sangat cocok untuk membantu penyelidikan ini, asalkan ia muncul, maka asal-usul yang kalian selidiki segera akan ketahuan.” “Siapa orang itu?” “Dia she Wi.” “Bagus sekali, barang kami akan segera dihantar malam nanti!” 'Tidak usah, Tee-Ciang Pouwsat bilang barang baru diambil setelah urusan selesai.” “Bagus, bagus sekali, ha ha ha...” Siapakah yang dimakud Liu Sam-keng sebagai orang she Wi? Mungkinkah aku yang dimaksud? Aah, mustahil, aku bisa bantu penyelidikan apa? ----------------------- Page 19----------------------- http://zheraf.net Tentu saja Wi Hong-nio tak tahu kalau orang yang gemuk sekali itu adalah Tong Koat. Kedatangan Siau Tang-lo ke sana adalah untuk mengambil obat pemunah racun karena sejak ia terbokong musuh, setiap tahun ia harus datang ke sana untuk mengambil obat. Obat pemunah racun dari Keluarga Tong itu bukan untuk dirinya tetapi diberikan kepada si 'Mayat Hidup'. 'Mayat Hidup' sebenarnya juga orang, seseorang yang terkena bokongan senjata rahasia beracun, hanya saja berhubung tenaga dalam yang ia miliki sangat tinggi dan hebat, racun yang bersarang di tubuhnya berhasil dihimpun jadi satu. Tapi setiap tahun dia masih perlu menelan obat pemunah racun dari Keluarga Tong. 'Mayat Hidup' memiliki kepandaian istimewa, ia mampu menotok setiap jalan darah besar maupun kecil di tubuh seseorang dalam waktu yang amat singkat. Kebetulan tiap tahun Siau Tang-lo perlu melancarkan seluruh jalan darahnya satu kali, maka setiap tahun dia harus pergi ke Sucoan untuk mengambil obat penawar racun dari Keluarga Tong lalu mene¬mui si 'Mayat Hidup' dan bertukar barang. Tiap kali mendatangi Keluarga Tong, Siau Tang-lo selalu membawa aneka macam mestika dan barang langka untuk ditukarkan dengan obat pemunah. Tapi kali ini, karena ia mendengar Keluarga Tong sedang menyelidiki asal-usul seseorang dan orang itu dicurigai sebagai Tio Bu-ki, maka ia pun mengajak Wi Hong-nio berkunjung ke situ. Siapa lagi selain Wi Hong-nio yang bisa lebih jelas untuk memastikan identitas Tio Bu-ki yang sebenarnya? Tentu saja Wi Hong-nio sendiri pun tahu dengan jelas sekali. Karenanya ia meneruskan pekerjaannya mencatat semua kejadian itu dalam buku hariannya... Malam ini makan malam dirundung suasana murung dan menekan, entah mengapa, Siau Tang-lo selalu menampilkan wajahnya yang murung dan banyak pikiran. Setelah menelan suapan nasi yang terakhir dengan susah payah, Siau Tang-lo baru meletakkan kembali sumpitnya dan memandang wajahku dengan pandangan yang sangat aneh. Sampai lama sekali ia termenung kemudian baru ujarnya, “Bu-ki telah berhasil mempelajari ilmu pedang!” Begitu mendengarnama Bu-ki', jantungku berdebar makin cepat, aku merasa darah yang mengalir dalam tubuhku bergolak keras, aku ingin sekali bertanya kepadanya dari mana ia bisa tahu ----------------------- Page 20----------------------- http://zheraf.net Bu-ki saat ini berada? Tapi aku juga tahu, bila aku bertanya, mungkin dia malah tak akan menjawab, sebab dia orang yang suka jual mahal tapi juga suka jual tampang maka aku berusaha mengendalikan perasaanku, aku tak bertanya apa-apa, aku hanya memandangnya tanpa berkedip. Kurasa mungkin dia telah melihat harapanku yang tak sengaja terbersit dari balik sorot mataku. Aku dapat menangkap rasa tak senang yang muncul dalam hatinya, tapi perasaan tak senang itu hanya berlangsung sekejap, karena perasaan tadi segera disembunyikannya lagi. Sesudah itu ia barulah bertanya lagi kepadaku, “Kenapa kau tidak bertanya kepadaku, dari mana aku bisa tahu?” Untuk menjawab pertanyaan ini, aku sempat termerumg dan memutar otak sejenak, sejenak baru kujawab, “Aku bertanya atau tidak, kau toh tetap akan memberitahukannya kepadaku!” “Bagus sekali bila kau bisamemahamiperasaankul,” kata Siau Tang-lo kemudian sambil tertawa. Aku tak berani mengucapkan sepatok kata pun, aku hanya memandangnya lekat-leka. Dengan cepat ia segera menyambung, “Sebab dia sudah lama meninggalkan bukit Kiu-hoa-san!” Baru aku membuka mulutku setengah, dia sudah tahu apa yang ingin kutanyakan, maka lanjutnya, “Betul, orang yang kau jumpai ketika berada di gua waktu itu memang dia! Ia datang ke Kiu-hoa-san mencari aku untuk belajar ilmu pedang karena dia tahu hanya dengan menguasai ilmu pedang yang maha sakti, ia baru bisa membalaskan dendam sakit hati atas kematimayahnya, maka dia berlatih terus tanpa memikirkan makan, minum maupun istirahat . Kau sudah melakukan tindakan yang benar ketika tidak menyapanya, kalau tidak ia sudah runtuh sejak itu, atau bahkan bisa mengalami cau-hwee-jip-mo (jalan api menuju neraka) dan akan cacad seumur hidup!” Aku benar-benar sangat kaget, untung saja aku berhasil menahan gejolak perasaanku waktu itu dan tidak memanggil Bu-ki, kalau tidak, sungguh tak terbayang akibat yang harus dideritanya. Sekarang aku baru sadar, ternyata Siau Tang-lo adalah seseorang yang sangat lihay dan luar biasa. Dia menyukai aku, tapi sengaja bersikap seakan-akan tak akan menggunakan paksaan untuk membuat aku menyukainya. Ia ----------------------- Page 21----------------------- http://zheraf.net tahu bahwa dalam hati aku hanya mencintai Tio Bu-ki seorang, karena itu dia mencoba menggunakan cara itu untuk mencelakai Bu- ki Aku mulai membencinya! Tampaknya kembali ia berhasil menebak jalan pikiranku, katanya kemudian, “Untuk mendapatkan cinta seseorang, untuk mendapatkan seseorang, kadang-kadang kita harus menggunakan sedikit siasat dan langkah. Apalagi waktu itu Bu-ki begitu tergila-gila pada ilmu pedangnya, dalam pandanganku ketika itu, dia tak ada bedanya dengan seorang cacad!” Apayang dia katakan memang benar, tapi... menggunakan cara selicik itu untuk menyingkirkan orang yang sangat kucintai? Bagaimanapun juga, aku tak bisa memaafkan dirinya! Tentu saja aku tidak mengutarakan jalan pikiranku, aku hanya memandangnya dengan termangu-mangu dan mulut bungkam. Sebentar kemudian dia berkata lagi kepadaku, “Aku benar- benar tak mengira kalau Bu-ki memiliki bakat setinggi itu, tak lama setelah kita tinggalkan bukit Kiu-hoa-san, dia ikut meninggalkan bukit itu. Dia berbasil dua bulan lebih awal dari perkiraanku semula!'' Mendengar sampai di sini aku tak bisa menahan diri lagi, semua kecurigaan dan keraguan yang membelit hatiku selama ini kulontarkan keluar, aku bertanya kepadanya, “Jadi kau sengaja mengajakku pergi meninggalkan bukit Kiu-hoa-san? Jadi kau takut kami saling bertemu setelah ia berhasil mempelajari pedangnya?” Siau Tanglo segera tertawa. “Kau jangan memandangku kelewat rendah. Mana mungkin aku manusia serendah itu? Sebelum berangkat pun aku sudah berkata kepadamu bahwa aku tak ingin memaksamu untuk pergi bersamaku!” Setelah tertawa getir, kembali ia melanjutkan, “Kau juga tahu, semua urat-uratku harus dilancarkan kembali peredaran darahnya setahun satu kali, kalau tidak berbuat demikian, aku bisa mati karena peredaran darah yang tersumbat” Aku menjawab bahwa aku tidak tahu. Dia berkata lagi, “Dalam dunia persilatan saat ini hanya orang yang bernama Mayat Hidup yang mempunyai kemampuan untuk melancarkan peredaran darah di sekujur badanku dalam waktu singkat. Kebetulan sekali tiap tahun diapun butuh sebutir pil pemunah racun untuk membebaskan pengaruh racun dalam ----------------------- Page 22----------------------- http://zheraf.net tubuhnya dan penawar racun itu hanya dimiliki Keluarga Tongdi Sucoan!” “Tapi kita toh tidak perlu meninggalkan bukit Kiu-hoa-san sedini itu!” tak tahan aku berseru. “Kenapa kita mesti berputar sejauh itu sebelum balik kembali ke sini?” “Kau kira aku memang ingin berputar dulu sejauh itu? Kau kira setelah tiba disini lalu tanpa syarat apapun pibak Benteng Keluarga Tong akan menyerahkan obat penawar racun itu kepadaku? Aku berputar sejauh itu tak lain karena aku harus mencari beberapa jenis barang berharga atau barang langka untuk ditukar dengan obat itu.” Aku bertanya, apakah barang yang dicarinya sudah ditemukan? Ia menjawah bahwa ia sudah mencari lama sekali tapi tak berhasil menemukan barang yangcocok, akhirnya ia mendengar Benteng Keluarga Tong kedatangan seorang asing dan pihak Keluarga Tong sedang kesulitan untuk mengetahui asal-usul orang asing itu, sebab mereka curiga apakah orang ini Tio Bu-ki atau bukan. Ia berkata kepadaku, “Tahukah kau, dengan cara apa mereka dapat segera membuktikan orang itu Bu-ki atau bukan?” Akupun menjawab, “Suruh paman Siangkoan mengenali orang itu, bukankah dia segera akan memberikan jawaban yang pasti?' Katanya cara ini memang merupakan cara yang sangat baik, tapi seandainya karena sesuatu alasan, Sangkoan Jin enggan memberikan keterangan yang sejujumya? Dalam hal ini aku tidak paham,apa alasan paman Siangkoan tak mau memberi keterangm yang sejujurnya. Mungkinkah dia masih teringat hubungan persaudaraan mereka di masa lalu? Tapi aku tidak bertanya soal ini, aku hanya bertanya, “Cara apalagi yang bisa digunakan?” “Kau!” Aku yang dia tunjuk! Aku benar-benar sangat terkejut, tapi setelah kupikir sejenak aku langsung paham dengan tujuannya. Betul, sekalipun Bu-ki bisa berlagak pilon setelah berjumpa denganku, tapi bila aku dapat ----------------------- Page 23----------------------- http://zheraf.net bertemu dengannya, wajahku pasti, terkejut dan perasaanku pasti, tak terbendung lagi. Berpikir akan bal tersebut, aku semakin merasa betapa licik dan munafiknya SiauTang-lo, sungguh tak nyana dia bisa menemukan akal seperti ini Tapi dengan cepat aku berpikir lagi, seandainya dia memang seorang licik yang munafik, semestinya dia tak perlu mengungkap rahasia ini dihadapanku, dia bisa langsung mengajak aku ke sana dan menjalankan rencananya. Mengapa dia harus menjelaskannya dulu kepadaku? Aku tak tahan, segera tegurku, “Mengapa kau beritahukan masalah ini padaku?” Kembali Siau Tang-lo tertawa getir, tampaknya ia memang gemar tertawa getir, sahutnya, “Aku kuatir kau akan sangat membenciku!” Setelah menatapku sampai lama sekali, kembali dia berkata, “Ketika pertama kali aku berpikir menggunakan cara ini untuk ditukar dengan obat, aku hanya rnemikirkan keselamatan jiwaku sendiri. Tapi semakin dekat dengan Benteng Keluarga Tong perasaanku semakin tak tenang...” “Kenapa?” aku bertanya. “Karena ini sama saja dengan memperalat dirimu! Mana bisa aku memperalat kau?Bagairnana mungkin aku, Siau Tang-lo, bisa memperalat seorang wanita untuk kepentingan pribadi?” “Apa kau sudah tak membutuhkan obat itu?” tanyaku. “Tentu saja aku sangat butuh” “Berarti kau tetap akan memperalat aku?” “Karena itu aku harus menjelaskan dulu masalah ini kepadamu agar kau bisa bersiap-siap. Tentu saja aku tak berani memastikan orang itu pasti Tio Bu-ki, kalau memang benar tentu saja paling baik, seandainya memang dia, kuharap kau bisa rnengendalikan gejolak perasaan dan emosimu di dalam hati saja.” Apa mungkin aku bisa mengendalikan gejolak perasaan itu? Sudah begitu lama kami tak bertemu, pikiran dan perasaanku kini sudah bergolak bagai gulungan ombak di samudera luas bagaimana caranya rnengendalikannya? Tampaknya dia dapat melihat pikiran dan perasaanku waktu itu, maka katanya lagi, “Kau boleh menolak untuk pergi kesana!” “Bila aku tidak pergi, bukankah kau akan gagal mendapatkan obat itu?” ----------------------- Page 24----------------------- http://zheraf.net Ternyata dia cukup jujur, sahutnya, “Tentu saja aku paling berharap kau bisa pergi, bahkan sangat berharap kau dapat mengendalikan gejolak perasaan hatimu, kau bisa bersandiwara di hadapan mereka. “ Aku bertanya kepadanya, bukankah hal ini sama artinya dengan membohongi orang orang Keluarga Tong? Ia menjawab, “Tak mungkin kita mengharapkan segalas esuatu bisa berhasil dengan sempurna, kadangkala urusan bisa gagal bila kita tidak mau menggunakan sedikit akal dan pikiran. Tapi demi ketenteraman hatiku, untuk memastikan agar setelah kejadian ini kau tidak membenciku, aku harus mengulangisekali lagi perkataanku ini, kau boleh menolak untuk pergi!” “Tidak, aku tetap pergi!”jawabku bersikukuh. Aku tak tahu kenapa pada waktu itu aku begitu bersikukuh untuk pergi, apakah hal ini disebabkan ia terlalu baik kepadaku? Mungkinkah aku berbuat begini karena ingin membalas budi kebaikannya? Atau mungkin karena alasan lain? Aku tak tahu, aku benar-benar tak tahu. Mungkin inilah yang disebut takdir kehidupan! Mungkinkah garis takdirku menyuruh aku untuk mengenali orang itu betul Bu-ki atau bukan? Dan garis takdir orang itu segera akan diputuskan oleh keputusan yang kuambil? Ohh, takdir! Kenapa kau tak adil? Kenapa kau harus mengaturku untuk berbuat seperti ini? Hari mulai terang sekarang aku baru teringat, aku lupa bertanya kepada Siau Tang-lo, kapan kami akan pergi bertemu dengan orang itu. Seandainya orang itu betul-betul adalah Bu-ki, apa yang harus kuperbuat? Aku sendiri pun tak tahu, biarlah takdir yang mengaturkan bagiku! Bab 4. Pilihan Tong Ou yang Tepat Bulan lima tanggal dua. Sejak fajar tadi, suasana di dalam Benteng Keluarga Tong sudah sangat ramai, sebelum hari menjadi terang, Lo-cocong si nenek moyang telah berpesan kepada bawahannya untuk tetap menghangat¬kan sarapan, karena dia ingin sarapan bersama Tong Ou. ----------------------- Page 25----------------------- http://zheraf.net Lo-cocong tidak menyangka secepat itu Tong Ou tiba di rumah, dia mengira paling cepat orang itu baru tiba di Benteng Keluarga Tong pagi harinya. Ternyata masih ada satu hal yang tidak disangka olehnya, dia tidak mengira sebelum sarapan siap dihidangkan, Tong Ou sudah tiba di rumah. Yang dimaksud tiba di rumah adalah sampai di pintu gerbang Benteng Keluarga Tong. Selama ini Keluarga Tong bisa menancapkan kakinya dengan kokoh dalam percaturan dunia persilatan tentu saja mereka memiliki kelebihan yang tak dipunyai orang lain, contohnya urusan kecil ini saja sudah bisa disaksikan betapa hebatnya Keluarga Tong. Ketika Tong Ou baru saja melangkah masuk ke pintu gerbang Benteng Keluarga Tong, berita ini sudah tiba di telinga Lo- cocong, sebab Lo-cocong membuat satu peraturan yang sangat ketat, yaitu peristiwa apa pun yang terjadi di dalam benteng, apa pun yang dilakukan orang itu, harus segera dilaporkan kepadanya. Lo-cocong adalah orang pertama yang dibangunkan dari tidurnya. Begitu Lo-cocong bangun dari tidurnya, petugas dapur langsung menjadi amat sibuk, buru-buru mereka siapkan hidangan sarapan pagi. Ketika Tong Ou melangkah masuk ke taman bunga Keluarga Tong, sarapan telah disiapkan, sewaktu memasuki gardu Bo-tan- teng (Gardu Bunga Botan), ia sudah melihat senyuman Lo-cocong yang menunggu kedatangannya. Sesudah mengucapkan selamat pagi ia duduk di hadapan Lo-cocong, waktu itu bubur dengan cakwee panas telah dihidangkan di atas meja. Setelah memperhatikan sejenak wajah Tong Ou, Lo-cocong hanya mengucapkan dua patah kata, “Makan dulu!” Tong Ou tidak banyak bicara, ia cukup memahami watak Lo- cocong, kalau dia ingin kau sarapan dulu lebih baik kau kenyangkan dulu perutmu sebelum berbicara lagi, kalau tidak nenek itu akan tak suka hati. Maka dia pun mulai menyumpit cakwee yang dicelupkan ke dalam buburnya dan mulai bersantap, dalam waktu singkat dia habiskan delapan biji cakwee ditambah daging masak angsio hingga peluh jatuh bercucuran karena kepanasan, tapi dengan begitu semua rasa letihnya lenyap, yang tertinggal hanya sinar tajam yang memancar dari wajahnya. ----------------------- Page 26----------------------- http://zheraf.net Saat itu barulah Lo-cocong berkata, “Bila semangat orang mulai luntur, jalan pikirannya tentu gampang kacau!” “Aku tahu!” Tong Ou manggut-manggut. “Tentunya kau sudah tahu masalah tentang Sangkoan Jin bukan?” “Benar, karena itu siang malam aku melakukan perjalanan untuk segera pulang ke rumah.” “Oh! Kau menemukan suatu rahasia besar?” “Benar, secara garis besar aku telah mengetahui keadaan perkumpulan Tayhong-tong, di luar sana aku telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna, rencananya pada perayaan Peh-cun nanti serangan gelombang pertama dilakukan.” “Apa hubungannya dengan perjalananmu siang malam menuju ke rumah? Sampai di rumah besok pun sama saja...” “Hari ini sudah tanggal dua, bila dapat pulang lebih awal berarti aku bisa lebih awal melakukan penyelidikan melalui Sangkoan Jin. Aku ingin tahu apakah masih ada hal lain dalam perkumpulan Tayhong-tong yang belum kita ketahui.” “Lebih awal melakukan persiapan memang benar, tapi sewaktu mencari keterangan dari Sangkoan Jin, kau mesti lebih berhati-hati.” “Oh ya? Kenapa? Apakah Lo-cocong masih belum percaya kepadanya?” “Sebenarnya aku sudah menaruh kepercayaan kepadanya, sebab dia datang dengan membawa batok kepala Tio Kian, ini membuktikan kesungguhan hatinya untuk bergabung dengan kita, tapi dalam berapa hari terakhir ini telah terjadi sedikit masalah.” “Masalah apa?” Lo-cocong segera menceritakan dengan jelas semua ikhwal keda¬tangan Tio Bu-ki dalam Benteng Keluarga Tong hingga apa yang telah dilakukannya. Selesai mendengar penuturan itu, Tong Ou segera bertanya, “Apakah sudah ada kabar dari Wan Sam?” “Hingga kini belum ada, tapi orang yang kutugaskan melakukan penyelidikan paling lambat tengah hari nanti sudah pulang kemari.” “Kalau begitu aku baru akan menemui Sangkoan Jin nanti malam!” ----------------------- Page 27----------------------- http://zheraf.net “Benar, makin hati-hati makin baik, kali ini kita harus berhasil menumpas seluruh kekuatan yang dimiliki Tayhong-tong, dengan demikian Keluarga Tong kita baru bisa merajai seluruh dunia persi¬latan!” “Kau tak usah kuatir Lo-cocong,” hibur Tong Ou, “aku pasti dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.” “Aku percaya kemampuanmu. Oh ya, kebetulan kemarin Tong Koat melaporkan kedatangan Siau Tang-lo.” “Dia datang untuk mengambil obat? Aku rasa lebih baik kali ini kita serahkan semua obat penawar racun itu kepadanya, buat apa kita mesti kemaruk dengan barang-barang langka miliknya?” “Sebenarnya tujuan utamaku bukan lantaran kemaruk dengan barang-barang langka miliknya, kau toh tahu juga, awalnya kita minta barang-barang langka darinya hanya karena ingin obat kita bisa dijual dengan harga tinggi karena dengan memperoleh banyak uang berarti kita bisa memelihara lebih banyak orang dan menambah kekuatan kita. Tapi kemudian tiba-tiba aku punya satu pikiran aneh, dan sekarang telah menjadi kenyataan.” “Pikiran apa?” “Siau Tang-lo itu manusia aneh, tentunya kau masih ingat kedudukan serta asal-usulnya yang begitu tinggi bagai seorang kaisar, orang aneh semacam dia seringkali bisa membawa barang- barang yang aneh juga.” “Kali ini dia membawa barang aneh juga?” “Benar!” “Barang apa itu?” “Satu orang!” “Orang? Siapa dia?” “Wi Hong-nio!” “Bakal istri Tio Bu-ki yang belum sempat dikawini secara resmi itu?” “Betul!” “Apa tujuannya membawa Wi Hong-nio datang kemari?” “Ia mendengar kita sedang menyelidiki seseorang apa benar Tio Bu-ki atau bukan, lalu ia mengajak Wi Hong-nio datang kemari.” “Ehmm, cara ini memang jitu!” “Tepat sekali! Kau mau bertemu Siau Tang-lo?” “Baik, tengah hari nanti akan kuundang dia makan siang di loteng Ie-hiang-lo, dia sendiri saja.” ----------------------- Page 28----------------------- http://zheraf.net “Hanya dia sendiri? Tidak mengundang Wi Hong-nio?” tanya Lo-cocong dengan heran. “Ya, hanya dia sendiri. Aku punya rencana lain.” “Baiklah, kalau begitu segala sesuatu kuserahkan padamu. Masih ada urusan lain yang harus dikerjakan? Kalau tak ada, lebih baik pergilah beristirahat dulu.” “Aku ingin mengundang Cu-sianseng untuk membuat lukisan wajah Li Giok-tong, suruh dia selesaikan lukisan itu sebelum tengah hari!” Cu-sianseng adalah Cu Cu-tan, seorang pelukis dari Benteng Keluarga Tong, dia sangat mahir dalam melukis wajah orang. Semua orang penting di Benteng Keluarga Tong dibuatkan sebuah lukisan wajah olehnya dan lukisan itu digantung di sebuah ruangan dalam Benteng Keluarga Tong yang dinamakan 'Ruang Lukisan'. Hanya orang penting yang dilukis wajahnya oleh Cu- sianseng. Lo-cocong semakin tercengang setelah mendengar permintaan itu, tak tahan lagi tanyanya, “Kenapa kau ingin membuat lukisan wajahnya? Kenapa tidak menunggu setelah dia bertemu dengan Wi Hong-nio saja nanti?” “Lo-cocong!” ujar Tong Ou sambil tersenyum, “bolehkah aku sedikit jual mahal dengan melaporkan urusan ini malam nanti?” Lo-cocong seperti juga nenek-nenek lain di kolong langit, walaupun sedikit bernada menegur tapi sahutnya juga dengan gembira, “Menghadapi urusan sepenting ini masih jual mahal? Tapi... baiklah, aku percaya kau pasti sudah punya rencana yang matang, akan kutunggu laporanmu malam nanti!” “Nenek, kau memang sangat memahami perasaanku!” Tong Ou tertawa. “Tak usah merayuku lagi, sana, pergi istirahat!” Ketika terjaga dari tidurnya, tengah hari sudah hampir tiba, dengan semangat dan tubuh yang segar Tong Ou berangkat menuju ke loteng Ie-hiang-lo. Belum lama dia duduk, Siau Tang-lo dengan dipapah dua orang telah tiba juga di situ. Selesai bertukar kata sopan-santun biasanya, mereka mulai bersantap. Selama makan siang itu mereka hanya membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia persilatan. Ketika air teh mulai dihidangkan, Tong Ou baru mengeluarkan sebuah botol yang diserahkannya kepada Siau Tang- ----------------------- Page 29----------------------- http://zheraf.net lo sambil berkata, “Obat yang ada dalam botol ini cukup untuk digunakan selama enampuluh enam tahuni.” Siau Tang-lo tahu, isi botol itu adalah obat pemunah racun yang akan dia berikan kepada si “Mayat Hidup”. Mendengar bahwa obat yang diberikan Tong Ou kepadanya kali ini cukup untuk digunakan selama enampuluh enam tahun, ia jadi sangat girang, dia percaya inilah berkah yang diperolehnya lantaran mengajak Wi Hong-nio ke sini. Karena itu segera bertanya, “Kapan kau akan bertemu dengan Wi Hong-nio?” “Aku tidak berencana untuk menjumpainya.” “Tidak menjumpainya? Lalu siapa yang akan menemuinya?” tanya Siau Tang-lo tercengang. “Tak ada seorang pun dari Benteng Keluarga Tong kami akan bertemu dengannya.” Siau Tang-lo semakin melengak, dia betul-betul tak habis mengerti. “Siapa pun tak akan menemuinya? Mengapa?” “Aku rasa itu tidak perlu.” “Apakah kalian telah berhasil membuktikan orang itu bukan Tio Bu-Ki?” “Belum!” “Lantas...” “Aku hanya tak ingin membuktikan sesuatu dengan mempercayai omongan seorang wanita.” Begitu mendengar perkataan tersebut, Siau Tang-lo segera menyentilkan jari tengahnya ke depan, botol berisi obat penawar racun itu segera bergeser kembali ke hadapan Tong Ou, kemudian ia baru berkata, “Kalau begitu, aku pun tidak bisa menerima pemberianmu ini.” Tong Ou tertegun, ia mengawasi Siau Tang-lo tanpa bicara. Setelah tertawa, kembali Siau Tang-lo berkata, “Aku sangat berterima kasih atas niat baikmu itu, tapi selama hidup aku tak pernah mau menerima pemberian orang secara cuma-cuma.” Tong Ou agak gelagapan juga menghadapi sikap lawannya, untung dia adalah seorang tokoh utama yang mengatur seluruh sepak-terjang Benteng Keluarga Tong dan dalam bingungnya, dia masih sempat memutar otak mencari jalan lain. Suatu rencana segera diperolehnya. ----------------------- Page 30----------------------- http://zheraf.net Ia segera berkata kepada Siau Tang-lo, “Aku sangat berharap kau mau menerimanya!” Kemudian ia dorong kembali botol berisi obat itu ke hadapan Siau Tang-lo. Kali ini Siau Tang-lo tidak bicara lagi, hanya sepasang matanya menatap lekat Tong Ou. “Baiklah!” kata Tong Ou kemudian, “kalau toh kau baru mau menerima niat baikku jika kami pun mau menerima niat baikmu, begini saja, malam nanti aku akan mengatur agar orang itu bertemu dengan Wi Hong-nio!” Siau Tang-lo segera tersenyum, ia menerima botol berisi obat itu dan berkata, “Kalau begitu kuucapkan banyak terima kasih!” “Seharusnya akulah yang berterima kasih kepadamu,” balas Tong Ou sambil tersenyum. Bab 5. Teka-Teki di Balik Lukisan Wajah Sewaktu Bu-ki melihat Tong Koat dan Cu Cu-tan masuk ke dalam ruangan menghampirinya, ia melihat paras muka Tong Koat sangat jelek dan tak enak dipandang, seolah-olah ada orang yang baru saja merampas pengantin perempuannya. Hal ini bisa dimaklumi karena ketika bangun pagi tadi, Tong Koat mengira Lo-cocong pasti akan mengundangnya untuk sarapan bersama sekalian mendengarkan penuturan kakaknya tentang hasil yang diperoleh sepanjang perjalanan, paling tidak saat itu dia pun bisa memberikan sedikit saran dan tanggapan. Siapa tahu Lo-cocong sama sekali tidak mengundangnya, memanggil pun tidak. Sepagian Tong Koat sudah dibuat sangat marah bercampur dongkol hingga sarapan pun segan dimakan, yang lebih bikin jengkel hatinya adalah ketika menjelang tengah hari, dia melihat koki kembali sibuk menyiapkan hidangan dan ia tak tahan untuk bertanya buat siapa hidangan itu disiapkan. Ketika tahu orang yang dijamu adalah Siau Tang-lo dan hidangan cuma disiapkan untuk dua orang, ini membuktikan bahwa kakaknya, Tong Ou, sama sekali tak berniat mengundangnya untuk turut serta dalam perjamuan ini, ia jadi makin jengkel dan marah hingga paras mukanya berubah jadi merah padam seperti hati babi. ----------------------- Page 31----------------------- http://zheraf.net Rasa dongkolnya semakin menjadi-jadi ketika Lo-cocong memerintahkan ia bersama Cu Cu-tan untuk pergi membuat lukisan wajah Li Giok-tong, apa artinya ini? Ini membuktikan bahwa kakaknya, Tong Ou, telah berhasil membuktikan Li Giok-tong bukan Tio Bu-ki, karena dengan terlukisnya wajah orang itu, berarti secara resmi orang itu telah diterima menjadi anggota Keluarga Tong. Mengapa Tong Ou tidak mengajaknya berunding dulu sebelum menerima Li Giok-tong menjadi anggota Keluarga Tong? Oleh sebab itu ketika Bu-ki dengan perasaan ingin tahu bertanya kepada Tong Koat, mengapa ia harus dibuat lukisan wajahnya, Tong Koat sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan itu, dia hanya berteriak dengan penuh kejengkelan, “Pokoknya biar dia lukis wajahmu, titik. Orang Keluarga Tong paling benci kalau ditanya ke sana kemari. Melihat sikap dan nada suaranya, Bu-ki tahu kalau orang itu sedang dongkol dan marah karena sesuatu, tapi jawaban tersebut tidak membuat Bu-ki jadi marah, pikirnya, “Mau dilukis atau diapakan, terserah, cepat atau lambat toh jawab¬nya segera akan kuketahui.” Selesai dilukis, ia segera pergi mencari Sangkoan Jin dan menceritakan kejadian itu kepadanya. Mendengar penuturan tersebut, Sangkoan Jin sangat gembira, ia berseru sambil menepuk- nepuk bahu pemuda itu, “Selamat! Selamat! Kionghi, kionghi!” “Kenapa mesti kionghi kepadaku? Memangnya Benteng Keluarga Tong hendak menggunakan lukisan wajahku untuk mencarikan jodoh bagiku?” “Tentu saja bukan begitu!” “Lantas, apa yang mesti dibikin gembira?” “Dalam Keluarga Tong ada satu kebiasaan, mereka akan membuat lukisan wajah bagi setiap orang yang dianggap penting dalam kelompoknya, lukisan itu akan digantung dalam sebuah ruangan agar setiap orang bisa melihat serta mengenali wajahnya.” “Oh, jadi paman Siangkoan juga telah dilukis wajahnya?” “Betul, ini menandakan mereka telah mempercayai identitas palsumu, bahkan sangat menghargai kemampuanmu!” Bu-ki betul-betul sangat gembira, dari penuturan Sangkoan Jin tadi, dia menjadi tahu bahwa pihak Keluarga Tong sangat menghargai kemampuannya dan akan memandang penting ----------------------- Page 32----------------------- http://zheraf.net peranannya, bahkan dia semakin gembira lagi ketika Tong Ou ternyata mengundangnya untuk bertemu. Sekalipun dalam hati kecilnya ia merasa amat gembira, namun perasaan tersebut tidak sampai kelewat ditampilkan ke wajahnya, sebab selama berapa waktu belakangan ini ia sudah belajar bagaimana mengendalikan emosi serta tidak menampilkan setiap perubahan perasaan hatinya, apalagi ketika sedang berhadapan dengan musuh, ia harus bisa mempertahankan ketenangan serta kesigapannya untuk menghadapi setiap perubahan. Maka sewaktu dia berjalan masuk ke ruangan tempat Tong Ou ingin berjumpa dengannya, pemuda itu telah berhasil menenangkan perasaan hatinya, dia telah mengubah dirinya bagai anak panah yang sudah dipentang di busurnya, setiap waktu dan setiap saat dia bisa menggunakan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk melindungi diri. Ketika melangkah masuk ke dalam ruangan, ia segera dapat melihat wajah Tong Ou, diam-diam ia bersorak memuji dalam hatinya. Ditilik dari penampilannya, Tong Ou berusia sekitar tigapuluh tahunan, wajahnya nampak gagah dan tampan, sorot mata yang terpancar keluar seakan-akan mengandung rasa percaya diri yang sangat kuat. Begitu melihat kehadiran Bu-ki, Tong Ou segera menegur, “LiGiok-tong?” “Betul!” sahut Bu-ki sambil bersojah, “aku adalah Li Giok- tong dariCisi!” “Selamat datang di Benteng Keluarga Tong!” “Aku merasa amat bangga dan gembira atas sambutan ini.” “Mari, kita bicara di dalam saja,” ajak Tong Ou kemudian. “Di dalam?” “Benar, di kamar sebelah sana.” Tong Ou menggerakkan tangannya memberi tanda mempersi-lahkan, Tio Bu-ki pun tanpa berpikir panjang segera melangkah masuk ke dalam ruangan. Tong Ou menunggu sampai Bu-ki sudah melangkah dua tindak, baru bertepuk tangan memberi isyarat, seseorang segera muncul di tengah ruangan. Kepada orang itu Tong Ou berkata, “Segera undang Cu- sianseng untuk masuk!” ----------------------- Page 33----------------------- http://zheraf.net Bu-ki berhenti di depan pintu, menanti Tong Ou sudah membukakan pintu, baru dia melangkah masuk. Ternyata ruangan itu penuh dengan lukisan wajah yang tergantung di seluruh dinding. Sambil menuding ke atas lukisan lukisan wajah itu, Tong Ou berkata, “Semua wajah yang terlukis dalam ruangan ini adalah jago- jago pilihan dari Benteng Keluarga Tong kami.” Bu-ki melihat wajah Sangkoan Jin ikut terpampang di situ, lukisan wajahnya tergantung pada dinding sebelah kiri. “Lukisan wajahmu ada di meja!” kembali Tong Ou berkata. Bu-ki sudah melihat lukisan itu ketika Cu Cu-tan selesai melukis tadi, karena itu walaupun ia melihat di atas meja ada sebuah lukisan, namun ia tidak berniat untuk menghampiri dan melihatnya lagi. “Silahkan duduk!” kembali Tong Ou berkata sambil menunjuk bangku di sisi meja. Bu-ki pun duduk, karena berada di tepi meja, maka tanpa sadar ia pun melirik sekejap ke lukisan wajah yang berada di sisinya. Wajah dalam lukisan itu nampak sangat kurus dan penuh cambang, ketam¬panan wajahnya di masa lampau sudah sama sekali tak terlihat. “Bagaimana hasil lukisan Cu-sianseng, hebat bukan?” ucap Tong Ou kemudian setelah ikut duduk di hadapannya. “Betul, hebat dan kelas satu!” “Sesuai dengan peraturan Keluarga Tong kami, asalkan dia orang yang pandai, hebat dan bisa diandalkan, kami pasti akan buatkan lukisan wajahnya dan digantungkan dalam ruangan ini.” Bu-ki hanya memandang lukisan wajahnya tanpa menjawab. “Hanya saja,” kembali Tong Ou berkata, “tujuan kami untuk membuat lukisan wajahmu kali ini, belum tentu dimaksudkan untuk digantung di sini.” “Oh ya?” dalam hati kecilnya Bu-ki mulai merasa kecewa bercampur curiga. Kenapa belum tentu digantung dalam ruangan ini? Sekalipun begitu, dia sama sekali tidak menampilkan perasaan heran bercampur curiganya di wajahnya. “Inilah untuk pertama kalinya kami Benteng Keluarga Tong membuatkan lukisan wajah orang luar.” “Berarti merupakan satu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagiku?” “Mungkin, kau ingin tahu kenapa?” ----------------------- Page 34----------------------- http://zheraf.net “Kau bersedia memberitahukan kepadaku?” “Tentu saja bersedia.” Sementara itu, Cu Cu-tan sudah berjalan ke dalam ruangan, di tangannya ia masih membawa beberapa gulung lukisan wajah. “Mari kita ke sana sambil melihat-lihat dan beromong- omong,” ajak Tong Ou sambil menuding ke arah sebuah meja besar dekat dinding ruangan. Tiba di depan meja besar itu, Cu Cu-tan mulai membentangkan semua lukisan yang dibawanya, selembar demi selembar dipaparkan di atas meja, semuanya berjumlah lima lembar lukisan. Lembaran lukisan yang paling ujung adalah seseorang berwajah kurus, semakin ke kanan wajah itu kelihatan semakin bertambah gemuk. Bu-ki segera kenali dua lembar lukisan yang paling kanan adalah lukisan wajah dari Tong Koat, orang paling gemuk di dalam Benteng Keluarga Tong, sedang tiga lembar lukisan di sisi kirinya memiliki raut muka yang mirip dengan Tong Koat, namun Bu-ki tak berani memastikan kalau lukisan tersebut adalah lukisan wajahnya. “Kelima lembar lukisan ini semuanya adalah lukisan wajah adikku, Tong Koat, yang berada di paling kiri adalah lukisan wajahnya kira-kira sepuluh tahun yang lalu waktu dia masih sangat kurus, sedang luk isan yang berada di paling kanan adalah lukisan wajahnya pada setahun silam, dia sudah berubah jadi begitu gemuk!” Bu-ki tidak tahu apa sebab serta tujuan Tong Ou memperlihatkan lukisan-lukisan itu padanya, tapi dia yakin, pada akhirnya Tong Ou pasti akan memberikan penjelasan atas semua teka teki tersebut, oleh sebab itu dia sama sekali tidak gelisah bahkan mulutnya tetap membungkam seribu bahasa. Menanti Cu Cu-tan selesai menggulung kembali kelima lembar lukisan itu, Tong Ou baru berjalan balik ke meja pertama dan mengambil lukisan wajah Bu-ki yang lalu dibentangkannya di atas meja besar, sementara Cu Cu-tan sudah mempersiapkan alat tulis serta selembar kertas baru. Setelah meletakkan peralatan gambarnya di atas meja, Cu Cu-tan mulai mengambil selembar kertas kosong dari tumpukan kertas yang dibawanya, kemudian membentangkan kertas baru itu tepat di atas lukisan wajah Tio Bu-ki. ----------------------- Page 35----------------------- http://zheraf.net “Kertas ini sangat tipis,” Tong Ou menjelaskan, “sedemikian tipisnya sehingga lukisan yang berada di bawahnya dapat terlihat dengan jelas.” Kembali Cu Cu-tan mengambil dua lembar kertas kosong dan diletakkan di atas serta di bawah kertas kosong pertama, lalu setelah mengambil alat gambarnya, ia memandang ke arah Tong Ou menunggu perintah. Terdengar Tong Ou berkata lagi kepada Bu-ki, “Cu-sianseng sangat mahir dalam melukis wajah manusia, maka pengamatannya terhadap raut wajah seseorang sangat teliti dan cermat, dan sekarang, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya selama ini, dia akan melukis raut wajahmu ketika kau bertambah gemuk nanti.” Bu-ki sangat kaget, pikirnya, “Mau melukis wajahku ketika gemuk? Jika lukisannya tepat, bukankah Tong Ou segera akan tahu kalau aku adalah Tio Bu-ki? Tapi... mungkinkah dia dapat melukis wajahku yang sebenarnya dengan tepat?” Tampak Cu Cu-tan mulai menggerakkan alat tulisnya membuat coretan-coretan pada kertas baru itu, tak selang berapa saat kemudian, raut wajah seorang pemuda yang tampan dan gagah segera tampil di atas lembaran kertas lukisan itu. Kali ini Bu-ki betul- betul sangat terperanjat, sebab raut wajah yang tertera pada lukisan itu mirip sekali dengan wajahnya setahun lalu, sekalipun tidak tepat secara keseluruhan, paling tidak kemiripannya mencapai tujuh- delapan bagian. “Mirip bukan?” tegur Tong Ou kemudian, sambil memandang wajah Bu-ki. “Dari mana aku bisa tahu?” jawab Bu-ki. “Kenapa kau tidak tahu?” “Sejak kecil aku sudah sekurus ini, dari mana aku bisa tahu bagaimana raut wajahku bila menjadi gemuk?” “Sungguh?” “Menurut kau, setampan itukah wajahku?” “Ehmm, aku rasa mirip sekali.” “Oh ya?” “Coba ikut aku.” Tong Ou mengambil kertas tambahan itu dan membawa lukisan yang baru selesai dilukis itu ke ruang tamu. Mereka tiba di sisi kiri ruang tamu, di situ ia mendorong sebuah pintu dan masuk ke ----------------------- Page 36----------------------- http://zheraf.net dalam sebuah ruangan yang di dalamnya penuh dengan rak yang dipenuhi lukisan wajah manusia. Sambil melangkah masuk, kembali Tong Ou menjelaskan, “Isi rak yang ada di dalam ruangan ini juga lukisan wajah manusia, hanya bedanya lukisan yang berada di sini adalah lukisan wajah- wajah musuh besar Benteng Keluarga Tong.” Bu-ki tidak berbicara lagi, dalam hatinya ia sudah paham apa yang bakal terjadi, lukisan wajah Tio Bu-ki dari Perkumpulan Tayhong-tong pasti berada di situ juga. Ketika melangkah ke dalam ruangan, ia segera dapat melihat tulisan-tulisan yang ditempelkan pada rak-rak lukisan itu, ada lukisan dari Hui-hong-pang, Sin-liong- pang... dan tentu saja dari Tayhong-tong. Benar juga, Tong Ou langsung menuju ke rak lukisan yang dicantumi label Tayhong-tong, ia membuka laci keempat dari rak tersebut dan mengeluarkan segulung lukisan wajah, kemudian katanya kepada Bu-ki, “Inilah lukisan wajah Tio Bu-ki dari perkumpulan Tayhong-tong.” Bu-ki masih tetap menjaga ketenangan hati dan penampilannya, padahal di hati kecilnya ia sudah merasakan ketegangan yang luar biasa hingga tanpa sadar peluh dingin membasahi telapak tangannya. Sementara itu Tong Ou sudah melepaskan tali merah yang mengikat gulungan lukisan itu, kemudian dengan tangan kiri memegang lukisan tersebut, tangan kanannya memegang lukisan hasil karya Cu Cu-tan. Dia mengamati kedua lukisan itu bergantian, lalu memandang juga ke wajah Bu-ki, seakan-akan dia ingin melihat bagaimana perubahan wajah pemuda itu. Paras muka Bu-ki sama sekali tidak berubah, dia bersikap seakan-akan sedang ikut menikmati dua lukisan wajah yang sama sekali tak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan dirinya. Tiba-tiba terdengar Cu Cu-tan yang berdiri di belakang Bu-ki menjerit kaget, “Aaah, mirip, mirip sekali, kau adalah Tio Bu-ki!” Tio Bu-ki segera tertawa keras. “Kau masih bisa tertawa?” seru Tong Ou. “Apa kau tidak merasa kejadian ini sungguh menggelikan? Kau tidak menganggap peristiwa ini sebagai sesuatu yang konyol dan ngawur?” ----------------------- Page 37----------------------- http://zheraf.net “Tidak, aku sama sekali tidak merasakan.” Sambil menuding ke arah Cu Cu-tan, kembali Bu-ki berkata, “Bukankah lukisan wajah Tio Bu-ki dari Tayhong-tong dilukis juga olehnya?” “Benar!” “Itulah dia,” kata Bu-ki, “selama ini kalian menaruh curiga bahwa aku adalah Tio Bu-ki, maka sewaktu dia menambah lukisan tadi, pikirannya sudah terpengaruh oleh bayangan wajah Tio Bu-ki, tidak aneh jika hasil lukisannya mirip sekali dengan Tio Bu-ki. Coba kalau kalian mencurigai aku sebagi Oh Tun dari Hui-hong-pang, aku yakin hasil lukisan yang dibuatnya pasti sangat mirip dengan Oh Tun, percaya tidak?” “Aku percaya, cuma dalam satu hal kau keliru.” “Dalam hal apa?” “Cu-sianseng sama sekali tidak tahu urusan tentang Tio Bu- ki, kami hanya beritahu kepadanya bahwa kau adalah Li Giok-tong, kemudian menyuruhnya berdasarkan pengalaman yang dimilikinya, untuk melukiskan wajah Li Giok-tong seandainya menjadi gemuk nanti.” Bu-ki tidak bicara lagi, kalau urusan telah berkembang jadi begini, apa lagi yang bisa dia katakan? “Sekarang kau sudah mengaku bukan bahwa dirimu adalah Tio Bu-Ki?” tegas Tong Ou. Bu-ki tidak menjawab pertanyaannya itu, ia balik bertanya, “Kalau toh sedari awal kau sudah menduga seperti itu mengapa tidak kau bunuh saja diriku sekarang?” “Ada dua alasan aku tidak membunuhmu, pertama karena sejak kau masuk kemari, aku sudah merasakan hawa pembunuhan yang sangat tebal memancar dari tubuhmu, aku tak yakin bisa mengalahkan dirimu dalam satu kali serangan, sekalipun pada akhirnya aku berhasil mengalahkan kau, jika kau merasa tak mungkin bisa mundur dari sini dengan selamat, aku yakin kau akan mengajakku untuk mengadu jiwa, jelas aku Tong Ou tak sudi berbuat demikian.” “Oh? Lantas apa alasanmu yang kedua?” “Alasan kedua inilah yang merupakan alasan yang sesungguhnya.” Setelah berhenti sejenak, ia kembali meneruskan, “Aku paling tak suka melakukan serangan bokongan, bila ingin membunuh seseorang, aku akan menantangnya bertempur secara jantan.” ----------------------- Page 38----------------------- http://zheraf.net “Kalau begitu kau ingin menantangku untuk berduel?” “Benar!” “Kau sudah sangat yakin kalau aku adalah Tio Bu-ki?” “Aku tak ambil peduli kau Tio Bu-ki atau bukan, aku tetap akan menantangmu untuk bertarung!” “Kenapa?” “Kesenanganku yang paling utama adalah mengadu pedang dengan semua jago yang ada di kolong langit.” “Apakah aku pantas untuk menerima tantanganmu itu?” “Tentu saja sangat pantas, cukup melihat keberanianmu, aku rasa sudah lebih dari pantas.” “Kau terlalu memandang tinggi kemampuanku,” seru Bu-ki. “Jadi kau sudah menerima tantanganku untuk berduel?” “Masih mungkin bagiku untuk menolak?” “Baiklah, kalau begitu kita putuskan begini saja. Tengah hari tanggal tujuh bulan tujuh di puncak gunung Thay-san!” “Baik, aku akan menepati janji!” “Jika kau sudah berjanji akan menepati janji kita, lebih baik jagalah dirimu baik-baik!” “Aku tak mengerti dengan perkataanmu itu!” “Kenapa tidak mengerti?” “Kenapa kau suruh aku baik-baik menjaga diri? Kalau tak terjadi suatu peristiwa yang mendadak, siapa pun pasti akan berusaha untuk menjaga diri.” “Tepat sekali perkataanmu itu,” Tong Ou manggut-manggut, “Justru karena aku tahu kalau kau bakal menghadapi suatu peristiwa yang hebat, maka sengaja kuingatkan agar kau bisa menjaga diri baik-baik.” “Peristiwa hebat apa?” tanya Bu-ki tak habis mengerti. “Ada beberapa kejadian yang akan kau alami secara beruntun, kejadian pertama adalah malam nanti. Aku akan mengajakmu men¬jumpai seseorang.” “Menjumpai seseorang? Haruskah aku menjumpai orang itu?” “Aku telah berjanji kepada orang itu agar kau pergi menjumpainya.” “Bila aku menolak untuk bertemu?” ----------------------- Page 39----------------------- http://zheraf.net “Menolak juga tak apa apa, paling-paling aku akan membuat kecewa orang itu dan tidak menepati janjinya. Tapi aku percaya kau pasti ingin sekali bertemu dengan orang itu.” Bu-ki tidak bertanya siapakah orang itu, sebab dia tahu bertanya pun tak ada gunanya, Tong Ou pasti akan jual mahal dengan tidak menyebut siapa orang itu, maka katanya kemudian, “Baik, aku akan menjumpai orang itu!” “Terima kasih banyak. Kejadian kedua adalah setelah bertemu orang itu, maka kau harus segera meninggalkan Benteng Keluarga Tong, pergi seorang diri.” “Maksudmu Benteng Keluarga Tong sudah tak suka menerima kehadiranku di tempat ini?” “Tidak, kami sangat gembira bisa menerima kau sebagai tamu kami, justru aku yang kuatir kau tak ingin tinggal lebih lama lagi di sini.” “Kenapa?” “Sebab aku masih akan memberitahukan satu kejadian lagi kepadamu dan aku yakin, setelah kau mendengar kata-kataku nanti, kau pasti akan gelisah seperti semut di atas kuali panas!” “Gelisah juga tak ada gunanya, toh aku telah berjanji kepadamu akan menjumpai orang itu nanti malam dan aku akan pergi setelah bertemu dengannya, pergi dari sini seorang diri.” Tong Ou tertawa tergelak. “Kau memang sangat cerdas, satu kejadian yang sangat menyenangkan bila aku dapat berduel melawan orang semacam kau.” “Kini, segala sesuatunya sudah berada dalam cengkeramanmu, aku tidak gembira.” “Maka dari itu aku harus membuat segala sesuatunya nampak sangat adil, dengan begitu pertarungan kita baru sah di mata orang banyak.” Bu-ki tidak berkata apa-apa lagi, dalam hatinya ia mulai berpikir, “Selama ini Benteng Keluarga Tong tersohor dalam dunia persilatan karena kemahirannya menggunakan senjata rahasia, obat racun serta rencana licik, mana mungkin bisa muncul seorang yang gagah dan sangat adil seperti Tong Ou? Jangan-jangan di balik semua ini masih tersimpan rencana busuk lainnya?” Sementara dia masih memikirkan persoalan ini, kata-kata yang diucapkan Tong Ou berikutnya membuatnya selain lebih ----------------------- Page 40----------------------- http://zheraf.net terkejut, juga penuh rasa curiga, sebenarnya Tong Ou ini tokoh utama Benteng Keluarga Tong atau bukan? “Dalam berapa hari ini, kemungkinan besar kami akan menyerang markas besar Tayhong-tong secara besar-besaran, apakah kau tak ingin buru-buru pulang ke rumah untuk membuat persiapan?” kata Tong Ou sambil tertawa. Mengapa Tong Ou harus membeberkan rahasia besar ini kepadanya, bahkan rahasia itu baru disampaikan setelah dia yakin kalau dirinya adalah Tio Bu-ki? Mungkinkah dia memang menginginkan suatu pertarungan yang adil? Bu-ki tidak tahu, untuk membuktikan hal ini memang dibutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah keadaan berkembang menjadi begini, Bu-ki sadar sudah tak ada gunanya lagi merahasiakan identitas dirinya sebab seperti yang dikatakan Tong Au, setelah mengetahui Benteng Keluarga Tong akan menyerang Tayhong-tong secara besar-besaran, dia memang harus segera berangkat pulang, dia harus pulang untuk mendampingi saudara-saudara seperguruannya untuk bersama- sama menyambut serangan musuh dan bertarung hingga titik darah penghabisan. Bila hal ini sampai terjadi, siapa pun tentu akan tahu kalau dia adalah Tio Bu-ki. Lagipula benar atau tidaknya dia sebagai Tio Bu-ki sudah menjadi urusan yang tak penting bagi Tong Ou, karena Tong Ou sudah menyuruhnya pergi dari Benteng Keluarga Tong. Jika seseorang sudah tidak tinggal di dalam Benteng Keluarga Tong, maka tidak peduli siapa pun orang itu, dia tak akan mendatangkan ancaman lagi bagi Keluarga Tong. Itulah sebabnya Bu-ki telah bersiap-siap untuk pergi dari situ. “Nanti dulu, nanti dulu, jangan terburu-buru,” cegah Tong Ou sambil merentangkan tangannya menghalangi kepergian pemuda itu, “agar adil, setelah aku memberitahukan banyak persoalan kepadamu, sudah sepantasnya bila kau pun menjawab satu pertanyaanku.” “Tanya saja!” “Kenapa kau belum juga turun tangan membunuh Sangkoan Jin?” “Tampaknya kau sudah tahu tentang semua kejadian di sini walaupun kau tidak ada di Benteng Keluarga Tong!” ----------------------- Page 41----------------------- http://zheraf.net “Kau kira nama besar Benteng Keluarga Tong yang selama ini tersohor dalam dunia persilatan sekedar nama kosong belaka?” “Baik, kalau begitu akan kujawab pertanyaanmu itu. Aku belum menemukan kesempatan yang baik untuk turun tangan, percaya tidak?” “Tentu saja aku percaya, Sangkoan Jin bukan manusia sembarangan, tentu saja dia tak akan semudah itu membuka peluang padamu untuk turun tangan.” “Karena itu aku pun perlu memberitahumu bahwa aku masih akan terus mencari kesempatan untuk datang kemari dan membalas dendam.” “Aku harap kau bisa menyatukan dulu seluruh pikiran dan perhatianmu untuk menghadapi pertarungan besar yang akan segera berlangsung. Aku tidak berharap seranganku untuk menghancurkan markas besar Tayhong-tong bisa berlangsung dengan gampang dan empuk seperti memotong tahu.” “Kenapa?” “Bila sesuatu bisa diperoleh dengan mudah, permainan jadi tidak menarik, urusan yang terlalu gampang hanya menandakan ketidakmampuan mu untuk mengolah pasukan yang kau miliki. Bila aku mesti membunuh ayam menggunakan golok penjagal sapi, bukankah perbuatanku jadi terlalu bodoh dan tak bermutu?” “Karena itu kau sengaja melepaskan aku pulang ke markas besar Tayhong-tong?” “Benar!” “Tampaknya kau sangat yakin bisa memenangkan pertarungan ini!” “Bertindak setelah membuat perencanaan matang, meraih pahala setelah melakukan tindakan, itulah prinsip kerjaku, orang she Tong!” “Bagus sekali! Aku suka sekali manusia macam dirimu!” “Yaa, sayang sekali kita tak bisa jadi teman.” “Banyak sekali urusan di dunia ini berjalan jauh dari keinginan orang. Bisa berhadapan denganmu sebagai musuh sudah merupakan kejadian yang luar biasa!” “Betul, seringkah ingin menjadi musuh seseorang pun bukan pekerjaan yang mudah!” “Tapi aku pasti akan selalu mengingat dan merindukan musuh semacam kau!” ----------------------- Page 42----------------------- http://zheraf.net “Apa maksudmu berkata begitu?” tanya Tong Ou cepat. “Itu menandakan bahwa aku pun sama seperti kau, mempunyai keyakinan yang besar untuk memenangkan pertempuran ini. Bila aku berhasil mengalahkan mu, yang tersisa hanyalah kenangan serta rinduku kepadamu.” Tong Ou segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. “Ha ha ha... bagus, bagus sekali!” serunya, “sekarang, bersediakah kau ikut aku pergi ke suatu tempat?” “Ke mana?” “Sebenarnya aku berencana akan mengajakmu menjumpai dia pada malam nanti, tapi sekarang tiba-tiba aku berubah pikiran, kuharap kau bisa berangkat sekarang juga.” “Kau ingin aku pergi menjumpai orang yang kau maksudkan itu sekarang juga?” “Tidak, lebih baik bertemu malam nanti saja.” “Lalu, kenapa harus berangkat sekarang juga?” “Sebab aku ingin kau menunggunya di sana.” “Ooh, jadi kau ingin menahan dan mengurungku lebih dulu?” “Kau tidak berani?” “Kenapa tak berani? Aku hanya menduga, rupanya kau takut aku akan melakukan suatu perbuatan selama waktu penantian ini?” “Benar, aku kuatir kau secara tiba-tiba mendapatkan kesempatan yang baik untuk membunuh Sangkoan Jin dan bila peristiwa seperti itu sampai terjadi, bukankah hal ini akan menjadi kerugian yang teramat besar bagi Benteng Keluarga Tong?” “Kalau begitu mari kita berangkat sekarang juga!” Bab 6. Tong Ou dan Sangkoan Jin Perasaan Tong Ou saat ini gembira sekali, ya, urusan apa yang lebih menggembirakan daripada keberhasilannya mem¬bongkar identitas orang. Dia sama sekali tidak kuatir bahwa tindakannya melepaskan Tio Bu-ki akan mempengaruhi pertempuran yang akan dilakukannya, dia sangat percaya dengan perhitungan serta pengamatannya, dia lebih yakin lagi dengan kemampuan yang dimilikinya. ----------------------- Page 43----------------------- http://zheraf.net Sampai hari ini sudah ada empatpuluh tujuh orang anggota Tayhong-tong yang telah berhasil dibeli olehnya, bila terjadi serbuan besar nanti, dia yakin mereka semua akan melakukan kerjasama yang erat dengan melakukan serangan dari dalam. Selain ku, ditambah pula dengan pengetahuan Sangkoan Jin tentang seluk beluk Tayhong-tong yang sempurna, dia yakin pertempuran kali ini sudah dimenangkan olehnya sejak awal. Yang dilakukannya sekarang seperti kucing yang mempermainkan seekor tikus, membebaskan Bu-ki tak lebih daripada hanya ingin menambah keasyikan serta unsur hiburan dalam pertempuran yang akan dilakukannya nanti. Selain itu, dia pun berjanji di dalam hatinya untuk tidak membunuh Tio Bu-ki dalam pertempuran nanti, sebab Tio Bu-ki telah mempelajari ilmu pedang dan Siau Tang-lo, bagaimana pun juga dia ingin Tio Bu-ki tetap hidup agar bisa diajak bertarung satu lawan satu dengan dia sendiri. Tong Ou bisa membayangkan betapa kalut dan gugupnya pikiran serta perasaan Bu-ki saat ini, terutama setelah berjumpa dengan orang itu nanti malam. Pikiran maupun perasaannya pasti akan semakin kalut dan gelagapan, apalagi jika Tong Ou sengaja menahan orang itu di Benteng Keluarga Tong, dia yakin pikiran dan perasaan Tio Bu-ki pasti sedemikian bingung dan kacaunya hingga tak akan tahu apa yang harus dilakukannya. Perhatian yang terpecah merupakan pantangan paling besar dalam ilmu kemiliteran. Dengan berbekal perasaan riang gembira seperti inilah Tong Ou berjalan menuju ke tempat yang ia janjikan untuk bertemu dengan Sangkoan Jin. Satu belokan lagi ia akan tiba di tempat tujuan, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Satu masalah tiba-tiba melintas dalam benaknya. Sekarang terbukti sudah kalau Li Giok-tong adalah Tio Bu-ki, tetapi mengapa Sangkoan Jin tidak melaporkan penemuan tersebut sejak dulu-dulu? Dia tak percaya Sangkoan Jin tak berhasil mengetahui kalau Li Giok- tong adalah penyamaran dari Tio Bu-ki. Dengan munculnya masalah ini, masalah lain segera muncul pula di dalam benaknya. Siapa yang telah menyuap Wan Sam? Atau siapa yang telah membunuh Wan Sam kemudian membawa berita palsu itu kembali ke Benteng Keluarga Tong? Menurut penuturan Lo-cocong, hanya tiga orang yang tahu kalau mereka mengutus Wan Sam pergi melakukan penyelidikan, ----------------------- Page 44----------------------- http://zheraf.net ketiga orang itu adalah Lo-cocong, Tong Koat serta Sangkoan Jin. Mungkinkah Sangkoan Jin yang melakukan? Mengapa dia harus berbuat begitu? Tong Ou memutuskan akan menyelidiki persoalan ini hingga tuntas dan jelas. Ia pun berdiam sejenak untuk mengatur kembali semua jalan pikiran serta rencananya, kemudian sambil mengulum senyumnya kembali di wajahnya, ia melanjutkan ayunan kakinya berbelok pada tikungan terakhir menuju ke tempat yang dijanjikan. Sangkoan Jin sudah duduk menanti di situ, setelah berbasa- basi sebentar, Tong Ou langsung mengajukan masalah yang dicurigainya secara terang-terangan. “Aku telah berhasil mengetahui identitas Li Giok-tong yang sesungguhnya,” kata Tong Ou kemudian. “Oh ya?” seru Sangkoan Jin dengan perasaan terkejut. “Ya, ternyata dia adalah Tio Bu-ki dari Tayhong-tong!” Hanya sekejap rasa terkejut melintas di wajah Sangkoan Jin, dengan cepat ia berhasil menguasai gejolak hatinya dan dengan sikap yang sangat tenang balik bertanya, “Dia sudah mengaku?” “Sudah, dia sudah mengaku!” “Berarti kau pasti ingin bertanya kepadaku, kenapa aku tidak mengenalinya sejak awal?” sambung Sangkoan Jin cepat. “Ya, masalah itu adalah salah satu pertanyaan yang mengganjal di hatiku.” “Sebenarnya alasannya sederhana sekali. Ada dua alasan, pertama aku ingin membuktikan sejauh mana kemampuan dan kehebatan orang-orang Benteng Keluarga Tong dalam menyelidiki identitas seseorang, aku ingin tahu apakah kalian betul-betul mampu membongkar identitas dia yang sebenarnya.” “Terima kasih kau telah memberikan kesempatan itu kepada kami!” “Kedua adalah alasan pribadiku sendiri, aku ingin tahu sejauh mana kemampuan yang dimiliki Tio Bu-ki, sehingga dia berani menyerempet bahaya dengan jauh memasuki sarang harimau.” “Hasilnya bagaimana? Kau berhasil menemukan sesuatu?” tanya Tong Ou. “Yaa, aku menjumpai banyak perubahan telah terjadi pada diri Tio Bu-ki, dia sudah bertindak lebih hati-hati, serius dan tidak cero¬boh, dia lebih pandai mengendalikan emosi bahkan sewaktu ----------------------- Page 45----------------------- http://zheraf.net bertemu dengan aku pun dia bisa berlagak pura-pura tidak kenal, aku tahu, ia sedang mencari kesempatan untuk turun tangan, ia selalu mengincarku untuk balas dendam. Tentu saja aku tak sudi memberikan kesempatan ini kepadanya.” “Aku telah berjanji untuk membiarkan dia pergi dari sini, menurut pendapatmu, betul tidak tindakanku ini?” “Kau pasti sudah mempunyai keyakinan untuk bisa memenangkan pertempuran kali ini, hingga berani melepaskan dia pergi dari sini.” “Tentu saja, aku selalu percaya diri dan yakin dengan kemampuan yang kumiliki!” “Sekalipun punya keyakinan dan percaya diri, yang lebih penting lagi adalah perencanaan yang lebih teliti dan matang.” “Itulah sebabnya aku datang mencarimu, aku ingin mengajakmu untuk berunding dan meneliti kembali semua rencana yang telah kubuat dalam serbuan besar kita untuk menghancurkan markas besar Tayhong-tong.” “Meskipun markas besar Tayhong-tong sangat banyak, namun kekuatan utama yang sesungguhnya cuma ada empat, selain benteng-benteng milikku, Tio Kian dan Sugong Siau-hong, yang keempat adalah lembah Boanliong-kok (lembah naga melingkar). Sasaran pertamamu akan menyerang yang mana?” “Lembah Boanliong-kok!” “Kenapa kau pilih lembah Boanliong-kok?” “Pertama, letak lembah Boanliong-kok paling dekat dengan lingkaran pengaruh Benteng Keluarga Tong kita, kemungkinan terjadinya bentrokan besar juga sangat besar, maka bila kita berhasil memusna¬kan Boanliong-kok lebih dahulu, berarti radius duaratus li di seputarnya akan menjadi milik kita sehingga bagi pihak kita keadaan itu akan sangat menguntungkan. Jika harus maju terus, kita akan lang¬sung mencapai titik pusat markas besar Tayhong-tong, jika mesti mundur kita langsung tiba di wilayah kekuasaan sendiri, dengan begitu selain punya daya serbu yang besar, kita juga bisa menekan angka pengorbanan serendah mungkin.” “Ehm, sangat masuk di akal, lalu rencanamu kapan kita mulai bergerak?” “Bulan lima tanggal lima, tepat hari peh-cun, ketika orang- orang dalam lembah Boanliong-kok sedang merayakannya, kita serang mereka secara tiba-tiba!” ----------------------- Page 46----------------------- http://zheraf.net “Bagus sekali!” teriak Sangkoan Jin memuji. Tong Ou tertawa bangga, katanya kemudian, “Untuk itulah aku ingin mengetahui lebih jelas seluk-beluk lembah Boanliong-kok!” Maka Sangkoan Jin pun segera menjelaskan semua keadaan dan keletakan tentang Boanliong-kok secara terperinci. Tong Ou manggut-manggut berulang-ulang dengan perasaan puas, sebab ia telah berhasil menyuap tujuh orang dari Boanliong-kok dan laporan yang diberikan ketujuh orang itu ternyata sesuai dengan uraian yang diberikan Sangkoan Jin. Lebih dari itu, uraian yang diberikan Sangkoan Jin jauh lebih luas dan lebih terperinci. Kini Tong Ou semakin percaya bahwa Sangkoan Jin memang sungguh-sungguh ingin bergabung dengan perkumpulannya, karena itu persoalan tentang Wan Sam yang semestinya hendak ia utarakan, akhirnya ia batalkan sebab kecurigaannya telah lenyap. Sangkoan Jin sendiri juga sangat paham dengan situasi yang sedang dihadapinya, dia tahu Tong Ou sengaja menggunakan urusan ini untuk mencoba sejauh mana kesetiaannya terhadap mereka. Tentu saja ia harus memberikan uraian panjang lebar serinci dan selengkap mungkin. Selain itu, sekarang ia sudah memegang sebuah kartu as, dia tahu Benteng Keluarga Tong akan menyerang lembah Boanliong- kok pada bulan lima tanggal lima nanti. Asalkan sebelum serangan dilancarkan ia bisa menyampaikan berita ini ke Boanliong-kok hingga mereka bisa mempersiapkan diri sebaik-baiknya, belum tentu Keluarga Tong bisa meraih kemenangan secara mudah. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana caranya ia menyampaikan berita ini ke Boanliong-kok? Pemimpin Boanliong-kok adalah Si Kiong, dia sahabat karib Sangkoan Jin selama banyak tahun, hanya saja Si Kiong tidak tahu tentang rencana Harimau Kemala Putih. Kalau Si Kiong tahu bahwa berita tentang serangan ini berasal dari Sangkoan Jin, dia pasti tak akan percaya, bahkan mungkin akan mengira pemberitahuan itu sebagai bagian dari suatu rencana kejinya. Selain itu Si Kiong terkenal karena tabiatnya yang berangasan dan gampang naik darah, bila ia memberitahukan rahasia tentang rencana penyerbuan Keluarga Tong kepadanya, Si Kiong pasti tak bisa mengendalikan diri dan pasti akan memberitahu semua orang tentang berita ini. Bila hal ini sampai terjadi, maka ----------------------- Page 47----------------------- http://zheraf.net orang-orang yang telah disuap Keluarga Tong pasti akan ikut mendengar dan melaporkan kejadian ini ke pihak Keluarga Tong, akibatnya Tong Ou pasti akan mencurigainya. Jelas soal ini sangat sulit dan tak gampang diselesaikan. Namun sesulit apa pun masalahnya, Sangkoan Jin merasa perlu untuk menyampaikan berita ini ke tangan pihak Boanliong-kok, dia percaya bahwa dengan kekuatan serta kemampuan yang ada di Boan¬liong-kok, asalkan ada persiapan yang matang sebelumnya, pihak Benteng Keluarga Tong tak akan berhasil meruntuhkan mereka dengan mudah. Malah andaikan mereka punya rencana untuk melancarkan serangan balik pun rasanya tak sulit untuk dilakukan. Tapi... bagaimana peringatan dini ini harus disampaikan ke pihak Boanliong-kok tanpa diketahui oleh orang-orang yang telah disuap Keluarga Tong bahwa si penyampai berita adalah dirinya? Berpikir sampai di situ, tak dapat tidak Sangkoan Jin mengerutkan dahinya sambil termenung. Walaupun perubahan sikap itu hanya berlangsung amat singkat, rupanya Tong Ou telah mengetahuinya. Ia segera menegur, “Tuan Siangkoan, ada masalah apa yang membuatmu risau? Apa kau masih menganggap perencanaan kita kali ini masih kurang sempurna atau kurang meyakinkan?'' Reaksi yang ditunjukkan Sangkoan Jin pun tak kalah cepatnya, “Oh tidak, aku hanya sedikit berkuatir tentang Tio Bu-ki!” “Kenapa harus menguatirkan dia?” “Kau telah memberitahunya tentang rencana penyerbuan kita ke markas besar Tayhong-tong, padahal kau pun membiarkan dia pergi dari sini, jika kemudian secara kebetulan dia menuju ke Boanliong-kok lebih dulu, bukankah pihak lembah Boanliong-kok akan melakukan persiapan lebih dini?” “Kekuatiran tuan Siangkoan memang sangat tepat dan beralasan, hanya saja...” Berbicara sampai di sini, di ujung bibir Tong Ou segera tersungging senyuman bangga. Melihat senyum di wajah Tong Ou, Sangkoan Jin kembali menyela, “Atau mungkin kau sudah mempunyai cara yang jitu untuk menga¬tasi soal ini?” ----------------------- Page 48----------------------- http://zheraf.net “Tepat sekali, malam nanti aku akan memberi sedikit permainan untuk Tio Bu-ki, agar sekeluarnya dari sini, tak mungkin ia akan langsung menuju Boanliong-kok.” “Oh ya? Begitu yakin kau dengan rencanamu?” “Bila kita tahu kekuatan musuh dan tahu kekuatan sendiri, maka tiap pertempuran pasti akan kita menangkan. Aku mempunyai keyakinan seratus persen akan rencana yang akan kulaksanakan.” “Kalau begitu, tak ada salahnya kalau kita minum dulu secawan arak kegembiraan!” kata Sangkoan Jin. “Tepat sekali! Aku percaya kau pasti belum pernah berkunjung ke loteng Pek-hoa-lo (Loteng Seratus Bunga) dari Benteng Keluarga Tong bukan?” “Ya, belum pernah!” “Kalau begitu, malam nanti aku akan mengundang tuan Siangkoan untuk minum secawan arak di loteng Pek-hoa-lo” “Baik!” Tong Ou segera berpamitan, sewaktu pergi dari situ, tiba- tiba sekilas senyum amat licik terlintas di wajahnya. Senyuman itu kebetulan diperlihatkan ketika ia berdiri membelakangi Sangkoan Jin sehingga Sangkoan Jin sama sekali tidak mengetahuinya. Saat ini pikiran dan perhatian Sangkoan Jin sedang tertumpu pada satu persoalan, yaitu bagaimana caranya menyampaikan peringatan dini ke Boanliong-kok. Baru saja dia menjawab pertanyaan Tong Ou dengan mengatakan kekuatirannya atas Bu-ki, dia pun segera berpikir, mengapa tidak menggunakan Bu-ki sebagai tamengnya dengan memberitahukan berita tentang penyerbuan Keluarga Tong ke Boanliong-kok sebagai ulah Bu-ki? Tapi kata-kata selanjutnya dari Tong Ou segera memadamkan niatnya itu. Dia percaya sebelum Bu-ki pergi meninggalkan tempat itu, tak mungkin dia punya kesempatan untuk bertemu sekali lagi dengannya. Lalu, apa yang harus dilakukannya sekarang? Ia berjalan mendekati jendela lalu melemparkan pandangan matanya ke tengah aneka warna bunga yang tumbuh subur di taman, pikiran dan perasaannya saat ini betul-betul sangat kalut. ----------------------- Page 49----------------------- http://zheraf.net Bab 7. Penantian Menanti adalah pekerjaan yang paling membosankan, waktu selalu terasa begitu lambat berlalu, apalagi tempat Bu-ki menanti adalah ruang batu yang keempat penjurunya tertutup rapat. Ketika Tong Ou mengajak Bu-ki ke tempat itu, sesaat setelah berada dalam sebuah lorong yang panjang, sempit dan gelap, ia berkata kepada pemuda itu, “Tempat ini mirip sekali dengan kamar tahanan, kau berani menanti di tempat semacam ini?” Bagi Tio Bu-ki tak ada urusan yang tak berani dia lakukan, dengan pertaruhkan nyawa menyelinap masuk ke dalam Benteng Keluarga Tong saja sudah merupakan satu perbuatan yang sangat berani, kenapa dia mesti takut untuk memasuki sebuah ruang batu yang kecil? Tio Bu-ki segera mendengus, sahutnya sambil tertawa, “Rasanya tak ada yang perlu kutakuti!” “Kau tidak kuatir aku akan mengurungmu di sini?” kembali Tong Ou bertanya. “Sekarang kau sudah berhasil mengetahui identitasku yang sebenarnya, aku rasa bukan satu perkara yang gampang bila aku ingin meninggalkan Benteng Keluarga Tong, sedang kau pun sudah berjanji akan membiarkan aku pergi dari sini, jika sekarang kau benar-benar akan mengurungku di tempat ini, tampaknya aku pun harus menerima kenyataan ini!” “Bagus sekali! Kalau begitu aku perlu memberitahumu bahwa tempat ini adalah tempat rahasia yang biasa dipakai Keluarga Tong untuk merundingkan masalah-masalah penting atau urusan- urusan sangat rahasia, dinding kelilingnya terbuat dari bebatuan cadas yang tebal lagi kuat, tak akan ada orang yang bisa mencuri dengar semua pembicaraan yang sedang berlangsung di tempat ini.” Tong Ou mengajak Bu-ki masuk ke dalam ruang batu itu, di dalamnya terdapat sebuah meja batu dengan enam buah bangku yang juga terbuat dari batu, di atasnya tersedia sebuah teko berisi air teh panas. “Nanti ada orang yang akan mengantar makan malam,” kata Tong Ou lagi, “kira-kira selepas makan malam, orang itu akan muncul di sini untuk bertemu dengan kau. Asal pintu ini kau tutup maka tak ada orang lain yang bisa mengganggu kalian lagi, setelah ----------------------- Page 50----------------------- http://zheraf.net berjumpa nanti, berapa lama pun kalian ingin berbicara silahkan. Hanya ada satu hal yang harus kau ingat, ketika pergi dari sini, kau hanya boleh pergi seorang diri.” “Bagaimana kalau kami pergi berdua?” “Aku telah menurunkan perintah ke seluruh penjuru Benteng Keluarga Tong, selama kau pergi seorang diri, tak seorang pun dari Keluarga Tong akan menghalangi kepergianmu, tapi jika kau pergi berdua maka mereka akan berusaha membunuh kalian berdua dengan cara apa pun.” “Sebetulnya kau ingin menahan siapa?” “Segera kau akan tahu sendiri!” Sekarang, air teh telah habis diminum, sayur, nasi dan arak baru saja dihidangkan, namun Bu-ki merasa seolah-olah telah berada di situ selama tiga hari tiga malam. Dalam penantian itu ia terus berusaha mengendalikan diri untuk tidak menduga-duga siapa yang akan dijumpainya nanti, dia berusaha menyatukan pikiran serta perhatiannya untuk mencari jalan menghadapi rencana keji Tong Ou. Tong Ou sudah berkata terang-terangan kalau mereka akan menyerbu markas besar Tayhong-tong, tapi markas mana yang akan mereka serang duluan? Dengan cara apa mereka akan melancarkan serangannya? Bu-ki sudah memikirkan berbagai cara untuk melakukan perlawanan atas datangnya serbuan, dia juga membayangkan berbagai cara berbeda-beda di tempat yang berbeda-beda pula untuk menghadapi serbuan, tapi kemudian ia menyadari bahwa hal terpenting yang harus dia pikirkan bukanlah cara menanggulangi datangnya serbuan, melainkan markas mana yang akan diserang Tong Ou lebih dahulu? Besok sekeluarnya dari Benteng Keluarga Tong, Bu-ki bisa langsung tiba di lembah Boanliong-kok yang jaraknya paling dekat, tapi dia juga bisa berputar sedikit dan dalam setengah hari ia akan tiba di benteng yang dulu dijaga Sangkoan Jin. Ia sadar, waktu setengah hari itu bisa menjadi waktu kunci yang bisa mengubah sejarah. Jika ia pergi ke Boanliong-kok lebih dulu, sedangkan Tong Ou ternyata menyerang benteng Sangkoan Jin, sedangkan pemimpin benteng Sangkoan Jin itu saat ini adalah Kwik Koan-kun, yang jelas tak akan punya persiapan apa-apa, maka datangnya serangan tiba-tiba itu bisa membuat mereka gelagapan ----------------------- Page 51----------------------- http://zheraf.net dan kalang kabut. Akibatnya benteng Sangkoan Jin kemungkinan besar akan terjatuh ke tangan musuh dengan mudah. Sebaliknya bila Bu-ki pergi ke benteng Sangkoan Jin dulu, sedang Tong Ou ternyata menyerang lembah Boanliong-kok lebih dulu, bukankah akibatnya sama runyamnya? Selain soal itu, masih ada satu hal lagi yang tak kalah pentingnya, yaitu adakah kesempatan bagi Sangkoan Jin untuk mengirimkan peringatan dini ke tempat yang bakal diserang Tong Ou lebih dulu itu? Bukan hanya itu, masih ada satu soal lagi yang menguatirkan Bu-ki saat ini. Ia takut jika orang yang akan dijumpainya malam ini adalah Sangkoan Jin! Dia kuatir Tong Ou telah berhasil mengetahui tujuan sesungguhnya Sangkoan Jin bergabung dengan Benteng Keluarga Tong dan karena itu dia sengaja menyuruh Sangkoan Jin bertemu dengannya di sini. Sesudah itu Tong Ou membiarkan hanya dia pergi seorang diri, sedang Sangkoan Jin tetap ditahan di sini. Kecuali dia, Bu-ki tidak berhasil menemukan orang lain yang cukup berharga bagi Tong Ou untuk tetap ditahan dalam Benteng Keluarga Tong. Pikiran dan perasaan Bu-ki sangat kalut, dia curiga, mungkinkah dia sedang dijadikan permainan Tong Ou, mungkinkah ia cuma salah satu pion permainan orang itu dalam menjalankan rencana besarnya? Mendadak timbul perasaan menyesal dalam hatinya, ia menyesal kenapa dulu terlalu suka bermain hingga tidak rajin berlatih, dia pun menyesal kenapa tidak sejak dulu mempelajari ilmu siasat perang yang ternyata amat berguna di saat-saat seperti ini. Seperti saat ini, Tong Ou membiarkan ia pergi dari situ dengan bebas padahal sudah memberitahunya bahwa mereka akan menyerbu markas besar Tayhong-tong, sikap percaya diri seperti ini menunjuk¬kan bahwa tahu atau tidaknya Bu-ki dalam rencana ini seperti tak ada pengaruhnya. Ini saja sudah cukup membuktikan bahwa ilmu siasat perang Tong Ou jauh di atas kemampuannya. Benteng Keluarga Tong betul-betul merupakan sebuah tempat yang sangat menakutkan, tidak gampang-gampang dihadapi seperti yang disangkanya semula, saat itu barulah ia merasakan betapa hebat dan luar biasa rencana ayahnya yang rela mati demi siasat Harimau Kemala Putih untuk menyusupkan orang ke tubuh lawan. ----------------------- Page 52----------------------- http://zheraf.net Di lain pihak dia pun merasa bahwa pengorbanan ayahnya tidak cukup berharga, sebab Tong Ou terbukti seorang tokoh persilatan yang benar-benar luar biasa, seandainya ia berhasil membongkar tujuan Sangkoan Jin yang sesungguhnya, atau pun jika dia mulai curiga dan tidak mempercayai Sangkoan Jin, bukankah semua pengorbanan serta perencanaan yang cermat itu j adi sia-sia belaka? Daripada berkorban dalam keadaan yang terjepit, bukankah jauh lebih berharga mati dalam pertempuran yang gagah berani hingga titik darah penghabisan? Berpikir sampai di situ, tiba-tiba saja timbul rasa duka yang mendalam di dasar hati Bu-ki. Pada saat itulah ia mendengar ada suara langkah kaki manusia yang sangat ringan berjalan mendekat, dia tahu, orang yang harus dijumpainya akhirnya muncul juga. Walaupun dia hanya menunggu tidak sampai dua jam, namun bagi Bu-ki dua jam itu adalah waktu yang amat panjang. Sepanjang apapun penantian Bu-ki tidak sepanjang yang dirasakan Wi Hong-nio, perempuan itu merasa seakan-akan dunia berhenti berputar, waktu seakan akan merangkak lambat-lambat... Perasaan kalut dan gelisah yang dirasakan Wi Hong-nio tercatat semua dalam buku hariannya. Bulan lima tanggal dua. Kemarin, meskipun aku baru tertidur menjelang datangnya fajar, namun anehnya hingga sekarang aku tidak merasa mengantuk, ketika kupaksakan untuk tidur sejenak, itupun hanya tidur-tidur ayam. Dari kejauhan suara kokok ayam jago mulai terdengar, dalam pendengaranku suara itu sangat memuakkan karena kokok ayam merupakan tanda dimulainya satu hari yang baru, padahal hatiku amat gelisah, aku gelisah dan ingin segera bertemu dengan orang itu. Aku tahu, kemungkinan besar orang itu adalah Bu-ki. Setelah ayam jago berkokok berulang kali, kuputuskan untuk tidak melanjutkan tidurku, aku bangkit dari pembaringan, menuju ke depan meja rias dan mulai bercermin. Aku mulai mencoba berlagak, seandainya orang yang akan kujumpai itu benar-benar Tio Bu-ki, apakah reaksi yang tampil pada wajahku saat itu, aku ingin mengetahui ekspresi mukaku dari balik cermin. Aku berusaha mengendalikan gejolak perasaanku, wajah yang tampil dari balik cermin itu ternyata biasa saja, tidak terlihat ----------------------- Page 53----------------------- http://zheraf.net ada perubahan apapun. Aku berlatih dan berlatih terus sampai kuanggap ekspresi wajahku tak akan berubah walaupun orang yang kujumpai nanti benar-benar adalah Bu-ki, aku baru berhenti berlatih setelah penampilanku benar-benar memperlihatkan ekspresi wajah yang sangat tenang seakan-akan baru saja bertemu dengan orang asing. Ketika Siau Tang-lo mengutus orang untuk mengundangku sarapan, aku tidak menyahut, aku pura-pura masih tidur karena aku masih merasa segan untuk keluar dari kamarku. Tapi sesaat kemudian hatiku mulai menyesal, bagaimana seandainya orang itu muncul disaat sarapan tadi? Buru-buru aku keluar dari kamar dan berlari-lari menuju ke tempat tinggal Siau Tang-lo. Baru saja pintu kuketuk, Siau Tang-lo sudah tahu aku yang datang dan segera menyuruhku masuk. Aku segera bertanya kepadanya, kapan akan mengajakku bertemu dengan orangku?” Dengan nada mengejek Siau Tang-lo segera menjawab, “Coba kau lihat wajahmu, sepertinya kau yakin kalau orang yang akan kau jumpai betul-betul Tio Bu-ki “ Aku tidak menggubris ejekan itu, aku mendesaknya terus, aku ingin tahu kapan aku akan bertemu dengan orangku. JawabSiau Tang-lo, “Barusan Tong Ou telah mengutus orang memberi kabar, dia mengundangku makan siang, tapi hanya mengundangaku seorang.” Aku segera bertanya kenapa begitu, tapi dia sendiripun tidak tahu. Aku meminta dia membuat janji dengan Tong Ou nanti di waktu bertemu makan siang dan dia berkata pasti akan membuat janjiku. Kemudian ia bertanya apakah semalam aku tidur nyenyak, aku menjawabya, dia minta aku tidur cukup agar kesehatan badan terjaga. Terus terang, mana mungkin aku bisa tidur nyenyak dalam suasana seperti ini? Satu siang itu aku hanya duduk di muka jendela, mengenang kembali saat-saat manis ketika masih berkumpul dengan Bu-ki, kadang aku melatih kembali raut wajahku, agar nanti aku tidak menunjukkan perasaan kaget dan terharu. Aku dapat merasakan debaran jantungku yang begitu kencang, aku sadar ternyata aku diliputi ketegangan luar biasa, aku mulai kuatir tak mampu mengendalikan diri kuatir aku tak bisa menahan rasa haruku ketika berjumpa dengannya nanti. ----------------------- Page 54----------------------- http://zheraf.net Aku tak berselera untuk makan siang. Dengan penuh kegelisahan aku menunggu berita dari Siau Tang-lo. Waktu berjalan begku lambat, sepertisiput merangkak, untung saja sepanjang apapun penantian, akhirnya akan tiba juga ujungnya. Siau Tang-lo mengutus orang untuk memberi kabar bahwa Tong Ou menyuruh aku bertemu dengan orang itu malam nanti. Mengapa harus menunggu sampai jam tujuh malam nanti? Kenapa aku harus menunggu lagi? Penantian benar-benar pengalaman yang menyiksa batin. Menunggu tibanya sore hari ternyata jauh lebih lambat daripada menunggu datangnya tengah hari tadi Mulai terbayang kembali sore hari disaat aku akan melakukan upacara pernikahan dengan Bu-ki, sore yang sangat panjang dan amat menakutkan. Mengenang kembali kisah tragis disaat akan melakukan upacara pemikahan dulu, aku mulai kuatir, mulai cemas lagi, apakah penantian yang kulakukan hari ini akan berakhir lagi dengan kisah tragis seperti dulu? Aku betul-betul sangat gelisah, gelisah setengah mati. Dengan susah payah akhirnya senja menjelang juga. Ketika Keluarga Tong mengutus orang untuk mengundangku, hatiku mulai terasa tegang dan berdebar-debar. Pelayanku mengantarku ke sebuah kamar dan menyuruh aku menunggu disitu. Lagi-lagi menunggu! Ada orang datang! Semula kukira orang yang ingin kujumpai telah datang, ternyata orang yang tadi muncul kembali, dia masuk sambil membawa nasi dan hidangan. Ketika kuperiksa, ternyata hanya sebuah mangkok dengan sepasang sumpit. Kenapa hanya satu mangkok? Segera kutanyakan hal ini kepada pelayan itu, tapi dia menjawab tidak tahu, majikannya hanya seperti itu dan menyuruhaku bersantap dalam ruangan. Apa yang akan dilakukan setelah bersantap nanti?Apakah akan mengajakku menjumpai orangitu? Kembali pelayan menjawab tidak tahu. Hatiku jengkel sekali, mendongkol bercampur perasaan cemas, bayangkan saja, mana aku punya selera untuk bersantap dalam keadaan begini? Tapi aku tidak menyuruh pelayan itu membawa pergi nasi dan hidangan, bagaimanapun orang itu hanya ----------------------- Page 55----------------------- http://zheraf.net seorang pelayan, seorang petugas yang menjalankan perintah majikannya, aku tahu tak ada gunanya marah-marah terhadap orang seperti itu, karenanya aku hanya mengucapkan terimakasih dengan nada selembut mungkin. Sayur yang dihidangkan bercorak Sucoan yang harum baunya, saying selera makanku benar-benar telah habis. Dalam ruangan aku hanya bisa berjalan bolak-balik dengan gelisah. Tiba- tiba aku mendengar suara orang bertengkar dari ruangan sebelah. Suara ribut itu mengundang perhatianku, akupun bangku berdiri dan keluar dari ruangan, mendekati ruang sebelah. Tiba didepan jendela, aku mendengar dua orang sedang bertengkar, yang satu, suara yang belum pernah kudengar sebelumnya, sedangkan yang lain pernah kudengar. Mula-mula tak terpikir olehku suara siapakah dia, tapi sejenak kemudian aku mulai ingat, itu suaranya sigendut yang mengaku bernama Tong Koat. Akupun dengan jelas menangkap inti masalah yang sedang diributkan kedua orang itu. Terdengar Tong Koat berkata, “Aku usul, kita serang perkampungan keluarga Tio lebih dulu!” “Kenapa?” tanya orang kedua. “Sebab Tio Kian sudah mampus sedang Tio Bu-ki juga tak ketahuan kabar beritanya, saat ini suasana didalam perkampungan keluarga Tio pasti sangat kalut, jika kita serang perkampungan itu lebih dulu, sudah pasti serangan kita akan berhasil. Jika pertempuran pertama berhasil kita menangi secara gampang, hal ini akan meningkatkan semangat tempur rekan-rekan yang lain.” “Kau anggap kita tak sanggup meraih kemenangan jika menyerang tempat lain? Kau terlalu memandang enteng kekuatan kita.” “Tidak, aku tidak bermaksud begitu, “sahut Tong Koat. “Kalau begitu, aku perlu beritahukan satu hal padamu, tak ada gunanya kita serang perkampungan keluarga Tio!” “Kenapa tidak berguna?” “Perkampungan keluarga Tio merupakan kekuatan yang berada pada garis belakang Tayhong-tong, jika kita serang garis belakang mereka dulu maka akan memberi peluang bagi pos-pos penjagaan mereka yang berada lebih depan untuk membuat persiapan, apalagi perjaknan kita akan semakin jauh, pasukan kita bakal kelelahan sebelum melancarkan serangan.” ----------------------- Page 56----------------------- http://zheraf.net “Lalu kau akan menyerang mana dulu?” “Kita serang dulu pos jaga yang dipimpin Sugong Siau-hong, pertama karena jaraknya dekat, kedua kita paling banyak menyuap orang-orang di sana. Dengan bantuan orang dalam, kita semakin mudah mengalahkan mereka ketimbang harus menyeran gperkampungan keluarga Tio.” Tanya jawab mereka selanjutnya tidak kucatat lagi karena apa yang mereka ributkan hanya tempat mana yang akan diserang dulu. Kemanapun mereka akan menyerang, bagiku merupakan masalah yang penting karena semua tempat yang mereka sebut berada di bawah kekuasaan Tayhong-tong. Ketika pertikaian itu mencapai puncaknya, dengan suara jengkel bercampur dongkol Tong Koat berseru, “Baik, baiklah, kau adalah kakak, aku akan menuruti perkataanmu!” Saat itulah aku baru tahu, ternyata orang yang diajak bertikai itu adalah Tong Ou. Sasaran yang hendak diserbu Tong Ou adalah benteng yang dijaga Sugong Siau-hong, waktunya adalah bulan lima tanggal lima. Sekarang aku sudah mengetahui rahasia mereka, buru-buru aku balik ke kamarku dan Mengambil sumpit pura-pura sedang makan, padahal hatiku berdebaran sangat keras. Untung saja tak ada yang muncul, kalau tidak, wajahku saat itu pasti akan membongkar rahasia bahwa aku mencuri dengar perdebatan mereka. Secara garis besar aku mulai membuat perhitungan, hari ini baru tanggal dua, untuk mencapai wilayah Tayhong-tong dibutuhkan dua hari perjalanan, berarti kalau besok pagi mereka sudah berangkat maka malam tanggal empat sudah tiba di tujuan, berarti tanggal lima sudah dapat mulai melancarkan serangan. Dengan cara apa aku harus menyampaikan peringatan ini kepada paman Sugong? Aku jadi teringat dengan Siau Tang-lo,hanya dia yang bisa dimintai tolong, aku harus segera mencarinya dipenginapan, aku akan minta tolong dia untuk menyampaikan pesan ini kepada paman Sugong. Tapi, maukah Siau Tang-lo mengabulkan permintaanku?Aku rasa pasti mau, asal aku memintanya secara halus dan lembut, dia pasti akan menurut. Buru-buru kuletakkan kembali sumpitku dan siap keluar dari ruangan, tapi sebelum kubuka pintu kamar itu, seseorang telah membuka pintu itu lebih dulu. Aku benar-benar sangat terperanjat, saking kagetnya aku sampai berseru tertahan. ----------------------- Page 57----------------------- http://zheraf.net Orang yang membuka pintu itu segera minta maaf padaku, dia mengatakan seharusnya ia mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk Kucoba mengamati wajahnya, dia adalah seorang lelaki kekar dan tinggi besar, wajahnya amat tampan, garis-gark kegagahan tampak diantara kerutan matanya. Ia memperkenalkan diri sebagai Tong Ou. Sebelum aku membuka suara untuk memperkenalkan diriku, ia sudah berkata dulu, dia tahu bahwa aku adalah istri Tio Bu-ki yang belum dinikahi resmi, WiHong-nio. Dia juga menjelaskan bahwa ia mengundangku kemari bukan karena keinginannya sendiri, tapi atas permintaan Siau Tang-lo. Aku benar-benar berterimakasih kepada Siau Tang-lo, tapi perkataan Tong Ou selanjutnya membuat aku tertegun dan untuk beberapa saat tak tahu apa yang mesti kuucapkan. Dia bilang, sebenarnya Siau Tang-lo ingin memintaku untuk mengenali seseorang, ada seseorang yang tidak jelas identitasnya. Tidak diketahui apakah dia TioBu-ki atau bukan, tapi dia mengatakan bahwa sekarang sudah tak perlu, sebab orang itu sudah mengaku kalau dia adalah Tio Bu-ki. Dengan perasaan gelisah akupun bertanya kepadanya, apa yang telah dia lakukan terhadap Bu-ki? Sambil tertawa ia menjawab bahwa ia tidak berbuat apa-apa, malah akan mengijinkan aku untuk bertemu dengannya. Ai, ucapan itu sungguh mengharukan hatiku, hanya selanjutnya aku berpikir lagi, kenapa ia memberi kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan Bu-ki? Apakah ada rencana busuk di balik semua itu? Tong Ou bertanya kepadaku apakah aku mau bertemu dengan Bu-ki? Tentu saja kujawab mau, kemudian aku bertanya kepadanya, apakah dia mempunyai maksud tertentu dengan membiarkan aku berjumpa Bu-ki? Ternyata ia sangat jujur, dia jawab memang ada tujuannya, dia punya syarat Aku tanya, apa syaratnya? Dia jawab selesai pertemuan nanti, dia hanya membiarkan satu diantara kami berdua yang boleh pergi meninggalkan Benteng Keluarga Tong, mengenai siapa yang tinggal dan siapa yang pergi, kami bisa memutuskan sendiri. Aku segera memahami maksudnya, ia sedang mencari alasan untuk membunuh Bu-ki. Dia tentu mengirasetiap orang pasti ----------------------- Page 58----------------------- http://zheraf.net akan menyayangi nyawa sendiri, kalau satu diantara kami berdua boleh pergi dan keputusan boleh kuputuskan sendiri, siapapun pasti akan memilih diri sendiri. Tapi aku... aku justru tidak! Bila Bu-ki mati dan Tayhong-tong berhasil dibasmi Benteng Keluarga Tong, apa lagi makna kehidupanku selanjutnya? Aku rela mati asal Bu-ki bisa hidup bahagia, melihat Bu-ki senang, akupun akan tenteram, apalagi baru saja aku telah mencuri dengar rencana penyerbuan mereka. Asal aku dapat bertemu dengan Bu-ki rahasia yang kudengar pasti akan kusampaikan kepadanya, kalau dia segera pulang ke Tayhong-tong dan berdampingan dengan paman Sugong melakukan perlawanan, serbuan dari Keluarga Tong pasti bias mereka patahkan. Kalau terbukti bahwa kepergian Bu-ki bisa menuai banyak keuntungan dan kebaikan, kenapa aku tidak memilih dia saja yang pergi dari sini? Maka kepada Tong Ou aku menjawab. Aku yang tetap tinggal di sini! Tong Ou masih mengulang kembali pertanyaan itu beberapa kali apakah aku rela tetap tinggal di sini?Apakah aku rela dengan keputusan itu? Aku jawab, ya, aku rela! Selanjutnya dia berkata akan mengajakku berjumpa dengan Bu-ki. Dia mengajakku keluar dari kamar, belok ke kanan, berjalan duapuluh lima langkah menyusuri lorong, lalu belok ke kiri dan berjalan lagi tujuh belas langkah untuk akhirnya berhenti di depan sebuah gardu peristirahatan ditengah taman bunga. Ia mendekati gardu itu lalu memutar sebuah bangku batu ke kanan dan dari bawah meja batu pelan-pelan muncul sebuah lorong bawah tanah. Dia masuk ke lubang bawah tanah itu lebih dulu, aku mengikutinya di belakang, kami menuruni enam belas buah anak tangga sebelum belok ke kanan, kemudian menyusuri sebuah lorong batu yang panjang sekali, dua belas batang obor menerangi lorong panjangitu. Aku bertanya kepadanya, apakah dia mengurung Bu-ki di tempat ini? Sambil tertawa dia menjawab tidak. Bu-ki sendiri yang rela menunggu di situ, dia menambahkan bahwa tempat ini bukan penjara, melainkan tempat rahasia yang biasa digunakan Keluarga Tong untuk mengadakan rapat rahasia, iapun menjelaskan, ia ----------------------- Page 59----------------------- http://zheraf.net sengaja memilih tempat semacam ini sebagai tempat pertemuan kami lantaran dia tak ingin pembicaraan mesra kami berdua didengar orang lain. Pembicaraan mesra? Kata-kata yang sangat memalukan! Pipiku merona jengah mendengar kata-kata itu. Tong Ou mengajakku berjalan sampai ke ujung lorong itu kemudian belok lagi ke kiri, kembali dua belas batang obor menerangi lorong yang panjang itu, hanya kali ini di ujung lorong terlihat pintu yang sedikit terbuka. Sambil menunjuk ke ruangan di balik pintu itu Tong Ou berkata, “Bu-ki ada di dalam, aku tak enak mengganggu kalian lagi.” Selesai berkata ia memandangku sambil tertawa, kemudian membalik badan dan berlalu dari situ. Aku berdiri mematung memandang pintu ruangan itu, jantungku terasa berdebar semakin kencang, setiap kuayun langkahku, jantungku berdebar makin keras. Ooh Bu-ki! Sebentar lagi aku akan bertemu denganmu! Akhirnya sampai juga aku di muka pintu batu, kudorong pintu itu kuat-kuat, ketika mendorong pintu, tiba-tiba suatu ingatan melintas di benakku, setelah aku masuk nanti, apakahTong Ou akan segera menutup rapat pintu ruangan dan mengurungku bersama Bu- ki untuk selama-lamanya di situ? Pikiran itu hanya sekilas melintas, sebab aku segera memberitahu diriku sendiri, alangkah bahagianya bila aku bersama Bu-ki terkurung untuk selamanya di tempat ini. Akhirya pintu terbuka lebar, semula aku pikir aku akan pingsan karena terkejut, tapi kenyataannya aku masiht etap tenang, tenang sekali perasaanku. Aku telah melihat Bu-ki, mula-mula aku melihat sepasang matanya, aku pun dapat menangkap ia tampak tertegun sewaktu pandangan pertama melihat kemunculanku, menyusul kemudian sinar kegembiraan memancar dari wajahnya, ini menandakan kalau dia tak tahu kalau akulah yang akan muncul disitu. Mengapa Tong Ou tidak memberitahunya? Apakah dia ingin membuat kejutan baginya? Aku tidak berpikir lebih lanjut, sebab kulihat Bu-ki telah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiriku, dia menjulurkan tangannya, akupun mengulurkan tanganku. Ketika akhirnya tangan kami saling bersentuhan, aku merasakan tubuhku menggigil keras, menggigil saking gembiranya. Ooh, aku merasa betapa bahagia saat itu! Bu-ki menggenggam tanganku erat-erat, ia menarikku hingga menempel ----------------------- Page 60----------------------- http://zheraf.net dengan tubuhnya, lalu mengawasi wajahku tanpa berkedip, tatapan itu membuat wajahku semakin merah jengah. Setelah itu dia baru berkata, “Kau tambah kurus!” “Kau juga,” kataku. Ia tertawa ringan dan menggandengku untuk duduk di bangku, kemudian ia duduk di hadapanku dan menuangkan secawan arak untukku. Sambil mengangkat cawan, dia memandangi terus wajahku tanpa berkedip. Akupun mengangkat cawan itu dan mereguknya dalam satu tegukan, andai saja arak ini arak pertukaran dalam upacara perkawinan, oh, alangkah senangnya hatiku! Bu-ki masih mengawasi terus wajahku seperti orang bodoh, sampai lama kemudian ia baru bertanya kepadaku, “Mengapa kau datang ke Benteng Keluarga Tong?” Dengan ringkas aku menceritakan perjalananku, kemudian ia juga mengisahkan apa yang di alaminya selama ini. Saat itulah aku baru teringat akan urusan yang lebih penting, aku segera menceritakan kalau aku telah mencuri dengar pertikaian antara Tong Koat dengan Tong Ou, aku juga bercerita bahwa Tong Ou berpesan kepadaku, hanya satu di antara kita berdua yang boleh meninggalkan BentengKeluarga Tong. Bu-ki tampak termenung dan berpikir cukup lama setelah mendengar penuturanku itu, aku tahu sedang terjadi perang batin dalam hatinya, ia pasti amat sedih dan menderita. Aku mencoba menghiburnya, kubilang aku tak akan apa-apa dalam Benteng Keluarga Tong, dengan nama besar serta reputasi Keluarga Tong dalam dunia persilatan selama ini, mustahil mereka akan menganiaya seorang gadis lemah macam aku. Bu-ki berkata bahwa apa yang kuucapkan memang masuk di akal, tapi ia tetap berkuatir. Kutanya, apa yang dia kuatirkan? Dia berkata ia takut pihak Keluarga Tong akan menggunakan aku sebagai sandera, seandainyapihak Tayhong- tongberhasil mengalahkan Keluarga Tong, mereka bisa menggunakan kau untuk menekan mereka agar menyerah. Dengan tegas aku berjanji kepada Bu-ki, “Kau tidak usah kuatir, bila mereka benar-benar memakai aku sebagai sandera untuk memaksakan kehendaknya, mintalah kepada mereka untuk bertemu lebih dulu denganku, kemudian aku baru akan mengambil keputusan.” Bu-ki bertanya, mengapa begitu? ----------------------- Page 61----------------------- http://zheraf.net Jawabku, “Bila tiba saatnya, demi Tayhong-tong dan demi kau, aku rela mengorbankan diriku sendiri, aku tak akan membiarkan orang Keluarga Tong meraih keuntungan dariku sehingga dengan begitu, kau bisa memusatkan seluruh pikiran dan perhatianmu untuk menang dalam pertempuran. Kau tak perlu menguatirkan diriku lagi!” Bu-ki tidak berbicara lagi, tapi aku dapat menangkap sinar kepedihan dan kedukaan yang terpancar dari matanya, i meneguk araknya secawan demi secawan.... Aku tidak berusaha menghalanginya, hanya ketika ia menghabiskan cawan arak yang ketiga, barulah aku berkata, “Jangan lupa, kau masih perlu menyampaikan peringatan dini kepada paman Sugong!” Dia segera meletakkan kembali cawan araknya dan sinar mata penuh rasa terima kasih. Aku tertawa kepadanya, aku percaya tertawaku saat itu pasti mengandung kegetiran yang mendalam. Tak tertahan, akupun menyambar cawan arakku dan meneguk habis isinya, tiba-tiba aku ingat, mungkin malam ini akan menjadi malam terakhirku berkumpul bersama Bu-ki. Tampaknya Bu-ki juga terbawa perasaanku, kembali dia meraih teko arak dan memenuhi cawannya. Aku sadar, aku tak boleh terus memperlihatkan duka dan penderitaanku, aku harus menggunakan sikap tegar dan teguh menghadapi Bu-ki, agar ia tenang, agar dia tak usah menguatirkan aku. Baru dengan begitu ia bisa memusatkan seluruh pikiran dan perhatiannya untuk melawan serbuan Benteng Keluarga Tong. Maka aku segera tertawa, aku berusaha mengingatkan kenangan lama saat kita sedang bergembira dahulu untuk mengajaknya bicara. Mula-mula dia agak tertegun, tapi tak lama kemudian diapun seperti aku, hanyut dalam kenangan lama yang penuh keceriaan dan kegembiraan. Sayang, betapapun riang dan gembiranya suasana, pada akhirnya harus disudahi juga. Apalagi saat itu, ketika selesai membicarakan kenangan gembira, duka dan sedih muncul kembali. Sungguh, begitu kami berhenti berbicara, suasana diruangan itu langsung tenggelam kembali dalam suasana duka yang mendalam. Aku sudah tak tahu lagi yang harus kuperbuat, aku juga tak tahu bagaimana harus bersikap agar Bu-ki tetap gembira dan bersemangat. Aku mencoba mengamati wajah Bu-ki, tampaknya diapun punya pikiran dan perasaan yang sama seperti aku, dia ----------------------- Page 62----------------------- http://zheraf.net seperti ingin mencari bahan pembicaraan yang menggembirakan untuk menghibur hatiku. Pada saat itulah api yang menerangi ruangan tiba-tiba padam, suasana dalam ruangan jadi gelap-gulita, padamnya api obor melipatgandakan sendu dan duka dalam hati kami berdua. Aku berbisik pada Bu-ki, “Api telah padam, berarti fajar segera akan menyingsing, hari yang baru segera akan muncul” Bu-ki tidak berkata-kata, dia hanya mengangguk, mengiakan. Aku tak tahan untuk tidak meninggikan nada suaraku, kataku kepada Bu-ki, “Apa kau tak menyadari ini menandakan apa?” Bu-ki memandangku bingung agaknya dia belum memahami maksudku. “Artinya kau harus mempercepat langkahmu untuk segera kembali ke Tayhong-tong, mengerti?” Bu-ki segera bangkit berdiri, tapi sesaat kemudian ia duduk kembali, bisiknya, “Ini berarti kita harus berpisah!” A irmataku nyaris meleleh keluar, tapi aku berusaha sekuatnya agar tidak menetes, dengan nada menghibur aku berkata, “Asal ada jodoh, aku percaya kita pasti akan berkumpul kembali “ Aku tahu, nada suaraku saat itu pasti tak lancar, aku tak tahu bagaimana perasaan Bu-ki saat itu, sebab dia sudah bangkit berdiri dan berkata kepadaku sambil membelakangi tubuhku, “Kau harus baik-baik menjaga diri.” Tanpa berpaling lagi ia melangkah mendekati pintu ruangan, langkah kakinya begitu kuat dan mantap. Begitulah, dengan langkah tegap dan tak pemah menoleh lagi dia berjalan keluar, keluar dari pandanganku. Dalam hati aku menjerit, hampir-hampir saja keluar dari tenggorokanku, tapi aku tahu aku tak boleh berteriak, sekali aku bersuara dia pasti akan berpaling dan bila ia berpaling raut wajahku yang teramats edih tentu akan terlihat olehnya, akibat selanjutnya aku tak berani membayangkannya.... Tapi... apakah dia akan pergi begitu saja? Apakah dia akan berjalan keluar dari hidupku untuk seterusnya? Sesuatu yang panas tiba-tiba menggumpal dalam hatiku, sesuatu yang menyakitkan. Air mataku tak terbendung lagi, kucuran air mata segera membasahi seluruh wajahku. ----------------------- Page 63----------------------- http://zheraf.net Aku tengkurap di atas meja dan menangis tersedu-sedu... entah berapa lama aku menangis, sewaktu membuka kembali mataku, aku melihat ada sepasang kaki berdiri tak jauh dari hadapanku. Mula-mula aku merasa kegirangan, ooh, Bu-ki, ternyata kau tak rela meninggalkan aku, tapi hanyas ebentar, rasa girang itu segera lenyap kembali, sebab aku berpendapat Bu-ki tak mungkin balik lagi, tak mungkin ia mengorbankan kepentingan Tayhong-tong hanya karena urusan cinta. Sewaktu aku menengadah, untunglah... ternyata dia bukan Bu-ki, dia TongOu! Tong Ou berdiri dengan wajah kikuk, dia seperti ingin tertawa padaku, tapi melihat raut mukaku saat itu, mana mungkin ia bisa tertawa? Kalau tidak tertawapun rasanya salah, karena kurang menunjukkans antun, maka raut mukanya waktu itu lucu sekali. Akhirnya dengan nada rikuh dia berkata, “Ayoh, kuantarkau pulang.” Aku mengerti, yang dimaksud pulang adalah balik ke rumah penginapan, bukan meninggalkan Benteng Keluarga Tong, dia memang merasa perlu untuk menahanku, agar di kemudian hari ia bisa memperalat aku untuk kepentingannya. Aku mengikut di belakangnya keluar dari ruang batu itu, ketika muncul di atas gardu taman, aku barut ahu, ternyata hari sudah terang. Ketika hampir tiba di rumah penginapan, tiba-tiba aku teringat pada Siau Tang-lo. Dengan ilmu silat yang dimiliki Siau Tang-lo, mungkinkah baginya untuk mengungguli Tong Ou?Aku percaya seandainya Siau Tang-lo tidak mengandalkan tongkat penyangga untuk berdiri, ia pasti dapat mengalahkan Tong Ou. Tapi sekarang ia butuh tongkat penyangga untuk menopang tubuhnya, aku tak yakin dia bisa menang. Bagiku, menang atau kalah bukan persoalan, yang kubutuhkan hanya membawaku keluar dari sini dengan selamat. Berpikir sampai di situ, tanpa terasa muncul harapan baru di hatiku, rasa sedihku segera banyak berkurang, bahkan sedikit rasa gembira mulai muncul dalam hatiku. Tong Ou berhenti didepan pintu setelah membukakan pintu kamar, katanya kemudian, “Cepat kau benahi semua barang- barangmu.” Aku bertanya buat apa? ----------------------- Page 64----------------------- http://zheraf.net Dia menjawab, “Siau Tang-lo sudah pergi, kami akan menyediakan kamar yang lebih besar dan lebih nyaman untuk kau tinggali “ Aku berdiri termangu-mangu seperti orang bodoh, lama sekali aku diam, ternyata Siau Tang-lo telah pergi. Kini semua harapanku musnah sudah,tak ada setitikpun harapan lagi bagiku untuk pergi meninggalkant empat ini. Dengan perasaan tertahan aku bertanya kepada Tong Ou, kapankah Siau Tang-lo pergi? Kata Tong Ou, dia sudah pergi sebelum fajar menyingsing, katanya mau mencari siMayat Hidup untuk membantunya melancarkan peredaran jalan darahnya. Mengapa ia pergi tanpa pamit? Menurut Tong Ou karena ia tak berhasil menemukan aku. Kenapa bisa tak berhasil menemukan aku? Kata Tong Ou, “Sebab aku memberitahunya, kau sudah pergi meninggalkan BentengKeluarga Tong bersama Bu-ki “ Dengan murka aku menegurnya, “Kenapa kau membohonginya?” Jawab Tong Ou, “Bukankah lebih bagus begini? Agar dia bisa mematikan perasaannya. Memangnya kau rela mengikut dia?” Aku tidak berkata-kata lagi, semua yang dikatakan Tong Ou memang benar, buat apa aku harus menyiksa perasaan Siau Tang- lo? Perasaan dan tubuhku hanya kuberikan untuk Bu-ki seorang, kenapa aku harus terus memperrnainkan perasaan Siau Tang-lo? Tiba-tiba saja perasaan tersinggung, dengan nada garang aku berkata, “Aku suka ada orang mendampingiku, apa tidak boleh?” Tong Ou segera tertawa bergelak mendengar ucapanku itu, sahutannya ternyata sama sekali di luar dugaanku, dia bilang, “Bagus sekali kalau begitu, aku malah kuatir kau tak senang bila ada yang mendampingimu!” Dengan bingung dan tak habis mengerti aku menengok ke arahnya, kembali dia berkata, “Sejujumya, bukan aku yang meminta kau pindah ke dalam taman.” Lalu keinginan siapa? Keinginan Lo-cocong si Nenek Moyang? Kata TongOu, “Bukan sepenuhnya keinginan Lo-cocong, Tong Hoa yang memohon kepada Lo-cocong untuk ini “ Tong Hoa? Siapa Tong Hoa? ----------------------- Page 65----------------------- http://zheraf.net “Tong Hoa adalah adik misanku,” kata Tong Ou, “karena dia suka main perempuan di sana-sini maka ia jarang sekali berkelana di dunia persilatan, jadi kau pasti belum pernah mendengar namanya. Beberapa hari yang lalu secara tak sengaja, ia melihat lukisan wajahmu. Ia terpesona kecantikanmu dan sejak itu dia selalu merecoki kami untuk menemukanmu. Kebetulan kau berkunjung kemari sehingga begitu tahu, ia segera memohon kepada Lo-oocong untuk menahanmu.” Sekarang aku baru tahu mengapa mereka memaksa menahanku disini. Aku paham, aku betul-betul sangat paham, kenapa aku selalu sial? Tanpa banyak bicara aku segera mengemasi seluruh barang bawaanku dan ikut Tong Ou menuju ke taman bunga, kali ini dia mengajak aku masuk ke dalam sebuah kamar tidur yang sangat indah dengan perabot yang mewah. Dia menyuruh aku beristirahat, katanya sebentar lagi Tong Hoa akan datang menjumpaiku. Menggunakan kesempatan ini buru- buru kucatat semua kejadian yang kualami ke dalam buku harian, siapa tahu sebentar lagi akan terjadi banyak peristiwa lagi? Bab 8. Menentukan Pilihan Tiap manusia pada suatu saat akan menghadapi perasaan bimbang. Sebenarnya bimbang bukan sesuatu yang menakutkan, yang paling menakutkan justru tidak menentukan pilihan di saat bimbang, sebab sekali kau telah mengambil keputusan, perasaan bimbang akan lenyap dengan sendirinya, tinggal kau laksanakan apa yang telah kau putuskan itu Bu-ki juga manusia, tentu ada saat baginya untuk merasa bimbang, apalagi berada di depan simpang tiga, perasaan bimbang semakin mencekam perasaan hatinya. Jalan mana yang harus ia pilih? Kalau belok ke kiri, dia akan tiba di Benteng Sangkoan Jin yang saat ini dijaga oleh Kwik Koan-kun. Jika belok ke kanan, dia akan sampai di lembah Boanliong- kok yang dijaga oleh Si Kiong. Sebaliknya jika ia berjalan lurus akan tiba di benteng yang dijaga Sugong Siau-hong. Kalau menurut aturan, seharusnya Bu-ki berjalan lurus, tapi yang dimaksud menurut aturan itu aturan siapa? Apakah aturan yang dibuat lantaran Wi ----------------------- Page 66----------------------- http://zheraf.net Hong-nio sempat mencuri dengar perdebatan dua bersaudara Tong? Tepatkah berita hasil mencuri dengar itu? Tidak mungkinkah hanya sebuah jebakan? Yang harus ditebak Bu-ki saat itu sebenarnya adalah masalah Tong Ou mau menyerang mana? Kalau berdasarkan jarak, maka lembah Boanliong-kok adalah tempat terdekat, menurut aturan mestinya Tong Ou menyerang lembah itu lebih dulu, apalagi Bu-ki sudah meninggalkan Benteng Keluarga Tong dan Keluarga Tong tampaknya sama sekali belum melakukan persiapan untuk melancarkan serangan. Jika Tong Ou ingin menyerang tempat yang lebih jauh mestinya mereka sudah berangkat jauh sebelum keberangkatan Bu-ki. Tentu saja bisa jadi Tong Ou sudah melakukan persiapan jauh hari sebelumnya atau mungkin Keluarga Tong tak usah mengirim pasukannya karena di luar sudah ada banyak pasukan yang siap melakukan penyerangan. Sebenarnya Bu-ki sama sekali tidak percaya pada Tong Ou. Mustahil ada orang yang mau melepaskan musuhnya baru kemudian melancarkan serangan, apalagi ada kejadian yang begitu kebetulan ketika Wi Hong-nio sempat mencuri dengar berita penyerangan terhadap Tayhong-tong. Mana mungkin merundingkan masalah serahasia itu secara begitu gegabah hingga kedengaran orang luar? Kemungkinan besar berita penyerangan itu hanya berita palsu, berita itu hanya umpan agar Bu-ki masuk perangkap. Bu-ki mengambil keputusan untuk tidak pergi ke benteng Tayhong-tong. Haruskah dia pergi ke lembah Boanliong-kok? Ia merasa tempat ini yang paling mungkin diserang lebih dulu. Bu-ki sudah menarik tali kudanya untuk belok ke kanan, tapi baru berjalan berapa langkah tiba-tiba ia berhenti, ia ingat akan Sangkoan Jin. Ke arah mana pun Tong Ou melancarkan serangan, Sangkoan Jin pasti akan mendampinginya, dia pasti berusaha untuk mengirim kabar tempat yang akan diserang supaya pihak Tayhong- tong bersiap-siap, betapapun sulitnya, dia percaya Sangkoan Jin pasti akan berusaha mengirim peringatan. Selain itu masih ada satu hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu seandainya Sangkoan Jin berhasil mengirim peringatan dini hingga serangan yang dilancarkan Tong Ou mendapat perlawanan sengit atau bahkan gagal total, sudah pasti Tong Ou akan mencurigai Sangkoan Jin sebagai pembocor berita ----------------------- Page 67----------------------- http://zheraf.net karena tidak ada orang lain lagi yang tahu sasaran penyerangannya. Atau seandainya berita itu diketahui orang-orang Tayhong-tong yang telah disuap Tong Ou, mereka pasti akan melaporkan kejadian itu sehingga Tong Ou tahu bahwa Sangkoan Jin yang membocorkan rahasia. Sesudah dipikir pikir lagi, akhirnya Bu-ki memutuskan untuk tidak pergi ke mana pun, dia memilih untuk melenyapkan diri saja agar orang-orang Keluarga Tong tidak tahu ke mana perginya, dengan demikian seandainya berita serbuan itu bocor, Tong Ou akan mencurigai dia sebagai pembocor rahasia itu. Tong Ou pasti akan menduga dialah yang menyampaikan peringatan dini itu hingga pihak Tayhong-tong sempat melakukan persiapan. Jika dirinya yang dicurigai, dengan sendirinya Sangkoan Jin akan terhindar dari kecurigaan. Tapi... bagaimana seandainya Sangkoan Jin tidak mengirim peringatan dini? Bu-ki tidak menguatirkan hal ini, sebab dia tahu pertempuran ini adalah pertempuran besar yang akan menentukan mati hidupnya Tayhong-tong dan Keluarga Tong, tak mungkin Sangkoan Jin hanya berpeluk tangan belaka. Diputuskannya untuk tidak pergi ke mana pun, ia memeriksa bekalnya dan tahu ia masih bisa bertahan lima hari, maka ia pun turun dari kudanya, lalu sambil menuntun kudanya ia menuju ke atas bukit. Ooo)))(((ooo Bagi Sangkoan Jin, ada saatnya juga ia merasa bimbang bercampur kuatir, tapi perasaan itu hanya sebentar saja, dengan kecerdasan serta pengalamannya selama ini, dengan cepat ia dapat mengendalikan diri serta segera mengambil keputusan. Tadinya ia merasa bimbang, haruskah ia mengirim peringatan dini kepada Si Kiong yang berada di Boanliong-kok? Hanya sejenak dan ia mengambil keputusan. Sewaktu berbicara dengan Tong Ou tadi, waktu sudah menunjukkan menjelang sore hari dan pembicaraan baru selesai setelah jatuhnya senja. Waktu itu matahari sudah condong ke langit barat ketika ia meninggalkan tempat tinggalnya menuju ke tengah kota. Tiba di sebuah warung makan, ia pun segera mengambil tempat duduk. Di warung itu ada enam buah meja dan saat itu tepat ----------------------- Page 68----------------------- http://zheraf.net waktu makan malam, tak heran kalau semua meja sudah ditempati orang. Tempat duduknya pun baru saja dipakai orang. Ia memesan semangkok mie dan daging sapi, angsio daging sapi yang pedas sekali hingga saking pedasnya, sambil makan tak hentinya ia mengusap keringat yang jatuh bercucuran. Dia makan dengan sangat lambat, setiap utas mie seakan-akan harus dikunyah sampai lumat baru ditelan, oleh karena itu sewaktu ia selesai menghabiskan mienya, tamu-tamu lain sudah bubar. Di antara tamu yang baru datang, hanya satu yang kebetulan duduk semeja dengannya. Tamu yang baru datang itu memakai baju berwarna abu- abu, wajahnya penuh cambang, tampang yang kasar. Cara makannya pun kasar sekali, mie semangkok besar dilahapnya sambil mengeluarkan suara berkecipak yang keras. Sangkoan Jin sudah bangkit berdiri siap membayar rekeningnya ketika melihat cara makan orang berbaju abu-abu itu. Dia memandang sekejap ke arah tauke warung lalu sambil tertawa menggeleng kepalanya berulang- ulang baru kemudian ia mengeluarkan uang dan dibayarkan ke pemilik warung. Tiba-tiba terdengar orang berbaju abu-abu itu berteriak keras, “Aduh, celaka!” Tanpa sadar Sangkoan Jin dan pemilik warung berpaling ke arahnya. Tampak orang berbaju abu-abu itu sedang meraba-raba sekujur tubuhnya berulang kali, lalu teriaknya lagi, “Aduh celaka, aku lupa membawa uang!” “Tampaknya kau datang dari tempat jauh ya?” tegur Sangkoan Jin sambil tertawa. “Benar!” sahut orang berbaju abu-abu itu, “aku pedagang kain baru datang kemari dan tinggal di penginapan Ya-lay. Tauke, bagaimana kalau aku balik dulu ke rumah penginapan untuk mengambil uang?” Sebelum pemilik warung bakmi itu menjawab, Sangkoan Jin telah berkata duluan, “Tidak usah, biar aku saja yang bayarkan!” Kembali ia mengeluarkan sekeping uang dan diserahkan kepada pemilik warung itu. Kemudian sambil menghampiri orang berbaju abu-abu itu, katanya, “Aku rasa kau tak usah buru-buru kembali ke rumah penginapan, hari Peh-cun hampir tiba, suasana di kota ramai sekali, ----------------------- Page 69----------------------- http://zheraf.net ini ambillah uangku untuk digunakan dulu, besok baru kau kembalikan kepadaku, atau kau bisa serahkan uangnya kepada tauke ini, aku sering datang kemari!” Kembali dia mengambil sekeping goanpo dan dilemparkan ke tangan orang berbaju abu-abu itu, lalu setelah tersenyum kepada pemilik warung, ia pergi meninggalkan tempat itu. “Orang itu baik sekali,” puji orang berbaju abu-abu itu sambil memegang goanpo pemberiannya, “'tauke, apa dia adalah orang paling kaya di kota ini?” “Oh bukan,” jawab pemilik warung mie, “dia adalah tamu kehormatan dari Benteng Keluarga Tong, dia punya nama besar yang amat tersohor, lebih baik tak usah kusebutkan daripada nanti setelah mendengar kau jatuh pingsan.” “Baiklah,” kata orang berbaju abu-abu itu sambil mengangguk, “tidak tahu namanya juga tak mengapa, paling banter besok aku ganti mentraktirnya makan.” “Besok belum tentu dia datang kemari.” “Tidak apa-apa, aku akan meninggalkan uang lebih di tempatmu.” “Terserah...” Sambil menyimpan goanpo pemberian itu, kembali orang berbaju abu-abu itu berkata, “Tauke, sekarang aku mau mencari pipi licin dulu, sampai ketemu besok, melihat nasibmu yang lagi mujur, besok aku pasti akan kemari lagi untuk makan sampai kenyang.” Habis berkata ia segera meninggalkan warung makan menuju ke keramaian kota. Ia berjalan lurus ke depan tanpa berpaling, padahal ia tahu ada orang sedang membuntutinya. Sejak ia duduk di warung sambil makan mie tadi ia sudah merasa ada seseorang mengawasi gerak-geriknya. Orang-orang Keluarga Tong memang selalu menaruh perhatian khusus terhadap setiap orang asing yang muncul di kota itu. Sejak awal orang berbaju abu-abu itu sudah mengetahui hal ini, ia justru merasa kuatir jika tidak ada yang mengikuti. Ia sengaja menuju ke rumah pelacuran yang paling ternama di kota itu, Li-cun-wan, lalu memanggil beberapa orang nona untuk menemaninya minum arak. Setelah lewat satu jam ia baru balik ke rumah penginapan. Setelah berada di kamarnya, barulah ia mengeluarkan beberapa keping perak hancur serta berapa biji goanpoo. ----------------------- Page 70----------------------- http://zheraf.net Ternyata ia membawa uang! Dia keluarkan goanpo pemberian Sangkoan Jin tadi, lalu mematahkan goanpo itu pada kedua ujungnya. Ketika goanpo itu patah menjadi dua bagian, dari dalam patahan itu muncul selembar kertas yang tipis sekali. Setelah mengeluarkan kertas tipis itu, tanpa diperiksa lagi isinya dia mengeluarkan sebuah peti dari dalam buntalannya dan ketika peti selebar satu kaki itu dibuka, tampaklah sebuah kurungan bambu kecil, kurungan bambu itu berisi tiga ekor burung merpati. Saat itulah kertas tadi dibukanya, ternyata gulungan kertas itu terbagi jadi tiga bagian yang dilipat jadi satu. Orang berbaju abu-abu itu tidak melihat isi surat itu, ia membagi surat itu jadi tiga kemudian mengikatkan pada kaki ketiga ekor burung merpati itu. Itulah tugas orang itu, ia sangat ahli dalam melatih burung merpati yang bisa terbang di waktu malam. Sejak rencana Harimau Kemala Putih dilaksanakan, ia selalu muncul dengan identitas yang berbeda-beda, sepuluh hari sekali dia muncul di situ. Tiap kali pasti makan mie disitu sambil menunggu berita dan sekarang ini adalah pertama kali ia menerima berita. Orang ini she Gi bernama Pek-bin (Seratus Wajah) dan sangat mahir berganti wajah, dia sahabat sehidup semati Sangkoan Jin, sejak awal tahun ia mendapat pesan dari sahabat karibnya itu untuk membawa burung-burung merpati yang bisa terbang langsung ke Boanliong-kok, benteng Hong-po serta benteng Sangkoan Jin ke dalam Benteng Keluarga Tong. Selesai mengikat ketiga helai kertas itu di kaki masing- masing burung merpati, Gi Pek-bin memasukkan burung-burung itu ke dalam sakunya lalu berjalan keluar dari dalam kamar langsung menuju ke warung mie. Begitu bertemu dengan pemilik warung mie, Gi Pek-bin menyerahkan uangnya dan kemudian berkata, “Tolong sampaikan uang ini kepada tuan yang telah membayari aku kemarin.” “Dikembalikan besok juga tidak apa-apa,” sahut si penjual mie sambil tertawa lebar, “kenapa mesti repot-repot kemari sekarang? Besok saja datang lagi!” “Besok tidak bisa, karena pagi-pagi aku sudah pergi.” “Oh, tidak tinggal beberapa hari lagi?” Setelah memeriksa uang yang diterimanya, ia berkata lagi, “Uangmu ini terlalu banyak...” ----------------------- Page 71----------------------- http://zheraf.net “Sisanya untukmu, anggap saja sebagai uang lelah!” Pemilik warung itu gembira setengah mati, serunya, “Terima kasih banyak atas pemberianmu, bagaimana kalau kau cicipi dulu nasi gorengku? Tanggung kau akan ketagihan!” “Baiklah!” Selesai menghabiskan sepiring nasi goreng, Gi Pek-bin meninggalkan warung bakmi itu dengan riang, dia gembira karena ternyata orang yang menguntitnya sudah tidak kelihatan lagi dan ia tahu sebabnya. Pemilik warung makan itu adalah mata-mata Keluarga Tong yang khusus ditugaskan untuk mengawasi tamu-tamu asing. Yang tidak diketahuinya adalah dengan cara apa tauke bakmi itu menyampaikan beritanya kepada si penguntit hingga orang itu tidak mengikutinya lagi. Kalau seorang tamu sudah memutuskan akan pergi dari kota itu esok pagi, memang tak ada alasan untuk menguntitnya lagi. Apalagi penampilan Gi Pek-bin begitu sempurna, tak ada gerak-gerik yang patut dicurigai. Dengan langkah santai ia berjalan kembali ke rumah penginapan, sepanjang jalan dia mencoba memeriksa sekelilingnya, apakah masih ada yang menguntitnya atau tidak. Ketika yakin di sekelilingnya tidak ada orang, dari dalam sakunya segera ia keluarkan ketiga ekor burung merpati itu. Merpati-merpati itu memang sudah dilatih secara khusus sehingga selama berada dalam sakunya, burung-burung itu sama sekali tak bersuara, bergerak pun tidak. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun ia melepas ketiga ekor burung merpati itu, burung- burung itu tak bersuara karena mereka dilemparkan ke tengah udara. Untuk meyakinkan bahwa burung-burungnya telah pergi, Gi Pek-bin memasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat. Setelah yakin burung-burung itu terbang tinggi, dengan senyuman puas ia meneruskan langkahnya kembali ke rumah penginapan. Ooo)))(((ooo Tong Ou biasanya selalu berpenampilan tenang, tapi saat ini mulai nampak gelisah, ia berjalan bolak-balik dalam kamarnya tanpa mengerti apa yang harus diperbuatnya, ia benar-benar sangat ----------------------- Page 72----------------------- http://zheraf.net gelisah. Dia patut gelisah, karena secara tiba-tiba rencana besarnya mengalami perubahan yang sama sekali di luar dugaan. Perubahan di luar dugaan ini ditimbulkan oleh Tio Bu-ki. Sore tadi, menurut laporan mata-mata yang sampai di tangannya, mereka tidak berhasil menemukan jejak Tio Bu-ki di sepanjang perjalanan menuju ke lembah Boanliong-kok. Waktu menerima laporan itu Tong Ou masih berbesar hati, karena dia beranggapan bahwa kemungkinan besar Tio Bu-ki akan masuk perangkap dengan langsung menuju ke benteng Hong-po. Tapi sesaat kemudian, laporan dari mata-mata yang lain diterimanya, ternyata sepanjang jalan menuju ke benteng Hong-po pun tidak ditemukan jejak Tio Bu-ki. Menurut perkiraan Tong Ou, dengan menggunakan Wi Hong-nio sebagai umpan, kemungkinan besar Tio Bu-ki akan terjebak, sebab berita yang disampaikan oleh Wi Hong-nio pada mulanya pasti sulit dipercayai pemuda itu. Tapi setelah dia mengembangkan perhitungannya, pemuda itu pasti menduga bahwa berdasarkan keli¬cikan Keluarga Tong, maka jika mereka berkata tak akan menyerang benteng Hong-po, justru sangat mungkin benteng Hong-po lah yang akan diserang paling dulu. Dengan begitu, pada akhirnya Tio Bu-ki akan berangkat menuju ke benteng Hong-po. Tapi setelah datangnya laporan dari kedua mata-matanya yang menyampaikan bahwa selain jalan yang menuju benteng Hong- po, di kedua jalan lain mereka tidak menjumpai jejak Bu-ki, dia pun berpendapat bahwa Bu-ki pasti sudah termakan oleh kecerdasannya sendiri hingga dia memilih datang ke benteng Hong-po. Cara kerja Tong Ou selalu amat berhati-hati dan jauh dari sembrono, ia baru mau melakukan tindakan apabila sudah yakin seratus persen, maka saat ini dia masih harus menunggu lagi, menunggu datangnya laporan dari mata-mata yang dikirim ke benteng Hong. Akhirnya laporan itu diterimanya, tapi isi laporan itu membuat Tong Ou terkejut dan tidak habis mengerti. Sepanjang jalan menuju ke benteng Hong-po, ternyata tidak juga dijumpai jejak dari Tio Bu-ki! Ke mana perginya Bu-ki? Tong Ou memutar otaknya memikirkan persoalan ini, namun sampai akhirnya pun ia tak berhasil menemukan jawabnya. Sejak awal ia sudah membuat banyak pengandaian, kalau Tio Bu-ki tidak masuk perangkap dan pindah ke tujuan yang lain, dia ----------------------- Page 73----------------------- http://zheraf.net percaya dengan bantuan mata-matanya, ia bisa segera mengubah rencananya. Tapi sekarang semua berita menyatakan Tio Bu-ki tiba- tiba lenyap tak berbekas. Ini benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Sebenarnya Tong Ou tidak begitu peduli Tio Bu-ki pergi ke arah mana, sebenarnya ia hanya hendak mengetahui tujuan yang dipilih Tio Bu-ki untuk mengukur sejauh mana kesetiaan Sangkoan Jin padanya. Tong Ou sudah tahu, kalau dia hendak menyerang lembah Boanliong-kok, seandainya Tio Bu-ki langsung menuju ke benteng Hong-po maka dia akan pura-pura menyerang lembah Boanliong-kok, padahal tujuan serangan yang sesungguhnya adalah benteng Sangkoan Jin. Ia pura-pura menyerang lembah Boanliong- kok sekedar ingin tahu sampai di mana kesiapan orang-orang di lembah itu menghadapi serangannya. Jika persiapan orang-orang Boanliong-kok ternyata sangat kuat, maka Sangkoan Jin tak bisa terlepas dari kecurigaan sebagai orang yang telah membocorkan rencana itu. Sebaliknya jika lembah itu tak ada persiapan, dia akan langsung merebut Boanliong-kok, sedangkan Sangkoan Jin semakin bisa dipercaya. Semua itu tentu saja menurut perhitungan Tong Ou! Di luar dugaan, mimpi pun dia tak menyangka bakal kehilangan jejak Tio Bu-ki secara tiba-tiba. Tentu saja peran Tio Bu- ki dalam rencana ini sesungguhnya tidak terlalu penting, ia sengaja melepas pemuda itu hanya untuk menambah keasyikannya saja. Tapi sekarang mereka telah kehilangan jejak Tio Bu-ki, dan urusan ini dirasakan mulai mempengaruhi situasi keseluruhan, paling tidak akan mempengaruhi penilaiannya atas Sangkoan Jin, padahal kesetiaan Sangkoan Jin pada Keluarga Tong suatu masalah yang amat penting. “Hanya sejenak Tong Ou bimbang, ia segera mengambil keputusan untuk tetap melaksanakan rencananya sesuai semula. Maka ia memerintahkan orang untuk menyiapkan kuda dan menyampaikan kabar kepada orang-orang yang telah disuapnya dari markas Tayhong-tong agar melaksanakan perintah sesuai dengan rencana semula. Tong Ou memang tetap Tong Ou yang ulung, sekalipun ia memutuskan untuk tetap melaksanakan rencana semulanya, namun dia juga melakukan satu tindakan persiapan lainnya, dia ingin sedia ----------------------- Page 74----------------------- http://zheraf.net payung sebelum hujan. Payung ini disediakan bukan untuk menghadapi perubahan di luar dugaan dalam serangannya terhadap Tayhong-tong, tapi khusus ditujukan untuk menghadapi Sangkoan Jin. Ia segera mengundang datang Tong Hoa dan memerintahkan kepadanya untuk mulai melancarkan aksinya terhadap Wi Hong-nio. Semua kejadian ini berlangsung pada senja hari tanggal dua bulan lima. Bulan lima tanggal tiga, hari sudah senja, matahari tampak surut di langit barat sementara gelap malam turun dari angkasa. Ketika terjaga dari tidurnya Wi Hong-nio menyaksikan pantulan cahaya keemas-emasan yang memancar masuk melalui daun jendela dan rasa riang serta segar timbul menyelimuti hatinya. Begitulah sifat gadis ini, asal bisa tidur dan tidurnya nyenyak, ketika terjaga dari tidurnya dan bisa menyaksikan pemandangan alam yang begitu indah terpampang di luar jendela, ia lalu merasa begitu bahagia dan gembira. Sambil duduk di tepi pembaringan, ia mulai berpikir, “Suasana senja hari begitu indah, aku seharusnya keluar dari kamar dan menikmatinya!” Maka ia pun turun dari ranjang dan membuka pintu kamar. Dengan mendadak Wi Hong-nio tertegun. Ia menyaksikan munculnya seseorang tepat di hadapannya, orang yang tampaknya sudah dari tadi menunggu di situ dengan senyuman menghias wajahnya. Orang itu mempunyai mata dan hidung sempurna, wajah yang tampan, hanya sayang ketampanannya cenderung kebanci- bancian. Begitu nampak orang ini, Wi Hong-nio segera teringat pada kata-kata Tong Ou, dia segera tahu orang ini. Dia memang Tong Hoa, tuan muda hidung belang yang gemar menguber pipi licin. Senyum yang menghias wajah Tong Hoa seakan senyuman yang alami, seakan sejak lahir ia sudah membawa senyum itu. Ia mengawasi wajah Wi Hong-nio sambil tertawa, katanya, “Namaku Tong Hoa!” “Aku tahu!” jawab Wi Hong-nio cepat. Perempuan itu hanya memandangnya sekejap dan hanya menjawab sekecap, kemudian sorot matanya segera dialihkan ke luar, meman¬dang kegelapan senja yang mulai muncul di langit. ----------------------- Page 75----------------------- http://zheraf.net Tong Hoa segera menggerakkan kepalanya menghalangi pandangan mata Wi Hong-nio, dia seperti hendak memaksa gadis itu untuk melihat wajahnya saja dan menikmati senyumnya. “Kegelapan malam tak bagus dilihat!” serunya. Wi Hong-nio melengak. “Suasana senja hari begini indah, kenapa kau bilang tak bagus?” “Seindah-indahnya senja tak akan seindah wajahmu, wajahmu jauh lebih enak dipandang,” sahut Tong Hoa. Merah jengah Wi Hong-nio mendengar pujian itu, pipinya bersemu merah seperti tomat yang segar. “Coba lihat!” kembali Tong Hoa berseru setelah mengawasi pipinya yang merah dengan pandangan tolol, “kau nampak begitu cantik... begitu menawan hati!” Paras muka Wi Hong-nio semakin merah, merah padam karena jengah. Sementara Tong Hoa berdiri mematung, senyum tololnya semakin melebar, ia berdiri termangu-mangu seperti orang yang kehilangan sukma. Sementara itu warna senja mulai memudar, kegelapan malam pun menyelimuti seluruh jagad. Tong Hoa bertepuk tangan dua kali, dua orang dayang dengan membawa lampu lampion muncul dari sudut lorong di ujung hala¬man. Dengan nada seperti opera, kembali Tong Hoa berkata, “Malam sudah menjelang, jalan mulai guram dan tak nampak jelas, aku takut kau kurang hati-hati hingga jatuh, maka kusuruh dua orang dayang untuk menuntunmu berjalan.” Wi Hong-nio ingin tertawa, ia merasa orang itu lucu sekali, tapi ia tak sampai tertawa terbuka, katanya, “Buat apa kau suruh dayang menuntunku berjalan? Siapa bilang aku mau pergi dari sini?” “Oh, kalau memang tak mau keluar, mari kita masuk ke dalam kamar saja!” sahut Tong Hoa sambil berganti gaya. Ia segera berpaling dan serunya kepada salah satu dayang itu, “Siau-tiap, cepat masuk dan pasang lampu!” Siau-tiap menyahut dan segera masuk ke dalam kamar. “Aku paling benci dilayani orang!” sentak Wi Hong-nio cepat. “Waaah tidak bisa!” sahut Tong Hoa masih tertawa nyengir. “Di samping nona cantik kalau tak ada dayangnya, sama seperti jenderal tanpa serdadu, pasti kurang sedap dipandang. Mari kuperkenalkan kepada dua orang dayang itu, yang ini bernama Siau- ----------------------- Page 76----------------------- http://zheraf.net tiap sedang yang satu lagi bernama Siau-oh, Oh-tiap kupu-kupu. Mereka ditugaskan di sini untuk melayani segala keperluanmu, walaupun tidak terbiasa, kau harus mulai belajar membiasakan diri!” Tiba-tiba Wi Hong-nio merasa bahwa Tong Hoa ternyata seorang pemuda yang kelewat cerewet, suka banyak bicara seperti yang diucapkannya barusan. Sebenarnya ia ingin menarik muka dan menunjukkan rasa tak senangnya, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu, senyum manis segera menghiasi wajahnya. Dalam pikirannya ia ingin memperalat Tong Hoa, bila ia bias membuat Tong Hoa tergila-gila kepadanya, ia bisa memanfaatkan posisinya di Benteng Keluarga Tong untuk kelak membantunya pergi meninggalkan tempat itu. Berpikir begini, ia pun menyahut sambil tertawa, “Baiklah, bagaimanapun satu kebiasaan harus dilakukan secara pelan-pelan...” “Nah, begitu baru benar!” teriak Tong Hoa kegirangan, sambil berteriak ia bertepuk tangan berulang kali. Sementara itu lampu dalam kamar telah disulut, Siau-tiap sudah keluar dari dalam ruangan dan berdiri di samping Siau-oh. Kepada kedua orang dayang itu, Tong Hoa segera memerintahkan, “Sekarang siapkan hidangan malam di dalam kamar!” Kemudian sambil berpaling ke arah Wi Hong-nio, terusnya, “Apakah aku bisa mendapat kehormatan untuk makan malam bersamamu?” “Mungkinkah bagiku untuk menolak?” sahut Wi Hong-nio. Tong Hoa segera tertawa, tertawa lebar dan penuh rasa gembira. Sambil tertawa ia pun memberi tanda mempersilahkan Wi Hong-nio untuk masuk kembali ke dalam kamar tidurnya. Malam semakin menyelimuti seluruh jagad, beberapa titik cahaya bintang mulai memancarkan sinar kebiru-biruan dari balik kegelapan awan. Hidangan malam telah disiapkan, sayurnya terdiri dari beberapa macam masakan Sucoan dengan warna dan rasanya yang khas, serba merah dan serba pedas. “Kau sudah terbiasa dengan masakan yang pedas?” tanya Tong Hoa kemudian. “Ya, aku memang senang dengan hidangan yang pedas.” “Kalau kebanyakan makan hidangan yang pedas, tenggorokan dan lidah kita gampang mengering, kau tahu arak apa yang paling tepat untuk menemani hidangan-hidangan pedas itu?” “Arak apa?” tanya Hong-nio. ----------------------- Page 77----------------------- http://zheraf.net “Arak anggur salju dari Persia! Kau pernah mencicipi?” “Belum pernah,” Wi Hong-nio menggeleng, “malah mendengar pun baru pertama kali ini.” “Kalau begitu segera kau akan mencicipinya!” Baru selesai dia berkata, Siau-tiap sudah berjalan masuk sambil membawa sebuah baki kayu yang di atasnya ada botol porselen dengan mulut sangat besar, sementara di dalam botol porselen itu masih ada sebuah botol porselen lain yang lebih kecil dan ramping bentuknya. Tong Hoa segera menjelaskan, “Botol besar itu berisi butiran es batu, sementara isi dari botol kecil itu adalah arak anggur yang khusus didatangkan dari negeri Persia.” Siau-tiap menuang penuh dua cawan arak di hadapannya. “Mari, aku menghormati secawan arak untukmu!” kata Tong Hoa kemudian sambil mengangkat cawannya. Wi Hong-nio mencoba mencicipi arak itu satu tegukan. “Bagaimana? Enak bukan?” tanya Tong Hoa kemudian. “Tidak, tidak enak, rasanya manis agak masam, persis seperti manisan kiam-bwee.” “Rasa dingin es tepat untuk menghilangkan rasa pedas dan kering yang kita rasakan di mulut. Kau tahu, minuman ini adalah simpanan Keluarga Tong kami!” “Oh, artinya satu penghormatan untukku!” kata Wi Hong-nio sambil tertawa. “Asal kau senang, Keluarga Tong kami masih menyimpan banyak sekali barang mestika serta barang langka lainnya, kau boleh menikmatinya setiap saat.” “Sungguh?” “Tentu saja sungguh! Kau tahu, sudah lama aku kagum dan terpesona padamu!” Wi Hong-nio tidak menjawab, ia meneruskan santapannya dengan kepala tertunduk, arak membuat pipinya semakin bersemu merah. Dengan termangu Tong Hoa mengawasi wajahnya, seakan dia sudah dibuat tolol oleh kecantikan wajah gadis itu. Tidak mendengar pemuda itu melanjutkan perkataannya, Wi Hong-nio kembali angkat wajahnya sambil menengok ke arah pemuda itu. “Ooh.... kau memang amat cantik,” puji Tong Hoa semakin termangu. ----------------------- Page 78----------------------- http://zheraf.net Wi Hong-nio segera tertawa, wajahnya berbunga-bunga karena gembira. Kembali Tong Hoa berkata, “Setengah tahun lalu, aku pernah melihatmu secara tidak sengaja di tempat kira-kira tiga li dari Benteng Keluarga Tong. Saat itu aku sudah merasa bahwa kecantikanmu melebihi bidadari dari kahyangan, dalam hati aku selalu berpikir bila suatu ketika aku bisa bertemu lagi dengan kau.... Dan aah, tak kusangka... setelah bertemu sekarang, terbukti kecantikanmu beribu kali lebih memikat ketimbang bayanganku semula!” Wi Hong-nio agak muak mendengar rayuan gombal seperti itu, namun perasaan ini tidak diungkapkannya karena ia masih punya tujuan lain. Karena itu dengan senyum masih menghias bibirnya ia berbisik, “Terima kasih banyak atas pujianmu!” “Aku bukan sedang memuji, aku hanya mengatakan apa yang memang kulihat.” Wi Hong-nio tidak bicara lagi, rasa muak dalam hatinya pelan-pelan ikut lenyap. Dia belum pernah mendengar ada lelaki yang memuji kecantikan wajahnya dengan cara begini, Tio Bu-ki pun tidak, pujaan hatinya itu hanya mengungkap perasaan hatinya melalui pancaran sinar mata. Tapi Tong Hoa, lelaki yang berada di hadapannya kini justru berani mengungkap perasaan hatinya secara blak-blakan, kata- katanya begitu mendayu-dayu dan sedap didengar, ini membuat Wi Hong-nio mulai terharu dibuatnya, ia mulai menaruh kesan baik pada lelaki ini. Kembali Tong Hoa berkata, “Selama setengah tahun lebih, berarti ada duaratusan siang dan malam, aku selalu membayangkan dan merindukan pujaan hatiku itu, sekarang ternyata nasibku baik, aku bahkan bisa bersantap satu meja dengannya, coba bayangkan, betapa gembiranya perasaan hatiku kini! Mari, kita bersulang secawan arak lagi!” Wi Hong-nio tak dapat mengendalikan perasaan hatinya, tanpa sadar dia angkat cawan dan menghabiskan isinya. “Sekarang, tentunya kau sudah paham akan perasaan hatiku bukan?” tanya Tong Hoa sambil meletakkan kembali cawan araknya. Wi Hong-nio tidak menjawab, tentu saja dia sangat paham. Tapi paham kembali paham, jangan lagi perasaan hatinya kini hanya ada Tio Bu-ki, sekalipun tak ada pemuda tersebut, mana mungkin ia ----------------------- Page 79----------------------- http://zheraf.net bisa menanggapi cinta yang diucapkan seorang lelaki macam Tong Hoa? Bagaimana pula dia bisa menjawab pertanyaan semacam itu? Kembali Tong Hoa berjanji, “Aku bersedia melakukan apa saja demi kau!” Wi Hong Nio merasa amat gembira, janji tersebut membuat perasaan hatinya lega, sebab dia memang berharap Tong Hoa tersulut emosinya karena luapan rasa cintanya, begitu emosi sehingga tanpa memikirkan apa akibatnya ia bersedia membawanya pergi meninggalkan Benteng Keluarga Tong. “Melakukan pekerjaan apa pun?” Wi Hong-nio menegaskan. “Benar, perbuatan apa pun!” jawaban Tong Hoa begitu tegas dan tandas. “Bagaimana misalnya kusuruh kau pergi mati?” tanya Wi Hong-nio dengan nada bergurau. Tong Hoa agak melengak, tapi cepat jawabnya, “Tentu saja aku tak boleh berbuat begitu!” “Kenapa? Bukankah kau berjanji akan melakukan perbuatan dan pekerjaan apa pun demi aku?” “Tentu saja terkecuali pergi mati, karena jika aku mati maka aku tak bisa bertemu kau lagi, aku tak akan melakukan perbuatan yang membuatku tak bisa berjumpa lagi denganmu.” “Berarti janjimu hanya janji gombal, hanya ingin menipuku, membuatku senang?” “Tidak... bukan begitu, aku harus memperbaiki kata-kataku tadi, aku berjanji akan melakukan pekerjaan dan perbuatan apa pun demi kau, asal aku bisa selalu berkumpul dan bersamamu.” “Sungguh?” desak Hong-nio sekali lagi. “Yaa, sungguh!” “Seandainya ada orang berusaha menghalangimu untuk bertemu aku atau berusaha mengekang kebebasanku, apa yang akan kau lakukan?” “Aku akan mengusirnya!” “Kalau dia ngotot tak mau pergi?” “Akan kuhabisi nyawanya!” “Bagaimana kalau orang itu anggota Keluarga Tong?” Tong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengawasi wajah Wi Hong-nio dengan termangu-mangu. “Jadi kau tidak berani?” ejek Wi Hong-nio. “Tidak ada perbuatan yang tak berani kulakukan!” ----------------------- Page 80----------------------- http://zheraf.net “Lalu mengapa kau tidak berani menjawab pertanyaanku?” “Mengapa aku harus membunuh sanak keluargaku sendiri?” Tong Hoa balik bertanya. “Kau sendiri yang berkata akan membunuhnya!” “Masa ada anggota Keluarga Tong kami yang menghalangi kebebasanmu?” “Ada.” “Siapa?” “Tong Ou!” “Toa-piauko? Mana mungkin?” “Bukankah dia yang menahanku di Benteng Keluarga Tong?” “Betul, tapi ia berbuat demikian demi aku!” “Demi kau?” “Benar, dia tahu aku sangat menyukaimu maka sengaja menahanmu di sini.” Wi Hong-nio tidak berbicara lagi, sebab dia tahu kenyataannya bukanlah seperti itu. Bukankah Tong Ou berkata kepadanya bahwa sehabis berjumpa Bu-ki, dia akan mengijinkan satu orang di antara mereka berdua untuk meninggalkan Benteng Keluarga Tong? Seandainya nanti dia memutuskan dia yang pergi dan bukan Bu-ki, maka kata-kata Tong Hoa jelas bohong besar. Tetapi ia segera sadar, pasti ada siasat busuk lain di balik semua ini. Kalau bukan Tong Ou telah membohongi Tong Hoa, berarti Tong Hoa-lah yang sedang berusaha membohongi dirinya. Walaupun ia berpikir demikian, namun kecurigaannya tak diungkap, malah tanyanya kemudian, “Sekalipun tujuan Tong Ou menahanku memang demi kau, tapi bagaimana jika aku tetap menganggapnya berusaha menghalangi kebebasanku?” “Dari sudut mana kau merasa tidak bebas?” “Bahwa aku tidak boleh meninggalkan Benteng Keluarga Tong!” “Siapa bilang?” “Tong Ou!” “Aaah, tidak mungkin! Begini saja, nanti malam kutanyakan lagi kepadanya.” “Bagaimana kalau dia membohongimu?” “Tidak mungkin, ke mana pun kau hendak pergi, aku pasti akan mengantarmu!” ----------------------- Page 81----------------------- http://zheraf.net “Kalau Tong Ou tidak mengijinkan?” “Kalau dia benar-benar tidak mengijinkan, kita pergi dari sini secara diam-diam.” “Sungguh?” “Asal kau ijinkan aku selalu mendampingimu, aku bersedia mengantarmu pergi ke mana saja yang kau suka!” “Termasuk pergi ke Tayhong-tong?” “Kau ingin pulang ke Tayhong-tong?” “Tentu saja! Siapa yang tidak ingin pulang ketempat tinggalnya sejak kecil?” “Aku tidak berharap kau pergi ke situ...” “Kenapa? Kau takut?” “Tidak, aku tidak takut, Tayhong-tong tak pernah kupandang sebelah mata pun!” “Lalu mengapa kau tidak berharap aku pulang ke sana?” “Karena di Tayhong-tong ada seseorang.” “Bu-ki yang kau maksud?” Tong Hoa segera menunjukkan sikap cemburunya dan sambil tertawa getir menyahut, “Benar, aku tidak berharap kau bisa bertemu lagi dengannya.” “Tapi kalaupun aku pulang belum tentu aku akan bertemu dengannya!” “Bagaimana seandainya bertemu?” “Masa kau tak berani bertaruh?” “Aku tidak pernah mau melakukan tindakan yang aku tidak yakin!” “Baiklah, kalau begitu kita tak perlu bicara lagi.” Tong Hoa tidak bicara lagi, dia minum arak seorang diri. Sekaligus dia habiskan lima cawan arak anggur sebelum bangkit berdiri dan mohon pamit dari tempat itu. “Tidurlah, aku akan mohon diri dulu,” katanya. Habis berkata, ia memberi tanda kepada Siau-Ou dan Siau- tiap, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Ooo)))(((ooo Wi Hong-nio amat gelisah, ia duduk seorang diri di depan jendela, memandang kegelapan malam sambil termangu-mangu. Ia ----------------------- Page 82----------------------- http://zheraf.net sadar bahwa penampilannya tadi sangat buruk, tidak seharusnya dia mendesak Tong Hoa dengan kata-kata seperti itu. Seharusnya dia menggunakan bujukan yang lemah-lembut untuk mempengaruhi hatinya dulu, sesudah terpikat dan mabuk cinta, barulah permintaan diajukan sedikit demi sedikit. Cara semacam itulah yang seharusnya ia lakukan! Dalam pandangannya, Tong Hoa tak lebih hanya seorang pemuda romantis yang jatuh cinta kepadanya sejak pandangan pertama dan baginya sekedar cinta sepihak. Wi Hong-nio tidak punya perasaan apa pun padanya bahkan ia tidak menunjukkan perhatian sedikit pun. Berhadapan dengan gadis yang belum tentu membalas cintanya, mana mungkin pemuda itu mau mengabulkan semua permintaannya dengan begitu saja? Setelah lama merenung, akhirnya pelan-pelan Wi Hong-nio dapat mengendalikan hatinya. Ia mulai menemukan jalan yang harus ditempuhnya dan ia lalu memutuskan sikap selanjutnya. Dia menganggap malam ini akan tidur lebih awal hingga besok bisa tampil dengan wajah yang lebih segar, kemudian dengan mengenakan topeng, pura-pura membalas cinta pemuda itu, dia akan balas merayu Tong Hoa dan menarik simpatinya. Setelah membuat keputusan ia merasa hatinya lebih lega, maka ia pun bisa tidur dengan nyenyak. Ooo)))(((ooo Pada malam yang sama, Tio Bu-ki sedang merasa sulit untuk memejamkan matanya. Dia ingin segera tidur, tapi berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya, membuat dia gelisah dan tak tenang. Dia tidak tahu apakah Sangkoan Jin telah mengirim kabar ke semua cabang Tayhong-tong agar mereka dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan besar-besaran pihak Benteng Keluarga Tong. Ia sadar bahwa hal ini merupakan pertaruhan besar, pertaruhan besar yang menyangkut masa depan serta hidup-matinya Tayhong-tong. Dalam pertaruhan ini, Bu-ki sadar kalau dia harus segera memasang taruhannya. Sampai sekarang, Tio Bu-ki tetap belum memahami sikap paman Siangkoannya itu, bahkan sikapnya terhadap rencana Harimau Kema¬la Putih. Bagaimana mungkin dia bisa memahami tokoh-tokoh lain di Tayhong-tong? ----------------------- Page 83----------------------- http://zheraf.net Karena tidak bisa memahami semua itu, pemuda ini merasa amat risau, bingung dan gelisah. Semula dia mengira bahwa Sangkoan Jin pasti akan berupaya untuk menyampaikan berita itu ke semua cabang Tayhong-tong. Tapi sekarang, tiba-tiba saja, ia mulai ragu dan bimbang, apa jadinya kalau Sangkoan Jin lebih mementingkan keselamatan dirinya sendiri, atau gagal menemukan orang yang bisa membawa berita tersebut ke semua cabang Tayhong-tong? Andaikata gara-gara hal ini anggota Tayhong-tong sampai dibuat kalang-kabut oleh datangnya serangan dari Keluarga Tong, atau bahkan banyak yang mati atau tcrluka parah, apakah dia yang harus memikul tanggung-jawab ini? Ia merasa sudah waktunya untuk mengambil keputusan, dia harus menyampaikan kabar tersebut ke salah satu pos jaga Tayhong-tong, sekalipun jika akhirnya terbukti bukan tempat itu yang diserang Keluarga Tong, paling tidak dia tak akan merasa menyesal karena hanya berpeluk tangan belaka. Ia sadar, terus bersembunyi di atas bukit adalah keputusan yang salah, tidak seharusnya ia mempertaruhkan keselamatan jiwa para anggota Tayhong-tong dengan menggantungkan diri pada Sangkoan Jin seorang. Tio Bu-ki menengadah, memandang sejenak kegelapan malam yang telah menyelimuti angkasa, dia sadar, seandainya keputusan yang diambilnya keliru, tak akan ada harapan lagi untuk merubahnya, sebab sudah tidak ada waktu lagi untuk itu. Pada saat itulah mendadak ia mendengar suara gemersik seperti suara burung yang terbang rendah bergerak menuju ke arahnya. Dengan satu gerakan cepat ia mematahkan ranting pohon, kemu¬dian langsung ditimpukkan ke arah datangnya suara sambaran itu. Serangan itu amat cepat dan tepat, sekejap lalu terdengar suara benturan bergema di udara, disusul suara seperti sesuatu menumbuk batang pohon dan jatuh ke tanah. Bu-ki tidak langsung menghampiri tempat itu, ia memasang telinga dan mencoba mendengarkan keadaan di sekelilingnya. Ia harus yakin di situ tidak ada orang lain sebelum memunculkan diri dari tempat persembunyiannya. Suasana amat hening, kecuali hembusan angin malam yang lembut, tak terdengar suara apa pun. Lama sekali ia berdiri ----------------------- Page 84----------------------- http://zheraf.net mematung, ia kuatir benda yang menyambar ke arahnya tadi adalah suara sambitan senjata rahasia yang sengaja dilepas seseorang. Sepeminuman teh lewat tanpa terlihat suatu gerakan apa pun, suasana tetap hening, sepi dan senyap. Bu-ki mulai menduga, jangan-jangan benda yang ditimpuknya tadi benar-benar hanya seekor burung yang sedang terbang rendah. Pelan-pelan ia mulai bergerak mendekati tempat itu, kemudian mencoba memungutnya dari tanah. Di tengah kegelapan malam, ia merasa benda yang dipungutnya benar-benar seekor burung dan ketika diperiksa lebih teliti, ternyata burung itu seekor merpati. Burung merpati? Pemuda itu segera teringat pada merpati pos. Mungkinkah merpati ini adalah merpati pos yang dilepas orang-orang Keluarga Tong untuk menyampaikan berita? Cepat-cepat diperiksanya kaki burung merpati itu dan benar saja, segulung kertas kecil terikat erat pada kaki burung merpati itu. Buru-buru dia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan korek api, lalu di bawah terang cahayanya dia membuka lipatan kertas itu dan memeriksa isinya. Yang kemudian dilihatnya membuat anak muda itu terkesiap seketika. “Aduh celaka!” pekiknya di hati. Dia segera mengenali isi surat itu, yaitu tanda rahasia yang sering dipakai Tayhong-tong untuk menyampaikan berita. Di balik lembaran kertas itu tidak ada tulisan apa pun, tapi kertas tersebut dilipat dengan suatu lipatan khusus, yaitu selembar kertas yang ditempeli kertas kecil lain berbentuk hati. Tanda rahasia ini berarti bahwa seluruh anggota Tayhong-tong harus waspada dan lebih hati-hati. Lipatan yang kecil menandakan bahwa jangka waktu untuk berhati-hati adalah satu-dua hari kemudian. Bila delapan sampai sepuluh hari lagi, lipatan kertas itu akan lebih besar lagi. Dia tahu, merpati ini pasti dilepaskan oleh Sangkoan Jin untuk memperingatkan anggota-anggota Tayhong-tong. Namun sekarang merpati itu sudah mati tersambit. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mungkinkah Sangkoan Jin hanya melepaskan seekor merpati? Merpati itu sebenarnya dikirim ke mana? Tio Bu-ki menyesal, mengapa ia tidak lebih berhati-hati? Mengapa ia tidak menduga kalau burung itu adalah seekor burung ----------------------- Page 85----------------------- http://zheraf.net merpati pos? Mengapa dia mengira sebagai sambitan senjata rahasia? Nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun tak ada gunanya, yang penting sekarang adalah bagaimana mengatasi kesalahan ini. Tapi... apa yang harus diperbuatnya untuk memperbaiki kesalahan itu? Ooo)))(((ooo Pada malam yang sama, Sangkoan Jin bisa tidur sangat nyenyak. Sebelum berangkat tidur, ia pergi menengok sebentar putri tunggalnya. Dia tidak tahu bahwa sejak terluka karena harus menyelamatkan jiwa ayahnya, gadis itu lalu berubah menjadi lebih pendiam, kelincahan dan keriangannya di masa lalu sama sekali sudah lenyap. Meskipun luka luar yang dideritanya berangsur sembuh, namun rasa risau dan murung yang menyelimuti perasaannya kian hari kian bertambah dalam. Sangkoan Jin sama sekali tidak mempertimbangkan hal ini, saat itu pikiran dan perhatiannya, kecuali pada luka-luka putrinya, hampir semuanya terpusat pada penyelidikan atas Benteng Keluarga Tong serta mengawasi segala tindakan yang akan dilakukan oleh Keluarga Tong pada Tayhong-tong. Jangankan perasaan putrinya, ia bahkan tidak bertanya kepada Tong Ou apakah Tio Bu-ki jadi dibebaskan atau tidak. Bukannya ia tak mau tahu tentang nasib putra tunggal saudara angkatnya ini tentu saja ia menguatirkan keselamatan jiwanya tapi bila dibandingkan dengan mati-hidupnya Tayhong-tong, ia merasa urusan itu tidak seberapa penting. Ia harus berusaha sebaik mungkin merahasiakan identitasnya, hanya dengan demikian ia bisa dikatakan berjuang demi Tayhong-tong. Asal berita berita penting bisa dikirim ke luar, ia sudah merasa tenteram. Ia percaya bahkan yakin, berita yang dikirimnya pasti dapat diterima anggota Tayhong-tong. Ooo)))(((ooo ----------------------- Page 86----------------------- http://zheraf.net Malam bertambah larut, kegelapan semakin dalam menyelimuti angkasa. Ketika Sangkoan Jin dan Wi Hong-nio sudah tertidur nyenyak, ketika Tio Bu-ki yang berada dalam hutan sedang ragu dan menyesal atas kecerobohan sendiri, saat itu Tong Hoa sedang berunding dengan TongOu. “Ternyata Wi Hong-nio betul-betul ingin meninggalkan Benteng Keluarga Tong,” lapor Tong Hoa. “Kau yakin bisa mendampinginya ke mana pun dia pergi?” “Sangat yakin, semalam aku telah menggunakan siasat rayuan maut, aku percaya mulai besok dia pasti akan bersikap lebih baik kepadaku!” “Kau mesti lebih hati-hati,” pesan Tong Ou kemudian, “sebab langkah berikut kita kemungkinan besar sangat tergantung pada keberhasilanmu.” “Aku tahu.” Tong Ou bangkit dan berjalan ke lemari, mengeluarkan sebuah kotak dari dalamnya. Kotak itu lalu diletakkan di atas meja dan katanya lagi, “Kuserahkan kotak ini kepadamu, bawalah selalu ke mana pun kau pergi, karena setiap saat kau bakal membutuhkannya.” “Apa isi kotak ini?” “Bukalah sendiri!” Tong Hoa membuka penutup kotak itu lalu dengan sangat hati-hati mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya. Benda itu adalah sebuah patung berukir terbuat dari batu kemala putih, sebuah patung berukiran naga sedang mementang cakar tajamnya, Naga Kemala Putih. “Ukiran naga yang sangat indah!” puji Tong Hoa. “Ya, naga itu diukir di batu kemala, patung itu bernama Naga Kemala Putih!” jelas Tong Ou. Ukiran Naga Kemala Putih itu tidak terlalu besar, ukurannya hanya sedikit lebih besar dari telapak tangan, tapi ukirannya sangat bagus dan sempurna, seperti seekor naga yang siap terbang ke angkasa. Tong Ou mengambil kembali patung naga itu dari tangan Tong Hoa, lalu sambil menuding ke arah mulut naga itu ia berkata lagi, “Mulut naga ini memang sengaja dibuat terbuka lebar, di balik ----------------------- Page 87----------------------- http://zheraf.net mulut ini ada ruang kosong, kau bisa memasukkan kertas ke dalamnya.” “Maksudmu, semua rencana kita akan menggunakan mulut ukiran naga itu?” “Yang benar kita menggunakan perut naga yang kosong.” “Kenapa kita harus menggunakan Naga Kemala Putih ini?” “Sebab benda ini hadiah dari Sangkoan Jin, menurut Sangkoan Jin benda ini adalah benda kuno yang paling disayang Tio Kian semasa hidupnya dulu.” “Akan kusimpan dengan sangat hati-hati,” janji Tong Hoa. Tong Ou manggut-manggut, lalu katanya lagi, “Sebelum digunakan, kau harus mendatangi dusun tempat tinggal Tio Kian, di dusun itu ada toko yang menjual alat tulis, pemilik toko itu bernama Pek Giok-ki.” “Aku tahu, taukenya bernama Pek Giok-ki.” “Betul, Pek Giok-ki paling mahir tulis menulis, bukan saja tulisannya sangat indah, dia pun sangat pandai meniru gaya tulisan orang.” “Ya, bagaimanapun juga aku mesti menunggu kabarmu, biarlah sampai waktunya baru kucari dia dan minta dia menulis sesuai dengan rencanamu.” “Benar. Kepadanya kau boleh membeberkan indentitas aslimu.” “Jadi dia termasuk salah seorang yang kita suap untuk mendukung kita?” “Yaa, tiap tahun kita membayarnya limaribu tahil perak.” “Waah, dengan uang sebanyak itu, berarti dia tidak perlu buka toko lagi!” “Jika rencana Naga Kemala Putih kita berhasil dijalankan, selanjutnya memang dia tak perlu buka toko lagi.” “Kenapa? Masa kita harus terus membayarnya lagi setelah dia menuliskannya buat kita?” “Tidak. Ketika ia selesai menulis, kau harus membunuhnya!” “Membunuhnya untuk melenyapkan bukti?” “Benar, orang yang bisa kita suap berarti bisa juga disuap pihak lain, untuk ini kita harus waspada dan lebih baik sedia payung sebelum hujan.” “Sangat masuk di akal!” puji Tong Hoa. Tong Ou tertawa tergelak. ----------------------- Page 88----------------------- http://zheraf.net “Jika tidak masuk di akal, masa Keluarga Tong kita bisa menancapkan kaki begitu lama di dalam dunia persilatan?” Tong Hoa ikut tertawa, suara tertawanya penuh rasa bangga dan puas. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu. Siapa yang berani mengetuk pintu di tengah malam buta begini? Mungkinkah sudah terjadi sesuatu yang gawat dan penting? Buru-buru Tong Ou memerintah Tong Hoa untuk menyimpan Naga Kemala Putih itu ke dalam sakunya, kemudian baru membuka pintu. Orang yang berada di luar pintu adalah Tong Koat, di tangan TongKoat-terlihat seekor burung merpati. Setelah menutup kembali pintu ruangan, Tong Koat menyerahkan merpati itu ke tangan Tong Ou. Merpati itu masih hidup, ia meronta-ronta hendak melepaskan diri dari genggaman Tong Ou. Dengan sangat teliti Tong Ou membentangkan sayap merpati itu dan memeriksanya satu per satu, kemudian berkata, “Merpati ini bukan burung merpati pos milik kita!” “Betul,” Tong Koat mengiakan, “merpati ini dirontokkan oleh penjaga kita yang bertugas tujuh belas li di luar kota, mereka mengirim balik dengan menggunakan kuda cepat.” “Jadi milik siapa?” tanya Tong Ou. “Belum terlacak, sampai sekarang belum pernah dijumpai burung merpati semacam ini.” “Apa mungkin merpati pos milik Tayhong-tong?” “Tayhong-tong tidak pernah menggunakan merpati pos semacam ini.” “Apakah sudah diselidiki merpati ini terbang dari mana dan kira-kira akan terbang ke mana?” “Menurut laporan, merpati ini kemungkinan besar terbang dari Benteng Keluarga Tong, hanya tidak jelas akan terbang ke arah mana.” “Merpati pos yang mampu terbang malam? Suatu cara pengiriman berita yang sangat hebat!” puji Tong Ou tanpa terasa. “Kira-kira jagoan mana dalam dunia persilatan yang mampu melatih burung merpati semacam ini?” “Belum pernah ada yang tahu,” jawab Tong Koat, “aku sudah mengirim orang untuk minta pendapat Pek Siau-seng, mungkin besok pagi sudah ada beritanya.” ----------------------- Page 89----------------------- http://zheraf.net “Apakah belakangan ada orang asing yang berkunjung ke Benteng Keluarga Tong?” “Hari ini tidak ada, tapi tiga hari berselang ada.” “Tiga hari berselang? Berarti orang itu sudah tiga hari tinggal di sini?” “Dia seorang pedagang kain, waktu mendaftar di losmen menggunakan nama Go Yong, tinggal di penginapan Ya-lay. Baru saja aku mengirim petugas untuk menanyai orang itu.” Sementara pembicaraan masih berlangsung, Tong Ou telah melepaskan kertas yang terikat di kaki burung merpati itu dan meme¬riksa isinya. Ia melihat isi surat itu hanya sebuah tanda yang berbentuk hati. Tong Koat kembali menjelaskan, “Toako, kertas itu sudah diperiksa, itu adalah kertas tulis yang umum dipakai semua orang, bahan kertas semacam ini bisa didapat di semua tempat.” “Apa arti tanda hati di dalam surat ini? Masa surat pernyataan cinta?” tanya Tong Ou. “Aaah tidak mungkin, mana ada orang yang mau bersusah- payah melatih merpati pos yang bisa terbang malam hanya untuk menyampaikan perasaan cinta?” “Waah, itu ide yang sangat bagus!” timbrung Tong Hoa pula, “lain kali aku mesti meniru cara ini, rasanya perempuan yang kuburu pasti akan terharu bila dirayu dengan cara begini...” “Aku yakin tanda hati ini pasti bukan berarti cinta, tentu punya makna lain yang lebih dalam,” tandas Tong Ou. Tong Hoa mulai memperhatikan lambang hati itu dengan lebih seksama, tiba-tiba katanya, “Hati ini tidak terlalu besar dan tidak besar berarti kecil, hati yang kecil melambangkan kehati- hatian. Mungkinkah surat itu peringatan agar orang lebih berhati- hati?” “Ehmm, mungkin sekali begitu!” Selanjutnya, ketiga orang itu pun diam dalam keheningan, yang ada dalam pikiran mereka sekarang sama. Semua sedang berpikir siapa yang telah melepaskan burung merpati itu dari dalam Benteng Keluarga Tong? Mungkinkah merpati itu hendak memberi kabar kepada Tayhong-tong agar siap sedia dan lebih berhati-hati? Mung¬kinkah merpati itu membawa berita kalau Keluarga Tong akan menye¬rang mereka? ----------------------- Page 90----------------------- http://zheraf.net “Apa mungkin hasil perbuatan Tio Bu-ki?” tiba-tiba Tong Koat bertanya. “Masa dia membawa burung merpati?” Tong Ou balik bertanya. “Kalau bukan dia, lantas siapa?” “Lebih baik kita bicarakan lagi setelah berita dari penginapan Ya-lay kita terima.” Lentera yang menerangi rumah penginapan Ya-lay sudah mulai redup, kecuali sebuah lentera yang masih bersinar di ruang tengah, suasana di sekelilingnya gelap gulita. Tauke rumah penginapan itu duduk di belakang meja, tampaknya ia sudah tertidur sangat nyenyak. Dua orang utusan Tong Ou itu sama sekali tidak membangunkan sang tauke, mereka langsung naik ke lantai dua, belok ke kanan dan tiba di muka kamar nomor tiga. Tanpa mengetuk pintu atau berbasa-basi lagi, salah seorang di antaranya menendang roboh pintu kamar, sementara rekannya menyerbu ke dalam kamar. Tampaknya'orang itu sangat hapal dengan isi ruangan itu, begitu menyerbu ke dalam, ia langsung menghampiri pembaringan dan menotok. Kecuali ketika menendang pintu kamar tadi, mereka tidak mengeluarkan suara apa-apa lagi, orang yang sedang tertidur itu pun berhasil ditotok jalan darahnya. Begitu berhasil menotok jalan darah orang itu, dia langsung mendukung badannya dan diangkut keluar. Gerakan tubuh kedua orang itu cepat sekali, tak selang berapa saat, mereka telah sampai di Benteng Keluarga Tong. Tong Koat segera membuka pintu dan begitu masuk, kedua orang itu membaringkan orang yang telah ditotok jalan darahnya itu ke atas meja. Salah seorang di antara mereka berkata, “Go Yong telah tertangkap!” Belum sempat Tong Koat memuji kecepatan kerja kedua orang anak buahnya itu, ia mendadak berdiri tertegun. Sesaat kemudian Tong Ou, Tong Hoa serta kedua orang itu pun ikut termangu-mangu. Rupanya mereka menjumpai Go Yong yang baru ditangkap itu telah berubah jadi mayat. Orang itu sudah mati! “Apa yang terjadi?” teriak Tong Koat dengan tiba-tiba. ----------------------- Page 91----------------------- http://zheraf.net Orang yang tadi menotok jalan darah Go Yong jadi melengak, untuk sesaat dia hanya berdiri tergugu dan tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. “Jangan-jangan sudah mampus dari tadi?” orang yang menendang pintu itu menimpali. Tong Ou tidak berbicara apa-apa, dia menghampiri mayat Go Yong dan meraba sejenak kening mayat itu, kemudian katanya, “Benar, paling tidak ia sudah mati satu jam berselang!” Pada saat itu barulah semua yang hadir melihat adanya warna hitam lebam yang di tubuh mayat itu, warna khas mayat yang sudah mati lebih dari satu jam. Tong Hoa merentangkan mulut mayat itu dan memeriksa giginya, setelah itu katanya lagi, “Benar, giginya juga telah menghitam” “Berarti dia mampus terkena jarum beracun Tawon Harimau kita?” seru Tong Koat terkejut. “Siapa saja dari Keluarga Tong kita yang menggunakan jarum beracun Hau-hong-ciam?” Dengan suara lirih Tong Koat segera menyebutkan sejumlah nama, tapi Tong Ou gelengkan kepalanya berulang-ulang sambil berkata tak mungkin, karena orang-orang yang disebut namanya itu sedang tidak berada di Benteng Keluarga Tong, mereka sedang bertugas di luar. Yang tersisa tinggal mereka tiga bersaudara. Beberapa saat lamanya Tong Ou termangu, bingung dan tidak tahu menemukan jawabnya. Lama sekali Tong Ou membungkam diri, akhirnya dia baru berkata kepada dua orang anak buahnya, “Coba kalian pergi lagi ke rumah penginapan Ya-lay dan bawa kemari taukenya!” Sepeninggal dua orang itu, Tong Ou baru berkata lagi kepada Tong Koat, “Coba periksa sekali lagi, apakah kita pernah kehilangan jarum Tawon Harimau?” Dengan cepat Tong Koat sudah muncul kembali sambil membawa beberapa jilid buku, setelah membalik beberapa halaman dan meneliti catatan yang tertulis, ia berseru, “Aaah, pernah!” “Siapa yang kehilangan jarum beracun?” “Li Bun-ting!” “Kapan? Di mana?” kembali Tong Ou bertanya. “Bulan satu tahun ini di Hoolam!” “Kenapa bisa hilang?” ----------------------- Page 92----------------------- http://zheraf.net “Dia melepaskan dua batang jarum Hou-hong-ciam ketika hendak membunuh Gi Pek-bin, tapi serangan tersebut berhasil dipatahkan Gi Pek-bin dengan menggunakan sebuah kantung kain.” “Gi Pek-bin? Raja berganti wajah Gi Pek-bin?” Tong Ou menegaskan. “Benar, menurut laporan, ilmu merubah wajah yang dia miliki sangat hebat dan sempurna, tampaknya setiap saat dia selalu membawa ratusan lembar kulit wajah yang bisa digunakannya kapan pun.” “Kenapa kita mesti berusaha membunuh orang itu?” “Kami mendapat laporan, konon Gi Pek-bin telah disuap pihak Tayhong-tong untuk berpihak kepada mereka. Oleh karena orang ini sangat berbahaya dan menakutkan, kami putuskan lebih baik dibi¬kin mampus saja daripada membiarkannya bekerja untuk Tayhong-tong!” “Yaa, betul sekali ucapan itu,” Tong Hoa mengangguk, “coba bayangkan saja, kalau satu orang memiliki ratusan lembar topeng muka yang bisa digunakan untuk berganti rupa setiap saat, siapa yang bisa menyelidiki identitasnya? Hal semacam ini memang sangat menakutkan.” “Siapa yang mengambil keputusan untuk membunuhnya?” kembali Tong Ou bertanya. “Waktu itu kau tidak ada di tempat, tentu saja aku yang memutuskan,” jawab Tong Koat cepat. “Apa Lo- cocong tahu?” “Tidak! Bagaimana? Jadi aku salah mengambil keputusan?” “Betul, seandainya waktu itu kau minta persetujuan dari Lo- cocong, aku yakin dia pasti akan melarang!” “Kenapa melarang?” seru Tong Koat tidak puas. “Untuk menghadapi manusia macam ini, seharusnya kita justru membujuk atau merajainya agar dia mau berbalik memihak kita. Membunuh adalah pilihan yang salah, sebab bila kau gagal membunuhnya, dia akan semakin berbakti untuk lawan. Aku yakin saat ini dia pasti akan mati-matian bekerja untuk kepentingan Tayhong-tong.” Tong Koat bungkam seribu bahasa, sebab dia merasa ucapan toakonya sangat beralasan dan masuk akal, dia mulai menyadari kekeliruan yang telah dilakukannya. Sementara itu Tong ----------------------- Page 93----------------------- http://zheraf.net Ou tidak memedulikan lagi sikap Tong Koat, ia berjalan menghampiri jenasah itu lalu dengan tangan kirinya mengangkat kepala mayat tadi dan tangan kanannya mulai meraba sekeliling wajah, tengkuk dan belakang kepala mayat itu. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dia mencengkeram tengkuk sebelah kiri mayat tadi, lalu dengan sangat perlahan tapi penuh tenaga dia merobek sesuatu dari wajah mayat itu. Sementara itu Tong Koat berdua juga sudah melihat bahwa wajah orang mati itu mengenakan selembar topeng kulit manusia. Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, dia teringat akan sebuah nama yang punya hubungan erat dengan mayat itu. Gi Pek-bin, Gi berwajah seratus. Tampaknya orang itu dibunuh oleh Gi Pek-bin dan selesai membunuh, ia mengenakan selembar topeng kulit manusia di wajah mayat itu. Sementara itu Tong Ou sudah melepaskan seluruh topeng kulit manusia yang dikenakan mayat itu, sekarang terlihatlah paras muka orang itu berwarna hitam gelap, tak heran kalau Tong Ou sekalian tidak tahu kalau orang ini sebenarnya telah mati keracunan. Rupanya wajah orang itu tertutup selembar kulit manusia sehingga warna hitam yang muncul di wajah asli mayat itu sama sekali tak kelihatan. Di saat Tong Ou bertiga masih berdiri tertegun sambil mengawasi mayat yang telah menghitam itu, dua orang yang diutus menjemput tauke rumah penginapan Ya-lay telah tiba di situ. Begitu melihat wajah mayat yang membujur kaku itu, paras muka si tauke rumah penginapan segera berubah hebat, dia berdiri mema¬tung tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun. “Siapakah orang itu?” Tong Ou segera menegur. “Dia... dia... adalah Li Jin-tiong, tapi...” jawab tauke itu gelagapan dan gemetar keras. “Tapi kau melihat dia sudah meninggalkan rumah penginapan sejak tadi, bukan begitu?” Tong Ou menimpali. “Dari... dari mana kau bisa tahu?” tanya si tauke keheranan. Tong Ou mendengus dingin. “Hmm, masih belum jelaskah kau? Ketika orang yang mengaku bernama Go Yong itu mendaftar di rumah penginapanmu itu, bukankah dia muncul dengan mengenakan topeng ini?” ----------------------- Page 94----------------------- http://zheraf.net Sambil menggoyangkan topeng kulit manusia tersebut kembali Tong Ou berkata, “Dia adalah Gi Pek-bin, ketika dia selesai bertugas di tempat ini maka dibunuhnya Li Jin-tiong yang menginap di kamar sebelah, kemudian topeng kulit manusia yang semula dipakainya sengaja dia lepaskan dan dikenakan pada wajah orang itu. Dengan begitu semua orang mengira Go Yong telah mati, padahal secara diam-diam dia telah mengenakan topeng wajah yang mirip dengan Li Jin-tiong untuk meninggalkan rumah penginapan Ya- lay dan kabur dari Benteng Keluarga Tong!” Pucat pias wajah si tauke sehabis mendengar penjelasan itu, gumamnya dengan nada bergetar, “Orang ini... orang ini benar- benar menakutkan...” Tong Ou berpaling ke arah Tong Koat, mendadak tanyanya, “Go Yong pergi ke mana saja?” Secara ringkas Tong Koat melaporkan semua yang diketahuinya. Lama sekali Tong Ou berpikir, dia mencoba mengupas masalah demi masalah dengan seksama, kemudian katanya, “Aku rasa masalahnya timbul kalau bukan di warung bakmi tentu ketika keluar dari rumah pelacuran Li-cun-wan. Aku curiga merpati yang berhasil kita tangkap ini adalah burung merpati yang dilepas olehnya.” Sambil berkata dia menuding bangkai burung merpati yang tergeletak di meja. Waktu itu Tong Koat sedang membolak-balik buku catatan, tiba-tiba teriaknya lantang, “Aaah, betul, catatan mengenai Gi Pek- bin mengatakan bahwa dia sangat suka memelihara burung merpati!” Tong Ou manggut-manggut, ujarnya, “Ketika berada di warung bakmi, orang yang pernah berhubungan dengan Gi Pek-bin adalah Sangkoan Jin, sementara ketika berada di rumah pelacuran Li-cun-wan, dia berhubungan dengan...” “Dia bernama Siau-ping,” sela Tong Koat. “Siau-ping dibesarkan dalam kalangan kita, rasanya tidak cocok untuk dicurigai.” “Jangan-jangan Sangkoan Jin?” “Mana-mungkin?” seru Tong Koat, “waktu itu dia hanya menyerahkan sekeping goanpo!” ----------------------- Page 95----------------------- http://zheraf.net “Siapa tahu di balik goanpo itu terdapat sesuatu yang aneh?” kata Tong Hoa. “Mungkin saja, coba kau panggil...” Mendadak Tong Ou berhenti berbicara, kemudian menoleh dan memandang sekejap ke arah tauke rumah penginapan Ya-lay serta ke kedua pembunuh gelap itu. Tong Koat segera mengerti maksud kakaknya, cepat dia berseru, “Di sini sudah tidak ada urusanmu lagi, kalian boleh pergi!” Tiga orang itu segera berpamitan dan meninggalkan tempat itu. Setelah ketiga orang itu lenyap dari pandangan, Tong Ou baru berkata lagi, “Segera panggil Cing-cing kemari.” “Panggil Cing-cing? Buat apa?* “Aku akan menggunakan kecantikan wajahnya untuk menyelidiki Sangkoan Jin, aku ingin tahu masih ada rahasia apa lagi yang tidak kita ketahui.” Setelah berpisah dengan kedua orang pembunuh gelap itu, si tauke rumah penginapan Ya-lay kembali ke ruang kerjanya seorang diri, dia berjalan menuju ke meja tempat tadi ia tidur lalu duduk dan mengeluarkan buku tamu. Di situ ia menandai dengan lingkaran kecil pada nama Go Yong. Segera sesudahnya ia keluar meninggalkan rumah penginapan lagi. Ia bergerak cepat meninggalkan Benteng Keluarga Tong, rupanya ingin pergi dari situ sebelum fajar menyingsing. Ketika sudah berada di luar wilayah Benteng Keluarga Tong, si tauke baru melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukan Tong Ou, ia melepas selembar topeng kulit manusia dari wajahnya. Ia tertawa, tertawa sangat dingin. Ternyata si tauke ini adalah Gi Pek-bin! Fajar belum menyingsing, kegelapan malam masih memenuhi langit ketika terlihat sesosok manusia berkerudung menyelinap masuk ke dalam rumah penginapan Ya-lay. Langsung ia menuju ke meja kasir dan mengeluarkan buku catatan tamu. Setelah memeriksa sekejap nama Go Yong yang diberi tanda lingkaran itu, kemudian dengan sama cepatnya ia pergi meninggalkan tempat itu. Ilmu meringankan tubuh orang berkerudung ini amat hebat, dia pun nampaknya hapal betul dengan seluk-beluk kebun bunga Keluarga Tong. Menyusuri sudut-sudut halaman yang gelap, dengan ----------------------- Page 96----------------------- http://zheraf.net satu gerakan lincah orang itu sudah menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika sudah di dalam kamar dan sedang melepaskan kain keru¬dung hitam yang menutupi wajahnya, baru kelihatan bahwa orang itu adalah Sangkoan Jin. Baru saja Sangkoan Jin melepaskan kain kerudung dan meletak¬kannya di meja, tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk orang. Mula-mula ia nampak terperanjat sebab saat itu masih tengah malam buta, lagipula baru saja dia kembali dari rumah penginapan Ya-lay. Mungkinkah jejak serta gerak geriknya sudah ketahuan orang-orang Keluarga Tong? Dengan gerakan refleks dia mengambil kembali kain kerudung hitamnya. Belum sempat ia berpikir mau disembunyikan di mana, tiba-tiba satu ingatan melintas di dalam benaknya, jangan- jangan orang yang mengetuk pintu adalah Cing-cing? “Siapa?” ia segera menegur. “Aku!” Ternyata dugaannya tidak salah, itu suara Cing-cing. Cing- cing adalah gadis yang dikenal Sangkoan Jin sejak ia bergabung dalam Benteng Keluarga Tong. Selama ini hubungan mereka sangat mesra dan Cing-cing sering melayani hasrat syahwatnya, maka kehadirannya di tengah malam buta seperti ini bukan kejadian yang aneh dalam pikirannya. Sesudah tahu bahwa yang datang adalah Cing-cing, Sangkoan Jin merasa lega. Ia masukkan kain kerudung hitam itu ke dalam sakunya kemudian membuka pintu. Baru saja pintu dibuka, Cing-cing sudah menubruk ke dalam pelukannya, kemudian sambil mendesis lirih ia menempelkan wajahnya ke wajah Sangkoaan Jin. Menghadapi perlakuan seperti ini Sangkoan Jin tertawa, dia balas memeluk erat gadis itu dan kemudian membopongnya ke atas ranjang. Tak lama kemudian dua tubuh yang telanjang bulat telah saling menempel satu sama lain seperti permen karet... Ooo)))(((ooo Fajar sudah menyingsing, cahaya terang benderang telah memenuhi langit, namun Tio Bu-ki masih berdiri termangu sambil mengawasi batang pohon di hadapannya. Dia masih bimbang, masih resah. Dia menyesal mengapa tindakannya kurang berhati-hati ----------------------- Page 97----------------------- http://zheraf.net hingga membunuh burung merpati yang justru membawa surat peringatan untuk para anggota Tayhong-tong. Ia tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya itu. Lama sekali dia berpikir, memutar otak dan mencari akal... Akhirnya dia mengambil satu keputusan. Untuk mencapai lembah Boanliong-kok dibutuhkan perjalanan satu hari penuh. Artinya jika berangkat sekarang juga, dia baru akan sampai keesokan harinya dan saat itu sudah tiba hari Peh-cun. Dapat diduga semua orang tentu sedang mabuk-mabukan atau dengan perkataan lain, penjagaan pasti sangat kendor. Berpikir sampai di sini Tio Bu-ki terkesiap dan buru-buru melompat turun dari atas pohon, melompat naik ke atas pelana kuda dan melarikannya langsung ke lembah Boanliong-kok. Pada fajar yang sama. Tong Ou, Tong Koat maupun Tong Hoa belum tidur barang sekejap pun, mereka bertiga masih di dalam kamar sambil membicarakan masalah merpati pos serta urusan Gi Pek-bin. Melihat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, tiba-tiba Tong Ou berkata kepada Tong Koat, “Aku bermaksud untuk mengubah rencana penyerbuan.” “Kenapa?” “Terlalu banyak kejadian di luar dugaan, aku takut terjadi perubahan yang tidak menguntungkan.” “Lalu apa rencanamu?” “Segera kirim surat perintah lewat merpati pos, perintahkan mereka segera melancarkan serangan dari tiga jurusan!” Tampaknya dia telah menyiapkan tiga kelompok pasukan yang bersembunyi di sekeliling markas besar Tayhong-tong sambil menunggu perintah dari Keluarga Tong untuk melancarkan serangan. Semula ia berniat datang bersama Tong Koat ke medan pertempuran dan memimpin sendiri penyerbuan itu. Tapi sekarang tiba-tiba saja dia berubah pikiran, bukan saja batal ikut serta, ia bahkan mempercepat waktu penyerangan. Dia memang sengaja membocorkan rahasia penyerbuannya dan waktu penyerangan yang katanya akan dilakukan tepat di hari Peh-cun. Sebenarnya dia bergerak sangat lambat, ia berniat melancarkan serangan baru dua hari setelah lewat Peh-cun. Dalam pikirannya, sekalipun ada yang menyampaikan berita sehingga penjagaan diperketat, tetapi jika musuh sudah melakukan penjagaan ----------------------- Page 98----------------------- http://zheraf.net terus-menerus selama dua hari dua malam dan tidak ada serangan datang, orang akan beranggapan bahwa berita itu salah. Dengan sendirinya penjagaan akan kendor kembali dan keadaan seperti ini adalah kesempatan terbaik baginya untuk menyerang. Tapi sekarang ia memutuskan untuk mengubah rencana penyerangannya. Tiba-tiba saja ia merasakan datangnya satu tekanan yang besar, yaitu lenyapnya Tio Bu-ki dan masih ditambah munculnya Gi Pek-bin. Itulah sebabnya ia memerintahkan Tong Koat untuk mengirim perintah penyerbuan, agar ketiga pasukan yang telah disiapkan selama ini melancarkan serangan besar. Ooo)))(((ooo Hubungan yang dilakukan penuh napsu dan penuh luapan cinta membuat Sangkoan Lian letih sekali. Ia segera jatuh tertidur, tidur sangat nyenyak dan semua kewaspadaannya lenyap. Tidurnya yang begitu nyenyak membuat Cing-cing mengawasinya berapa kejap. Dia memang datang dengan tugas, dia khusus melayani Sangkoan Lian atas perintah Tong Koat, dia pun ditugasi untuk mengawasi semua gerak-gerik orang itu, termasuk igauannya sewaktu tidur. Dia turun dari ranjang dan memungut pakaiannya dari lantai, juga pakaian Sangkoan Jin. Kemudian dengan hati-hati sekali dia memeriksa saku baju itu. Dikeluarkannya secarik kain hitam, dia tahu kain itu dipakai untuk menutup wajah. Sebentar kemudian dia juga mengeluarkan sebuah kantung kain yang sangat kecil. Kantung itu boleh dibilang terjahit rapi dan menjadi satu dengan pakaian dalamnya, dulu ia tak pernah melihat benda ini, tak disangka hari ini dia menemukannya. Ketika kantung itu dibuka, tampak isinya adalah selembar kertas yang sangat tipis. Di atas kertas itu tak ada tulisan apa-apa, yang tampak hanya sebuah lipatan berbentuk hati kecil. Tentu saja Cing-cing tak tahu apa gunanya lipatan kertas itu, tapi dia yakin benda ini pasti sangat penting. Mengapa Sangkoan Jin harus menyimpannya di dalam kantung kecil yang dijahit pada pakaian dalamnya? Buru-buru ia memasukkan kembali kertas itu ke dalam kantung lalu dikembalikan pada asalnya, setelah itu dia baru menuju ke depan cermin dan mulai berdandan. Selesai berdandan ia tak ----------------------- Page 99----------------------- http://zheraf.net kuasa untuk tidak balik lagi ke tepi ranjang dan mengawasi wajah Sangkoan Jin dengan termangu. Mendadak ia menjatuhkan diri ke dada Sangkoan Jin dengan penuh nafsu, lalu dibelainya wajah orang itu dengan penuh kasih sayang. Sangkoan Jin masih tertidur lelap, biarpun matanya masih terpejam namun tangan kanannya telah bergerak menggenggam tangan kecil Cing-cing yang sedang membelai wajahnya. Gerakan itu sebenarnya sangat biasa, tetapi sekarang membuat Cing-cing terharu, perasaannya bergejolak keras. Ia tidak bisa membantah bahwa Sangkoan Jin adalah orang yang bisa mendatangkan kegembiraan baginya. Dulu, ia sudah sering melakukan tugas semacam ini, tapi tak sekali pun merasakan kegembiraan dan kebahagiaan seperti saat bersama Sangkoan Jin sekarang. Tampaknya Sangkoan Jin dapat merasakan tubuh Cing-cing yang gemetar keras, mendadak ia membuka sedikit matanya dan menepuk tangannya sambil menegur, “Ada apa denganmu?” Cing-cing segera sadar akan kesalahannya, buru-buru ia menarik kembali badannya, berdiri dan menyahut, “Ah tidak apa- apa, aku harus pergi!” Sangkoan Jin seperti tidak merasakan ada yang tak biasa, ia hanya mengiakan lirih. Tiap kali Cing-cing datang berkunjung, ia selalu pergi sebelum fajar menyingsing, kali ini pun tak jauh berbeda. Itu sebabnya ia kembali tidur nyenyak. Sekali lagi Cing-cing mengawasi wajah Sangkoan Jin, kemudian baru pergi meninggalkan tempat itu. Sepeninggal dari kamar tidur Sangkoan Jin, dia berjalan sangat lambat karena tempat yang ditujunya sekarang adalah tempat di mana Tong Ou dan Tong Koat sedang menunggu. Sambil berjalan tiada hentinya ia berpikir, haruskah dia laporkan semua yang telah dilihatnya tadi kepada Tong Ou sekalian? Haruskah dia melaporkan lipatan kertas yang ia temukan di balik pakaian dalam itu? Ketika menemukan kain hitam penutup wajah itu sesungguhnya dia sudah tahu apa yang terjadi. Semalam ia sudah mendatangi kamar Sangkoan Jin sebelumnya, tapi ia tak menemukannya di kamar. Belum sempat ia mengambil keputusan haruskah melaporkan semua kejadian tersebut kepada Tong Ou, dirinya telah sampai di depan pintu. ----------------------- Page 100----------------------- http://zheraf.net Sekarang ia tak bisa berpikir lagi sebab sudah tak ada waktu untuk bersangsi lagi. Ketika tiba di depan pintu, pasti ada orang yang akan muncul dari dalam kamar. Dalam keadaan begini, jika dia ragu dan tidak mengetuk pintu, orang yang ada di dalam kamar pasti akan curiga. Maka tanpa menghentikan langkahnya dia menuju ke kamar dan segera mengetuk pintu. “Masuk!” terdengar Tong Koat berseru. Cing-cing mendorong pintu berjalan masuk, pertentangan batin masih berkecamuk dalam hatinya. Terlepas apa pun keputusan yang bakal diambil, dia tak pernah menghentikan langkahnya, ia tahu begitu masuk ke dalam kamar, Tong Ou pasti akan mengajukan banyak pertanyaan. Bab 9. Wajah Asli Gi Pek-bin Kabut tebal menyelimuti bumi di fajar yang baru menyingsing. Begitu tebal kabut yang melayang di atas permukaan itu, mem¬buat segala sesuatu yang berjarak lima kaki sudah tak terlihat jelas. Tidak mudah melakukan perjalanan dalam cuaca seperti ini dan pasti akan banyak makan tenaga serta sangat berbahaya. Apalagi berjalan di bukit yang curam. Tapi Gi Pek-bin tak sependapat, dia justeru merasa jauh lebih ringan dan aman melakukan perjalanan dalam cuaca seperti ini. Ia memang berniat meninggalkan wilayah kekuasaan Benteng Keluarga Tong secara diam-diam dan penuh rahasia, semakin sedikit orang yang melihatnya semakin baik bagi dirinya. Apalagi dengan mengandalkan kungfu yang dimilikinya, berjalan dalam suasana begini merupakan perjalanan yang paling aman. Dengan santai dia menelusuri jalanan bukit dan menuruni tebing perbukitan, sampai-sampai dia tak peduli langkah kakinya meninggalkan suara yang jelas. Dia malah sama sekali tak tahu kalau ada delapan buah mata sedang mengawasi gerak-geriknya lima kaki jauhnya dari tempat ia berada. Delapan mata milik empat orang yang semuanya mengenakan pakaian ketat berwarna hitam dan siap melancarkan serangan maut. Hampir setiap malam hingga pagi, mereka berempat selalu berjaga-jaga di situ dengan penuh kewaspadaan. Selama lima tahun belum pernah mereka berempat mangkir satu hari pun. ----------------------- Page 101----------------------- http://zheraf.net Mereka adalah pasukan inti Keluarga Tong, usianya rata-rata di atas Tong Ou. Mereka sudah banyak mendirikan jasa sejak masih menjadi bawahan ayah Tong Ou, oleh karena itu mereka tidak perlu mendengar perintah dari Tong Ou, semua perintah langsung diperoleh dari Lo-cocong. Selama lima tahun terakhir, secara sukarela mereka mengajukan diri untuk berjaga di situ, karena pada saat itu, keempat penjaga yang bertugas di situ mati dibunuh orang dan tak ada seorang pun yang mau ditugaskan di tempat itu. Tempat itu merupakan jalan gunung yang amat penting, tiap orang yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong harus melalui jalan tersebut. Inilah jurus ampuh yang diusulkan ayah Tong Ou untuk menjaga keamanan bentengnya. Tempat ini tak perlu dijaga di siang hari, tapi perlu diwaspadai dari tengah malam hingga menjelang fajar, karena orang-orang yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam, akan tiba di situ pagi harinya. Kecuali petugas yang mengemban tugas penting atau tugas rahasia, biasanya hanya orang-orang yang ingin kabur secara diam- diam yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam buta. Siapa saja yang ingin meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam buta? Kalau bukan pengkhianat, tentulah para agen rahasia atau mata-mata yang menyamar sebagai pedagang untuk mencari berita di situ. Dan orang semacam itu pantas dilenyapkan untuk selama- lamanya dari Benteng Keluarga Tong. Oleh karena itulah harus ada jago tangguh yang bertugas menjaga di jalan ini. Bila ada orang meninggalkan Benteng Keluarga Tong secara diam-diam atau orang yang patut dicurigai, pihak benteng akan melepaskan mercon berwarna merah. Bila para penjaga melihat mercon merah dilepaskan, itulah tanda bahwa mereka harus meningkatkan kewas¬padaan. Semalam Tong Koat telah melepaskan sebuah mercon dengan cahaya merah. Begitu melihat pancaran mercon merah itu, keempat jago tangguh itu segera meningkatkan kewaspadaannya dan bersiap-siap melakukan penghadangan. Keempat orang ini adalah anak yatim piatu yang dibawa ayah Tong Ou dari daerah Sucoan dan sejak kecil sudah belajar silat di bawah bimbingan ayah Tong Ou. Mereka diberi nama Tong Hong, Tong Bwee, Tong Bian dan Tong Sang. ----------------------- Page 102----------------------- http://zheraf.net Usia Tong Hong paling tua, senjata yang digunakannya adalah sebilah pedang. Senjata rahasianya Hong-ko (Buah Waru), yaitu buah waru yang bentuknya bulat dan berduri, bila menghajar tubuh orang maka durinya akan menancap tembus hingga ke tulang. Sebaliknya bila ditangkis dengan senjata, buah itu akan meledak dan menyemburkan cairan beracun. Senjata Tong Bwee adalah sebilah golok bweehoa-to, di atas golok ini terdapat lima buah gelang baja yang apabila ditekan kuat- kuat kelima gelang itu akan melesat ke empat penjuru. Dari balik tiap gelang akan menyembur keluar lima buah senjata rahasia beracun yang berbentuk bunga bwee, keampuhannya luar biasa. Senjata andalan Tong Bian adalah sepasang telapak tangan kosong, tapi dia juga secara khusus membuat sepasang sarung tangan yang terbuat dari kapas. Jika berhadapan dengan orang biasa, dia bertarung dengan mengandalkan tangan kosong, tapi bila berhadapan dengan musuh tangguh, dia akan mengenakan sarung tangan kapasnya, di balik setiap jari sarungnya tersembunyi jarum beracun yang amat berbahaya. Dengan menggunakan tenaga dalamnya ia bisa memancarkan jarum itu untuk melukai lawannya. Senjata yang digunakan Tong Sang adalah tongkat Longgee- pang (Tongkat Gigi Srigala) tapi di balik tiap giginya disisipkan jarum beracun. Orang yang tak berpengalaman, bukan saja akan terluka oleh gigi senjatanya, tetapi juga terhajar jarum beracun rahasia itu. Sudah lima tahun Tong Hong berempat bertugas di situ, entah sudah berapa banyak orang yang tewas di tangan mereka. Pengeta¬huan mereka tentang daerah ini sudah amat dalam, mereka pun sudah terbiasa untuk mengamati sasarannya dari jarak sepuluh kaki jauhnya. Tak heran kalau kemunculan Gi Pek-bin sudah sejak awal segera mereka ketahui. Dengan cepat mereka berempat serentak bersembunyi di kedua belah sisi jalan, Tong Hong dan Tong Bian bersembunyi di sebelah kiri sementara Tong Bwee dan Tong Sang bersembunyi di sebelah kanan. Tong Hong dan Tong Bwee berada di depan sedang Tong Bian dan Tong Sang berada di belakangnya. Dalam pada itu Gi Pek- bin masih mengikuti jalan setapak dengan santai, sama sekali dia tak menyangka kalau dari balik belukar ada empat pasang mata sedang mengawasi gerak-geriknya. Menanti sampai Gi Pek-bin sudah berada ----------------------- Page 103----------------------- http://zheraf.net satu kaki melewati tempat persembunyian Tong Hong berdua, saat itulah Tong Bian dan Tong Sang melompat keluar secara tiba-tiba. Dengan sangat terkcjult Gi Pck-bin bcrbalik ke belakang dan terus maju, tapi dengan cepat dia menghentikan gerakan tubuhnya, karena ternyata Tong Hong berdua sudah muncul pula dari balik persem¬bunyian, menghadang jalan mundurnya. Tanpa banyak bicara dia mencabut keluar goloknya, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun melancarkan serangan kilat ke sisi kiri jalan. Dia memang sengaja menyerang ke sebelah kiri karena dilihatnya Tong Sang hanya bersenjata sebuah tongkat Longgee- pang, sementara Tong Bian hanya bertangan kosong. Begitu tiba di sisi Tong Bian, golok lemasnya langsung diayunkan menyambar pinggang lawan. Tong Bian tidak melayani serangan itu, dia mengegos ke samping lalu mundur dua langkah. Tepat di saat Tong Bian bergerak mundur, Tong Sang mendesak dua langkah ke depan, senjata Longgee-pangnya bergerak dari kiri menuju ke kanan menghadang jalan pergi Gi Pek- bin. Menghadapi ancaman tersebut, buru-buru Gi Pek-bin melompat mundur. Tong Hong masih belum bergerak, dia hanya berjaga-jaga tepat di tengah jalan. Memang beginilah perjanjian mereka, bila keadaan tidak mendesak mereka tak akan main kerubut, bila musuh menggunakan golok maka yang memakai senjata golok yang bertugas menghadapi. Ooo)))(((ooo Setiap orang yang menguasai ilmu silat, hampir semuanya memiliki keyakinan yang besar atas kemampuan kungfu sendiri. Tentu saja Tong Bwee tidak terkecuali, malah ia memberikan sebuah nama yang istimewa bagi ilmu golok andalannya. Tong Bwee memang tidak suka alat musik, tapi ia memberi nama ilmu goloknya mirip dengan sebuah lagu kenamaan, hanya saja lantaran di balik golok bweehoa-to nya tersimpan senjata rahasia beracun maka ia sebut ilmunya adalah Bwee-hoa-sam-ping (Tiga Petikan Bunga Bwee). Bacokan golok yang dilancarkan Tong Bwee tadi tak lain adalah jurus kedua dari Bwee-hoa-sam-ping yang disebut Bwee-kay- ji-tok (Bunga Bwee Mekar Kedua Kalinya), mata golok membabat ----------------------- Page 104----------------------- http://zheraf.net pinggang Gi Pek-bin dengan sangat cepat. Jika musuh belum terpengaruh akan disusul dengan bacokan kedua yang jauh lebih cepat, sebelum sambaran pertama selesai. Gi Pek-bin memiliki ilmu menyamarkan wajah nomor wahid di kolong langit, itu bukan berarti ilmu goloknya lemah. Ketika melihat datangnya ancaman itu, dengan cepat dia menggeser golok lemasnya ke bawah, lalu dengan kecepatan tinggi membendung datangnya serangan gelombang pertama. Tong Bwee mencabut mundur goloknya dengan segera, kembali dia membabat pinggang lawan. Gi Pek-bin tertawa dingin, dengan gerakan yang sama-sekali tak berubah, sekali lagi ia membendung bacokan itu. “Tranggg!” percikan bunga api memancar ke empat penjuru, kedua belah pihak sama-sama mundur satu langkah. Biarpun baru bentrok satu gebrakan, siapa menang siapa kalah segera sudah ketahuan. Tong Bwee mengerti, dia masih kalah cepat dari musuhnya, maka untuk kedua kalinya kembali ia menyerang dengan jurus “Dat-soat-Sim-bwee” (Menginjak Salju Mencari Bunga Bwee). Menginjak salju adalah satu perbuatan yang memerlukan perhitungan matang, bila menginjakkan kaki terlalu berat, bisa jadi kaki akan terperosok. Sebaliknya bila diinjak terlalu ringan, kita bisa tergelincir dan jatuh terpelanting, maka kapan harus memakai tenaga dan kapan tidak merupakan kunci keberhasilan melangkah. Setengah jurus pertama dari Tong Bwee adalah Dat-soat atau Menginjak Salju, itu berarti gerak serangan goloknya harus digunakan dengan tenaga yang tepat dan ringan. Bukan saja setiap saat harus mengintai kelemahan musuh, begitu ada kesempatan bacokannya harus mematikan. Sedangkan setengah jurus terakhir adalah Mencari Bunga Bwee atau Sim-bwee, bunga bwee sama artinya dengan senjata rahasia, itu berarti begitu ada peluang maka dia akan merobohkan musuh dengan jarum beracunnya. Jurus serangan dari Tong Bwee ini sangat hebat dan belum pernah gagal. Sayang kali ini dia tak berhasil mewujudkan impiannya. Walaupun ia telah berupaya mengurung musuhnya dengan ketat, namun golok lemas dari Gi Pek-bin seolah-olah telah menyelubungi sekujur badannya hingga tak setitik kelemahan pun yang tampak. Dalam keadaan begini, mau tak mau Tong Bwee harus menggunakan senjata rahasianya. ----------------------- Page 105----------------------- http://zheraf.net Ia menyalurkan tenaga dalamnya dan dua buah gelang di atas goloknya segera terbang, disusul dengan semburan senjata rahasia beracun bweehoa-ciam ikut menyembur ke seluruh angkasa. Dalam perkiraannya, dengan serangan yang begitu dekat dan rapat, akan sulit bagi musuhnya untuk meloloskan diri. Siapa tahu, entah sejak kapan, tahu-tahu dalam genggaman Gi Pek-bin telah bertambah dengan sebuah kain karung goni. Dengan sekali ayunan tangan kirinya yang cepat, seluruh jarum beracun yang menyembur itu tiba-tiba telah tergulung ke dalam karungnya. Sadar keadaan tidak menguntungkan, Tong Hong segera memben¬tak nyaring sambil mengayunkan tangan kirinya. Sebutir senjata rahasia hong-ko (buah waru) melesat ke udara, langsung mengancam dada kanan Gi Pek-bin. Dia memang sengaja menyerang dada kanan Gi Pek-bin, sebab dia tahu tangan kiri lawannya mencekal karung goni, sementara tangan kanannya memegang golok. Orang dalam keadaan seperti ini, tanpa sadar ia akan menggunakan goloknya untuk menghadang kedatangan serangan senjata rahasia itu. Inilah yang ditunggu-tunggu Tong Hong, sebab bila senjata rahasianya ditangkis, benda itu segera akan meledak dan menyemburkan cairan beracun. Ternyata perhitungan Tong Hong sangat tepat, Gi Pek-bin menggunakan goloknya untuk menangkis datangnya serangan senjata rahasia itu. Melihat ujung golok musuh segera akan membentur senjata rahasianya, tanpa sadar Tong Hong berempat kegirangan, bahkan sekulum senyuman girang sempat terlintas di wajah Tong Bwee. Begitu melihat senyuman itu, Gi Pek-bin segera sadar bahwa keadaan tidak menguntungkan baginya, buru-buru dia getarkan goloknya ke samping lalu ditariknya dengan mendadak. Setelah itu sambil mengerahkan hawa murninya ia membuat satu gerakan setengah busur, dia memaksa senjata rahasia itu memperlambat gerak luncurnya dan kemudian rontok ke tanah. Pada saat itulah Gi Pek-bin mengayunkan karung goninya dan menyambar senjata rahasia hong-ko itu. Paras Tong Bwee dan Tong Hong berubah hebat, sementara Tong Bian dan Tong Siang yang berdiri di belakang Gi Pek-bin segera sadar kalau serangan saudaranya gagal total. Dengan segera mereka menerjang ke depan sambil mengancam. ----------------------- Page 106----------------------- http://zheraf.net Tong Bian secara beruntun melepaskan empat buah pukulan berantai, angin serangan yang menderu-deru memekakkan telinga dan perbawanya benar-benar luar biasa. Sementara Tong Siang dengan senjata tongkat gigi srigalanya membacok tengkuk lawan. Pedang Tong Hong dan golok Tong Bwee tidak tinggal diam, mereka ikut meluruk ke depan sambil menyerang tubuh Gi Pek-bin. Dalam keadaan begini mereka berempat sudah tidak peduli dengan aturan dunia persilatan, yang terpikir hanya bagaimana merobohkan musuh secepat mungkin. Bila satu orang tak sanggup maka dua orang akan maju, bila dua orang tak sanggup, mereka berempat akan maju bersama. Bisa dibayangkan betapa dahsyat dan gencarnya serangan keempat orang itu. Dalam keadaan seperti ini, Gi Pek-bin hanya mampu menangkis sambil mempertahankan diri. Lebih kurang seminuman teh kemudian, tiba-tiba Gi Pek-bin membentak nyaring, “Berhenti!” Keempat orang jago itu segera menghentikan serangan, tapi mereka tetap mengawasi Gi Pek-bin dengan penuh kewaspadaan. Gi Pek-bin sadar, kemampuannya belum sanggup untuk mengalahkan mereka berempat, maka sambil menurunkan goloknya dia menegur ke arah Tong Hong, “Sebenarnya apa maumu?” “Kami minta kau segera balik ke Benteng Keluarga Tong!” “Kenapa?” “Tidak ada apa-apa, kami hanya ditugaskan untuk menahan siapa saja yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam buta dan membawanya balik ke markas.” “Untuk diinterogasi?” “Kalau soal itu sih tergantung tingkat kerjasamamu!” Tong Hong tertawa. Gi Pek-bin tidak bicara lagi, dia selipkan kembali goloknya di pinggang lalu sambil memberi tanda dengan tangan kirinya dia bergegas meninggalkan tempat itu. Tong Hong berempat segera menyingkir ke samping memberi jalan, tapi begitu Gi Pek-bin berlalu, mereka berempat pun segera mengintil dari belakang. Ooo)))(((ooo ----------------------- Page 107----------------------- http://zheraf.net Ketika Gi Pek-bin digelandang balik ke Benteng Keluarga T( >ng, waktu itu Cing-cing sedang membuka pintu sambil berjalan masuk ke dalam ruangan. Begitu melihat kemunculan perempuan itu, Tong Koat segera menegur, “Kau berhasil menemukan sesuatu?” “Tidak!” Cing-cing menggeleng. “Apakah kemampuan Sangkoan Jin memang hebat?” sela Tong Hoa tiba-tiba. “Yaa, dia kuat sekali, tak beda dengan anak muda...” Sekulum senyuman sesat segera tersungging di ujung bibir Tong Hoa dan Tong Koat, sebaliknya paras muka Tong Ou sama sekali tak berubah. “Kalau begitu pergilah beristirahat,” perintah Tong Koat sambil mengulapkan tangannya, “bila menemukan sesuatu segera lapor kemari.” Cing-cing mengiakan sambil berlalu. Dia berjalan sangat lamban, ketika membuka pintu ia nampak agak sangsi sejenak tapi kemudian berlalu tanpa berpaling lagi. Dia memang tak tega mengkhianati Sangkoan Jin, sebab ia sadar bila apa yang ia temukan dilaporkan kepada Tong Koat, Sangkoan Jin bakal mengalami nasib yang mengerikan. Bagi ia sendiri, ini sama artinya dengan kehilangan kesempatan untuk bertemu, bergaul dan menikmati kegembiraan bersama Sangkoan Jin. Bagaimanapun dia masih merasa berat untuk kehilangan kenikmatan hidup seperti ini, maka ia terpaksa harus membohongi Tong Koat. Tapi ada satu hal yang dia tak ketahui, ia tidak tahu kalau Gi Pek-bin telah tertangkap dan sedang digelandang ke markas. Seandainya Gi Pek-bin sampai buka suara dan mengakui semua tujuan kedatangannya ke Benteng Keluarga Tong, maka Cing-cing pun akan terancam hukuman mati karena kebohongannya. Tentu saja semua itu baru akan terjadi bila Gi Pek-bin mengambil keputusan yang salah sewaktu bertemu dengan Tong Ou nanti. Ooo)))(((ooo Cing-cing memang tidak mengetahui rahasia ini, namun Tong Ou sekalian sedang merasa amat gembira karena orang yang berada di hadapan mereka sekarang tak lain adalah Gi Pek-bin yang berhasil digelandang balik. ----------------------- Page 108----------------------- http://zheraf.net Paras muka Gi Pek-bin sangat hambar nyaris tanpa perasaan, sikap hambar semacam ini segera menimbulkan kecurigaan Tong Ou, jangan-jangan wajah yang berada di hadapannya kini juga wajah palsu? Tapi ia merasa persoalan itu tidak penting, yang paling penting saat ini adalah mencari tahu apa maksud dan tujuan kedatangannya ke Benteng Keluarga Tong. Belum sempat Tong Ou buka suara, Gi Pek-bin sudah bicara lebih duluan, ujarnya, “Tentunya kalian ingin tahu kenapa aku datang ke Benteng Keluarga Tong bukan?” “Pintar amat orang ini,” batin Tong Ou, “kelihatannya aku tak perlu membuang banyak waktu untuk menanyainya, hanya saja yang menjadi masalah sekarang adalah jujurkah setiap jawabannya?” Melihat orang-orang itu mengangguk, Gi Pek-bin bicara lebih lanjut, “Bila kujawab kedatanganku hanya untuk berniaga, tentunya kalian tak bakal percaya bukan?” Tentu saja! Semua orang kembali manggut-manggut. “Lantas apa yang kalian harapkan? Kalian berharap apa yang sedang kulakukan di sini?” kembali Gi Pek-bin bertanya. “Lihay amat orang ini,” pikir Tong Ou. Dia tidak menjawab, sinar matanya dialihkan ke wajah Tong Koat. Begitu bertemu dengan sinar mata toakonya, Tong Koat segera mengerti maksud Tong Ou, maka ujarnya, “Tentu saja kami berharap kedatanganmu benar-benar untuk berniaga, tapi kau tidak bukan?” “Tepat sekali!” “Jadi kau datang mencari seseorang?” “Benar!” “Siapa?” “Sangkoan Jin!” Seketika suasana berubah jadi serius dan berat. Memang inilah jawaban yang diharapkan Tong Ou sekalian, tapi mereka tak menyangka diutarakan secepat itu dari mulut Gi Pek-bin, kenyataan ini mengagetkan mereka. Tong Koat mulai merangkum semua keterangan yang telah diperolehnya hingga kini. Kalau memang kedatangan Gi Pek-bin untuk mencari Sangkoan Jin, kenapa tidak berusaha untuk berbohong? Kenapa Cihg-cing bisa tak mengetahui persoalan ini? Apakah karena kelihayan Sangkoan Jin menyembunyikan semua jalan pikiran dan tingkah-lakunya? Atau ----------------------- Page 109----------------------- http://zheraf.net justru Cing-cing yang telah mengelabuhi mereka? Kalau benar perempuan itu berbohong, kenapa ia mesti membohongi mereka? Tong Koat tidak berpikir lebih lanjut, karena Tong Ou telah menegur lebih dulu, “Kenapa kau datang mencarinya?” “Karena ada urusan.” “Urusan apa?” “Urusan pribadi.” “Urusan pribadi?” “Benar!” “Aku rasa belum tentu begitu,” tukas Tong Koat tiba-tiba, “menurut hasil penyelidikanku, sejak datang kemari kau tak pernah berbicara sepatahkata pun dengan Sangkoan Jin.” “Tanpa bicara pun kami dapat berhubungan.” “Ooh, tentu saja bisa,” Tong Koat mengangguk, “tapi biasanya, hubungan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi!” “Benar, memang itulah rahasia kami. Masa kalian ingin tahu rahasia itu? “Benar, kami ingin tahu,”kata Tong Ou. “Kalau aku tak ingin bicara?” “Terserah,” kata Tong Koat, “cuma aku perlu memperingatkan lebih dulu, kami dari Keluarga Tong memiliki sejumlah obat beracun yang dapat membuat orang lemas, kegatalan dan kehilangan kekuatan.” Gi Pek-bin hanya mengawasi Tong Koat tanpa bicara, tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu, namun pada wajahnya sama sekali tak nampak ada perubahan. Kini Tong Ou sudah yakin, Gi Pek-bin pasti telah mengenakan selembar kulit manusia untuk menutupi wajah aslinya. Seperti apakah wajah aslinya? Tong Ou tidak ingin tahu, yang ingin diketahui olehnya saat ini hanya tujuan sebenarnya atas keda¬tangannya mencari Sangkoan Jin. Lama sekali Gi Pek-bin mengawasi wajah Tong Koat tanpa berkedip, sepeminuman teh kemudian barulah ia membuka suara, katanya, “Padahal... bicara terus-terang pun tak masalah, aku hanya merasa bersalah kepada Sangkoan Jin.” “Merasa bersalah kepada seseorang? Itu sih cuma perasaan!” jengek Tong Koat sambil tertawa dingin, “kalau sampai kena dicekoki racun hingga sekujur badan kesemutan dan gatal- gatal, itu baru siksaan yang sesungguhnya. Apalagi kalau sampai ----------------------- Page 110----------------------- http://zheraf.net nyawa berada di ujung tanduk, salah kepada orang jadi masalah yang sama sekali tak berarti!” Ancaman itu jelas disampaikan untuk menakut-nakutinya, tapi tak seorang pun dapat melihat apakah Gi Pek-bin berhasil dibikin ketakutan atau tidak. Wajahnya tetap dingin, hambar dan tidak menunjukkan perubahan sedikit pun. “Manusia punya nama, pohon punya bayangan, aku memang tahu senjata rahasia beracun dari Benteng Keluarga Tong merupakan kepandaian nomor wahid di kolong langit,” kata Gi Pek- bin kemudian. Tong Koat mendengus. “Hmm, kalau sudah tahu, aku pun tak usah menjabarkan lebih jauh...” “Ya, aku bukan hanya pernah mendengar, aku bahkan pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri.” “Oh ya?” Paras muka Gi Pek-bin berkerut kencang, mungkin dia sedang tertawa. Lalu dia mengulurkan tangannya ke belakang tengkuk, kemudian menariknya kuat-kuat, selembar kulit manusia segera terlepas dari wajahnya. Tong Ou, Tong Koat maupun Tong Hoa segera berseru tertahan, mereka kaget sekali, mereka menatap wajah asli Gi Pek-bin dengan mata melotot dan mulut melongo. Wajah yang tampil di hadapan mereka sekarang adalah selembar wajah penuh bekas luka bakar, nyaris tak ada daging yang tersisa di situ. Semuanya bergumpal menjadi kulit yang penuh kerutan. Begitu buruk dan jeleknya muka itu, tak heran kalau membuat siapa saja yang melihatnya jadi terperanjat. Tapi bukan wajah jelek itu yang membuat mereka terperanjat, walaupun muka itu penuh bekas luka bakar, penuh kerutan dan parutan yang memuakkan, namun dalam sekilas pandang saja mereka segera mengenali orang itu. Dia adalah Tong Sip-jit. Ya, dia adalah Tong Sip-jit dari Benteng Keluarga Tong yang dikabarkan telah tewas secara mengenaskan. Tewas dalam sebuah kebakaran hebat yang terjadi pada tujuh tahun berselang. Dalam kebakaran dahsyat itu, entah pihak Tayhong po berhasil menyuap siapa, nyatanya mereka berhasil mendapat tahu bahwa orang-orang benteng Tayhong-po yang berhasil disuap Benteng Keluarga Tong sedang berpesta-pora malam itu. Arak yang ----------------------- Page 111----------------------- http://zheraf.net dihidangkan mereka campuri obat pemabuk, kemudian melepaskan api untuk membakar semua yang ada di situ... Walapun tujuh tahun telah berlalu, namun luka yang sangat mendalam ini masih membekas dalam hati setiap tokoh, setiap pentolan Benteng Keluarga Tong. Dalam peristiwa itu pihak Keluarga Tong telah kehilangan tigapuluh delapan orang. Bahkan hingga kini mereka masih belum tahu, dengan cara apa pihak Tayhong-po bisa tahu kalau mereka sedang berpesta-pora malam itu. Mereka juga tidak tahu siapa yang berhasil disuap benteng Tayhong-po dan membocorkan rahasia itu. Dan sekarang, Tong Sip-jit yang dikira sudah tewas pada tujuh tahun berselang ternyata muncul kembali dalam keadaan hidup, bagaimana mungkin Tong Ou tidak terbelalak dibuatnya? Lama sekali Tong Koat mengawasi wajah orang itu, kemudian dengan nada setengah percaya ia menegur, “Tong Sip- jit?” Orang itu mengangguk. “Kau belum mati?” kembali tegurnya. Mana ada orang mati bisa berdiri di situ? Tentu saja mustahil. Tapi kemunculan Tong Sip-jit sama sekali di luar dugaan, sedemikian di luar dugaannya sehingga Tong Koat sekalian tak berani mempercayai dengan begitu saja. Akan tetapi, kenyataan tetap kenyataan. Tong Ou tidak berkata apa-apa, dia menghampiri Tong Sip- jit lalu mulai meraba seluruh muka yang penuh keriput itu. Ternyata kerutan itu asli, kulit wajah asli, bukan topeng kulit manusia. Setiap guratan, setiap kerutan, semuanya asli. Dari perubahan mimik muka Tong Ou, Tong Hoa segera tahu kalau orang yang berada di hadapannya memang Tong Sip-jit yang sesungguhnya, maka tak tahan ia bertanya, “Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Dengan pedih Tong Sip-jit tertawa dingin, “Panjang ceritanya...” Dia mulai mengisahkan pengalaman hebat yang dialaminya tujuh tahun berselang itu. Karena minum arak yang telah dicampuri obat pemabuk, begitu kebakaran terjadi dia tersentak hingga jatuh tak sadarkan diri. Sebelum j atuh pingsan, ia sempat melihat keadaan rekan-rekannya yang hampir serupa, sama sekali tak ----------------------- Page 112----------------------- http://zheraf.net mampu berkutik. Ia sadar bahwa rekan-rekan yang lain pun mengalami nasib yang sama. Ketika ia sadar kembali dari pingsannya, ia mengira dirinya telah berada dalam neraka. Tapi begitu membuka mata, ia mendapatkan bahwa di sekelilingnya ada bangku yang terbuat dari bambu, jendela bambu dan pintu bambu. Baru ia sadar, dirinya masih hidup di alam nyata. Kemudian dia pun mulai merasakan kulit wajahnya yang sakit sekali, sedemikian sakitnya sampai ia merintih kesakitan. Tiba- tiba dia mendengar pintu bambu didorong orang dan tampak seorang nenek berjalan menghampirinya. Sebelum nenek itu berjalan mendekat, ia sudah jatuh tak sadarkan diri kembali saking kesakitannya. Seingatnya, ia kadang pingsan kadang sadar berkali-kali. Setiap sadar kembali dia akan merintih penuh penderitaan, tiap kali dia merintih pasti ada orang yang muncul di ruangan itu untuk menje¬nguknya. Anehnya, orang yang muncul ke dalam ruangan itu selalu orang yang berbeda, dari si bongkok sampai si bisulan, dari pemuda ganteng sampai nenek peyot, dari gadis cantik yang menawan bagai bidadari hingga kakek tua yang penuh keriput. Ia tidak ingat jelas sudah berapa kali dirinya jatuh pingsan, dia pun tak tahu sudah berapa banyak orang yang dijumpainya. Tatkala kesadarannya benar-benar telah pulih kembali, orang yang dijumpai adalah seorang lelaki setengah umur. Ketika melihat ia sadar kembali, sambil tersenyum pria setengah umur itu berkata, “Jangan kuatir, kondisimu saat ini sudah tidak berbeda dengan orang waras lainnya!” Ia tahu lelaki setengah umur inilah yang telah menolong dia, atau paling tidak, keluarga orang inilah yang telah menyelamatkan jiwanya. Ingin sekali ia bangkit berdiri untuk menyatakan rasa terima kasihnya, sayang tak sedikit pun tenaga dimilikinya. Biarpun mulutnya terbuka, namun tak sepotong suara yang keluar. Lelaki setengah umur itu segera menahan bahunya agar dia tidak bangkit, kemudian meneruskan, “Kau perlu beristirahat tiga hari lagi sebelum punya tenaga untuk berbicara. Sekarang berbaringlah dulu untuk istirahat, dalam tiga hari ini kau tetap akan sadar sepenuhnya, namun badanmu belum dapat bergerak. Ya, memang akan terasa sedikit menyiksa!” ----------------------- Page 113----------------------- http://zheraf.net Habis berkata, lelaki setengah umur itu pun berlalu dari situ. Tiga hari berikut, kecuali sedang tertidur, benar saja ia sadar seratus persen. Ia dapat melihat, mendengar dan merasakan segala sesuatu, namun tak sedikit pun tenaga bisa digunakan. Ia sempat menjumpai seorang gadis yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan datang merawatnya, menyuapi bubur untuknya. Ia pun melihat ada seorang lelaki setengah umur yang berdandan pelayan datang menggantikan pakaiannya dan membersihkan seluruh tubuhnya dengan kain basah. Ia berjumpa dengan setiap orang yang pernah dijumpainya sewaktu masih setengah sadar tempo hari. Anehnya orang-orang itu selalu muncul seorang diri, tidak pernah mereka muncul berduaan. Bahkan munculnya juga selalu bergiliran. Pada pagi hari ketiga, ketika ia membuka matanya kembali, sadarlah dia bahwa selembar nyawanya berhasil diselamatkan dari pintu neraka. Ia dapat merasakan seluruh kekuatan tubuhnya telah pulih kembali dan ia mencoba bangkit untuk memeriksa tangan dan kakinya. Seketika perasaan heran menyelimuti hatinya. Aneh, kenapa tak setitik luka pun yang dijumpai baik di lengan maupun di kakinya? Ia mencoba untuk meraba wajahnya sendiri, sebab sesaat sebelum pingsan sewaktu terjadi kebakaran itu, yang sempat dirasakannya adalah wajah yang terbakar kobaran api. Begitu meraba, dia amat terperanjat, ternyata tangannya tidak menyentuh kulit yang tebal dan kasar, melainkan selembar kulit muka yang halus sekali. Ia duduk terkesima dan menjerit tertahan saking kaget dan ngeri¬nya. Saat itulah pintu kembali terbuka, lelaki setengah umur yang dijumpai tiga hari berselang muncul kembali sambil menghibur, “Kau tak usah takut, biarpun wajahmu terluka bakar, namun setelah bertemu dengan aku, Jian-jiu-sin-ih (Tabib Sakti Bertangan Seribu), kulit wajahmu yang terbakar itu pasti akan sembuh seperti sedia kala. Tentu saja setelah kulit yang baru tumbuh kembali, akan ada bekas-bekas kerutan yang membuat permukaan kulitmu tidak rata. Memang sedikit jelek, tapi apa salahnya? Bukankah selembar nyawamu jauh lebih penting daripada tampang yang jelek?” Tong Sip-jit segera melompat turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut serta menyembah berulangkali sambil berseru, “Terima kasih atas pertolongan ini...” ----------------------- Page 114----------------------- http://zheraf.net “Bagus, bagus sekali.” Tabib Sakti Bertangan Seribu tersenyum sambil manggut-manggut, kemudian tak berbicara apa- apa lagi. “Bolehkah aku tahu nama In-jin (tuan penolong)?” kembali Tong Sip-jit bertanya. “Tabib Sakti Bertangan Seribu Yo Si-heng!” “Ooh, rupanya Yo-injin!” seru Tong Sip-jit, sementara dalam hatinya ia berpikir, “Aneh benar, ilmu tabib yang dimiliki Tabib Sakti Bertangan Seribu ini sangat tinggi, kenapa aku tidak pernah mendengar nama besar-nya? “Kenapa?” tegur tabib sakti tiba-tiba, “kau heran bukan? Mengapa sebelumnya tak pernah mendengar nama julukanku ini?” “Tidak berani, tidak berani...” “Bangun dan duduk kembali di ranjangmu,” kembali Yo Si- heng berkata sambil tertawa, “sekarang kondisi tubuhmu belum pulih kembali, masih butuh banyak istirahat!” Setelah mengucapkan terima kasih, Tong Sip-jit kembali ke atas pembaringannya. Setelah termenung sesaat dan menatap wajah Tong Sip-jit berapa saat, Yo Si-heng baru berkata lagi, “Selama ini aku hidup mengasingkan diri, jauh dari keramaian dunia, jauh dari nama dan keuntungan pribadi. Aku selalu berusaha menyelamatkan mereka yang nyaris terbunuh di tangan musuh besarnya. Tahukah kau kenapa aku berbuat begini?” Tong Sip-jit tidak menjawab, dia hanya mengawasi tabib sakti itu sambil menggeleng. “Karena ayahku telah memilihkan nama yang sangat baik untukku, yakni 'Si-heng'. Tinggalkan segala kebencian di dalam dunia. Ketika aku berhasil menyelamatkan orang dari kematian, tahukah kau apa yang tersisa dalam hati dan pikiran orang-orang itu? Dalam hati mereka pasti timbul 'si-heng', sisa-sisa kebencian. Mereka pasti ingin mencari musuh besarnya dan berusaha membalas dendam...” Tong Sip-jit tidak berkata apa-apa, rasa heran makin mencekam hatinya. “Aneh, mana ada orang yang bertujuan menyisakan rasa kebencian di saat selamatkan orang lain?” demikian ia berpikir. Menyaksikan perubahan mimik muka Tong Sip-jit, sambil tertawa Yo Si -heng kembali berkata, “Kau jangan salah mengartikan ----------------------- Page 115----------------------- http://zheraf.net maksudku, bukankah sudah kukatakan: Tinggalkan sisa kebencian di dunia ini?” Tong Sip-jit manggut-manggut. Kembali Yo Si-heng berkata, “Setelah kuselamatkan dirimu dari amukan api di gedung Tayhong-tong, tentu saja kau masih menaruh perasaan dendam terhadap orang-orang Tayhong-tong bukan?” Sekali lagi Tong Sip-jit mengangguk. “Kau tahu apa artinya tinggalkan segala kebencian di alam dunia?” desak Yo Si-heng lebih jauh sambil tertawa. “Tidak terlalu jelas, karena aku memang tak banyak membaca buku.” “Kalau begitu kujelaskan sekarang, aku meminta kau untuk meninggalkan semua kebencianmu di alam dunia ini saja. Lepaskan niatmu untuk membalas dendam.” Kali ini Tong Sip-jit bukan tercengang, tetapi amat terperanjat, dia masih agak bingung oleh perkataan Yo Si-heng. “Setiap kali berhasil menyelamatkan seseorang,” kembali Yo Si-heng berkata, “kecuali kuselamatkan nyawanya, aku pun akan berusaha menyelamatkan jiwanya. Aku ingin menghilangkan semua benci dan dendam yang berkecamuk dalam perasaannya.” Kata-kata terakhir Yo Si-heng ini diucapkan amat lambat, sepatah demi sepatah. Kemudian dia menambahkan, “Termasuk juga dirimu!” Sekarang Tong Sip-jit baru memahami maksud orang itu. Rupanya selain menyelamatkan nyawanya, Yo Si-heng juga ingin memusnahkan segala perasaan benci, sakit hati dan dendamnya terhadap pihak Tayhong-tong. Tapi mungkinkah? Orang-orang Tayhong-tong telah membakarnya hingga begitu rupa, membuat tubuhnya menderita, membuat wajahnya jelek. Bisakah dia menghilangkan semua rasa benci dan dendamnya? Dalam pada itu Yo Si-heng masih mengawasi terus wajahnya tanpa berkedip, agaknya ia dapat memahami apa yang sedang dipikirkannya. Belum sempat Tong Sip-jit mengucapkan sesuatu, si Tabib Sakti sudah melanjutkan, “Jika aku tidak menolongmu sekarang kau sudah mati, mungkinkah masih ada rasa benci dan dendam di hatimu? Sebab itu kau seharusnya menganggap dirimu sebagai seorang bayi yang baru lahir, mulai belajar segala ----------------------- Page 116----------------------- http://zheraf.net sesuatunya dari awal. Apalagi jika kau hidup di tengah gunung yang berkawan pepohonan dan mega, tidak ada tempat bagi dendam atau benci di tempat ini. Maka cobalah belajar menjadi seorang manusia baru, manusia baru yang tak punya rasa benci, sakit hati serta dendam kesumat!” Dengan mata terbelalak lebar Tong Sip-jit mengawasi orang aneh itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti dikatakannya. Selesai mengucapkan pesannya, Yo Si-heng segera bangkit berdiri dan tambahnya kepada Tong Sip-jit, “Coba kau pertimbangkan baik-baik kata-kataku itu.” Lalu ia pergi meninggalkan tempat itu. Tong Sip-jit berdiri terbelalak sampai setengah harian lamanya sebelum pulih kembali kesadarannya. Sesudah sadar ia buru-buru lari ke pintu bambu, membukanya dan melongok ke luar. Namun di luar sana tak nampak sesosok bayangan manusia pun, yang terlihat hanya pohon bambu yang berjajar rapi. Di antara goyangan daun bambu yang gemulai tampak sebuah jalan kecil yang meliuk-liuk menembus kaki langit. Tong Sip-jit ragu sesaat sebelum akhirnya dia menelusuri jalan kecil itu. Tapi baru dua langkah, seorang gadis telah muncul menyong¬song kedatangannya. Tong Sip-jit mengenali gadis itu sebagai nona cantik yang merawat dirinya. Buru-buru dia maju menghampiri. Belum lagi kata terima kasih meluncur keluar, nona cantik itu dengan wajah cemberut telah menukas lebih dulu, “Kembalilah ke kamarmu dan pertimbangkan kembali nasehat tadi!” Habis berkata dia membalikkan badan dan berlalu. Sekali lagi Tong Sip-jit berdiri terbelalak dengan wajah bingung, dia tak tahu apa yang harus diperbuat. Yo Si-heng memintanya untuk mempertimbangkan, jelas yang dia maksud adalah melupakan semua dendam dan sakit hati. Tapi apa pula yang diminta si nona ini sekarang? Apakah dia pun memintanya untuk mempertimbangkan agar melupakan semua dendam dan sakit hatinya? Mengapa mereka semua mendesaknya agar mempertimbangkan kembali masalah tersebut? Padahal semuanya sudah jelas, apa lagi yang perlu dipertimbangkan? Masalah dendam dan sakit hati adalah masalah besar, mungkinkah dihapus dengan begitu saja? Setelah berdiri termangu berapa saat lamanya, kembali Tong Sip jit melanjutkan perjalanannya ke depan. Baru berapa ----------------------- Page 117----------------------- http://zheraf.net langkah, lagi-lagi muncul seorang nenek berambut putih yang menghadang jalannya. Kejadian aneh kembali berlangsung. Sementara dia menyongsong kedatangan si nenek dengan berbagai pertanyaan, seperti halnya dengan gadis cantik itu, si nenek pun berkata kepadanya dengan wajah tanpa perasaan, “Baliklah ke kamarmu dan pertimbangkan dulu masak-masak sebelum pergi dari sini.” Kali ini Tong Sip-jit termangu lebih lama lagi. Dia betul-betul dibikin kebingungan, dia tak tahu permainan apa yang sebenarnya yang sedang dipersiapkan Tabib Sakti Bertangan Seribu ini. Ia memutuskan untuk tidak berjalan lebih jauh dan balik ke dalam kamarnya. Sekembalinya ke ruangan, dia duduk termenung di jendela sambil mengawasi hembusan angin yang menggoyang ranting bambu. Pikirnya, “Bila kondisi badanku betul-betul sudah sehat, benarkah aku mesti melupakan semua dendam dan sakit hati? Perlukah aku datang ke Tayhong-tong untuk membuat perhitungan?” Hari makin larut malam, dia masih duduk mematung di depan jendela sambil masih memikirkan persoalan yang sama. Ketika seorang pembantu setengah umur datang menghantar hidangan malam, orang itu sama sekali tidak menyapanya. Setelah meletakkan hidangan di meja, ia berlalu begitu saja. Selesai bersantap, dia merasa sangat lelah maka tak lama kemudian sudah jatuh tidur sangat nyenyak. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, si Tabib Sakti Bertangan Seribu telah muncul di kamarnya dan menegurnya sambil tertawa, “Apakah kau sudah mulai memikirkan masalah balas dendam?” Tong Sip-jit membenarkan. “Bagus sekali,” kata si tabib, “daripada duduk melamun sementara lukamu butuh waktu berapa bulan lagi untuk sembuh sepenuhnya, lebih baik kau belajar sedikit kepandaian dariku.” Tawaran ini tentu saja disambut Tong Sip-jit dengan suka cita. Dia mengira Yo Si-heng akan mengajarkan ilmu ketabiban kepadanya. Di luar dugaannya, ternyata yang diajarkan adalah ilmu merubah wajah. “Kau tidak menyangka bukan?” kata Yo Si-heng kemudian setelah melihat Sip jit tercengang. “Selama ini kau pasti tak habis mengerti mengapa dengan ilmu ketabibanku yang begitu hebat, tak ----------------------- Page 118----------------------- http://zheraf.net seorang pun di dunia persilatan yang mengenal aku? Ha ha ha... sebenarnya hal ini bukan hal yang aneh, aku tidak dikenal orang karena aku mengandalkan ilmu merubah wajah. Tiap kali menyelamatkan jiwa seseorang, aku selalu tampil berbeda, wajah dan penampilan yang berbeda. Selain itu semua harus menjanjikan satu hal padaku, yaitu tidak akan membuka rahasiaku dalam dunia persilatan. Tidak terkecuali kau! Tentunya kau tidak keberatan bukan?” Tong Sip-jit tak punya alasan untuk menampik permintaan itu. Sejak itu dia mempelajari ilmu menyaru wajah dari Yo Si-heng. Kadang dia berjalan menelusuri jalan setapak untuk menghirup udara segar, tapi setiap kali tak pernah bisa melampaui tiga ratus langkah. Setiap kali mendekati tempat itu ia pasti akan bertemu seseorang, entah seorang gadis atau nenek dan pertanyaan yang diajukan tak pernah berbeda: 'Apakah pikiranmu sudah terbuka?' Setiap kali mendapat pertanyaan itu, ia selalu kembali berbalik ke dalam rumah karena pikirannya memang belum terbuka. Tetap saja tidak ada alasan baginya untuk memaafkan perbuatan biadab orang-orang Tayhong-tong itu. Hari berlalu tanpa terasa, sudah seratus hari lebih ia berdiam di daerah perbukitan itu. Tiba- tiba saja, pada suatu hari, pikirannya benar-benar terbuka. Yang membuat jalan pikirannya terbuka bukanlah urusan balas dendam atau sakit hati. Dia sadar bahwa andaikan dirinya masih berada di Tayhong-tong, mungkinkah baginya untuk lolos dari situ dengan selamat? Maka ketika ia berjalan santai sepanjang jalan setapak dan bertemu dengan gadis yang bertanya kepadanya, “Apakah pikiranmu sudah terbuka?” dia pun segera menjawab, “Ya, pikiranku sudah terbuka!” Untuk pertama kalinya ia menyaksikan sekulum senyuman manis menghiasi ujung bibir gadis itu, sebuah senyum yang sangat indah. Ketika gadis itu memberi tanda padanya agar ia segera balik ke dalam rumah, dengan sangat penurut dia berjalan balik. Tidak seperti biasanya, kali ini si nona mengikuti di belakangnya. Sampai ke kamar, si nona kembali bertanya, “Pernahkah kau merasa heran atas semua kejadian di sini?” “Tentu saja,” jawab Tong Sip-jit, “kenapa kau selalu menghalangi perjalananku setiap kali aku tiba di jalan setapak itu?” ----------------------- Page 119----------------------- http://zheraf.net “Hanya masalah itu saja?” si nona balik bertanya sambil tertawa. “Memangnya masih ada yang lain?” Tong Sip-jit balik bertanya. “Tentu saja masih ada.” “Oh ya?” Tong Sip-jit mencoba untuk mengingat. Tapi kembali dia menggeleng, “Tak terpikir olehku masalah apa lagi yang aneh di tempat ini...” “Benar-benar tak terpikir? Kau tidak merasa bahwa orang yang kau jumpai selama ini kecuali Yo sianseng, tidak ada orang lain yang pernah menjengukmu? Benarkah kau tidak merasa aneh?” “Ah benar, benar, benar sekali!” seakan baru sadar Tong Sip-jit berseru. “Hal ini memang aneh sekali. Seperti si nenek, misalnya, dia hanya pernah mengunjungi aku satu kali yaitu ketika aku setengah sadar. Setelah itu dia tidak pernah menampilkan diri lagi, kenapa bisa begitu?” “Tidak ada apa-apa. Tiap kali kami datang menjengukmu, kau tak pernah merasakan kehadiran kami.” Jawaban ini langsung membuat sekujur badan Tong Sip-jit merinding. Ilmu silat yang dia miliki cukup tangguh, kenapa sewaktu tertidur dia sama sekali tidak sadar akan kehadiran orang lain? Apalagi dari nada bicara gadis itu, tampaknya mereka sering datang menje¬nguk. Kejadian seperti ini jelas merupakan sesuatu yang sangat menakutkan! “Kau merasa takut?” Pertanyaan si nona ini terdengar menyeramkan meski disampaikan dengan nada yang lembut dan halus. Tak bisa ditahan, sekali lagi Tong Sip-jit merasakan bulu kuduknya pada tegak. Melihat wajahnya itu, si nona tak kuasa lagi menahan diri. Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak, suaranya keras, nyaring dan penuh tenaga, sama sekali tidak mirip suara seorang nona, bahkan jauh lebih mirip suara kasar seorang lelaki. “Sama sekali tidak ada yang aneh atau menakutkan,” kembali si nona berkata setelah tergelak berapa saat. “Semua memang tidak kau rasakan, tapi sebenarnya semua kau saksikan jelas-jelas!” Tong Sip-jit menjadi tertegun. Apa maksud kata-kata nona itu? ----------------------- Page 120----------------------- http://zheraf.net Tapi tak lama kemudian ia segera menyadari yang dimaksudkan, ia sadar dan berteriak keras-keras, “Aku tahu, satu saat pikiranmu pasti akan terbuka,” kata si nona sambil menarik sesuatu dari belakang kepalanya. Selembar kulit manusia segera terlepas dari wajahnya. Kini yang muncul di hadapan Tong Sip-jit adalah seorang nenek tua. Ketika si nenek kembali melakukan hal yang sama, melepas selembar kulit manusia dari wajahnya,ia berubah menjadi seorang pelayan setengah umur. Ketika selembar lagi kulit manusia dikelupas, barulah tampil wajah Yo Si-heng yang sebenarnya. Dengan sendirinya timbul rasa hormat Tong Sip-jit terhadap Yo Si-heng, sebab ketika ia menyaru sebagai seorang nona, orang itu pernah merawat dan mengurus seluruh keperluan sehari-harinya, terlebih ketika ia sedang dalam keadaan tak sadar. Selain rasa hormat, dia pun merasa amat kagum, sebab tidak setiap orang bisa mengenakan tiga lembar topeng kulit manusia sekaligus tanpa ketahuan ada celanya. Namun di luar semua itu, dia pun merasa amat bersyukur karena mendapat kesempatan untuk mempelajari ilmu maha sakti ini. Setelah menatap Tong Sip-jit sejenak, ujar Yo Si-heng, “Aku sangat gembira karena kau bisa berpikir lebih terbuka, memahami bahwa balas dendam tak ada gunanya. Dengan saling membenci, kapan urusan baru bisa selesai? Andaikan kau bisa membalas sakit hatimu, apakah orang lain tidak bisa mencarimu untuk membalas? Saling balas bisa berlangsung turun temurun tak ada habisnya, daripada urusan berlarut-larut sampai entah berapa keturunan, kenapa tidak diputus saja mata rantainya sekarang?” Tong Sip-jit tidak mengucap apa pun, dia hanya mendengarkan nasehat itu dengan seksama. Kembali Yo Si-heng berkata, “Kini pikiranmu sudah terbuka, aku merasa bersyukur berbareng gembira!” Ia meletakkan semua kulit manusia yang dilepas dari wajahnya tadi ke atas meja, lalu dari sakunya mengeluarkan lagi setumpuk kulit manusia yang jumlahnya puluhan. Kemudian sambil mendorong semua itu ke hadapan Tong Sip-jit, ia berkata lebih jauh, “Kuserahkan semua ini padamu, pelajarilah pelan-pelan, asal teliti dan rajin belajar, tak akan sulit bagimu untuk menguasai semua rahasianya. Aku menguasai duapuluh tujuh macam ilmu dan kau ----------------------- Page 121----------------------- http://zheraf.net adalah orang ke tigapuluh tujuh yang kutolong, setelah ini aku tak bakal lagi turun gunung untuk menolong orang. Aku juga tak akan menurunkan ilmuku kepada siapa pun lagi.” Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Setelah keluar dari tempat ini, kuharap kau bisa membuang jauh-jauh ingatan untuk membenci umat manusia. Jauhkan dirimu dari segala pertikaian dunia. Bila semuanya aman dan damai, bukankah semuanya akan hidup tenteram?” Setelah menghela napas panjang, ia bangkit berdiri dan keluar meninggalkan kamar itu. Tong Sip-jit segera mengejar keluar tapi bayangan tubuhnya saja sudah tidak dapat ditemukan lagi. Karena penasaran, kembali Tong Sip-jit mencoba menelusuri keliling bukit itu. Bukan saja ia tak berhasil menemukan bayangan tubuh Yo Si-heng, bahkan bangunan rumah lain pun tak dijumpainya. Suasana di sekitar perbukitan itu hening dan sepi, kecuali hembusan angin semilir tidak ada apa-apa lagi. Tong Sip-jit merasa bahwa hidupnya selama berapa hari ini seperti mimpi saja. Sekarang ia sudah terjaga dari alam mimpi, namun tuan penolong dalam impiannya itu tak diketahui lagi ke mana perginya. Ia seakan lenyap begitu saja bagai segumpal asap. Yang lebih mengharukan Tong Sip-jit adalah kenyataan bahwa ia sudah terlanjur merasa dekat sekali pada Yo Si-heng. Setelah mencari-cari sampai sepuluh hari lamanya tanpa hasil, akhirnya Tong Sip-jit memutuskan untuk turun gunung dan pergi ke tempat terjadinya kebakaran dahulu hari. Setiba di situ dia hanya menjumpai reruntuhan bangunan yang telah hitam hangus dan berantakan tak karuan, di sinilah berpuluh orang saudaranya kehilangan nyawa. Lama sekali Tong Sip-jit berdiri termenung sambil mengingat kembali wajah dan suara rekan-rekannya. Walaupun ia sudah berusaha keras melupakan kejadian itu, dendam masih tetap membekas di hatinya. Ia tidak bisa menghapus seluruh dendamnya. Maka dia lalu menyamar sebagai seorang lelaki setengah umur yang mengaku bernama Gi Pek-bin untuk sekali lagi menyusup ke Tayhong-tong. Kali ini ia tidak melaporkan perbuatannya ke pihak Benteng Keluarga Tong karena dia menganggap dengan begitu akan jauh lebih aman baginya, di samping lebih mudah baginya untuk mempersiapkan tugas melancarkan pukulan telak nanti. ----------------------- Page 122----------------------- http://zheraf.net Setelah berusaha hampir lima tahun, akhirnya dia berhasil mendekati tokoh utama Tayhong-tong, ia ditugasi mengikuti Sangkoan Jin. Kembali satu tahun lewat, akhirnya ia memperoleh kepercayaan dari Sangkoan Jin untuk ikut dalam banyak gerakan rahasia serta perencanaan besar. Dia sudah menjadi orang kepercayaan Sangkoan Jin. Di suatu malam yang sepi dan gelap, Sangkoan Jin mengundangnya ke kamar rahasia untuk berunding. Sangkoan Jin dengan menggunakan berbagai cara masih berusaha menyelidiki kesetiaannya. Akhirnya Sangkoan Jin menyampaikan bahwa dia punya rencana untuk berkhianat dan bertanya kepadanya apakah bersedia ikut bersamanya. Tentu saja Tong Sip-jit tidak menolak tawaran tersebut. Pertama karena dia memang sebenarnya bekerja untuk Keluarga Tong, dan kedua, bila tidak ikut, bukankah dia segera akan dibantai? Bukan saja Sangkoan Jin membeberkan seluruh rencananya, bahkan ia pun memintanya untuk tetap tinggal di Tayhong-tong agar setelah ia menyeberang ke pihak Keluarga Tong, ia masih bisa mengi¬rim berita-berita tentang perkembangan di markas Tayhong- tong. Selain itu Sangkoan Jin juga berjanji, bila saatnya telah tiba, dia pasti akan mengajaknya untuk menyeberang ke Benteng Keluarga Tong. Begitulah, selama ini dengan identitas sebagai Gi Pek-bin, ia bolak-balik antara Benteng Keluarga Tong dan Tayhong-tong. Sudah banyak berita dari Tayhong-tong yang dibawa masuk dan disampaikan kepada Sangkoan Jin. Ooo)))(((ooo Selesai mendengarkan pengalaman Tong Sip-jit, Tong Koat lalu mengajukan pertanyaan dengan nada curiga, “Kalau memang selama ini kau mengirim banyak berita kepada Sangkoan Jin, kenapa selama ini tak sepatah kata pun pernah kau sampaikan kepadaku?” Ternyata jawaban dari Tong Sip-jit sangat diplomatis, “Seringkah tidak banyak bicara justru jauh lebih baik ketimbang banyak bicara.” “Begitu hebatkah kesepakatan kalian berdua?” “Sebetulnya tidak juga, misalnya kedatanganku kali ini, karena tak ada berita baru yang perlu kusampaikan maka aku hanya ----------------------- Page 123----------------------- http://zheraf.net menyapa sekedarnya di kedai. Memang cara-cara seperti ini sudah kami sepakati sejak awal.” “Apakah kedatanganmu kali ini adalah kali pertama?” tanya Tong Koat. “Tidak! Sudah berulang kali. Hanya kali ini jejakku berhasil kalian kuntit dengan ketat.” “Lalu kenapa kau melepaskan merpati pos untuk mengirim berita?” kembali Tong Koat bertanya. “Tentu saja aku harus berbuat begitu! Jangan lupa bahwa aku adalah anggota Tayhong-tong yang sedang menyusup untuk mencari berita, tentu saja aku harus mengirim balik berita yang kuperoleh di sini.” “Berapa ekor merpati pos yang kau lepas?” “Tiga ekor.” “Semuanya diikat dengan kertas yang sama?” “Ya.” “Apa maksud lipatan berbentuk hati yang ada dalam ikatan kaki merpati-merpati itu?” “Masa kau tidak mengerti?” mendadak Tong Sip-jit balik bertanya. Tong Koat melengak, ditatapnya orang itu seketika, kemudian baru menggeleng. “Kalau aku tahu artinya, buat apa mesti ditanyakan lagi kepadamu?” serunya. “Itu berarti punya niat tapi tak ada tenaga, pasti selalu gagal menemukan apa pun.” Jawaban Tong Sip-jit ini amat tepat karena kertas dengan lipatan hati memang tidak bisa diartikan apa-apa. Rupanya Tong Koat percaya dengan penjelasan itu, sekali lagi dia melirik ke arah kakaknya. Tong Ou pelan-pelan berjalan menghampiri Tong Sip-jit, kemudian tanyanya, “Mengapa selama ini kau tidak langsung menghubungi kami? Bukankah akan jauh lebih leluasa?” “Aku kuatir ada mata-mata yang menyusup di sini, jika penyamaranku sampai bocor, bukankah aku mesti mengalami sekali lagi peristiwa yang terjadi tujuh tahun berselang?” Alasan ini pun sangat tepat dan akurat. Kembali Tong Ou bertanya, “Kalau memang begitu, mengapa kau buka rahasia penyamaranmu sekarang?” ----------------------- Page 124----------------------- http://zheraf.net “Kalau aku tidak buka kartu saat ini, mungkin kalian tak akan memberi kesempatan bicara lagi kepadaku!” Waktu itu Tong Ou berdiri, sementara Tong Sip-jit duduk. Sewaktu pembicaraan berlangsung, Tong Ou mengawasi terus sekitar tengkuk Tong Sip-jit, khususnya ketika orang itu sedang menjawab perta¬nyaannya. Saat itulah mendadak ia tertawa mengejek, “Kau kira kami akan percaya begitu saja dengan semua perka¬taanmu?” “Aku toh sudah bicara sejujurnya, kenapa kalian tidak percaya?” Tong Ou tidak menanggapi ucapan tersebut, ia berpaling ke arah Tong Koat dan Tong Hoa, “Kalian percaya pada ucapannya?” “Percaya!” sahut Tong Koat berdua serentak. “Kalau begitu dugaan kalian keliru besar!” sambil berkata, tiba-tiba Tong Ou melancarkan serangan kilat ke tubuh Tong Sip-jit. Begitu mendengar kata-kata Tong Ou, paras Tong Sip-jit berubah hebat. Baru saja ia akan melompat dari bangkunya, tangan Tong Ou secepat sambaran kilat telah disodokkan ke pinggangnya. Tong Sip-jit merasakan pinggangnya kesemutan dan kaku, seluruh kekuatan badannya lenyap tak berbekas. Sebenarnya Tong Sip-jit sedang bersiap melompat bangun untuk melarikan diri, sayang pinggangnya sudah tersodok serangan Tong Ou sehingga kaku tak mampu bergerak. Dia pun lalu menggunakan tangannya untuk menyerang. Baru saja ia menggerakkan tangan kanannya, secepat kilat Tong Ou sudah melepaskan berapa serangan untuk menotok berapa jalan darahnya. Tanpa ampun lagi Tong Sip-jit diam tak mampu berkutik. Saat itu tangan kanan Tong Sip-jit yang sedang dipentang seperti cakar garuda terhenti di tengah jalan maka nampak lucu sekali. Sayang dalam keadaan seperti ini tak seorang pun ingin tertawa. Biarpun badannya tidak bisa bergerak, jalan darah bisu Tong Sip-jit tidak tertotok, maka dengan penuh amarah ia berteriak, “Hei! Kalian ini mau apa?” “Tidak apa-apa, kami hanya ingin tahu wajahmu yang sebenarnya,” jawab Tong Ou dengan tenang. “Aku sudah bilang, akulah Tong Sip-jit, masa kalian tidak percaya?” “Jangankan percaya penuh, sedikit pun tidak!” ----------------------- Page 125----------------------- http://zheraf.net “Kenapa?” “Sebab dalam ceritamu tadi, kau banyak melakukan kesalahan.” “Oh ya?” “Kau bilang, sewaktu Yo Si-heng menyamar menjadi nenek tua, gadis cantik maupun pelayan setengah umur, kau tidak mampu mengenalinya sama sekali. Ini membuktikan bahwa ilmu menyalin muka yang kau pelajari benar-benar hebat...” Tong Sip-jit tidak berkata apa-apa, dia hanya mengawasi Tong Ou tanpa berkedip. “Ketika datang kemari, wajahmu kaku tanpa perubahan ekspresi dan ternyata kau mengenakan topeng kulit manusia. Topeng semacam ini terlalu kasar dan jauh dari sempurna, sama sekali ti dak mirip ajaran seorang jago sehebat Yo Si-heng.” “Lalu kenapa?” “Artinya topeng yang kau kenakan sekarang bukanlah topeng kulit manusia yang sesungguhnya!” Begitu selesai berkata, Tong Ou menyambar ke tengkuk Tong Sip-jit lalu menariknya kuat- kuat. Betul juga, selembar kulit manusia segera terlepas dari wajah Tong Sip-jit. Menyaksikan semua ini, Tong Koat dan Tong Hoa jadi terlongong-longong seperti orang tolol. Yang membuat mereka kaget bukan hanya tindakan Tong Ou yang luar biasa itu, mereka pun dibuat tercengang karena di balik topeng kulit manusia yang berwajah Tong Sip-jit ternyata terdapat lagi wajah Tong Sip-jit yang lain. Hanya bedanya wajah Tong Sip-jit yang tampil sekarang ini halus, mulus dan sama sekali tidak terlihat bekas luka bakar yang menjijikkan. Kejadian ini membuat Tong Ou turut tertegun. Agak lama kemu¬dian baru sekali lagi ia memeriksa tengkuk Tong Sip-jit. Ia baru berhenti setelah yakin bahwa wajah yang tampil di hadapannya adalah wajah yang asli. “Benar-benar kau sangat hebat!” puji Tong Sip-jit kemudian. “Tidak terlalu hebat. Aku cuma punya mata yang tajam dan kemampuan perhitungan yang jauh melebihi orang lain...” “Bagaimana mungkin kau bisa mengetahui samaranku? Bukankah kau sudah meraba wajahku tadi?” “Sewaktu meraba wajahmu aku tidak terlalu menaruh perhatian, tapi setelah mendengarkan ceritamu aku mulai berpikir. ----------------------- Page 126----------------------- http://zheraf.net Sebagai murid Yo Si-heng yang hebat, tak mungkin penyamaranmu begitu kasar dan penuh cacat. Maka aku mulai memperhatikan tengkukmu dan kutemukan bahwa ketika kau bicara, dagu dan tenggorokanmu sama sekali tidak bergerak, beda sekali dengan orang biasa, jadi aku menyimpulkan masih ada selembar topeng lagi yang kau kenakan!” Setelah tertawa lebar dan berhenti sejenak, ia menambahkan, “Ternyata dugaanku tidak salah!” “Tapi... bagaimanapun aku tetap Tong Sip-jit!” bisiknya lirih. “Jelas beda sekali! Tong Sip-jit yang wajahnya terbakar hingga rusak tentu beda sekali dengan Tong Sip-jit yang wajahnya sama sekali tak pernah terbakar.” “Seberapa besar?” “Sedemikian besar hingga aku bisa memecahkan rahasia yang menyelimuti peristiwa tujuh tahun berselang!” Berubah hebat paras Tong Sip-jit begitu mendengar kata- kata ini. Kembali Tong Ou berkata sambil tertawa, “Hingga kini kami masih belum bisa mengungkap siapa yang membocorkan rahasia tujuh tahun yang lalu itu, tapi dengan kemunculanmu, ditambah lagi wajahmu yang sama sekali bersih tanpa bekas luka bakar, bukankah semua jawaban muncul dengan sendirinya, jelas dan gamblang?” Wajah Tong Sip-jit berubah hebat, tapi ia tetap membungkam. Sesudah tertawa bangga, kembali Tong Ou melanjutkan, “Sungguh tidak dinyana, dari tubuhmu seorang, aku berhasil membongkar dua kasus yang amat misterius. Yang pertama tidak begitu mengherankan, tapi kasus yang kedua inilah yang kuanggap peristiwa luar biasa!” Dalam keadaan seperti ini Tong Sip-jit hanya bisa tertawa getir, dia memang sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kembali Tong Ou melancarkan beberapa tepukan ke tubuh Tong Sip-jit, semua jalan darah yang semula tertotok telah dibebaskan kembali. “Nah, apa maumu sekarang?” tanya Tong Ou kemudian, “akan kau selesaikan sendiri dirimu atau kami yang harus melakukannya untukmu?” Tong Sip-jit memandang Tong Ou sekejap lalu tertawa pedih. Semua rahasianya sudah terbongkar, ia sadar bahwa ia tidak mungkin hidup lagi. Mendadak ia menggertak sesuatu di balik ----------------------- Page 127----------------------- http://zheraf.net giginya dan tak lama kemudian terlihat darah segar meleleh keluar dari ujung bibirnya lalu mulutnya berubah jadi hitam pekat. Perlahan-lahan tubuhnya roboh terjungkal ke tanah. Tong Ou segera memerintah orang untuk menyeret keluar mayat Tong Sip-jit dan menguburkannya. Ia berpesan wanti-wanti agar semuanya dilakukan sangat hati-hati, jangan sampai Sangkoan Jin tahu. Sesudah itu berkata kepada Tong Koat dan Tong Hoa, “Sungguh tak disangka kita memperoleh hasil yang luar biasa!” “Ya, semuanya bagaikan orang bermain catur, setiap perubahan sukar diramalkan sebelumnya,” sahut Tong Koat. “Aku kuatir bakal terjadi perubahan lain,” kata Tong Hoa. “Perubahan apa?” “Seandainya Tong Sip-jit benar-benar orang kepercayaan Sangkoan Jin dan Sangkoan Jin belum tahu kalau dia menghadapi kejadian di luar dugaan, padahal dia sedang menggunakan kesempatan ini untuk membuat kita percaya bahwa dia dan Sangkoan Jin satu komplotan, bukankah kita malah termakan oleh siasat adu dombanya?” “Ehm, masuk di akal juga kata-kata itu,” Tong Ou manggut- manggut, “lalu menurutmu apa yang harus kita lakukan?” “Soal ini memang agak susah diputuskan,” kata Tong Koat pula, “aku rasa ada baiknya kita menunggu dulu sampai hasil penyerbuan kita ke markas Tayhong-tong ketahuan hasilnya, baru kita mengambil keputusan jika menemui hal-hal yang mencurigakan.” “Aku usulkan lebih baik segera kita laksanakan rencana Naga Kemala Putih!” ucap Tong Hoa. “Kenapa?” “Sebab pertama, jika Sangkoan Jin benar-benar seorang pengkhianat, kita bisa menggunakan rencana Naga Kemala Putih untuk menyingkirkannya.” “Kalau dia bukan pengkhianat?” “Kalau bukan, kita gunakan rencana kedua. Kita bisa melenyapkan dia setelah habis memperalatnya, kita bunuh saja dia daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari.” “Jika kita benar-benar bertindak seperti itu, siapa lagi orang persilatan yang mau dan bersedia bekerja untuk kita Keluarga Tong? ----------------------- Page 128----------------------- http://zheraf.net Orang akan menuduh kita tidak bisa dipercaya, habis manis sepah dibuang!” “Tidak mungkin orang lain punya pandangan begitu terhadap kita. Sebab orang yang membunuh Sangkoan Jin bukan kita!” “Eeh, masuk akal,” Tong Ou manggut-manggut, “Kalau begitu kita putuskan begitu saja, kau segera laksanakan rencana itu dan tak usah ikut memikirkan hal lain!” “Baik,” Tong Hoa mengangguk. Tong Ou segera berpaling ke arah Tong Koat dan bertanya, “Apakah kau punya usul atau pendapat lain?” “Tidak ada.” “Kalau begitu mari kita undang Sangkoan Jin untuk sarapan bersama, sekalian kita lihat bagaimana pandangannya terhadap keputusan yang kita ambil dalam perubahan rencana penyerbuan ke markas Tayhong-tong.” “Aku percaya ini pasti akan menjadi menarik sekali.” “Kalau permainan yang begini asyik pun tidak menarik, permainan apa lagi yang menarik hati?” Kedua orang itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Bab 10. Sedih Terharu memang suatu perasaan yang aneh dan menarik. Ada orang yang terharu karena menyaksikan keindahan musim semi, ada orang terharu mengawasi daun berguguran di musim gugur. Bahkan ada orang terharu melihat air hujan turun rintik-rintik. Perasaan terharu seperti ini belum pernah singgah dalam kehi¬dupan Bu-ki, sepanjang hidupnya ia tak pernah merasa terharu, apalagi sedih hati. Ketika menikah dengan Hong-nio dan dia harus segera pergi meninggalkannya, ketika berpisah, dia sama sekali tidak merasa terharu atau duka, sebaliknya dia merasa begitu ringan, begitu lepas. Ini bukan karena rasa cinta terhadap istrinya terlalu tipis, dia menganggap semua kejadian itu hanya bagian dari perjalanan hidup seseorang, jadi tak berguna untuk terharu, apalagi sedih. ----------------------- Page 129----------------------- http://zheraf.net Ketika ayahnya terbunuh, dia pun tidak merasa sedih, yang ada hanya sakit hati. Semua pekerjaan atau peristiwa pasti ada pertama kalinya, begitu juga soal sedih dan terharu, Tio Bu-ki pun tak bisa menghindar dari hal ini Dihadapkan dengan mayat bergelimpangan di mana-mana, menyaksikan dinding benteng yang hancur berantakan, melihat ceceran darah kering yang menodai setiap sudut ruangan, mau tak mau Tio Bu-ki harus merasa terharu, merasa amat sedih, sebab mayat yang bergelimpangan di mana-mana itu tak lain adalah mayat saudara-saudaranya, anggota Tayhong-tong. Siapa yang tidak sedih menyaksikan rumahnya, markasnya, negerinya, hancur berantakan karena perbuatan musuh besarnya? Mungkin ada manusia yang tak mudah sedih, seorang pertapa yang telah meninggalkan urusan duniawi. Sayang Tio Bu-ki bukan pertapa, bukan pendeta. Boanliong- kok adalah rumahnya, negerinya, semua yang ada di situ adalah sahabatnya, saudaranya. Ya. Siapa yang tidak terharu? Siapa yang tidak duka menyaksikan semua itu? Ooo)))(((ooo Bulan lima tanggal empat, besok adalah hari Peh-cun, saat menikmati bakcang. Sayang saudara-saudara dari lembah Boanliong- kok tak sempat lagi mencicipi lezatnya hidangan itu. Melangkah masuk ke dalam benteng, rasa sedih Tio Bu-ki bertam¬bah tebal dan berat. Ia dapat menyaksikan rumput hijau di depan rumah telah berubah menjadi merah darah, daun-daun bambu yang tergantung di sisi rumah, daun yang telah disiapkan untuk membuat bakcang, kini ternoda pula oleh percikan darah. Tio Bu-ki nyaris tak bisa menahan diri untuk muntah, tapi ia berusaha mengendalikan diri. Dia memaksa isi perutnya yang sudah hampir keluar dari tenggorokan untuk ditelan kembali. Ia tak sanggup lagi menyaksikan pemandangan menyedihkan yang terbentang di depan matanya. Sambil memutar badan ia lari secepat-cepatnya, lari meninggalkan tempat itu. Dia berlari, lari terus hingga napasnya tersengal-sengal, hingga napasnya sesak dan hampir tak mampu bernapas. Sambil berpegangan pada sebuah pohon besar, ia berdiri dengan napas tersengal-sengal, isi perutnya terasa bergolak makin ----------------------- Page 130----------------------- http://zheraf.net keras. Kali ini ia tak sanggup lagi menahan diri, seluruh isi perutnya tumpah keluar. Kemudian dia berlari lagi, lari di bawah sinar matahari senja yang berwarna merah, semerah darah yang berceceran di seluruh permukaan bumi. Rasa sedih yang luar biasa berubah menjadi sakit hati dan marah. Dia ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya, namun tak sepatah pun suara yang keluar. “Tong Ou, wahai Tong Ou.... mengapa kau membohongiku? Mengapa kau bilang penyerbuan baru dilakukan di hari Peh-cun?” Hawa amarah yang menggelora dalam dadanya membuat dia hampir tak bisa mengendalikan diri, dia ingin sekali kembali ke Benteng Keluarga Tong, mencari Tong Ou dan membuat perhitungan berdarah dengannya. Tapi ia tidak berbuat begitu, dia tahu tindakan gegabah semacam ini bisa berakhir fatal. Dia mencoba menenangkan diri, mencoba berpikir lebih jernih. Akhirnya setelah termenung beberapa waktu lamanya, ia berjalan kembali ke lembah Boanliong-kok, masuk ke rumah dan mengambil pacul serta sekop. Di bawah sinar rembulan ia mulai menggali liang kubur di atas bukit, satu paculan demi satu paculan... Entah berapa lama waktu sudah berjalan, entah seberapa dalam dia sudah menggali, seluruh tubuhnya telah basah kuyup, sepasang tangannya mulai linu dan sakit, otot-ototnya terasa mengejang keras. Tapi ia tidak memperdulikan itu semua, ia seakan tak tahu waktu, tak tahu lelah, galian demi galian dikerjakan terus tanpa henti. Kemudian sesosok demi sesosok semua mayat itu diturunkan ke dalam liang, lalu dia menimbunnya dengan tanah hingga rata. Ketika semua pekerjaan telah selesai, baru ia memotong sebatang pohon, menjadikannya selembar papan dan dengan menggunakan sebilah pisau diukirnya beberapa huruf sebagai nisan: “Di sinilah saudara-saudaraku dari Tayhong-tong beristirahat.” Setelah lama mengamati kuburan itu, dia baru membalikkan badan, melompat naik ke atas kuda dan melarikannya kencang- kencang meninggalkan tempat itu. ----------------------- Page 131----------------------- http://zheraf.net Tio Bu-ki tak ingin beristirahat, yang berkecamuk dalam benaknya kini hanya bagaimana caranya tiba di markas besar Tayhong-po secepat mungkin. Dia boleh saja melupakan lelah, namun kuda ada saatnya untuk lelah juga. Mau tak mau Tio Bu-ki harus beristirahat mengikuti kuda tunggangannya, ketika sang kuda minum, dia ikut minum, ketika sang kuda merumput, dia juga menangsal perut dengan rangsum keringnya. Tengah hari kedua, akhirnya dengan wajah penuh debu tibalah dia di markas besar Tayhong-po. Untuk kedua kalinya perasaan sedih harus bergolak kembali dalam dadanya. Pemandangan menyedihkan yang serupa sekali lagi terpampang di depan matanya. Mengawasi semua ini dia hanya bisa duduk terpaku di atas pelana, sama sekali tak bergerak. Lama kemudian ia baru melompat turun dari kudanya, tanpa sadar tangannya meraih cangkul dan sekop yang ada di atas pelana. Dia tak mengira bahwa alat yang dibawa tanpa sengaja itu sekarang harus digunakan lagi untuk membereskan kejadian yang sama. Dia tak mengira kehadirannya kali ini hanya menjadi tukang kubur, khusus untuk mengubur mayat saudara-saudaranya. Tak terasa pikirannya mulai melayang ke Benteng Siangkoan, benteng tempat tinggal Sangkoan Jin. Apakah keadaan di sana juga tidak berbeda dengan pemandangan di sini? Tong Ou berkata akan menyerang satu di antara ketiga tempat itu, nyatanya sekarang dia telah menyerang ketiga tempat itu sekaligus. “Hebat betul bangsat ini,” Tio Bu-ki mulai berpikir dengan kepala lebih dingin, “Entah apa lagi langkah berikut Tong Ou? Sebelum melaksanakan pertarungan melawanku, mungkinkah dia akan menyerang markas-markas lain Tayhong-tong?” Sambil masih berpikir, dia sudah masuk pintu gerbang benteng Tayhong-po. Setelah mengambil cangkul dan sekop dia kembali mulai menggali untuk mempersiapkan liang kubur bersama. Sambil menggali, dia mulai berpikir, apa yang harus dilakukan selanjutnya? Menuju ke benteng Siangkoan atau langsung pulang ke rumahnya? ----------------------- Page 132----------------------- http://zheraf.net Membayangkan rumahnya sendiri, rasa sedih dan pedih segera berkecamuk dalam hatinya. Selesai mengubur mayat rekan-rekannya, ia menuju ke gudang arak, mengambil satu guci dan meneguknya dengan lahap. Habis satu guci, dia membuka guci yang lain dan meneguk lagi dengan lahap, dia menenggak terus arak dalam guci hingga kelopak matanya terasa berat, tak mampu dipentang lagi dan akhirnya roboh tertidur. Hidangan lezat, arak wangi, perjamuan pesta yang diselenggarakan dalam Benteng Keluarga Tong malam itu sangat meriah dan penuh kegembiraan. Di sekeliling meja hanya duduk empat orang: Tong Ou, Tong Koat, Lo-cocong dan Sangkoan Jin. Wajah keempat orang itu penuh dengan senyum, mereka saling memberi selamat, saling mengangkat cawan dan menenggak habis isinya. Tentu saja ada alasan kuat bagi mereka untuk bergembira. Sebab sekarang adalah malam tanggal empat bulan lima, merpati pos pertama telah kembali dari lembah Boanliong-kok membawa kabar gembira. Dengan pandangan mata yang sangat teliti Tong Ou memperhatikan senyuman yang menghiasi wajah Sangkoan Jin. Dia berharap bisa membedakan senyuman itu adalah senyum kegembiraan yang benar-benar muncul dari lubuk hatinya atau senyum kegembiraan yang dibuat-buat. Sayang ia tak berhasil menemukan perbedaan itu. Dengan sendirinya dia pun tak yakin apakah Tong Sip-jit memang satu komplotan dengan Sangkoan Jin, atau dia memang sengaja memfitnah menjelang kematiannya. Sangkoan Jin sendiri meski belum tahu kalau Tong Sip-jit telah mati, tetapi dia mempertaruhkan rasa percaya dirinya yang besar dan bakat serta kemampuannya bersandiwara. Dia percaya semua orang yang hadir tertipu oleh senyumannya, mengira dia benar-benar merasa sangat gembira. Padahal di hati kecilnya yang paling dalam ia merasa amat sedih, amat sakit hati. Latihannya selama bertahun-tahun, pergaulannya yang panjang dengan berbagai jenis manusia membuat dia mahir ----------------------- Page 133----------------------- http://zheraf.net bersandiwara. Dia bisa menampilkan sisi yang berbeda, antara tampilan wajah dengan apa yang sedang dipikirkannya. Maka ketika merpati pos kedua datang memberitakan tentang hancurnya markas besar Tayhong-tong, Sangkoan Jin justru tertawa makin keras, tertawa makin gembira. Dia seolah-olah sudah menjadi bagian dari Benteng Keluarga Tong, ikut bergembira karena keberhasilannya menghancurkan Tayhong-tong. Bukan cuma tertawa gembira, dia bahkan bisa menjilat pantat dengan berkata kepada Tong Ou. “Tong toa-kongcu memang hebat mengatur strategi perang, bisa memilih saat menjelang Pehcun untuk melan carkan serangannya. Mana mungkin orang-orang Tayhong-tong bisa menduga sampai ke situ? Ha ha ha ha... aku percaya berita gembira tentang runtuhnya benteng Siangkoan segera akan kita terima!” Tong Ou tertawa terbahak-bahak. “Ha ha ha ha... Siangkoan-sianseng kelewat memuji. Padahal dalam satu hal aku merasa bersalah kepadamu.” “Mengenai apa?” “Bukankah aku sempat berunding denganmu tentang akan melancarkan serangan pada hari Peh-cun?” “Ah, itu bukanlah langkah yang keliru, aku percaya Tong toa-kongcu punya pandangan yang jauh ke depan. Siapa tahu bila penyerangan dilakukan besok, kerugian pihak kita akan lebih banyak!” “Ya, aku pun berpendapat begitu, maka serangan kulancarkan lebih awal. Maaf kalau tidak kurundingkan dahulu dengan Siangkoan-sianseng!” “Kau terlalu memujiku, dalam hal semacam ini aku justru harus banyak mendengar petunjuk dan perintahmu.” Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian mendongakkan kepala dan tertawa tergelak-gelak. Di hati kecilnya Tong Ou merasa amat bangga, merasa sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Setelah menenggak satu cawan arak, ia kembali melanjutkan, “Bila berita tentang runtuhnya Benteng Siangkoan tiba nanti, tahukah Siangkoan-sianseng, apa yang akan kulakukan?” “Apakah itu?” “Akan kuhadiahkan Benteng Siangkoan untukmu!” “Aaah? Sungguh?” ----------------------- Page 134----------------------- http://zheraf.net “Tentu saja sungguh-sungguh!” “Mengapa?” Sangkoan Jin kelihatan sedikit keras, bukan merasa gembira tetapi karena luapan amarah, “Aku baru keluar dari tempat itu, mengapa sekarang harus balik lagi ke sana?” “Siangkoan-sianseng jangan salah paham, kedudukanmu di Benteng Siangkoan-po pada masa Tayhong-tong sudah pasti amat berbeda Siangkoan-po di masa Keluarga Tong yang berkuasa...” Sangkoan Jin tidak bertanya apa-apa lagi, dia hanya mengawasi wajah Tong Ou tanpa berkedip, menunggu ia menyelesaikan perkataannya. “Aku menitikberatkan pertarungan di Benteng Siangkoan-po, karena itu aku mohon Siangkoan-sianseng mau ke sana untuk memegang komando sambil mengatur semua persiapan dan strategi dalam menghadapi pertarungan akbar ini!” Sangkoan Jin tertawa, tertawa begitu riang, begitu gembira. Sambil mengangkat cawan katanya kepada Tong Ou, “Mari aku menghaturkan secawan arak untukmu! Sejak bergabung dengan Benteng Keluarga Tong, hari seperti inilah yang selalu aku nantikan, aku memang berharap bisa langsung terlibat dalam kegiatan pembasmian Tayhong-tong!” “Mengapa kau begitu membenci Tayhong-tong?” sela Lo- cocong tiba-tiba, “Sejak bergabung dengan kami aku belum pernah menanyakan hal ini padamu.” “Mengapa?” Sangkoan Jin mendengus keras-keras, “Bayangkan saja, ketika membangun Tayhong-tong, jasa siapakah yang paling besar? Kau tahu itu?” Sorot matanya dialihkan ke wajah Tong Koat. “Tentu saja jasa Siangkoan-sianseng!” jawab Tong Koat cepat. “Betul,” ujar Sangkoan Jin lebih jauh, “tapi kenyataannya, kenapa kedudukanku hanya seimbang dengan posisi Tio Kian dan Sugong Siau-hong? Dalam berbagai pertempuran besar maupun kecil, hanya aku dan para tongcu yang melakukannya, sementara Tio Kian dan Sugong Siau-hong hanya duduk-duduk di benteng menjaga keamanan. Atas dasar apa mereka justru duduk berimbang denganku?” “Ya, itu tidak adil namanya!” seru Tong Koat menimpali. “Sudah terlalu lama aku harus menahan diri, menerima semua ketidakadilan ini!” semakin berbicara Sangkoan Jin semakin bersemangat dan nada suaranya makin keras. ----------------------- Page 135----------------------- http://zheraf.net Kembali seorang pengawal masuk membawa selembar kertas yang dibawa pulang merpati pos, surat itu lalu diserahkan kepada Tong Ou. Selesai membaca surat itu Tong Ou, menyerahkannya kepada Lo-cocong. Sambil tertawa Lo-cocong membaca isi surat itu, kemudian ia menyerahkan surat tadi ke tangan Sangkoan Jin sembari berkata, “Kuucapkan selamat untukmu, akhirnya apa yang kau impikan terwujud juga!” Sangkoan Jin ikut tertawa, ia tidak membaca isi surat tersebut karena sudah menduga kalau isinya hanya pemberitahuan bahwa Benteng Siangkoan-po telah jatuh. Dia tertawa dengan penuh kegembiraan, namun di hati kecilnya ia amat menderita, amat tersiksa, merasa teramat sedih. Dari sekian banyak orang yang berada dalam Benteng Keluarga Tong, hanya satu orang yang secara terang-terangan mengutarakan perasaan sedihnya atas berita gembira itu. Dia tak lain adalah Wi Hong-nio. Ooo)))(((ooo Tong Hoa adalah orang yang mendapat perintah untuk melaksanakan rencana Naga Kemala Putih. Langkah pertama yang harus dijalankan dalam rencana besar itu adalah memperoleh kepercayaan Wi Hong-nio. Oleh karena itu sejak sore hari dia sudah berada bersama Wi Hong-nio dan tentu saja menemaninya juga makan malam. Berita tentang keberhasilan mereka menghancurkan semua benteng pertahanan Tayhong-tong tersiar keluar setelah disampaikan ke tangan Lo-cocong. Hampir semua anggota Benteng Keluarga Tong mendengar dan mengetahui kabar itu. Sewaktu berada di dapur itulah Siau-tiap mendengar kabar berita itu, tak heran kalau dia pun menyampaikan kabar itu sewaktu menghidangkan makan malam. Tong Hoa yang mendengar berita itu tentu merasa gembira sekali, namun ketika dilihatnya paras muka Wi Hong-nio menampakkan perasaan sedih yang mendalam, dia serta merta ikut menampilkan perasaan sedih dan duka juga. “Kau seharusnya gembira mendengar berita ini,” tegur Wi Hong-nio tanpa sadar. ----------------------- Page 136----------------------- http://zheraf.net “Aku tahu.” “Lalu, kenapa kau ikut bermuram durja?” “Karena melihat wajahmu, aku dapat merasakan pula perasaan hatimu.” Wi Hong-nio jadi sangat terharu setelah mendengar perkataan itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus diucapkannya. “Hei, kenapa kau?” kembali Tong Hoa menegur. Setelah termenung beberapa saat barulah Wi Hong-nio menyahut, “Ternyata kau seorang yang sangat baik...” Tong Hoa tersenyum. “Aku memang orang baik, bahkan aku punya kabar yang lebih baik lagi untukmu...” “Apakah itu?” “Mengajakmu pergi meninggalkan tempat ini!” “Sungguh?” “Sungguh!” “Kau tidak takut menyerempet bahaya?” “Apa pun tidak kutakuti!” Wi Hong-nio benar-benar terharu, ditatapnya wajah Tong Hoa sesaat dengan penuh arti. “Malam ini juga akan kuajak kau pergi meninggalkan tempat ini,” ujar Tong Hoa lagi sambil tersenyum. “Malam ini juga? Apa tidak terlalu tergesa-gesa?” “Tidak, tidak mungkin.” “Kenapa?” “Sebab aku telah mempersiapkan rencana ini seharian penuh.” “Oh ya?” “Sejak tadi malam sampai sekarang, aku terus menerus memikirkan persoalanmu. Kupikir, untuk menyatakan kedalaman cintaku kepadamu, aku mesti melakukan sesuatu dan kuambil satu keputusan yang cepat.” Saking terharunya hampir saja air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Wi Hong-nio. Melihat sikap gadis itu, Tong Hoa sadar kalau perkataannya telah membuat perempuan itu terharu. Dia semakin sadar, dengan watak Wi Hong-nio seperti itu, tidak sulit baginya untuk melaksanakan rencana Naga Kemala Putih. ----------------------- Page 137----------------------- http://zheraf.net Maka katanya lebih jauh, “Oleh sebab itu telah kuputuskan untuk membawamu kabur dari sini. Kau mesti tahu, membawamu kabur dari sini adalah kesalahan dengan dosa yang amat besar bagiku.” “Aku mengerti.” “Seandainya usaha kita untuk kabur mengalami kegagalan, itu artinya aku harus menghadapi kematian.” “Aku mengerti, seandainya mereka tidak membunuhku, aku pasti akan mengingatmu sepanjang hidupku.” “Sebaliknya jika usaha kita melarikan diri berhasil, selama hidup pun aku akan hidup dalam penderitaan, karena orang-orang Keluarga Tong akan mencap diriku sebagai pengkhianat, sebagai buronan yang wajib ditangkap dan dibunuh.” “Kau sudah berpikir sampai ke sana?” “Sudah. Seluruh anggota Keluarga Tong dari atas hingga ke bawah hampir semuanya tahu bahwa aku tergila-gila kepadamu. Jika kau pergi dari sini, mana mungkin aku tidak tahu?” “Jadi kau lelap akan mengajakku pergi dari sini?” “Benar!” “Tapi aku tidak bisa menjamin di kemudian hari akan tetap bersikap baik kepadamu.” “Aku tahu. Aku memang orang yang gampang puas bila diberi sedikit kebaikan. Selama aku diberi kesempatan untuk selalu bisa melihat wajahmu, aku tidak mengharapkan yang lain.” Kini perasaan terharu sudah lenyap dari hati Wi Hong-nio, sebagai gantinya ia merasa kasihan, iba pada pemuda itu. Tiba-tiba dari hati kecilnya muncul pula perasaan sedih, bukan sedih karena kehancuran Tayhong-tong, tapi sedih karena mendadak ia teringat pada Tio Bu-ki. Perasaannya saat itu tepat sama seperti perasaan Tong Hoa, asal bisa bersama Bu-ki setiap saat, dia pun tidak mempunyai permintaan lainnya. Tapi, banyak kejadian di dunia ini memang sukar terpenuhi sesuai dengan kehendak hati. Jangankan selalu bisa bersama, mau bertemu saja susahnya setengah mati! Melihat perasaan pedih yang menyelimuti wajah Wi Hong- nio, tanpa terasa Tong Hoa menegur lagi, “Kau kenapa?” Wi Hong-nio tertawa getir, jawabnya terus terang, “Tiba-tiba saja aku teringat pada Bu-ki!” ----------------------- Page 138----------------------- http://zheraf.net Tong Hoa tak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya timbul rasa hormat yang tinggi kepada perempuan ini. Diam-diam muncul perasaan sedih dan menyesal yang tak terhingga karena dia harus menipu seorang wanita polos yang baik hati dan berbudi luhur seperti ini. Namun perasaan menyesal itu hanya melintas sekilas, dengan cepat ia tampil kembali dengan wajah dinginnya, wajah kaku ciri khas orang-orang Keluarga Tong. “Huss, jangan sembarangan bicara!” serunya, “Cepat bersantap dan istirahat secukupnya, karena malam nanti kita akan berangkat,” “Berangkat jam berapa?” “Lewat tengah malam.” “Kenapa harus waktu itu?” “Karena saat itu adalah waktu orang tertidur nyenyak, waktu orang merasa paling mengantuk. Selewatnya orang akan merasa segar kembali dan dengan sendirinya kewaspadaan mereka pun meningkat kembali.” “Apakah orang-orang Benteng Keluarga Tong selalu seperti itu?” “Benar.” Maka Wi Hong-nio segera menghabiskan nasinya dengan lahap, malah dia makan agak banyak karena dia tahu ia harus makan cukup kenyang agar ia mendapatkan kondisi tubuh yang segar dan tenaga yang kuat untuk melarikan diri. Selesai bersantap, sebelum meninggalkan tempat itu Tong Hoa berpesan lagi, “Tengah malam nanti aku akan datang membangunkanmu.” “Baik.” Bab 11. Melarikan Diri Tengah malam. Awan gelap menyelimuti sepenuh angkasa, tampaknya hujan deras akan turun setiap saat. Tong Hoa mengenakan pakaian ketat berwarna hitam dengan sebilah pedang tersoren di punggungnya. Dia membawakan satu perangkat baju hitam juga untuk Wi Hong-nio agar dikenakannya. Dengan ----------------------- Page 139----------------------- http://zheraf.net berpakaian seperti itu akan lebih mudah untuk menyelinap keluar dari tempat itu. Wi Hong-nio menurut dan mengenakan baju hitam itu, kemudian dia pun menyandang sebilah pedang di punggungnya. “Bukankah kau tidak mengerti ilmu silat?” tegur Tong Hoa ketika melihat dandanannya itu. “Dulu memang tidak bisa, tapi belakangan aku mulai belajar sedikit ilmu pedang.” Mendengar jawaban tersebut, tanpa terasa Tong Hoa berpikir, “Belajar golok butuh lima tahun, belajar pedang butuh sepuluh tahun, kalau baru belajar sebentar sudah berani memanggul pedang, apa tidak merasa sedikit tak tahu diri?” Tentu saja ingatan tersebut tidak sampai diutarakan keluar, hanya ucapnya, “Tapi membawa pedang akan sangat melelahkan...” “Tidak apa-apa,” sahut Wi Hong-nio, “dengan membawa pedang, aku merasa sedikit lebih tenang dan aman.” Kembali Tong Hoa berpikir, “Ah... sudahlah, toh yang disebut melarikan diri hanya sandiwara belaka, mau berjalan lebih lambat juga tidak jadi masalah...” Maka dia tidak membujuk lebih jauh, hanya pesannya, “Andaikata nanti terjadi sesuatu, cepatlah menyingkir ke samping dan jangan mengeluarkan suara.” “Aku tahu.” “Baik, mari kita segera berangkat.” Mereka berjalan sangat lambat, berjalan sangat hati-hati, setiap kali tiba di sebuah tikungan jalan, Tong Hoa selalu menyelinap maju lebih dulu untuk mengintai apakah ada penjaga yang berjaga di situ. Tingkah lakunya sangat sungguh-sungguh, seolah-olah dia memang sedang melarikan diri. Setelah meninggalkan jantung wilayah Keluarga Tong... kebun tempat tinggal, mereka berdua bergerak menuju ke kebun luas di luar tempat tinggal. Tempat itu merupakan hutan yang luas, di hutan itu pula Tio Bu-ki nyaris menemui ajalnya andaikata tidak diselamatkan orang-orang Bilek-tong tempo hari. Wi Hong-nio tidak tahu akan hal ini, juga dia tidak tahu bahwa di balik hutan itu penuh dengan penjaga dan jebakan. Jangankan berilmu cetek, biarpun memiliki ilmu silat yang lebih hebat pun jangan harap bisa melewati tempat itu dengan mudah. ----------------------- Page 140----------------------- http://zheraf.net Dia hanya merasa hutan itu menyeramkan, mendatangkan perasaan bergidik, apalagi di tengah malam buta dengan angin yang berhembus kencang, suasana terasa lebih mengerikan dan mencekam perasaan. Saat ini Wi Hong-nio merasakan satu-satunya perasaan aman datang dari genggaman tangan Tong Hoa, genggaman yang hangat dan kencang. Sepanjang perjalanan Tong Hoa selalu mengajaknya menelusuri jalan yang gelap sambil menggandeng tangannya. Tangan Tong Hoa bukannya menjadi dingin dan kaku lantaran tegang, sebaliknya justru terasa hangat yang luar biasa, kehangatan yang membuat Wi Hong-nio memperoleh kembali rasa percaya dirinya. Mereka berjalan dengan menyusur di sepanjang tepi pepohonan. Kurang lebih tigapuluh kaki kemudian, ketika mereka baru saja meninggalkan sisi sebatang pohon, mendadak dari atas pohon meloncat turun dua sosok manusia berbaju hitam. “Siapa di situ?” hardik orang berbaju hitam itu lantang. Buru-buru Tong Hoa menarik tangan Wi Hong-nio agar menempel tubuhnya lebih dekat, lalu sambil memeluk bahu kiri perempuan itu sahutnya, “Aku, Tong Hoa!” “Sudah larut malam, mau apa kalian kemari?” “Malam ini sangat indah dan tenang, bukankah saat paling tepat untuk berjalan santai sambil berbincang-bincang?” sahut Tong Hoa sambil menggerakkan tangan kanannya yang mendadak dihantamkan ke dada kanan orang itu. Bersamaan dengan dilepaskannya pukulan, dia dorong tubuh Wi Hong-nio ke samping sambil bentaknya nyaring, “Menyingkir!” Dengan cepat pukulan itu meluncur ke depan dan menghajar dada orang itu dengan telak. Tanpa sempat menjerit kesakitan, orang itu memuntahkan darah segar kemudian roboh terkapar ke belakang. Melihat itu, orang berbaju hitam yang ada di sebelah kiri segera menggetarkan pedangnya, langsung menusuk tubuh Tong Hoa. Meminjam sisa tenaga pantulan dari pukulan yang dilepaskan tadi Tong Hoa mundur selangkah, tusukan pedang yang datang dari sisi kiri pun mengenai tempat kosong. Begitu mundur Tong Hoa segera menjejakkan sepasang kakinya dan melambung ke udara, dia terkam orang berpedang itu ----------------------- Page 141----------------------- http://zheraf.net sambil melepaskan sebuah pukulan lagi, langsung dihantamkan ke dada kiri orangku. Orang itu segera menggeser tubuhnya dua langkah ke kanan, sesudah lolos dari serangan, pedangnya secepat kilat membentuk garis lingkaran kecil untuk mengurung serangan Tong Hoa, lalu dengan mengubah babatan jadi tusukan, dia mengancam kening. Dengan gesit Tong Hoa menghindar ke samping, berkelit dari tusukan itu. Tapi gerak serangan itu mendadak berubah dari tusukan menjadi bacokan, “wesss” langsung membabat baju bagian kiri yang dia kenakan. Tong Hoa mendengus dingin, di saat pedang lawan membabat ujung bajunya, secepat kilat telapak tangan kanannya membabat keluar, “ploook!” sebuah bacokan telak menghajar dada kiri orang itu. Tak ampun lelaki berbaju hitam itu muntah darah segar dan... “blaaam!” tubuhnya roboh terkapar ke belakang. Buru-buru Wi Hong-nio memburu ke depan sambil menegur penuh rasa kuatir, “Kau terluka?” Tong Hoa tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya segera berseru, “Ayo cepat, kita segera tinggalkan tempat ini!” Ia menarik tangan perempuan itu dan kabur dengan menelusuri tepi pepohonan yang lebat. Setelah tiba di ujung hutan, Tong Hoa baru menghentikan larinya sambil menarik napas panjang. “Kau terluka?” kembali Wi Hong-nio bertanya dengan nada kuatir. Saat itulah Tong Hoa baru menundukkan kepalanya untuk memeriksa. Wi Hong-nio turut mendekat sambil memeriksa, tapi ia segera menjerit kaget. Ternyata baju sebelah kiri Tong Hoa telah basah oleh noda darah, bahkan darah masih mengalir keluar dengan derasnya, jelas luka yang dideritanya tidak ringan. “Ah, tidak apa-apa, kau tak perlu kuatir,” sahut Tong Hoa kemudian sambil tertawa. “Tidak apa-apa?” seru Wi Hong-nio, “Begitu banyak darah yang mengalir keluar, mana mungkin tidak apa-apa?” ----------------------- Page 142----------------------- http://zheraf.net “Tidak sakit, sama sekali tidak sakit, paling hanya sedikit luka lecet,” ujar Tong Hoa lagi sambil berusaha menekan mulut lukanya yang berdarah. Tentu saja dia tidak merasa sakit karena segala sesuatunya hanya pura-pura, semuanya palsu, termasuk darah yang berceceran pun bukan darah asli. Satu-satunya yang benar dan asli hanya pakaiannya yang robek karena sambaran pedang tadi. Sudah barang tentu Wi Hong-nio tidak tahu rahasia di balik sandiwara itu, dia beranggapan semua kejadian tadi sungguh- sungguh, maka dengan nada sangat cemas kembali ia berseru, “Bagaimana sekarang? Ayoh kita cari tempat untuk merawat dulu lukamu itu!” Tong Hoa merobek bajunya yang tersayat itu kemudian dililitkan ke atas lengannya yang terluka, setelah membuat ikatan, dia baru menjawab, “Tidak apa-apa, yang penting kita harus segera pergi meninggalkan tempat ini!” “Benar tidak apa-apa?” “Benar!” sahut Tong Hoa, setelah berhenti sejenak tambahnya, “andaikata lukaku amat parah, bagaimana dengan kau?” “Kita pun tak usah pergi meninggalkan tempat ini, kita rawat dulu lukamu baru kemudian membuat rencana lain.” Mendengar jawaban tersebut Tong Hoa tertawa, tertawa penuh kepuasan. Dia merasa telah berhasil memancing rasa simpati Wi Hong-nio terhadap dirinya. “Ai... sejujurnya aku pun merasa kasihan menipu perempuan polos seperti ini,” demikian Tong Hoa berpikir sambil menghela napas. Tapi dalam hati kecilnya, “Apa mau dikata, ia justru jatuh ke tangan kami orang-orang Keluarga Tong!” Walau berpikir begitu, di luarnya kembali ia bertanya, “Seandainya kita balik dan ketahuan?” “Lemparkan saja semua tanggung jawab kepadaku!” jawab Wi Hong-nio tanpa berpikir panjang. “Kau anggap orang-orang Keluarga Tong percaya pada pengakuanmu?” seru Tong Hoa tertawa. Seketika itu juga Wi Hong-nio bungkam. Sebab dia hanya tahu berpikir menuruti suara hati sendiri, tentu saja dia tak bisa membayangkan apa yang dipikirkan orang lain. Menyaksikan hal ini, Tong Hoa kembali berkata, “Sudah, jangan bodoh, aku sudah berjanji akan membawamu pergi, apa pun ----------------------- Page 143----------------------- http://zheraf.net yang terjadi aku akan tetap berusaha hingga berhasil, mari kita segera lanjutkan perjalanan kita!” Habis berkata, dia menarik tangan perempuan itu dan melanjutkan kembali perjalanannya. Tiba di ujung hutan tampaklah pintu gerbang Benteng Keluarga Tong terpampang di depan mata, saat itu pintu dalam keadaan tertutup rapat, dua orang penjaga sedang berjaga di depan benteng. Dengan suara lirih Tong Hoa berbisik, “Waktu aku meledakkan Peklek-tong dengan bahan peledak nanti, harap kau bersembunyi agak jauh. Begitu meledak, kau segera lari menghampiri aku karena waktu itu aku akan membukakan pintu untukmu. Ingat! Segala sesuatunya harus dilakukan dengan cepat!” Wi Hong-nio manggut-manggut tanda mengerti, maka dengan berlagak amat tegang perlahan-lahan Tong Hoa berjalan mendekati pintu gerbang. Melihat ada orang berjalan mendekat, dua orang penjaga pintu itu segera menghardik, “Siapa di situ?” “Aku, Tong Hoa!” Sambil menjawab Tong Hoa mempercepat langkahnya menerobos lewat dari pintu. Tampaknya kedua orang penjaga itu seperti ingin menanyakan sesuatu, baru saja mereka membuka mulutnya, obat peledak di tangan Tong Hoa sudah dilemparkan ke depan. “Blaaam!” ledakan keras menggelegar di angkasa, debu dan pasir segera memenuhi pandangan, membuat Wi Hong-nio tak bisa melihat apa-apa. Biar begitu, dia menuruti pesan Tong Hoa tadi, begitu pintu gerbang terbuka, dia segera berlari menerobos pintu gerbang. Di tengah gulungan asap yang tebal, dalam waktu singkat ia sudah tiba di depan pintu gerbang, ia melihat Tong Hoa sedang menggapai ke arahnya. Mempercepat larinya, ia lari ke samping Tong Hoa untuk kemudian bersama-sama kabur keluar dari pintu benteng. Menanti Tong Hoa menutup kembali pintu gerbang benteng, dengan napas tersengal, barulah ia berkata lagi kepada Wi Hong-nio, “Kembali kita berhasil meloloskan diri dari satu pos rintangan!” Sebetulnya Wi Hong-nio mengira setelah berhasil kabur dari pintu kota, berarti mereka sudah selamat. Tetapi begitu mendengar ----------------------- Page 144----------------------- http://zheraf.net Tong Hoa berkata kalau mereka kembali lolos dari satu pos penting, artinya masih ada rintangan berikut yang mesti dilewati, tak kuasa lagi ia bertanya, “Jadi kita belum aman?” “Kita baru aman setelah melewati sebuah rintangan lagi!” “Apakah lebih gampang untuk melewati rintangan itu?” “Lebih gampang? Lebih susah malah!” Bagai diguyur sebaskom air dingin di kepalanya, untuk sesaat Wi Hong-nio berdiri tertegun. Baginya, pengalaman yang baru saja ia alami sudah sangat menyeramkan, seperti mengalami mimpi buruk. Ketika mendengar harus menghadapi rintangan lain yang lebih berat, jantungnya berdetak keras, ototnya pada mengejang lantaran tegang. Dengan susah payah baru saja ia berhasil kabur dari pintu benteng dan sebentar lagi harus bersiap menghadapi ancaman baru, tak heran jika ia merasa amat gugup. Menyaksikan perubahan wajah perempuan itu, Tong Hoa segera menghibur, “Kau tak perlu gugup, siapa tahu rintangan berikut dapat kita lewati dengan lebih mudah.” “Kenapa?” tanya Wi Hong-nio keheranan. “Sampai di tempat ini, boleh dibilang aku hapal sekali dengan keadaan dan lingkungannya. Tapi pada rintangan berikut kita mesti menghadapi empat orang, untunglah keempat orang penjaga itu sahabat karibku, siapa tahu dengan bujuk rayu dan sedikit berbohong, mereka mau percaya alasanku dan membiarkan kita lewat tanpa susah payah!” “Kau yakin kita akan bertemu dengan mereka berempat?” “Sangat yakin!” “Kenapa? Memangnya tak ada jalan lain kecuali jalan itu?” “Tidak ada, untuk meninggalkan Benteng Keluarga Tong, siapa pun harus melewati jalan ini. Kecuali jalan ini, tempat ini dikelilingi tebing curam dan jurang yang sangat dalam.” Tak terasa kembali Wi Hong-nio memperlihatkan perasaan waswas dan kuatirnya yang sangat mendalam. Buru-buru Tong Hoa menghibur, “Kau tak perlu kuatir, kelihatannya perubahan cuaca yang akan terjadi hari ini akan menguntungkan kita!” “Apa hubungannya dengan perubahan cuaca?” ----------------------- Page 145----------------------- http://zheraf.net “Besar sekali,” Tong Hoa menerangkan, “keempat orang itu bukan atas kemauan sendiri berjaga di jalan tembus itu, mereka sedang menjalankan perintah.” “Menjalankan perintah? Perintah siapa?” “Tentu saja perintah dari Keluarga Tong. Menurut peraturan yang berlaku di sini, bila mereka menemukan ada orang yang patut dicurigai meninggalkan benteng, maka mereka segera akan melepaskan kembang api sebagai tanda bahaya, warna kembang api balasan yang dilepas dari dalam benteng merupakan jawaban yang harus mereka lakukan, warna tertentu pertanda orang itu hanya cukup dihalau dan warna lain menandakan orang itu harus dibunuh!” “Kungfu mereka sangat tangguh?” “Tangguh sekali!” “Kau sanggup mengalahkan mereka?” “Tidak!” “Kalau begitu lebih baik kita balik saja, buat apa mesti menyerempet bahaya?” “Tidak, kita harus mencoba untuk mengadu untung.” “Mengadu untung?” “Benar, cuaca hari ini amat jelek, tidak cocok untuk melepaskan kembang api. Bahkan kalau mereka paksakan untuk meluncurkan kembang api pun belum tentu bunga apinya terlihat dari dalam benteng dan selama pihak Keluarga Tong tidak melihat ada tanda kembang api, berarti besar kesempatan kita untuk berhasil!” “Sungguh?” “Sungguh! Coba lihat,” Tong Hoa segera merentangkan telapak tangannya, “Coba lihat, apa yang ada di telapak tanganku ini?” Wi Hong-nio bukan hanya dapat menyaksikan, dia malah ikut merasakan. Air hujan. Ternyata hujan mulai turun. Dalam keadaan demikian, sebodoh apa pun Wi Hong-nio juga mengerti apa yang akan terjadi. Begitu hujan turun, apalagi hujan lebat, mustahillah kembang api bisa meledak di udara. Jelas saat ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi mereka. Tiba-tiba ia saksikan wajah murung dan sedih menyelimuti wajah Tong Hoa. ----------------------- Page 146----------------------- http://zheraf.net Melihat itu Wi Hong-nio segera menegur, “Ada apa lagi? Kenapa kau mendadak sedih dan murung? Bukankah kesempatan telah tiba?” “Aku kuatir, kalau hujan turun semakin deras, kita mau berteduh di mana?” Tak kuasa lagi Wi Hong-nio tertawa cekikikan. “Apa perlunya berteduh dari air hujan? Bukankah melarikan diri jauh lebih penting?” “Tidak, berteduh dari hujan lebih penting!” “Kenapa? Biar kehujanan pun belum tentu kita akan jatuh sakit.” “Aku bukannya takut sakit.” “Lalu apa yang kau takuti?” “Aku kuatir keempat penjaga di depan curiga pada tingkah laku kita berdua! “Apa yang mereka curigai?” “Adakah orang keluar kota di tengah malam yang sedang hujan lebat?” “Rasanya memang tidak ada!” Wi Hong-nio tahu, tubuh mereka tidak boleh berbekas hujan, akibatnya tidak jauh berbeda dengan melepaskan kembang api di tengah malam buta. Itulah sebabnya ia segera bertanya, “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tetesan air huj an sudah makin membesar, kalau dilihat keadaannya, kemungkinan besar hujan akan turun semakin deras. Pembicaraan ini mereka lakukan sambil tetap menelusuri jalan perbukitan, kini permukaan jalan mulai berlumpur dan semakin licin, untuk berjalan orang harus berjalan sangat hati-hati. Tiba-tiba Tong Hoa berhenti, bisiknya, “Mari kita berjalan menuju ke atas sana!” Ia menuding ke arah jalan setapak yang tidak terlalu kentara di sisi kiri jalan. Jalan itu dipenuhi rumput ilalang dan semak berduri, walau begitu, jelas pernah ada orang yang melewati tempat itu. “Apakah di atas sana ada tempat untuk berteduh?” “Mestinya ada. Kalau aku tidak salah ingat, di atas itu terdapat sebuah kuil Dewa Gunung yang sudah bobrok.” “Berarti kau pernah datang kemari?” tanya Wi Hong-nio lebih jauh sambil berpegangan pada bahu Tong Hoa. ----------------------- Page 147----------------------- http://zheraf.net “Belum, belum pernah!” Setelah berjalan kira-kira sepembakaran sebatang hio, air hujan yang sangat deras telah membuat mereka berdua basah kuyup. “Ah, ternyata benar, lihat ke sana!” mendadak Tong Hoa berseru. Tanpa berteriak pun Wi Hong-nio juga telah melihat sebuah bangunan kayu yang gelap gulita berdiri lebih kurang sepuluh tombak di depan. Mereka mempercepat langkahnya ke sana, ketika Tong Hoa mendorong pintu dengan sekuat tenaga, pintu kuil pun segera terbuka. Kedua orang itu langsung masuk ke dalam ruangan dan Tong Hoa membuat api unggun. Ruangan kuil luas tapi kering, biarpun sudah bobrok, tapi tidak nampak ada bagian ruangan yang bocor. Bukan saja tidak basah, di sudut ruangan ada setumpuk kayu bakar. Tong Hoa berteriak kegirangan, ia segera memburu ke sana, memindahkan papan kayu ke tengah, lalu dengan pedangnya dia memotong- motong kayu itu menjadi kecil-kecil, setelah itu baru menyulut api untuk membuat api unggun. Tak lama kemudian api unggun telah menyala. Mereka duduk di sisi api, menggunakan tangannya untuk membesut air dan mengeringkan pakaian mereka yang basah kuyup. Lebih kurang setengah jam kemudian, pakaian yang mereka kenakan mulai mengering, Tong Hoa segera bangkit lagi untuk mengambil kayu, membelahnya jadi kecil-kecil dan menambahkan ke dalam onggokan api unggun. “Kemarilah, duduklah dekat dinding,” katanya kepada Wi Hong-nio. “Kenapa?” “Kau bisa duduk lebih dekat di sini.” Wi Hong-nio sangat terharu menyaksikan perhatian yang ditunjukkan pemuda itu, ia tersenyum dan segera bergeser duduk di sisi dinding. Sementara itu hujan semakin deras diikuti suara guntur yang menggelegar, hembusan angin yang kencang dan kilatan petir membuat suasana amat menakutkan. Tiba tiba Wi Hong-nio bangkit berdiri. ----------------------- Page 148----------------------- http://zheraf.net “Kenapa kau? Takut dengan guntur?” Tong Hoa segera menegur. “Tidak, tiba-tiba saja aku ingat sesuatu,” sahut perempuan itu. “Urusan apa?” “Kita harus segera meninggalkan tempat ini!” “Kenapa?” “Saat ini hujan turun sangat deras disertai guntur dan petir, bukankah keadaan ini merupakan kesempatan yang paling baik untuk melarikan diri?” “Dari mana kau bisa berpendapat begitu?” “Bukankah kau pernah berkata bahwa ada empat orang yang menjaga jalan tembus ini? Dalam cuaca seperti ini, masa mereka tidak mencari tempat untuk berteduh dari hujan?” “Tidak mungkin.” Jawaban Tong Hoa tegas dan meyakinkan. “Kenapa?” “Sebab tugas ini adalah tanggung jawab mereka berempat.” “Tanggung jawab bisa dimengerti, tetapi dalam cuaca seperti ini, masa mereka akan bertahan basah kuyup dan membiarkan badannya tertimpa air hujan serta resiko disambar petir?” “Kalau sampai tersambar petir, itu sudah resiko mereka!” “Benarkah begitu?” “Kalau orang lain mungkin aku tidak berani menjamin, tapi aku tahu pasti mengenai mereka berempat, dugaanku tak bakal salah!” “Jadi menurutmu, mereka tetap akan berdiri di alam terbuka meski dalam keadaan hujan badai?” “Ya!” “Dari mana kau bisa tahu?” “Tak usah dipikir lebih jauh pun segalanya sudah jelas. Cuaca seperti ini merupakan kesempatan emas bagi mereka yang ingin melarikan diri, siapa pun orangnya, mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Keempat penjaga itu bukan orang bodoh, sudah tentu makin buruk cuacanya, makin tinggi mereka tingkatkan kewaspadaan dan penjagaannya!” “Oh ya?” “Semua ini adalah aturan rumah tangga yang ditetapkan Keluarga Tong. Tentu saja tidak semua anggota Keluarga Tong pada ----------------------- Page 149----------------------- http://zheraf.net generasi sekarang akan taat pada peraturan itu, tapi bagi mereka dari generasi lalu akan tetap berpegang teguh pada peraturan.” “Jadi keempat orang itu termasuk orang dari generasi lampau?” “Betul, mereka adalah pengikut ayah Tong Ou, kesetiaannya pada Keluarga Tong tak perlu diragukan lagi. Mereka amat taat dan setia kepada tugas dan tanggung jawabnya.” “Siapakah mereka itu?” “Mereka adalah anak yatim piatu yang dibesarkan oleh Keluarga Tong, sejak kecil mereka sudah dididik ilmu silat oleh ayah Tong Ou. Mereka diberi nama Tong Hong, Tong Bwee, Tong Sang dan Tong Bian.” Secara ringkas dia menceritakan asal-usul keempat orang itu beserta kehebatan ilmu silatnya. Ia juga menceritakan bahwa pada malam sebelumnya mereka berhasil menangkap Tong Sip-jit. Selesai mendengar penuturan itu, sambil menjulurkan lidahnya, Wi Hong-nio bergumam, “Wah, tak kusangka mereka sehebat itu! Apakah kita sanggup menghindari mereka berempat?” “Sulit, sulit sekali!” rasa sedih melintas di wajah Tong Hoa, “Biarpun begitu, kita harus tetap mencobanya.” “Kurasa kita tak punya harapan,” bisik Wi Hong-nio sambil menggeleng. “Apa dasarnya kau berpendapat begitu?” “Bukankah kita sudah membunuh beberapa orang sewaktu keluar dari benteng? Bayangkan saja, peristiwa itu pasti sudah membuat geger seisi Benteng Keluarga Tong! Mereka pasti sudah mengirim peringatan kepada Tong Hong sekalian.” “Perkataanmu memang benar. Hanya saja tak seorang pun tahu bahwa mereka dibunuh kita berdua!” “Artinya kita masih punya harapan?” Ingin sekali Tong Hoa memberitahunya bahwa harapan terbuka lebar. Untung saja ucapan tersebut segera ditelannya kembali karena mendadak ia teringat bahwa Wi Hong-nio cerdas dan perasa. Ia tak ingin membongkar rahasia sendiri melalui kata-kata yang tak terkendali. Kalau saja perempuan itu sampai menaruh curiga, pelaksanaan rencana Naga Kemala Putih akan mengalami banyak hambatan dan kesulitan. ----------------------- Page 150----------------------- http://zheraf.net Saat itu segulung angin kencang berhembus masuk melalui celah dinding yang berlubang, hembusan angin membuat daun jendela bergoncang keras dan menimbulkan suara nyaring. Tong Hoa bangkit menghampiri jendela untuk menutup jendela itu lebih kencang, tapi hasilnya sebaliknya, daun jendela malah terlepas dan jatuh ke lantai. Dengan perasaan jengah bercampur malu dia melemparkan sekulum senyuman ke arah perempuan itu. Kini jendela sudah terlepas, angin dan hujan yang berhembus masuk pun makin kencang, ini menandakan di luar badai sedang mengamuk. Di seberang jendela adalah meja altar, di atas dinding belakang meja altar tergantung selembar lukisan dewa. Angin kencang tiba-tiba menghempaskan lukisan di dinding itu, membuatnya menghantam dinding berulang kali dengan menimbulkan suara nyaring. Menyusul kemudian hembusan angin yang lebih kencang membuat lukisan itu rontok ke lantai. Waktu itu Tong Hoa baru saja berhasil menutup kembali daun jendela yang rusak, hembusan angin pun seketika terbendung. Ketika ia berpaling ke arah lukisan yang jatuh ke lantai itu, mendadak dia berseru tertahan. Sebetulnya Wi Hong-nio pun sudah menaruh perhatian pada dinding bekas tempat lukisan itu tergantung. Seruan tertahan Tong Hoa membuat perempuan ini memperhatikan dengan lebih seksama. Ia segera bangkit berdiri dan menghampiri kawannya. Rupanya di dinding bekas menggantung lukisan itu ada tempelan tanah liat yang jelas kelihatan belum lama ditempelkan ke situ. Dengan pedangnya Tong Hoa mencoba mengetuk dinding itu, seketika bergema suara pantulan yang nyaring. Tong Hoa melirik Wi Hong-nio sekejap, lalu dengan sekuat tenaga digempurnya tempelan tanah liat itu, segera saja tempelan tanah itu berguguran dan muncul sebuah lubang. Ketika ia menggali lebih ke dalam maka tampaklah sebuah lubang besar yang cukup untuk dilalui oleh tubuh orang dewasa. Cepat-cepat dia mengambil sebatang kayu dari onggokan api unggun sebagai penerangan, kemudian sekali lagi menengok ke balik gua itu. Seketika mereka berdua dibuat tertegun, kaget bercampur keheranan. Lubang gua itu jelas buatan orang, selain rata dan teratur, permukaan tanahnya menjorok jauh ke bawah sana. ----------------------- Page 151----------------------- http://zheraf.net “Apakah kita perlu memeriksanya?” tanya Tong Hoa kemudian. “Tentu saja,” Wi Hong-nio mengangguk, “siapa tahu Thian memberi petunjuk kepada kita dan lorong ini merupakan jalan rahasia yang berhubungan dengan dunia luar.” Padahal sejak awal Tong Hoa sudah tahu bahwa lorong rahasia itu menuju ke mana. Dia langsung menerobos masuk terlebih dulu, disusul Wi Hong-nio di belakangnya. Setelah merangkak kira-kira tigapuluh kaki, tibalah mereka di dasar lorong. Ternyata ruangan itu jauh lebih lebar, cukup digunakan seseorang untuk berdiri, maka mereka berdua pun bangkit berdiri sambil memeriksa sekelilingnya. Menyaksikan gua itu merupakan sebuah gua alam yang besar, Wi Hong-nio sangat girang, serunya lagi, “Entah lorong gua ini tembus sampai ke mana?” “Aku tahu,” sahut Tong Hoa seakan baru teringat akan sesuatu. “Apa yang kau ketahui?” “Aku tahu gua ini menembus ke mana. Sewaktu masih kecil dulu pernah kudengar orang bercerita bahwa dalam Benteng Keluarga Tong ada sebuah lorong rahasia, tapi kemudian demi keamanan, lorong rahasia itu ditutup.” “Kenapa harus ditutup?” “Sebab bila semakin banyak yang tahu, suatu ketika rahasia ini pasti akan bocor. Jika kemudian dimanfaatkan musuh, bukankah urusan jadi berabe?” “Kenapa tidak mengirim saja berapa orang jago untuk menjaganya?” “Menggunakan penjaga banyak kelemahannya, pertama kau harus mempunyai jagoan yang bisa dipercaya. Kedua, kungfu yang orang itu harus tinggi, tapi yang paling menakutkan justru bila orang itu berkhianat atau dibeli pihak lawan, akibatnya bisa sangat mengerikan!” Mereka berbicara sambil menelusuri lorong rahasia itu. Setelah berbelok beberapa tikungan, lorong itu berubah menjadi lurus dan menjorok ke bawah. Dengan sangat hati-hati mereka menuruni lorong itu, sekitar setengah jam kemudian terlihat cahaya terang muncul di ujung sana. ----------------------- Page 152----------------------- http://zheraf.net Mereka segera mempercepat langkahnya menuju ke arah sumber cahaya itu, dan benar saja, cahaya fajar lamat-lamat tampak memancar masuk ke dalam lorong rahasia itu. Tak lama kemudian mereka menemui semak belukar yang sangat rapat dan tebal. Jelas di balik semak itu adalah jalan keluar dari lorong. Tong Hoa segera meloloskan pedangnya, sembari menyibak semak yang tebal, dia berjalan di depan. Waktu itu hujan telah berhenti, suasana remang keabu- abuan meliputi seluruh langit. Setelah keluar dari gua rahasia itu, Wi Hong-nio baru menyadari bahwa mereka sudah berada di belakang bukit. Ketika berpaling ke belakang, ia mendapatkan tebing yang tegak lurus dan amat curam menjulang. “Tebing ini adalah tebing penghalang yang kumaksudkan tadi,” Tong Hoa menjelaskan. “Berarti kita sudah turun gunung?” seru Wi Hong-nio kegirangan. “Betul,” pemuda itu mengangguk, “kita sudah berada di bawah gunung, bahkan tak usah melalui penjagaan keempat jago itu!” “Bagus sekali!” pekik Wi Hong-nio sambil bertepuk tangan. Tong Hoa ikut tertawa. Dia tertawa bukan karena berhasil lolos dari Benteng Keluarga Tong, ia mentertawakan kebodohan Wi Hong-nio, tertawa karena berhasil membohongi perempuan itu. Sayang Wi Hong-nio sama sekali tidak menyadarinya. Sementara itu Tong Hoa telah berkata lagi setelah memeriksa sekeliling tempat itu sebentar, “Aku rasa tidak sulit untuk menuruni bukit ini. Setibanya di kaki bukit dan berjalan satu-dua jam lagi, kita akan tiba di sebuah kota kecil, kita bisa beristirahat di sana.” Wi Hong-nio sama sekali tidak memperhatikan perkataan itu, sebab dia sedang sibuk menghapalkan keadaan daerah sekitarnya. Ia berencana, bila bertemu lagi dengan Bu-ki nanti, rahasia lorong ini akan diberitahukan kepadanya... Berpikir sampai di situ, tanpa terasa perasaan sedih kembali menyelimuti hatinya. Sebagian lantaran dia teringat akan Bu-ki, sebagian lagi karena dia harus memperalat Tong Hoa untuk melarikan diri dari Benteng Keluarga Tong. Hal yang dulu-dulu tak nanti dia sudi perbuat! ----------------------- Page 153----------------------- http://zheraf.net Tapi sekarang, dia telah melakukannya bahkan tanpa sengaja mendapat tahu tentang rahasia besar di balik lorong itu, dia merasa sedih karena rahasia tersebut terpaksa akan diberitahukan ke pihak Tayhong-tong agar bisa dipergunakan untuk kepentingan mereka. Kenyataan memang selalu kejam, tak heran jika dia merasa amat sedih. Begitulah, dengan membawa rasa sedih dia mengintil di belakang Tong Hoa menuruni bukit itu. Tong Hoa tampaknya menangkap perasaan sedih perempuan itu, namun tak sepatah kata pun yang dia ucapkan. Ketika tiba di kota kecil, waktu sudah menunjukkan tengah hari, mereka pun segera menangsal perutnya yang lapar. “Sekarang, pergilah tidur sebentar,” ujar Tong Hoa, “kita lanjutkan perjalanan kita menjelang malam nanti.” Wi Hong-nio manggut-manggut. “Tapi kita harus kabur ke mana? Sampai di mana kita baru aman dari pengejaran?” “Kini, Benteng Keluarga Tong telah berhasil merampas tiga markas besar Tayhong-tong, pengaruh serta kekuatan mereka kian kuat dan kian bertambah luas, aku rasa kita butuh menempuh perjalanan selama empat-lima hari lagi sebelum benar-benar mencapai tempat yang aman.” “Maksudmu lolos dari lingkaran pengaruh Tayhong-tong?” “Betul, kalau tidak, setiap saat kemungkinan besar kita bisa tertangkap lagi!” Wi Hong-nio tidak berbicara lagi, dia tahu cemas atau panik tak akan menyelesaikan masalah, dalam keadaan seperti ini, apa yang bisa dilakukan adalah menjalaninya setapak demi setapak. Bab 12. Tayhong-tong yang Tenggelam Tio Bu-ki telah mengambil keputusan. Dia akan mencari Sugong Siau-hong untuk merundingkan persiapan serangan balik dengan tujuan merebut kembali markas besar mereka yang sudah jatuh ke tangan lawan. Dia pun mengambil keputusan, tiap hari harus menempuh perjalanan berbekal tenaga yang paling segar dan pikiran yang paling jernih. Perjalanan kali ini harus melewati banyak sekali ----------------------- Page 154----------------------- http://zheraf.net wilayah di bawah pengaruh Benteng Keluarga Tong, wilayah yang sebelumnya milik Tayhong-tong. Ia tidak tahu perubahan yang telah terjadi di bekas wilayah kekuasaannya itu, ia tidak ingin terjebak karena kurang waspada. Semua pergerakannya harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Untung saja perjalanan yang ditempuhnya dengan susah payah beberapa hari terakhir ini membuat janggutnya tumbuh lebat dan liar. Tampangnya menjadi agak berubah, tidak gampang bagi orang lain untuk mengenalinya lagi sebagai Tio Bu-ki. Kota kecil itu mempunyai nama yang enak didengar, Gin-sin, karena dulu di tengah-tengah kota itu tumbuh sebatang pohon yang amat besar. Ketika masuk kota itu Tio Bu-ki mulai berpikir, kota ini hanya berjarak dua puluh li dari markas besar Tayhong-po, dulu termasuk wilayah kekuasaannya. Tapi sekarang? Bu-ki tidak tahu, tapi bila dilihat suasananya yang begitu tenang, sepertinya tak pernah terjadi perubahan apa pun di situ. Sinar matahari tengah hari terasa begitu terik, sedikit sekali orang yang berlalu lalang, mungkin kebanyakan sedang bersantap siang di rumah masing-masing. Seumumnya suasana kota terasa tenang dan damai. Tio Bu-ki menuju sebuah warung penjual mie dan seorang pelayan segera menyambut kedatangannya sambil menyapa, “Silahkan masuk tuan!” Setelah duduk, pelayan menghidangkan sepoci air teh sambil bertanya lagi, “Tuan ingin memesan hidangan apa?” “Terserah,” jawab Bu-ki sambil menghirup air teh. “Terserah yang besar, atau terserah yang kecil?” Bu-ki tertegun sambil duduk seperti orang tolol. Sepanjang hidup baru pertama kali ini ia mendengar orang bertanya seperti itu. Ditatapnya pelayan itu sebentar, kemudian bertanya, “Apa maksudmu dengan terserah besar dan terserah kecil?” “Terserah besar berarti akan kusediakan satu mangkuk mie babi kecap, kalau terserah kecil akan kusediakan semangkuk bubur sambal tahu...” “Sejak kapan kalian menjual bubur sambal tahu?” “Baru kemarin mulai menjualnya.” “Kemarin?” ----------------------- Page 155----------------------- http://zheraf.net “Benar, biasanya kami tidak sedia hidangan semacam itu, tapi sejak kemarin banyak tamu yang datang minta bubur sambal tahu, jadi mau tak mau kami harus menyediakan hidangan istimewa itu.” “Dengan mendadakan begitu, apa kalian bisa membuatnya?” “Tidak bisa. Tapi ada orang yang datang membantu kami.” “Orang-orang Benteng Keluarga Tong?” “Tuan, dari mana kau bisa tahu? Benar, orang-orang Benteng Keluarga Tong memang pandai sekali mencari duit!” Mendengar jawaban itu, diam-diam si anak muda mengeluh. Dia tahu rumah makan ini dulu di bawah kekuasaan Tayhong-tong, tapi sekarang? Tampaknya dengan ringan saja mereka rela bekerja untuk pihak musuh. Dia ingin sekali menggunakan kesempatan ini untuk mengumpulkan berita, namun untuk sesaat dia tidak tahu harus mulai dari mana. Melihat tamunya bungkam, kembali pelayan itu menegur, “Tuan, bagaimana kalau kau coba semangkuk dulu?” “Baiklah!” Tak lama kemudian pelayan itu muncul lagi dengan membawa semangkuk bubur, lalu ia menyingkir ke samping menyaksikan tamunya dahar. Baru dua tiga suapan, kembali pelayan itu bertanya, “Bagaimana? Enak bukan?” “Ehm!” “Tuan suka?” kembali pelayan itu bertanya. Untuk sesaat Bu-ki tidak menjawab, sebab dari balik pertanyaan itu ia menangkap sesuatu yang tidak beres. Setelah berpikir sejenak ia balik tanyanya, “Bagaimana menurutmu?” “Aku amat suka, dan kau?” “Kurasa hidangan ini memang enak, tapi aku tidak suka.” “Kenapa?” “Sebab aku tidak terbiasa makan hidangan yang pedas.” “Tidak biasa?” mendadak pelayan itu menarik wajahnya, “Tidak biasa pun harus dibiasakan!” Selesai bicara, tiba-tiba dia menggerakkan tangannya mencengkeram dada lawan. Untung Tio Bu-ki sudah membuat persiapan sejak tadi, dari perubahan matanya yang aneh dia sudah tahu kalau gelagat tidak ----------------------- Page 156----------------------- http://zheraf.net beres. Oleh karena itu sejak awal sudak mempersiapkan diri sebaik- baiknya. Begitu melihat wajahnya berubah menjadi gelap, dia segera menghimpun tenaga dalamnya sambil bersedia menghadapi segala kemungkinan. Melihat serangan lawan datang menyambar, Bu-ki segera menjejakkan sepasang kakinya untuk melompat mundur dua langkah, kemudian sambil menyilangkan tangan kanannya dia siap melancarkan serangan balasan. “Kenapa kau membokongku?” tegurnya. “Karena kau bukan anggota Benteng Keluarga Tong!” “Dari mana kau bisa tahu?” “Dari mana bisa tahu? Hm, siapa pun tahu, tak ada anggota Benteng Keluarga Tong yang makan bubur pedas selambat caramu bersantap!” “Sekalipun aku bukan anggota Benteng Keluarga Tong, tidak seharusnya kau membunuhku!” “Tetap harus dibunuh!” “Kenapa?” “Penguasa kota berpesan agar kami membasmi semua sisa kekuatan lama yang masih ada. Dulu tempat ini termasuk wilayah kekuasaan Tayhong-tong.” Kembali Tio Bu-ki merasakan hatinya amat sakit, menurut penuturan pelayan itu, nampaknya sebagian besar anggota Tayhong-tong telah mati dibantai bahkan kemungkinan besar seluruh penghuni kota sudah habis dimusnahkan. Sungguh sebuah tindakan yang amat keji! “Jadi kalian telah membunuh seluruh penghuni kota?” tak tahan lagi dia bertanya. “Asal bersedia takluk tentu saja tidak, tapi kalau berani membangkang, bantai!” “Hm, sungguh keji perbuatan Benteng Keluarga Tong, apakah Tong Ou yang suruh kalian melakukannya?” “Tong Ou? Tak nanti Tong Ou menitahkan kami untuk melakukan perbuatan ini, dia kelewat baik hatinya!” “Lalu atas perintah siapa?” “Tentu saja orang yang jauh lebih berkuasa daripada Tong Ou! Kalau tidak, mana mungkin kami berani menyebut nama Tong Ou secara terbuka?” ----------------------- Page 157----------------------- http://zheraf.net Bayangan seorang nenek yang angkuh segera terlintas dalam benak Tio Bu-ki, serunya tanpa terasa, “Berarti Lo-cocong yang suruh?” “Kau juga tahu tentang nenek moyang?” tanya pelayan itu kaget. “Bukan cuma tahu, bahkan pernah bertemu!” “Oh... jadi kau anggota Benteng Keluarga Tong?” “Bukan, aku anggota Tayhong-tong!” Begitu perkataan itu berkumandang, Tio Bu-ki telah mengayunkan telapak tangannya melancarkan sebuah pukulan kuat ke depan, berbarengan dengan itu tubuhnya melejit ke udara dan menerjang maju. “Plak!” hantaman itu bersarang telak di dada si pelayan. Tak ampun orang itu memuntahkan darah segar, dengan mata terbelalak lebar dia mengawasi pemuda itu dengan ketakutan. Setelah mendengus dingin, kembali Tio Bu-ki berkata, “Kau bisa membokong aku, tentu saja aku pun bisa melakukan hal yang sama, bahkan baru pertama kali ini kubokong orang lain. Aku benar- benar tidak tahan melihat ulah kalian, kau anggap nama Tong Ou boleh disebut seenaknya?” Pelayan itu hanya bisa terbelalak dengan mulut melongo, tak sepatah suara pun yang bisa diucapkan, sebentar kemudian tubuhnya roboh terjungkal ke lantai. Bersamaan dengan robohnya tubuh pelayan itu, Tio Bu-ki segera membungkukkan badannya untuk menyusup ke bawah kolong meja. Saat itu terdengar suara desingan angin tajam bergema dari arah delapan penjuru, berpuluh-puluh batang senjata rahasia berhamburan tiba. Begitu cepat serangan itu menyambar tiba, sehingga sebagian dari senjata rahasia itu menghajar tubuh pelayan tadi. Tio Bu-ki yang bersembunyi di kolong meja tidak tinggal diam, dia mengangkat sepasang kaki meja itu, kemudian diobat- abitkan ke kiri dan kanan. Rupanya serangan senjata rahasia gelombang kedua kembali mengarah tubuhnya. “Tring, trang, tring, trang!” seluruh senjata rahasia itu menghajar permukaan meja. Di saat memutar meja untuk melindungi dirinya, sekilas Tio Bu-ki dapat melihat kalau ada sekitar delapan orang berdiri di sekitar dirinya. ----------------------- Page 158----------------------- http://zheraf.net Dengan sekuat tenaga dia melemparkan meja itu ke arah salah satu di antara kawanan jago itu, kemudian dia menerjang ke arah yang berlawanan. Sementara tubuhnya masih melayang di udara, pedangnya sudah diloloskan dari sarung. Tanpa membuang waktu lagi, pedangnya diayun berulang- ulang, “Sreet, sreeet!” dua bacokan kilat membuat pakaian dua orang pengepungnya robek panjang. Menyusul kemudian ia menerjang ke sisi kalangan, lagi-lagi dua bacokan yang dilontarkannya memaksa dua orang pengepungnya yang lain mundur ketakutan. Sungguh cepat semua gerak serangan yang dia jalankan. Ketika dia selesai membereskan keempat orang lawannya, meja yang dilempar ke depan tadi baru saja menghantam tubuh lawannya! Dengan gerakan secepat kilat pemuda ini berbalik menerjang ke arah meja itu meluncur. Sekali lagi pedangnya bergerak cepat menusuk dada orang yang berada di samping meja. Sisanya yang dua orang jadi ketakutan setengah mati setelah melihat kejadian ini. Sadar kalau gelagat tidak menguntungkan, buru-buru mereka balik badan lari terbirit-birit. Saat itu hawa amarah dan rasa dendam yang menyelimuti hati Tio Bu-ki sudah mencapai puncaknya. Tentu saja dia tak ingin membiarkan musuhnya kabur dengan begitu saja. Sambil menjejakkan kaki kanannya ke tanah, bagaikan seekor burung rajawali raksasa dia menyambar ke depan, pedangnya menusuk berulang kali, tahu-tahu punggung kedua orang musuhnya yang sedang kabur itu sudah tersambar telak. “Blaaam, blaaam!” diiringi dua kali benturan keras, kedua orang itu roboh terkapar bermandikan darah. Robohnya kedua orang musuh tidak membuat amarah pemuda ini mereda, justru sebaliknya rasa benci dan dendamnya semakin memuncak. Ia menilai tindakan dan perbuatan orang-orang Benteng Keluarga Tong sudak melewati batas, dia merasa sangat tersinggung dan tidak bisa menerima perlakuan mereka. Khususnya tindakan keji yang mereka lakukan terhadap para pengikut setia Tayhong-tong. Semakin diingat semakin makan kati, tiba-tiba pemuda itu berjalan menuju ke samping sebuah tiang penyangga rumah. Sambil menghimpun tenaga dalam dihajarnya tiang penyangga itu, sesudah itu ia menghampiri lagi ketiga tiang penyangga lainnya masing- ----------------------- Page 159----------------------- http://zheraf.net masing dihajarnya sepenuh tenaga. Ketika tiang terakhir sudah dihajar hingga patah, ia baru beranjak keluar dari rumah makan itu. Baru saja tiba di tepi jalan, rumah makan itu sudah ambruk ke tanah, suara gemuruh yang ditimbulkan memancing kedatangan orang banyak ke sana. Tio Bu-ki menunggu sampai suara gemuruh itu mereda baru kemudian berseru di hadapan mereka, “Apakah kalian anggota Benteng Keluarga Tong?” Tak seorang pun menyahut, banyak di antaranya bahkan buru-buru mundur dengan wajah ketakutan, tampaknya bersiap untuk melarikan diri. Menyaksikan hal ini, Bu-ki segera melintangkan pedangnya sambil menghardik, “Siapa berani kabur dari sini?” Seketika semua orang menghentikan langkahnya dan tak berani berkutik. “Aku Tio Bu-ki dari Tayhong-tong! Aku tidak senang ada yang berani menghina dan memandang rendah Tayhong-tong! Huh, suatu ketika nanti, nasib Benteng Keluarga Tong akan sama dengan nasib bangunan itu!” Ia menuding rumah makan yang sudah roboh berantakan itu. Suasana di sekeliling tempat itu sekali lagi dicekam keheningan yang luar biasa, tak ada seorang manusia pun berani berbicara apalagi bercakap keras-keras. Malahan ada di antaranya yang menundukkan kepala rendah-rendah, ada pula yang menunjukkan harapan agar Tio Bu-ki melanjutkan perbuatannya lebih jauh. Tapi ada juga yang menampilkan wajah sinis dan menghina, seolah sedang berkata, “Tayhong-tong dengan anggota yang begitu banyak pun sudah dibikin keok oleh Benteng Keluarga Tong, hanya mengandalkan kau Tio Bu-ki seorang, apa yang bisa kau perbuat?” Ketika amarah mulai mereda, Tio Bu-ki juga mulai berpikir dengan kepala dingin. Menyaksikan berbagai wajah yang diperlihatkan orang-orang itu, mendadak perasaan sedih dan kecewa muncul dari dasar hatinya. Bicara sejujurnya, kawanan manusia itu hanya kaum saudagar, orang yang mencari duit dengan mengandalkan terjaminnya keamanan. Kalau mereka lalu lebih condong pada kekuatan yang berkuasa, ini kejadian yang lumrah, sebab jika keamanan tidak terjamin, siapa yang berani berdagang? ----------------------- Page 160----------------------- http://zheraf.net Selain itu saat ini dia hanya seorang diri, dengan kekuatan begini kecil, apa yang bisa dia perbuat? Bisa saja dia mengusir orang-orang Benteng Keluarga Tong yang ada saat ini, tapi apa yang akan terjadi setelah ia meninggalkan kota itu? Lalu apa yang bisa dia perbuat jika pihak Benteng Keluarga Tong mengirim bala bantuan? Untuk mewujudkan cita-cita dibutuhkan kekuatan nyata, tidak ada kecuali untuk itu. Dalam keadaan seperti ini satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah secepatnya bertemu Sugong Siau- hong, menyusun strategi, menghimpun kembali kekuatan baru kemudian merebut kembali satu per satu wilayah itu dari tangan Benteng Keluarga Tong. Begitu sadar akan kecerobohannya, sambil tertawa getir pemuda itu berkata lagi, “Kalian tak usah kuatir, Tayhong-tong pasti akan bangkit kembali dan membebaskan wilayah ini dari penjajahan, aku berharap kalian bisa menjaga diri baik-baik!” Selesai bicara dia menyimpan kembali pedangnya dan perlahan-lahan beranjak pergi dari situ. Berjalan hingga menjelang senja, tibalah anak muda itu di sebuah kota kecil lain, dia tak taku nama kota itu karena tiada ciri khas di kota tersebut, juga tak ditemukan papan petunjuk. Dia hanya mengetahui satu hal, satu persoalan yang tak ingin dia selidiki bagaimana akibatnya. Kota ini terlihat cukup besar, mungkin lebih dari duaratus orang penduduknya, namun sekilas pandang suasana terasa lengang dan sepi. Biasanya senja merupakan saat yang pakng ramai orang berlalu lalang. Tapi kini? Kota itu sepi dicekam ketakutan. Ia mencoba menyusuri jalan di tengah kota, semua pintu tertutup rapat. Ia mencoba menelusuri lebih jauh sampai akhirnya menemukan satu bangunan rumah yang retak hampir roboh. Padahal bangunan yang tampak hampir roboh itu masih kelihatan baru, kayu-kayunya kuat dan kokoh, tidak seharusnya dengan bahan yang begitu kokoh bisa roboh. Tapi apa yang terjadi? Kenapa bangunan rumah itu seakan hendak roboh? Ia menghampiri bangunan itu dan segera menemukan bahwa retaknya bangunan itu akibat ulah manusia. Ada seseorang yang sengaja merobohkan rumah itu. Dalam bangunan tak ada lentera dan tentu saja tidak ada penghuninya. Dia tak ingin mengamati lebih jauh, maka kembali ia ----------------------- Page 161----------------------- http://zheraf.net mengikuti jalan yang berbelok ke kanan lalu belok lagi ke kiri sampai di depan sebuah warung di tepi jalan. Warung itu menjual bakmi, sebuah lentera kecil tergantung di sisi warung, seorang kakek duduk di belakang tungku, tak nampak ada tamu yang bersantap. Ketika melihat kemunculan Tio Bu-ki, dengan ramah kakek itu segera menyapa. Tio Bu-ki mengambil tempat duduk dan memesan semangkuk bakmi daging sapi. Bakmi itu sangat pedas namun sedap rasanya, sangat berbeda dengan bubur tahu pedas yang ia makan siang tadi. “Bakmi daging sapi yang kau jual ini dulu tentu tidak pedas bukan?” tak tahan tanya anak muda itu. “Tuan pernah makan di sini?” tanya kakek itu sambil duduk di sisi pemuda itu. “Tidak pernah, baru pertama kali ini aku datang kemari.” “Oh, hebat sekali, baru dicicipi segera sudah tahu!” “Warungmu nampak sudah lama, tandanya kau sudah lama sekali berjualan di sini, tapi rasa pedasmu tidak harum, jika kau tetap masak dengan bumbu seperti ini, aku yakin tak sampai tiga bulan kau harus menutup usahamu!” “Ucapan tuan memang tepat sekali, tapi, haaai...” kakek itu menghela napas panjang dan tidak melanjutkan kata-katanya. “Apa kesulitanmu, kenapa tak kau teruskan?” “Sebetulnya bukan suatu rahasia yang tak boleh diungkap, kalau memang kau datang dari luar daerah, biarlah kuceritakan padamu.” Bu-ki segera meletakkan sumpitnya dan mendengarkan cerita kakek itu dengan seksama. “Begini ceritanya,” kata kakek itu kemudian, “Dulu kota ini adalah wilayah kekuasaan Tayhong-tong, selama itu semuanya aman dan tenteram, dagangan ramai dan gampang cari duit. Tapi sejak beberapa hari yang lalu, Tayhong-tong dikalahkan Benteng Keluarga Tong sehingga daerah ini jatuh ke tangan mereka. Sejak itulah usahaku menjadi sepi, susah cari duit dan hidup pun jadi tidak tenteram.” Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kakek itu melanjutkan, “Kau lihat bangunan rumah di ujung jalan sana?” Tio Bu-ki mengangguk. ----------------------- Page 162----------------------- http://zheraf.net “Dengan terang-terangan mereka menentang dan melawan Benteng Keluarga Tong, akibatnya rumah mereka dijebol orang, sementara penghuninya ditangkap semua. Akibat peristiwa ini, banyak orang yang pura-pura tunduk pada Benteng Keluarga Tong, tapi ada juga sebagian yang lain melarikan diri dari sini.” Selesai mendengar penuturan itu, Tio Bu-ki semakin yakin kalau dugaannya tidak salah, segala sesuatu terjadi karena kekuatan Tay-kong-tong semakin mundur sementara pengaruh Benteng Keluarga Tong semakin berjaya. “Masa orang-orang Benteng Keluarga Tong begitu galak?” tanya pemudaku. “Malah ada yang lebih galak lagi!” “Ook, apa yang terjadi?” “Di ujung jalan sana ada seorang kakek penjual kelontong, dia she Thio dan mempunyai seorang anak gadis, tahun ini baru berusia tujuh belas tahun, wajahnya cantik dan menawan. Sudah banyak anak muda yang berminat dan mengajukan lamaran, tapi semuanya ditolak bapaknya.” “Kenapa?” “Menurut kakek Thio, putrinya sejak kecil sudah dijodohkan dengan putra seorang Tongcu Tayhong-tong, namanya...” Kakek itu berpikir sejenak sambil menggaruk-garuk kepalanya, sesaat kemudian baru berseru, “Ah, betul, dia bernama Li Hong-hui!” “Li Hong-hui?” “Tuan kenal dengannya?” “Tidak, tapi pernah mendengar nama itu!” Padahal Bu-ki kenal Li Hong-hui, hanya saja dia tak ingin mengungkap dirinya. Kembali tanyanya, “Bagaimana selanjutnya?” “Kemudian semua orang mengurungkan niatnya untuk meminang. Tapi belakangan, setelah orang-orang Benteng Keluarga Tong muncul di sini, satu di antara mereka, konon seorang Tancu yang bernama Si Po-yong tertarik pada gadis itu, dia memaksa hendak meminangnya.” “Lalu apa yang dilakukan kakek Thio?” “Apa lagi? Dia bisa berbuat apa? Aaai...” dia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Tio Bu-ki tidak bertanya lebih lanjut, sebab dia tahu di kala seseorang sedang bersedih, lebih baik jangan mengusik atau ----------------------- Page 163----------------------- http://zheraf.net mengganggunya, beri kesempatan lebik dulu kepadanya untuk melampiaskan kesedihannya. Setelah menghela napas panjang, kakek penjual mie itu meneruskan, “Besok pagi, Si Po-yong akan datang memboyong pergi gadis itu!” “Kenapa keluarga Thio tidak berusaha untuk melarikan diri?” “Melarikan diri? Bagaimana mungkin?” “Kaki toh tumbuh di badan mereka, apa susahnya kabur dari sini?” “Kalau ada delapan orang lelaki bengis yang siang malam menjaga di depan dan belakang pintu rumah mereka, bagaimana caranya untuk kabur?” Tio Bu-ki tidak bicara lagi sebab dia cukup paham dengan keadaan di lingkungan itu. “Padahal pengaruh Tayhong-tong sudah runtuh dan lenyap, apa salahnya kakek Thio menjodohkan putrinya dengan penguasa baru? Bukankah kejadian ini malah menguntungkannya?” “Ucapan tuan benar, tapi tiap orang punya pendapat yang berbeda-beda, ada sementara orang berjiwa tempe dan berpikiran bunglon, tapi ada pula yang berjiwa ksatria, setia dengan Tayhong- tong dan tidak mau takluk pada orang lain!” Mendengar sampai di situ, diam-diam Tio Bu-ki mengambil keputusan akan membantu keluarga Tkio. Dia lalu bertanya letak rumah keluargaku. Selesai membayar, dia berangkat menuju ke arah yang ditunjuk. Waktu itu kegelapan malam sudah menyelimuti seluruh kota kecil itu. Lentera yang menerangi warung itu sangat redup, membuat Bu-ki susah untuk melihat perubahan wajah kakek penjual mie itu. Seraut wajah yang menyeramkan, wajah pembunuh yang membuat bulu kuduk berdiri! Ooo)))(((ooo Tio Bu-ki berjalan lambat-lambat, dandanannya tetap sama seperti penampilannya tadi, menggantungkan pedangnya di belakang baku. ----------------------- Page 164----------------------- http://zheraf.net Kini cahaya lampu telah menyinari seluruh jalan, walaupun tidak terlalu ramai namun sudah menyerupai keramaian di sebuah kota kecil. Tengah berjalan, mendadak ia berubah pikiran, ia memutuskan untuk menunda dulu kunjungannya ke kakek Thio. Ia ingin mencari tempat untuk beristirahat dulu. Keputusan ini menjadi keputusan yang mematikan. Keputusan yang jauh lebih menakutkan ketimbang senyuman si kakek penjual mie yang menakutkan tadi. Keputusan ini telah memberi waktu yang cukup bagi kakek penjual mie itu untuk menjalankan rencana busuknya yang mengerikan dan mematikan. Ooo)))(((ooo Pembaringan kayu keras dan dingin, sama sekali tidak nyaman untuk ditiduri. Tapi Tio Bu-ki justru suka tidur di pembaringan semacam ini, karena pembaringan kayu membuat pinggangnya lebih lurus, keadaan yang dibutuhkan seorang pesilat. Berbaring di pembaringan kayu itu, pikirannya melayang kembali ke suasana dalam gedung keluarga Tio di Tayhong-tong. Terbayang kembali pembaringan kayu yang biasa ditidurinya hampir belasan tahun. Membayangkan pembaringan kayu, tentu saja dia lalu teringat pembaringan yang lain, sebuah pembaringan baru, pembaringan yang nyaman dan merangsang. Ranjang pengantin! Ranjang pengantinnya bersama Wi Hong-nio. Karena terdorong rasa ingin tahu, dia pernah pergi menengoknya. Sayang tak ada kesempatan untuk menggunakannya, walau hanya semalam! Bila dalam dunia persilatan tak ada perkumpulan yang bernama Benteng Keluarga Tong, ayaknya tak akan mengorbankan jiwa dengan percuma. Upacara perkawinannya pasti akan berlangsung meriah dan malam harinya dia pasti akan menikmati empuknya ranjang pengantin! Ya, andaikata dalam dunia persilatan tak ada perkumpulan yang bernama Benteng Keluarga Tong! Ia tak menghela napas, karena tiba-tiba ia berpikir, mungkin saja orang-orang dari Benteng Keluarga Tong juga ada yang sedang ----------------------- Page 165----------------------- http://zheraf.net berpikir, andaikata dalam dunia persilatan tidak ada perkumpulan yang bernama Tayhong-tong... Jadi pada dasarnya masalah bukanlak ada atau tidaknya Benteng Keluarga Tong. Mungkin saja Keluarga Tong tidak ada, namun tidak menutup kemungkinan akan muncul Benteng Keluarga Tan atau Benteng Keluarga Li. Jadi pokok persoalan adalah kekuatan dan daya pengaruh. Dia harus memperbesar pengaruh dan kekuatan yang dimilikinya, dengan begitu semua persoalan baru bisa diatasi. Itu sebabnya ia memutuskan untuk pergi menolong kakek Thio dan putrinya, ia ingin tetap menanamkan pengaruh Tayhong- tong di tempat itu, bahkan ingin semua orang taku bahwa Tayhong- tong tidak selemah seperti yang dibayangkan orang! Ia berencana pada kentongan pertama nanti, dengan pura- pura sebagai keluarga kakek Thio, ia akan menyusup masuk ke dalam rumah. Kemudian bersama kakek Thio menghabisi para penjaga dan membawanya kabur, dia ingin mengajak keluarga itu untuk mengungsi ke tempat Sugong Siau-hong, baru kemudian mencari Li Hong-hui agar bisa menikahi kekasihnya. Bagaimanapun juga dia harus berusaha sekuat mungkin, sebab tidak gampang menemukan orang yang begitu setia terkadap Tayhong-tong! Kentongan pertama. Setelah mempersiapkan diri, dengan penuh semangat Tio Bu-ki berangkat menuju ke rumah kakek Thio. Dari jauk ia sudah melihat dua lentera gantung di depan pintu rumah, lentera berwarna merah yang memancarkan cahaya terang. Betul juga, di depan rumah tampak ada dua orang lelaki kekar bersenjata golok sedang melakukan penjagaan. Ketika ia berjalan mendekat, salak seorang dari dua lelaki itu segera menghadang jalannya seraya menegur dengan suara garang, “Mau cari siapa?” “Tuan rumah,” sahut pemuda itu sambil menuding ke dalam gedung. “Mau apa mencarinya?” “Memberi ucapan selamat, katanya besok putrinya akan menikah. Aku keluarga jauhnya yang datang untuk memberi selamat.” ----------------------- Page 166----------------------- http://zheraf.net Dengan sorot mata tajam lelaki itu mengamati Tio Bu-ki beberapa saat, baru katanya, “Masuk!” Pintu dalam keadaan terbuka. Tio Bu-ki segera mengetuk pintu gerbang kuat-kuat, tiga kali ketukan keras ditambak dua kali ketukan perlahan. Itulak ketukan rahasia Tayhong-tong, tanda bahwa yang datang satu aliran dengan mereka. Pintu segera dibuka. Seorang lelaki setengah umur yang berperawakan tinggi besar melongokkan kepalanya memperhatikan pemuda itu sekejap. Lelaki itu mengenakan topi dari kulit yang dipasang amat rendah sampai menutup hampir seluruh telinganya, menutupi juga keningnya yang menonjol tinggi. Setelah mengamati Bu-ki beberapa saat, lelaki setengah umur itu baru bertanya, “Kau...” “Aku datang mencari kakek Thio!” “Kakek Thio?” “Benar!” “Aku she Thio, tapi bukan kakek Thio.” “Apakah kau punya anak perempuan yang akan dinikahkan besok?” “Benar!” “Kalau begitu kaulah yang sedang kucari, sebab ada orang memanggilmu kakek Thio maka aku...” “Tahun ini aku berusia limapulub tahun, mungkin lantaran belajar silat maka tampangku nampak jauh lebih muda!” orang itu berkata sambil tertawa, “Ayoh silahkan masuk!” Dia mengajak Bu-ki melewati kalaman depan yang luas dan masuk ke ruang tengah. Suasana di situ amat sepi, tak nampak sesosok bayangan manusia pun. “Kenapa tak nampak satu orang pun?” tanya Bu-ki kemudian. “Sudah pada kabur!” “Kenapa?” “Pada takut mati!” Bu-ki tidak bicara lagi. Siapa sih yang tidak takut mati? Takut mati memang kelemahan orang, apalagi menghadapi keadaan seperti ini, kabur karena takut adalah sebuah urusan yang biasa. ----------------------- Page 167----------------------- http://zheraf.net Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan keheranan kembali ia bertanya, “Apakah penjaga di luar mengijinkan mereka untuk pergi?” Kakek Thio sedikit melengak, tapi cepat-cepat sahutnya, “Tentu saja!” “Kenapa kau tidak menyamar jadi pelayan untuk kabur juga dari sini?” “Mungkinkah bagiku?” kakek Thio tertawa getir, sambil menuding perawakan tubuhnya, “Aku tinggi besar, siapa saja bisa mengenalku dalam sekilas pandang, apa mungkin aku bisa kabur?” “Berarti kau membiarkan putrimu dikawin orang?” “Mau apa lagi? Mau melawan juga tak mungkin bisa mengalahkan mereka!” “Bertarung saja belum, bagaimana kau bisa tahu kalau tidak sanggup mengalahkan mereka?” Sekali lagi kakek Thio melengak, “Apa perlu kita melakukan perlawanan?” “Tentu saja!” “Kenapa?” “Sewaktu masuk, aku sempat memperhatikan dua penjaga di luar itu, kelihatannya kungfu mereka tak seberapa tinggi.” “Sungguk?” tak nampak rasa girang di wajah orang itu. Sayang Bu-ki tidak memperhatikan perubahan itu, kembali ia bertanya, “Mana putrimu?” “Di dalam kamar.” “Suruh dia kemari, akan kuajak kalian pergi meninggalkan tempat ini.” “Kau? Siapa kau?” “Aku Tio Bu-ki.” “Kau Tio Bu-ki?” “Kenapa? Tidak mirip?” “Oh tidak, tidak, aku terlalu gembira,” sahut kakek Thio itu lagi. Meskipun dia mengatakan gembira namun paras mukanya sama sekali tidak memperlihatkan perasaan gembira. Berbicara sampai di situ, kakek Thio lalu masuk ke ruangan dalam. Sambil berjalan, katanya lagi, “Aku akan segera memanggil putriku!” “Tunggu dulu!” cegah Bu-ki. Kakek Thio menghentikan langkahnya dan berpaling. ----------------------- Page 168----------------------- http://zheraf.net “Lebik baik sekalian berbenah, kita segera pergi meninggalkan tempat ini.” Kakek Thio manggut dan berjalan masuk. Tak lama kemudian kakek Thio sudah muncul bersama seorang gadis, di tangan mereka tampak bungkusan kain. Sepertinya itulak bekal yang akan mereka bawa. Bu-ki tampak agak kaget, dia tak menyangka secepat itu mereka berdua telah muncul kembak. Seolah-olah buntalan itu sudah mereka persiapkan dari tadi. Gadis itu berusia kira-kira tujuk atau delapanbelas takun, wajahnya cantik tapi kelihatan jauk lebih matang dan dewasa dari usianya. Ini sekali lagi membuat anak muda itu keren. “Cepat panggil Tio kongcu!” kata kakek Thio sambil menepuk bahu gadis. “Tio kongcu!” seru si nona dengan suara yang merdu, sementara sepasang matanya yang besar menatap wajak anak muda itu tanpa berkedip, membuat Bu-ki menjadi risih sendiri. “Mari kita segera berangkat!” ajaknya kemudian. “Baik,” sahut kakek Tkio sambil menarik putrinya mengikut di belakang pemuda itu. Baru saja Bu-ki membuka pintu, dua orang lelaki bergolok itu sudah menghadang jalan perginya. Tanpa bicara lagi pemuda itu melolos pedangnya dan beruntun melancarkan tiga buah serangan. Belum sempat kedua orang lelaki itu menggerakkan goloknya untuk menangkis, tahu-tahu dada mereka sudah terbabat hingga robek tiga buah garis panjang. Kedua lelaki itu menunduk, memeriksa dada mereka. Melihat pakaian mereka terbabat robek, mereka berdua lalu saling bertukar pandang. Sekejap kemudian keduanya lari terbirit-birit. Suara tepuk tangan bergema dari belakang tubuhnya, ternyata gadis itu bertepuk tangan sambil bersorak memuji. “Tenang amat gadis ini,” pikir Bu-ki. Dia tidak curiga mengapa gadis yang lemah lembut bisa bersikap begitu tenang menyaksikan suatu pertarungan. Setelah menyarungkan kembali pedangnya, ia berpaling kepada kakek Thio berdua seraya serunya, “Ayo segera berangkat!” Gadis itu tersenyum manis, sambil menyusul ke samping Bu- ki, pujinya, “Hebat betul ilmu silatmu, aku ingin jalan bersamamu!” Sambil bicara ia sudah menggenggam tangan pemuda itu erat-erat. ----------------------- Page 169----------------------- http://zheraf.net Jari tangannya terasa lembut dan halus, Bu-ki dapat merasakan kehangatan yang terpancar keluar dari tangan itu. Ini membuatnya sangat tak leluasa dan ingin melepaskannya. Sayang apa yang dipikirkannya sudah terlambat. Jari-jari tangan yang semula halus dan lembut itu tiba-tiba berubah menjadi kaku dan keras bagaikan baja. Bukan hanya itu, kelima jari tangannya segera mencengkeram tangan pemuda itu dan menekan jalan darah di pergelangannya. Tanpa ampun separuh badan Bu-ki sebelah kanan lemas seketika, seluruh kekuatannya hilang lenyap tak berbekas. Dengan kaget bercampur heran ia berpaling. Sambil tertawa gadis itu berseru, “Kau sudah masuk perangkap!” Buru-buru anak muda itu mengebaskan tangannya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman, sayang langkah ini pun sudah terlambat. Ketika ia menggerakkan badannya hendak meronta, kakek Thio yang ada di sampingnya turun tangan. Tangan kanannya secepat kilat menangkap bahu Bu-ki dan mencengkeramnya kuat- kuat. Sungguh dahsyat cengkeraman itu. Bagai dijepit sebuah cakar baja, bahunya sama sekali tak mampu bergerak lagi, membuat separuh badan Bu-ki yang sebelah kiri ikut lemas tak bertenaga. Senyum si nona yang semula lembut tiba-tiba saja berubah jadi senyuman licik dan jahat. “Siapa kalian berdua?” tegurnya tanpa terasa. “Kami?” senyum gadis itu semakin jalang, “Tentu saja kami adalah orang yang khusus kemari untuk menangkap dirimu!” “Jadi anggota Benteng Keluarga Tong selalu hanya mampu menangkap orang dengan cara yang licik dan tak tahu malu?” “Belum tentu!” kembali gadis itu tertawa jalang, “Untuk menghadapi kau, kami masih punya cara lain yang jauh lebih hebat!” Tio Bu-ki tidak bersuara lagi. Tiba-tiba ia sadar kalau perbuatannya selama ini kurang hati-hati. Sejak pintu gerbang keluarga Thio hingga masuk ke dalam gedung, ia sudah menjumpai banyak kejadian yang mencurigakan, tapi ia mengabaikan semua itu, yang dipikirkan hanya bagaimana secepatnya menolong mereka berdua. Ia memang kelewat bodoh, sedemikian bodoh hingga tidak membayangkan bagaimana mungkin Benteng Keluarga Tong hanya ----------------------- Page 170----------------------- http://zheraf.net mengirim dua orang untuk menjaga pintu gerbang rumah seorang pengikut setia Tayhong-tong. Selain itu, jika mereka memang berasal dari keluarga baik- baik, mengapa si gadis bisa menampilkan senyuman cabul? Di samping itu, malam sudah demikian gelap, mengapa kakek Thio masih mengenakan topinya, bahkan sengaja merendahkan topinya hingga menutupi kedua tay-yang-hiatnya? Bukankah tujuannya jelas untuk mengelabui penampilannya, agar dia tak melihat kalau kungfunya sangat hebat. Kini segalanya sudah menjadi jelas. Tapi apa gunanya? Semuanya sudah terlambat! Bu-ki amat sakit hati, benci kepada diri sendiri, benci pula kepada Tong Ou. Mengapa dia sengaja membebaskan dirinya untuk kemudian mengirim orang untuk menangkapnya kembali? “Apakah Tong Ou yang memerintah kau untuk membekukku?” “Aku tidak tahu,” jawab gadis itu sambil tersenyum, “tanyakan saja kepada suamiku.” “Suamimu?” “Benar, akulah suaminya!” sahut kakek Thio. “Kau?” dengan terperangah Bu-ki berpaling dan mengawasi wajah kakek Thio. Kakek Thio membuka mulutnya lebar-lebar, tertawa dan manggut-manggut. Mendadak Bu-ki seperti teringat sesuatu, segera serunya, “Aku tahu sekarang, kau adalah Thio Toa-cui, Si Mulut Besar!” Sekali lagi Thio Toa-cui Si Mulut Besar tertawa terkekeh- kekeh, mulutnya dipentang semakin lebar, sahutnya, “Tepat sekali! Akulah Si Mulut Besar Thio Toa-cui, dia adalah biniku, Li Bu-yan!” Sambil berkata, ia menunjuk gadis di depannya. “Berarti kakek penjual mie di sana adalah Oh Pan?” “Tepat sekali! Sayang baru sekarang kau menyadarinya, semuanya sudah terlambat!” Cerita yang tersiar di dunia persilatan, Oh Pan, Thio Toa-cui dan Li Bu-yan adalah tiga orang tokoh perkumpulan pembunuh gelap. Asal kau bersedia mengeluarkan uang, mereka bersedia melakukan pekerjaan apa pun bagimu. Mereka hanya kenal uang, tidak kenal sanak saudara. ----------------------- Page 171----------------------- http://zheraf.net Konon istri Oh Pan dan Thio Toa-cui adalah orang yang sama, yaitu Li Bu-yan. “Tak kusangka Benteng Keluarga Tong telah menyewa kalian untuk menghadapiku!” kata Bu-ki kemudian. “Ha ha ha... kau keliru besar!” Tkio Toa-cui kembali membuka mulutnya lebar-lebar dan tertawa tergelak. “Yang mengeluarkan uang untuk menghadapi dirimu bukanlah Benteng Keluarga Tong!” “Benar!” sambung Li Bu-yan, “Kami sedang mencari jalan rejeki buat diri sendiri. Bila berhasil membekukmu berarti kami akan mendapat banyak uang dari Benteng Keluarga Tong.” “Kenapa?” “Kenapa?” kembak Li Bu-yan tertawa cekikikan. “Saat ini Benteng Keluarga Tong sedang menabuh genderang peperangan pada Tayhong-tong. Sedang kau adalah tokoh penting dari perkumpulan itu, dengan membekukmu berarti kami telah membuat jasa besar. Coba kau bayangkan sendiri, berapa banyak uang yang bakal kami terima dari Benteng Keluarga Tong?” Setiap kali menyinggung soal duit, Li Bu-yan dan Thio Toa- ciu saling berpandangan sambil tertawa tergelak, seakan-akan sudah ada setumpuk uang yang disodorkan ke hadapan mereka. “Kalau mau menyalahkan, salahkan dirimu sendiri!” ujar Thio Toa-cui lagi. “Siapa suruh kau berlagak sok jagoan dengan meng- undurkan dirimu di depan umum? Kalau tidak, kami pun tak bakal mengatur siasat untuk menjebakmu!” “Hanya saja,” sambung Li Bu-yan cepat, “hanya orang segoblok kau yang bisa tertipu oleh siasat kami!” Bu-ki tidak bicara lagi, dia hanya mengawasi mereka berdua dengan pandangan dingin, sikapnya menghina dan sama sekali tidak menghargai orang-orang itu. “Bagaimana?” kembali Li Bu-yan bertanya, “Kau pandang hina cara kerja kami?” “Bukan begitu, siapa pun yang berhasil membekuk lawannya, dia pasti akan menggunakan cara yang paling hebat, hanya saja...” “Hanya saja kenapa?” tanya Si Mulut Besar Thio Toa-cui. “Kalian bakal bekerja sia-sia!” “Kerja sia-sia? Kenapa?” “Sebab kalian tak bakal mendapat uang sekeping pun!” ----------------------- Page 172----------------------- http://zheraf.net “Oh ya?” seseorang berseru dari kejauhan. Menyusul seruan itu Oh Pan si tukang bakmi sudah muncul. Dia langsung berjalan menuju ke depan Bu-ki, lalu katanya lebih jauh, “Tentu saja kami tak akan perolek sekeping uang, sebab uang yang akan kami terima banyak sekali jumlahnya!” “Tak mungkin, kalian tak bakal memperolek apa-apa!” “Kenapa?” Li Bu-yan bertanya agak penasaran, “Memangnya sekarang kau masih bisa kabur dari cengkeraman kami?” “Aku tak perlu kabur, bawa saja aku ke Benteng Keluarga Tong. Kujamin kalian hanya akan membuang tenaga percuma, membuang pikiran percuma, membuang waktu percuma, membuang ransum percuma. Kecuak menelan angin kosong, kalian tak bakal mendapat apa-apa!” “Kau kira kami akan percaya kata-katamu?” “Mau percaya atau tidak terserah, sampai waktunya jangan bilang aku tidak memberitahumu!” “Apa alasanmu sehingga dapat membuat kami percaya?” tanya Li Bu-yan kemudian. “Aku baru saja keluar dari Benteng Keluarga Tong!” “Sungguh?” teriak Li Bu-yan, “Bagaimana kau bisa keluar dari sana.!” Sebelum Bu-ki sempat menjawab pertanyaan itu, Ok Pan sudak berebut untuk bicara duluan, “Tidak, kau seharusnya menjelaskan dulu bagaimana bisa memasuki Benteng Keluarga Tong!” “Bagaimana caraku bisa masuk ke sana sesungguhnya tidak penting bagi kalian,” sakut Bu-ki tenang, “Yang penting buat kalian justru bagaimana aku bisa keluar dari sana!” “Baik, coba katakan, dengan cara apa kau bisa keluar dari sana?” potong Thio Toa-cui cepat. “Tong Ou yang membebaskan diriku!” Ketiga orang itu saling bertukar pandang dengan mata terbelalak lebar. Dengan wajah tak percaya mereka mengawasi wajah anak muda itu. “Kini kalian menangkap aku dan mengkantar balik ke situ, bukankah perbuatan kalian percuma saja?” ujar Bu-ki lebik jauh. Lama sekali tiga pasang mata itu terbelalak lebar, akhirnya Thio Toa-cui tertawa terbahak-bahak, katanya, “Ha ha ha... kau ----------------------- Page 173----------------------- http://zheraf.net anggap ceritamu dapat membohongi kami semua? Ha ha ha... sungguh bikin orang mati geli!” “Bikin orang mati geli? Kenapa kau tidak segera mati saja?” Thio Toa-cui kontan menghentikan tawanya setelah mendengar perkataan itu. Amarah mulai menyelimuti wajaknya, cengkeraman tangan kanannya di tulang bahu Bu-ki segera diperkuat. “Justru kau yang bakal mampus!” teriaknya. Paras muka Bu-ki sama sekali tak berubah, penampilannya saat ini sangat wajar, seakan cengkeraman dari Thio Toa-cui itu sama sekali tidak membuatnya kesakitan. “Bila kalian tidak percaya pada perkataanku,” kembali Bu-ki berkata, “Yang bakal mampus bukan aku, sebab kalian masih butuh aku dalam keadaan hidup.” “Sudahlah,” tukas Ok Pan kemudian, “kita tak usah membuang banyak waktu hanya beradu mulut dengan bocah ini. Hei, bocah monyet, kami tak bakal percaya omonganmu, jadi tak usah banyak bicara lagi!” Habis berkata ia menghampri anak muda itu dan menotok beberapa jalan darahnya, kemudian katanya lagi, “Sekarang, kecuali sepasang kakimu yang bisa dipakai untuk berjalan, tenagamu tak akan bisa kau gunakan lagi. Ayoh jalan, ikuti kami!” Li Bu-yan dan Thio Toa-cui melepaskan genggamannya, mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Diam-diam Bu-ki mencoba untuk menghimpun tenaga dalamnya. Betul juga, tenaga murninya hilang lenyap sama sekali. Dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengikut di belakang tiga orang itu untuk berjalan. Dia tahu, jika tidak menuruti kemauan mereka, dia bakal menderita siksaan hidup-hidup! Bab 13. Naga Kemala Putih Tong Hoa dan Wi Hong-nio melakukan perjalanan setiap malam menjelang tiba dan sesudah melewati sepuluh hari, tibalah mereka di tempat tujuan. Tempat tinggal Wi Hong-nio sesungguhnya adalah gedung keluarga Tio, meskipun ia belum resmi menikah dengan Tio Bu-ki, ----------------------- Page 174----------------------- http://zheraf.net namun ia beranggapan sudah menjadi menantu keluarga Tio, maka rumahnya adalah gedung keluarga Tio. Sejak Tio Kian ditemukan tewas, kemudian Tio Bu-ki dan adiknya hilang tanpa kabar, semua pembantu yang bekerja di keluarga Tio boleh dibilang sudah bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Tio Cian-cian memang pernah pulang, tetapi setelah menyaksikan bangunan rumahnya dipenuhi sarang laba-laba dan debu, tanpa berhenti sejenak pun ia langsung berlalu. Tak heran ketika Tong Hoa dan Wi Hong-nio tiba di sana, gedung keluarga Tio sudah berubah menjadi sebuah bangunan yang terbengkalai. Tong Hoa bekerja keras membersikkan debu dan sarang laba-laba dari setiap sudut rumah, sementara Wi Hong-nio membenahi kamar tidur. Ketika gedung keluarga Tio sudah bersih dan pulih kemegahannya, senja sudah menjelang tiba. Tong Hoa bertanya kepada Wi Hong-nio apakah akan keluar rumah untuk mencari makan dan ketika perempuan itu menjawab belum lapar, Tong Hoa berkata, “Kalau begitu aku akan keluar sebentar, nanti kubelikan beberapa macam hidangan untuk mengisi perut.” “Baiklah, kau tak perlu terburu-buru,” sahut Hong-nio sambil mengawasi cahaya senja yang menyinari halaman rumah dengan termangu-mangu, tampaknya ia sedang membayangkan kembali saat-saat gembira di masa lalu. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Tong Hoa berlalu. Dengan cepat ia berhasil menemukan Pesanggrahan Kemala Putih dan menemui pemiliknya, Pek Giok-khi. Tong Hoa mengeluarkan selembar kertas yang dibawanya dari Benteng Keluarga Tong lalu menyerahkannya kepada Pek Giok- khi. Kertas itu adalah surat yang ditulis Tio Kian. Kepada orang itu ia berkata, “Kau bisa meniru gaya tulisan orang ini?” Pek Giok-khi memperhatikan tulisan itu beberapa saat, kemudian mengangguk. “Kecuali aku, rasanya di kolong langit dewasa ini tak akan ada orang ketiga yang bisa mengenali gaya tulisan itu sebagai gaya tulisanku!” “Tidak mungkin! Aku tahu ada orang ketiga yang bisa mengenalinya.” ----------------------- Page 175----------------------- http://zheraf.net Pek Giok-khi membelalakkan matanya lebar-lebar, dengan agak sangsi ia berkata, “Menulis saja belum, dari mana kau bisa begitu yakin kalau pasti ada orang yang mengenalinya?” “Sebab ada orang yang menyuruh aku datang kemari, memangnya orang yang menyuruh aku kemari tidak tahu?” Pek Giok-khi tertawa, hatinya langsung jadi lega. “Siapa orang itu?” “Tong Ou!” “Oh, kalau begitu kau adalah...” “Aku Tong Hoa.” “Ah, maaf, maaf...” “Tak usah sungkan, aku datang melaksanakan perintah Tong Ou. Dia tidak meminta kau menyalin isi surat ini, tapi membuat sebuah buku harian dengan meniru gaya tulisan itu.” “Buku harian?” “Benar, karenanya kau harus mencari kertas yang sudah agak menguning, agar jangan mendatangkan curiga orang. Jangan sampai orang tahu bahwa kertas itu baru, semakin tua semakin baik.” “Aku mengerti, apa yang harus kutulis?” Tong Hoa menjelaskan maksudnya panjang lebar, baru ia bertanya, “Kapan kau bisa menyelesaikan tugas ini?” “Buru-buru?” “Makin cepat makin baik!” “Besok pagi!” “Besok pagi? Secepat itu?” “Masa kau belum tahu julukanku?” “Apa julukanmu?” “Si Tangan Kilat Sepanjang Malam.” “Baik! Besok pagi aku akan datang mengambilnya, ukuran kertasnya jangan terlalu besar, lebih baik lagi jika dapat disisipkan dalam tabung.” Ia menerangkan ukuran lubang rahasia yang terpasang di patung Naga Kemala Putih itu. “Baik, segalanya akan kukerjakan. Datang saja besok pagi, kujamin semuanya pasti sesuai dengan keinginanmu!” Keesokan harinya Tong Hoa mengambil buku harian palsu itu dan kembali ke gedung keluarga Tio dengan riang gembira. ----------------------- Page 176----------------------- http://zheraf.net Baru setengah jalan, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda yang dilarikan kencang. Ia merasa agak heran bercampur curiga, tanpa berpaling lagi, tubuhnya segera menyingkir ke sisi jalan. Tapi kuda itu nampaknya memang diarahkan kepadanya, sebab suara kaki kuda ikut bergeser tetap di belakang tubuhnya. Dengan satu gerakan cepat ia membalik badan, memasang kuda-kuda dan mengawasi datangnya kuda itu dengan sorot mata tajam. Tampaknya si penunggang kuda itu mahir menunggang kuda jempolan, ketika kuda sudah berada tiga kaki di depan Tong Hoa, mendadak ia menarik tali les kudanya yang seketika berhenti bergerak. Si penunggang langsung melompat turun. Tong Hoa mengira orang itu akan menyergapnya, dengan satu gerakan sigap dia merentangkan telapak tangan kanannya ke depan, sementara tangan yang lain siap melancarkan serangan susulan. Begitu tiba di hadapan Tong Hoa, tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Dari caranya memberi hormat, Tong Hoa tahu kalau orang sendiri yang datang, maka tegurnya, “Ada urusan penting?” “Benar.” “Katakan!” “Tong Kongcu minta rencana pelaksanaan Naga Kemala Putih diundur dua hari.” “Kenapa?” “Sebab ada beberapa orang yang tak tahu diri telah menangkap Tio Bu-ki dan menggelandangnya balik ke Benteng Keluarga Tong. Mereka ingin minta uang jasa.” “Lantas?” “Tong Kongcu menganggap ketiga orang itu telah menyebabkan tertundanya rencana kita, maka ia membunuh mereka semua dan sekali lagi membebaskan Tio Bu-ki!” “Lalu mengapa pelaksanaan rencana harus ditunda?” “Hamba menyusul kemari berjalan siang malam, sebaliknya Tio Bu-ki melakukan perjalanan sangat lambat. Tong Kongcu kuatir bila pelaksanaan rencana terlalu awal, bisa jadi perempuan she Wi itu tak sabar menunggu kedatangan Tio Bu-ki dan menceritakannya ----------------------- Page 177----------------------- http://zheraf.net kepada anggota Tayhong-tong yang lain. Jika sampai begitu, urusan bisa berabe.” “Aku mengerti. Menurut perhitungan, kira-kira kapan Tio Bu- ki baru sampai di sini?” “Seharusnya pada senja hari kedua ia sudah sampai di sini.” “Baik, kalau begitu akan kulaksanakan rencana itu dua hari kemudian! Sampaikan kepada mereka semua, tak usah kuatir!” “Baik!” Setibanya di gedung keluarga Tio, pertama-tama Tong Hoa memasukkan dulu catatan harian palsu itu ke dalam lubang rahasia di patung Naga Kemala Putih, kemudian diam-diam ia masuk ke kamar baca Tio Kian dan membuka kamar rahasia. Tentu saja dia bisa tahu ruang rahasia itu karena Sangkoan Jin telah memberitahukannya kepada Tong Koat. Sangkoan Jin berpendapat, tak ada salahnya membiarkan mereka tahu bahwa dia membunuh Tio Kian di tempat itu, agar mereka lebih percaya kalau dia telah melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Apalagi sesudah kematian Tio Kian, ruang rahasia itu pun tidak perlu dirahasiakan lagi. Tentu saja mimpi pun dia tak menyangka kalau Benteng Keluarga Tong ternyata memanfaatkan ruang rahasia itu untuk melaksanakan rencana besar lain, yang bakal mendatangkan pukulan mematikan bagi Tayhong-tong. Sewaktu semuanya sudah siap, Tong Hoa tinggal menunggu saat yang paling tepat untuk melaksanakan rencana besar itu. Ia menggunakan waktu dua hari itu untuk dengan sengaja mengajak Wi Hong-nio berjalan-jalan menelusuri semua ruangan dalam gedung keluarga Tio. Di sore hari yang diperkirakan Tio Bu-ki sudah akan tiba, selesai bersantap siang ia mengajak Wi Hong-nio berjalan-jalan ke ruang baca Tio Kian. Di situ dia dengan sengaja meraba dan menyentuh setiap benda yang ditemuinya, lagaknya seakan terdorong rasa ingin tahu. Tiba-tiba tangannya menyentuh tombol rahasia pembuka ruangan rahasia. Begitu tombol tersentuh, pintu rahasia pun pelan- pelan terbuka. Sesudah itu ia sengaja menjerit pelan, seperti merasa kaget sekali. Wi Hong-nio yang segera berpaling, ikut berseru tertahan. ----------------------- Page 178----------------------- http://zheraf.net Sebenarnya tempat itu berupa rak buku, begitu tombol rahasia tersentuh, rak buku itu perlahan-lahan bergeser ke samping dan muncullah dinding kecil yang agak cekung ke bawah. Di dinding yang cekung ke bawah itulah tampak sebuah patung berukir yang sangat indah, sebuah patung naga yang terbuat dari batu kemala putih. Tong Hoa mengambil patung itu untuk kemudian diserahkan kepada Wi Hong-nio. Dengan penuh rasa kagum Wi Hong-nio mengamat-amati ukiran patung itu, katanya kemudian, “Ukiran Naga Kemala Putih ini sungguh indah, tak heran kalau tersimpan di dalam bilik rahasia!” “Benar,” kata Tong Hoa, “Patung ini memang sangat indah. Tetapi anehnya kenapa hanya patung naga itu yang disembunyikan di ruang rahasia? Padahal di sini banyak terdapat benda-benda indah lainnya. “Ya, mengapa begitu? Jangan-jangan ada rahasianya?” “Mungkin saja,” sambung Tong Hoa, “Coba kuperiksa.” Dia sengaja meraba sekujur badan patung naga itu, sesaat kemudian ia baru menyentuh tombol rahasia di patung itu. “Plak!” diiringi suara lirih, sebuah batu kemala kecil meloncat keluar dari balik perut patung naga itu. Ia segera merogoh ke lubang rahasia itu dan menarik keluar buku harian palsu yang terselip di situ. Sengaja ia membuka lipatan buku itu, baru kemudian diserahkan kepada Wi Hong-nio. “Aku tak mau melihatnya,” seru Wi Hong-nio sambil menggeleng, ia mendorong balik buku harian itu ke Tong Hoa. “Kenapa?” “Lebih baik aku tidak membaca barang-barang yang disimpan dalam ruang rahasia ini.” “Kurasa lebih baik diperiksa dulu apa isinya, siapa tahu benda yang tersimpan secara rahasia itu juga menyimpan hal-hal yang rahasia. Mana bisa tak dilihat?” Wi Hong-nio kelihatan agak sangsi, setelah berpikir sejenak katanya, “Kau saja yang melihatnya.” “Aku?” “Benar, kau yang lihat atau aku yang lihat kan sama saja?” “Baiklah kalau begitu,” sahut Tong Hoa kemudian sambil tertawa. ----------------------- Page 179----------------------- http://zheraf.net Ia mulai membuka buku harian itu, tapi karena kertas itu bekas dilipat-lipat maka agak susah juga untuk membuka halaman- halamannya. Untuk membuka halaman buku itu, setiap kali Tong Hoa mesti membasahi jari tangannya, dengan demikian ia baru bisa membuka halaman buku harian itu dengan lancar. Ia sudah tahu jelas isi buku harian itu, tapi ia sengaja berlagak amat tegang, membaca dengan amat hati-hati... Dengan susah payah, akhirnya ia selesai juga membaca isi buku harian itu. Wajahnya sungguh-sungguh bercampur tegang ketika ia kemudian menatap wajah Wi Hong-nio. “Kenapa kau?” tegur perempuan itu keheranan. “Sungguh menakutkan, sungguh mengerikan. Lebih baik kau baca sendiri saja,” ujar Tong Hoa setengah berbisik. Wi Hong-nio membaca isi buku harian itu, paras mukanya seketika berubah sangat hebat. Ternyata isi buku harian itu adalah catatan harian Tio Kian sejak sebulan terakhir sebelum terjadinya peristiwa berdarah. Yang paling penting adalah catatannya selama berapa hari terakhir. Bab 14. Buku Harian Palsu Tio Kian Makin lama aku merasa badanku semakin lemah. Kuputuskan untuk mengorbankan diriku guna terwujudnya kejayaan Tayhong-tong. Tapi pengorbanan bagaimana baru berharga? Nekad menyerbu ke Benteng Keluarga Tong dan membantai mereka sekeluarga? Atau masih ada cara yang lain? Aku mengundang Sugong dan Siangkoan dan setelah berunding cukup lama akhirnya Sangkoan Jin mengusulkan rencana penyusupan. Menurutnya, kalau toh aku bakal mati, lebih baik kita mencari seorang jago dari Taybong-tong untuk dengan membawa batok kepalaku pergi bergabung ke Benteng Keluarga Tong. Katakan saja bahwa dia bergabung karena telah membunuh aku, pihak Benteng Keluarga Tong pasti akan percaya alasan ini. Kami bertiga setuju sekali dengan rencana ini Tapi siapa yang akan diutus menjadi pengkhianat dan melaksanakan tugasi ini? Bukan pekerjaan yang gampang untuk mengbabisi nyawaku, kecuali ----------------------- Page 180----------------------- http://zheraf.net orang itu sangat dekat dan sangat akrab hubungannya denganku. Hanya orang kepercayaanku yang mempunyai kesempatan itu. Kami berunding setengah harian lamanya, akhirnya aku berkata kepada mereka bahwa hanya salah satu diantara kalian berdua yang bisa melaksanakan tugas ini. Sugong segera menggeleng sambil menolak keras, ia bilang tak bakal mau melaksanakan tugas ini. Dalam keadaan terdesak, akhirnya Siangkoan menerima tugas ini kendati dengan perasaan berat. Ooo)))(((ooo Kesehatanku makin lama makin buruk. Berulang kali kudesak Siangkoan untuk segera melaksanakan rencana ini. Kami menamakan rencana besar ini Rencana Harimau Kemala Putih dan menjelaskan segala sesuatunya diselembar kertas yang tersimpan dalam patung Hanmau Kemala Putih itu. Tujuannya adalah untuk mengembalikan nama baik Siangkoan di kemudian hari Segala sesuatunya sudah siap, namun Siangkoan belum juga turun tangan. Aku benar-benar kuatir, aku takut orang lain mengetahui penyakitku, bila hal ini sampai tersiar ke pihak Benteng Keluarga Tong, jelas akan berpengaruh besar pada kelancaran Rencana Harimau Kemala Putih. Tapi Siangkoan berdalih, lebih baik rencana itu dilaksanakan setelah terselenggaranya pesta perkawinan Bu-ki. Tentu saja aku sangat setuju dengan usul ini, dapat melihat Bu-ki naik pelaminan, merupakan harapankuyangterakhir. Dalam berapa hari terakhir ini aku selalu memikirkan bagaimana caranya agar pelaksanaan Rencana HarimauKemala Putih bisa berlangsung sehebat dan segempar mungkin. Setiap orang didunia persilatan harus mengetahui kejadian ini, karena hal ini akan semakin menguatkan kepercayaan Benteng Keluarga Tong sewaktu menerima penggabungan Siangkoan. Tiba-tiba terpikir olehku, mengapa tidak kulaksanakan rencana ini tepat dihari perkawinan Bu-ki? Bila di saat seperti itu aku terbunuh, beritanya pasti akan menggemparkan seluruh dunia persilatan! ----------------------- Page 181----------------------- http://zheraf.net Aku merasa cara ini sangat bagus, namun tindakanku ini akan membuat Bu-ki menderita. Aku juga tak akan menyaksikan keramaian di rumahku saat berlangsungnya perkawinan itu. Bagaimanapun Bu-ki akhimya telah berkeluarga, meski aku harus mati pun rasanya tak perlu disesali lagi. Satu-satunya yang membuat aku amat tersiksa adalah tak dapat menceritakan rencana ini kepada Bu-ki, agar dia mempunyai persiapan batin jauh sebelumnya. Tapi, apa boleh buat. Kuputuskan pembunuhan akan terjadi pada hari itu. Siangkoan menyetujuinya. Besok adalah hari pernikahan Bu-ki, juga saat kematianku. Menghadapi kematian yang menjelang tiba, aku sama sekali tidak merasa takut atau sedih. Aku hanya mengeluh kepada Thian, kalau memang meimberi kehidupan kepadaku, mengapa pula harus memberi siksaan penyakit kepadaku? Membayangkan semua ini, tanpa terasa aku berjalan sampai ke kamar Siangkoan. Kudorong pintu dan masuk ke dalam, tapi tak kujumpai Siangkoan disitu. Ketika aku akan meninggalkan kamar itu, tiba-tiba kutemukan sebungkus obat terletak diatas meja. Kuambil bungkusan itu dan memeriksanya, benar saja, isinya memang bubuk obat. Aku mencoba untuk membauinya. Aneh sekali, bau obat itu sudah sangat kukenal. Segera kuambil secawan teh dan mencampurkan sedikit bubuk obat itu ke dalamnya. Bubuk obat itu seketika larut dan menyatu dengan air. Kucoba untuk mencicipinya. Tak salah lagi, bau ini memang sudah sangat kukenal, bau yang kukenal setiap hari. Mendadak perasaan ngeri bercampur takut menyergap hatiku Kuambil lagi sedikit bubuk obat itu dan membawanya ke seorang tabib kenamaan di kota. Hasil pemeriksaan tabib itu menyatakan bahwa bubuk obat itu adalah racun yang bekerjanya sangat lambat. Racun itu menyebabkan orang merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga,panas tinggi... Aku tak sanggup untuk mendengarkan lebih jauh, sebab semuanya sangat mirip dengan gejala penyakitku. Penyakit yang membuatku putus asa karena beranggapan tak mungkin bisa disembuhkan lagi. ----------------------- Page 182----------------------- http://zheraf.net Berbagai pikiran dan kecurigaan segera berkecamuk dalam benakku. Mengapa Siangkoan memiliki racun ini? Mengapa setelah minum obat itu aku merasakan gejala penyakit seperti yang kualami? Jangan jangan Siangkoan, dia.... Aku tak berani berpikir lebih jauh. Siangkoan adalah saudara angkatku, saudara yang sudah banyak tahun berjuang mati hidup bersamaku, mengapa ia berlaku begitu keji terhadapku? Mengapa harus terjadi? Mengapa ia mencelakaiku? Demi nama? Namanya dalam perkumpulan Tayhong-tong sudah sangat tinggi. Demi uang? Selama hidup ia tak pernah kekurangan, apapun yang diinginkan selalu tersedia. Lalu mengapa? Aku tak berhasil menemukan alasan yang tepat, apa sebabnya dia ingin mencelakaiaku. Tapi semua bukti dan kenyataan ada di depan mata. Apalagi dia yang akan membawa batok kepalaku untuk bergabung dengan pihak musuh. Rencana inipun pemikiran dan usul yang diajukannya... Oh Thian! Mengapa urusan jadi begini? Aku ingin menemui Sugong untuk membahas persoalan ini, tapi ia baru besok pagi tiba disini. Aku ingin mencari Bu-ki, tapi ke manapun tak kutemukan jejaknya. Apa yang bisa kulakukan sekarang? Apakah aku harus bertindak lebih hati-hati, besok pagi?Atau harus kutemukan obat penawar racunnya? Menurut tabib, jika seseorang menelan obat ini melebihi setengah tahun lamanya, jangankan manusia, dewapun tak akan mampu menyelamatkan nyawamu! Mati! Tampaknya aku pasti akan mati Tapi, jika Siangkoan benar-benar menggunakan batok kepalaku sebagai jaminannya untuk bergabung dengan Benteng Keluarga Tong, aku sangat tidak rela. Sekarang waktu sudah tak banyak lagi, keadaan badanku juga terasa makin lemah. Jelas aku bukan lagi tandingan Siangkoan. Apa yang harus kulakukan sekarang? Semalam suntuk aku memutar otak mencari akal Akhirnya hanya bisa kusembunyikan buku harianku ini ke dalam patung Naga Kemala Putih, seandainya aku benar-benar mati, aku berharap suatu hari nanti Bu-ki datang ke kamar-bacaku, menemukan rahasia ini dan membalaskan dendam atas kematianku. Selain ini, apa lagi yang bisa kuperbuat? ----------------------- Page 183----------------------- http://zheraf.net Aku tak berani menitipkan buku harian ini kepada orang lain, apalagi kepada para pelayan. Kalau mereka sudah disuap Siangkoan dan mengkhianati aku, bukankah rahasia buku harianku bakal terbongkar? Satu-satunya yang bisa kuperbuat sekerang adalah berdoa dan mohon kepada Thian. Semoga Bu-ki bisa secepatnya menemukan buku harianku ini, jangan sampai tertipu oleh siasat Harimau KemalaPutih. Dia harus tahu wajah asli Siangkoan, kalau tidak, Tayhong-tong bakal musnah untuk selamanya! Tayhong-tong benar-benar sudah musnah! Itulah perasaan pertama yang dirasa Wi Hong-nio seusai membaca buku harian itu. Ia merapatkan kembali buku harian itu, perasaan dan pikirannya amat kalut. Bagaimana sekarang? Ke mana harus menemukan Bu-ki? Ia harus menyampaikan kabar ini kepada Bu-ki, makin cepat makin baik. Kalau tidak, Tayhong-tong benar-benar akan musnah. Perubahan wajahnya telah mencerminkan seluruh kepanikan dan kegelisahan dalam hatinya. Tong Hoa dapat melihat semua itu dan tertawa terbahak-bahak dalam hatinya. Bagaimanapun, rencana Naga Kemala Putih sudah menunjukkan hasilnya dan mulai mendekati puncak keberhasilan. Tentu saja perasaan girang itu tidak ditampilkan keluar, sebaliknya dengan lagak murung bercampur kuatir ia berkata kepada Wi Hong-nio, “Kau pasti sedang berpikir, ke mana harus menemukan Tio Bu-ki bukan?” Dengan pandangan penuh rasa terima kasih Wi Hong-nio menatap wajah pemuda itu, katanya, “Aku tahu, kau pasti punya akal, kau pasti dapat membantuku bukan?” “Permintaanmu yang mana yang tak pernah kulaksanakan?” sahut Tong Hoa tertawa. Tentu saja tak ada yang tidak dilaksanakan. Balikan dia tahu kalau Bu-ki sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Untuk menemukan dia, pada dasarnya jauh lebih gampang ketimbang meraba ujung hidung sendiri! “Sungguh?” seru Wi Hong-nio kegirangan. “Tentu saja, asal aku keluar sebentar untuk menyerap kabar, segera akan kubawakan kabar baik untukmu!” ----------------------- Page 184----------------------- http://zheraf.net Bab 15. Masuk Perangkap Tentu saja Tong Hoa memahami rasa panik dan cemas Wi Hong-nio, maka setelah berputar satu lingkaran di seputar gedung itu, ia sudah balik kembali dan berkata, “Nasibmu memang lagi mujur, menurut berita yang kudapat, katanya Tio Bu-ki sedang dalam perjalanan menuju kemari, bahkan kemungkinan besar besok pagi sudah tiba di sini!” Tentu saja Wi Hong-nio sangat gembira, tapi sebagai wanita cerdik, satu ingatan segera melintas dalam benaknya, tegurnya tiba- tiba, “Dari mana kau bisa tahu?” “Ah gampang saja, bukankah tempat ini salah satu markas besar Tayhong-tong? Di mana ada markas besar, di situ pasti ada anggota Benteng Keluarga Tong yang menyusup. Gampang kan?” Wi Hong-nio tidak bicara lagi, karena yang dikatakannya memang tepat sekali. “Asal aku bertanya kepada seorang penyusup, segala sesuatunya menjadi jelas. Setiap hari mereka pasti melakukan kontak dengan Benteng Keluarga Tong. Padahal Tio Bu-ki adalah target utama kami, mana mungkin pihak Benteng Keluarga Tong tidak menyebar orang di mana-mana untuk melacak dan mengikuti gerak-geriknya?” Kata-katanya pun sangat masuk di akal. Tapi... bukankah Tong Hoa telah mengkhianati Benteng Keluarga Tong, berkhianat dengan mengajaknya kabur? Masa para penyusup dari Benteng Keluarga Tong belum tahu tentang kejadian ini? Wi Hong-nio segera mengemukakan kecurigaannya itu kepada Tong Hoa. Namun jawaban Tong Hoa pun sangat masuk di akal, ujarnya, “Selama hidup aku belum pernah datang kemari, orang yang menyusup di sini pun belum pernah bertemu aku. Mereka hanya kenal dengan kode rahasia untuk berhubungan, tak pernah mengenali siapa lawannya.” Sekarang Wi Hong-nio dapat berlega hati. Satu-satunya yang bisa dia lakukan sekarang adalah menunggu, menunggu datangnya fajar di esok hari. Lalu menyampaikan berita yang menggemparkan ini kepada Bu-ki, agar dia mencari Sangkoan Jin dan membuat perhitungan atas dendam berdarah ini. ----------------------- Page 185----------------------- http://zheraf.net Tong Hoa diam-diam mengawasi perubahan raut wajahnya, dia pun dapat melihat sikap penantian perempuan itu dengan perasaan gelisah, panik, karena harus menunggu kedatangan Tio Bu-ki. Oleh sebab itu ketika Wi Hong-nio dengan sorot mata penuh rasa terima kasih memandang ke arahnya, tanpa menanti sampai dia buka suara, ujarnya lebih dulu, “Kau tak usah berterima kasih kepadaku, aku melakukan semua ini dengan rela dan ikhlas...” Hampir saja air mata meleleh keluar dari mata Wi Hong-nio saking terharu dan terima kasihnya. Kembali Tong Hoa berkata, “Aku tahu, setelah Tio Bu-ki datang kemari, kehadiranku pasti akan membuat kau kurang leluasa, maka...” “Kau hendak pergi?” tanya Wi Hong-nio. “Benar.” “Kenapa?” “Bukankah sudah kukatakan, kehadiranku di sini akan membuatmu sangat tidak leluasa.” “Mana mungkin? Kau adalah orang yang menyelamatkan aku bahkan sudah banyak membantuku, Bu-ki pasti amat berterima kasih kepadamu!” Tong Hoa memperlihatkan senyuman yang amat getir, sahutnya, “Aku tidak berharap rasa terima kasihmu kepadaku, aku hanya minta...” “Tak mungkin aku bisa memberikan yang satu itu untukmu,” tukas Wi Hong-nio cepat, “sebab di hatiku hanya ada Bu-ki seorang. Bukankah sejak awal sudah kukatakan kepadamu?” “Aku tak akan memaksakan kehendak, aku pun tidak mengharapkan hal yang berlebihan, asal di hatimu selalu ingat padaku, sudah lebih dari cukup!” “Aku pasti akan selalu ingat dirimu, budi kebaikanmu tak pernah akan kulupakan!” “Apakah kau hanya akan teringat dengan budi kebaikanku saja?” kembali Tong Hoa memperlihatkan senyum getirnya. Wi Hon g-nio segera terbungkam, dia tak tahu harus berkata apa, dia tak tahu kata-kata yang cocok untuk menghibur pemuda itu. “Sudahlah,” ujar Tong Hoa kemudian, “toh aku harus segera pergi dari sini, segala sesuatunya sudah tidak berarti lagi...” ----------------------- Page 186----------------------- http://zheraf.net Wi Hon g-nio hanya bisa menatapnya tanpa berkedip, sampai lama, lama sekali dia baru bertanya, “Kapan kau akan pergi?” “Sekarang.” “Sekarang?” “Kalau mesti menunggu lagi, aku bisa gila...” Sekali lagi Wi Hong-nio termenung. “Jaga dirimu baik baik.” Nada suara Tong Hoa terdengar menggetar, seolah dia sedang menahan agar air matanya tidak mengalir keluar. Wi Hon g-nio tak kuasa menahan diri lagi, airmatanya jatuh bercucuran membasahi pipinya. Tanpa berpaling lagi Tong Hoa pergi dari situ dengan langkah lebar, keluar dari gedung keluarga Tio. Kemampuan bersandiwaranya memang hebat, selain hidup, segala sesuatunya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Buku harian palsu dari Tio Kian pun sangat mirip, sedemikian miripnya hingga nyaris tak berbeda dari yang asli. Kemampuan dan kekuatan Benteng Keluarga Tong memang luar biasa, tak heran kalau Wi Hong-nio masuk perangkap tanpa disadarinya sama sekali. Ooo)))(((ooo Setelah menerima kabar dari Tong Hoa melalui merpati pos, Tong Ou benar-benar gembira setengah mati. Segala sesuatunya berjalan sesuai rencana, kelancaran yang di luar dugaan ini membuatnya kegirangan. Semenjak berhasil menarik Sangkoan Jin bergabung dengan kelompoknya, sampai meracuni Tio Kian hingga mati, dan sekarang menjebak Tio Bu-ki untuk melenyapkan Sangkoan Jin, pada hakekatnya semua persoalan sudah ada dalam genggamannya, bagaimana mungkin dia tidak merasa girang? Sekarang tinggal satu persoalan yang membuatnya kuatir, mampukah Tio Bu-ki menandingi Sangkoan Jin? Mengenai persoalan ini, tentu saja dia juga mempunyai penyelesaian yang hebat, dan sekarang dia mulai menjalankan langkah berikutnya. ----------------------- Page 187----------------------- http://zheraf.net Tidak terlalu sulit baginya untuk menjalankan rencana berikut, asal ia berhasil menemukan seseorang, maka semuanya akan beres. Orang ini adalah seorang wanita, putri Sangkoan Jin, Siangkoan Ling-ling. Dia mengenal Siangkoan Ling-ling sewaktu sedang membicarakan masalah pengkhianatan Sangkoan Jin terhadap perkumpulan Tay-hong-tong. Terhadap gadis ini, boleh dibilang ia sudah menyukainya sejak pertemuan pertama, tapi sikap Siangkoan Ling-ling terhadapnya justru acuh tak acuh, hal ini membuatnya agak ragu dan tak bisa meraba apa yang sebenarnya dikehendaki nona itu. Tapi dalam hal ini dia tak ingin terburu-buru, sebab masalah perkawinan baginya merupakan masalah yang kesekian. Ia selalu mengedepankan masalah penting lainnya ketimbang urusan pribadi. Asal perkumpulan Tayhong-tong bisa dilenyapkan, itulah saatnya ia menguasai dunia. Oleh sebab itu terhadap Siangkoan Ling-ling dia selalu bersikap melindungi dan menyayangi, dia tidak berharap gadis itu menunjukkan rasa cintanya dalam waktu singkat. Ia menyukai perasaan cinta yang mengalir bagai arus air, lembut, tak berisik, ia tak suka cinta yang meledak-ledak, mula-mula panas membara kemudian menyusut dan dingin kembali. Yang paling penting lagi adalah Sangkoan Jin pernah berjanji kepadanya, selesai membangun usaha besar dan menguasai dunia, dia pasti akan menyerahkan putrinya untuk menjadi istrinya. Sekalipun tidak terburu-buru, dia pun tidak mengijinkan Siangkoan Ling-ling jatuh hati kepada orang lain. Apa mau dikata, ternyata Siangkoan Ling-ling telah jatuh hati kepada orang lain, dan orang itu justru merupakan musuh bebuyutannya. Tentu saja orang itu adalah Tio Bu-ki. Tak heran jika Tong Ou sangat membenci Tio Bu-ki, rasa bencinya adalah rasa benci yang sangat menakutkan, bukan sembarangan rasa benci. Sedemikian besarnya rasa benci itu hingga memungkinkan dia membunuh lawannya setiap saat. Tapi Tong Ou tidak berharap Tio Bu-ki mati secara utuh, mati secara cepat. ----------------------- Page 188----------------------- http://zheraf.net Dia ingin menyiksanya perlahan-lahan, agar dia menyesal, agar dia melewatkan sisa hidupnya dalam kebencian dan penyesalan. Sebab itulah dia sengaja membebaskan Tio Bu-ki dari Benteng Keluarga Tong, kemudian sengaja mengatur rencana Naga Kemala Putih, agar Tio Bu-ki datang untuk membunuh Sangkoan Jin. Dia punya cara untuk membuat Tio Bu-ki tahu kalau rencana keji yang mengaturnya membunuh Sangkoan Jin adalah rencana keji dari Benteng Keluarga Tong, agar dia menyesal sepanjang masa. Jika seseorang berada dalam kondisi menyesal, kepandaian silatnya pasti akan merosot tajam, itulah sebabnya dia mengatur pertarungan satu lawan satu dengan pemuda itu di saat setelah rencana Naga Kemala Putih terlaksana. Dalam keadaan sedih dan menyesal, Tio Bu-ki pasti tak dapat berkonsentrasi secara baik. Saat itulah dia akan mengalahkan anak muda itu, agar semangat dan cita-citanya hancur berantakan. Semua ini tentu saja membutuhkan perencanaan. Tapi, mungkinkah semua yang dirancang akan terlaksana sesuai dengan harapan? Tak seorang pun yang tahu, tentu saja, kecuali Thian. Tapi ia tetap percaya diri, ia yakin kemenangan tetap berpihak kepadanya. Kini, dengan penuh percaya diri dia berjalan menuju ke kamar tidur Siangkoan Ling-ling. Sejak Siangkoan Ling-ling menderita luka tusukan Bu-ki di tenggorokannya gara-gara ingin menyelamatkan nyawa ayahnya, dia selalu berbaring di ranjangnya, sedemikian lemah kondisi tubuhnya membuat ia sama sekali tak mampu bergerak. Waktu itu Sangkoan Jin sedang pergi untuk menerima serah terima benteng Siangkoan-po, sebenarnya gadis ini ingin ikut, namun setelah dibujuk Tong Ou akhirnya dia urung pergi. Tong Ou berjanji akan mengantarnya sendiri ke sana setelah beristirahat beberapa hari. Bila nanti Sangkoan Jin setuju dengan usul ini, tentu saja Siangkoan Ling-ling tak bisa membangkang lagi. Padahal keputusan ini yang diharapkan Tong Ou, karena lagi-lagi mereka sudah terjebak dalam siasatnya. Tong Ou memang sengaja berharap Siangkoan Ling-ling tidak turut serta dalam perjalanan itu, agar ia bisa melaksanakan rencana berikut. ----------------------- Page 189----------------------- http://zheraf.net Kendati cintanya terhadap Siangkoan Ling-ling bertepuk sebelah tangan, namun dia sangat memahami watak serta tabiat gadis ini. Dalam melaksanakan rencana berikutnya, dia justru hendak memanfaatkan rasa bakti dan sifat lembut dari Siangkoan Ling-ling itu. Setelah mengetuk pintu dua kali, ia membuka pintu dan berjalan masuk. Siangkoan Ling-ling bersandar di pembaringan, seorang dayang sedang menyuapinya makan nasi. Ketika Tong Ou masuk ke dalam ruangan, baru saja gadis itu menyelesaikan makannya. Ia berpaling sambil melemparkan sekulum senyuman kepada Tong Ou. Setiap kali Tong Ou datang berkunjung, dia memang selalu menampilkan wajah yang sama. Menanti dayang sudah berlalu sambil membawa sisa mangkuk dan piring, Siangkoan Ling-ling baru berkata, “Silahkan duduk!” Tong Ou mengambil tempat duduk di kursi yang semula ditempati si dayang. Ia menyodorkan sebuah kotak kepada gadis itu. “Apa isi kotak ini?” tanya Siangkoan Ling-ling sambil menerimanya. “Buka saja sendiri!” Siangkoan Ling-ling segera membuka kotak itu, tapi ia segera berseru tertahan. “Jinsom berusia seribu tahun?” “Benar! Kebetulan ada orang yang membawanya dari wilayah Timurlaut dan kubeli. Aku tahu kondisi badanmu amat lemah, perlu jinsom semacam ini untuk memulihkan kembali kekuatan tubuhmu.” “Benda ini mahal harganya, aku tak pantas untuk menerimanya...” “Kenapa tak boleh? Biar kusuruh orang memasaknya dengan ayam tim, pasti baik untuk tubuhmu!” “Jangan!” “Kenapa jangan? Aku yang menghadiahkan untukmu, aku berharap kesehatan badanmu bisa segera pulih seperti sedia kala.” “Sekarang aku sudah sehat sekali, biar kusimpan saja kedua biji jinsom itu!” “Menyimpannya?” Tong Ou pura-pura bertanya. Padahal ia sangat paham, dengan watak seperti gadis ini, dia pasti akan menyimpan benda yang sangat berharga itu untuk ayahnya. ----------------------- Page 190----------------------- http://zheraf.net Dan inilah titik kelemahan yang digunakan Tong Ou, titik kelemahan yang digunakan untuk melaksanakan rencana berikutnya. Dalam kedua potong jinsom itu sudah dibubuhi racun yang sangat ganas, racun yang sangat mematikan. “Boleh aku menyimpannya?” kembali Siangkoan Ling-ling bertanya. “Tentu saja boleh,” jawab Tong Ou, “benda ini sudah kuberikan kepadamu, terserah apa yang hendak kau perbuat!” “Terima kasih banyak!” seru Siangkoan Ling-ling kegirangan. “Antara kita berdua masa masih diperlukan kata terima kasih?” ujar Tong Ou sambil makin mendekat. Siangkoan Ling-ling tertawa manis, perlahan kepalanya digeser sedikit ke samping. “Padahal seharusnya kau yang makan kedua jinsom itu!” kembali Tong Ou berkata. “Kenapa?” “Agar kau cepat sembuh sehingga dapat secepatnya mendampingi ayahmu lagi!” “Aku sudah sehat, coba lihat...” sambil berkata ia bangkit dari tidurnya. Buru-buru Tong Ou memayangnya, tapi segera ditampik gadis itu. Ia turun dari ranjang, berjalan dua langkah ke depan dan serunya lagi, “Coba lihat, bukankah aku telah sehat kembali?” “Benar, coba berjalanlah lagi berapa langkah!” Padahal Tong Ou memang berharap Siangkoan Ling-ling bisa sehat lebih awal sehingga dapat segera berangkat ke benteng Siangkoan-po dan membujuk Sangkoan Jin minum jinsom beracun itu. Bila tenaga dalamnya mengalami pukulan besar, Tio Bu-ki akan mendapat kesempatan untuk membuat perhitungan dan cukup tangguh untuk menghajarnya. Tentu saja Siangkoan Ling-ling tidak menyangka sejauh itu, kembali ia berjalan berapa langkah sambil ujarnya, “Bukankah aku dapat berjalan dengan baik? Bagaimana kalau besok juga aku berangkat mencari ayahku?” “Jika kau memang ingin sekali, tentu saja aku akan menemanimu.” “Sungguh?” “Kapan aku pernah membohongimu?” ----------------------- Page 191----------------------- http://zheraf.net Siangkoan Ling-ling kegirangan setengah mati, saking gembiranya hampir saja ia jatuh terjerembab. Untung Tong Ou segera memeluknya dan sekalian menarik gadis itu ke dalam rangkulannya. Dengan wajah tersipu-sipu Siangkoan Ling-ling menyandarkan kepalanya di atas dadanya, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan, sementara jantungnya berdebar keras. Ooo)))(((ooo Karena besok akan meninggalkan Benteng Keluarga Tong, tentu saja Tong Ou harus melaporkan segala lebih dahulu kepada Lo-cocong, si Nenek Moyang. Lo-cocong memang amat menyayangi Tong Ou, semua keputusan yang diambilnya, boleh dibilang tak satu pun yang tidak ia setujui, biasanya ia malah menunjang segala rencananya. Tetapi untuk cara Tong Ou menghadapi Tio Bu-ki, Lo-cocong mengajukan sedikit usul, katanya, “Aku dapat memahami perasaan hatimu, aku pun tahu betapa benci dan dendammu terhadap Tio Bu- ki, tapi kau harus ingat, sekarang adalah pertarungan antara dua perkumpulan besar, jangan sekali-kali karena urusan pribadi, kau membuat masalah besar jadi terbengkalai!” “Tak mungkin sampai begitu, Lo-cocong!” jawab Tong Ou. “Tidak mungkin? Seandainya setelah tiba di Siangkoan-po ternyata Ling-ling tidak segera menyerahkan jinsom itu kepada Sangkoan Jin, apa jadinya?” “Akan kugunakan bujuk rayu untuk mempengaruhi jalan pikirannya, aku yakin dia pasti akan melakukannya.” “Kau yakin akan berhasil?” “Tentu saja, aku sudah sangat memahami tabiatnya, semua tingkah lakunya sudah kuketahui bagai melihat jari tangan sendiri.” “Bila Sangkoan Jin menemukan gejala kurang beres hingga menaruh curiga?.” “Mana mungkin? Racun buatan Benteng Keluarga Tong adalah racun yang hebat, siapa yang bisa merasakannya?” “Seandainya dia mengetahui rahasia ini? Aku bilang seandainya...” “Seandainya ketahuan pun aku tidak takut!” “Kenapa?” ----------------------- Page 192----------------------- http://zheraf.net “Sebab racun yang kugunakan kali ini adalah racun hasil olahan baru, baru pertama kali ini keluarga Tong mencoba menggunakan resep ini. Jadi seandainya ketahuan, aku dapat menyangkal kalau racun itu bukan berasal dari keluarga Tong!” “Dia akan mempercayainya?” “Pasti percaya. Pertama, dia tak punya alasan untuk mencurigai kita yang meracuninya. Kedua, aku malah akan menunjukkan daftar resep racun keluarga Tong kepadanya. Tidak mungkin dia bakal menemukan kaitan antara resep baru itu dengan resep lama. Dan yang paling penting, kurasa dia tak nanti akan merasakannya!” “Kau tidak kelewat percaya diri?” “Aku mewarisi tabiat ini dari leluhur, Lo-cocong!” “Ha ha ha ha... bagus, bagus sekali!” Lo-cocong tertawa tergelak. “Aku ingin berandai-andai lagi, seandainya racun itu gagal meracuni Sangkoan Jin, apa yang akan kau lakukan?” “Maka yang bakal mati adalah Tio Bu-ki! Kita semua tak bakal rugi apa-apa, kecuali tentu saja aku sendiri yang akan merasa menyesal sekali.” “Kau dapat berpikir sejauh itu, hal ini menunjukkan kalau kau memang sudah matang, dapat memimpin semua persoalan yang ada,” dengan perasaan gembira Lo-cocong berkata. “Bukan saja kau telah memimpin Benteng Keluarga Tong, bahkan dapat pula memimpin dunia yang lebih luas, tentu saja setelah berhasil memusnahkan Tay-hong-tong!” “Lo-cocong, aku tak akan membuatmu kecewa, berdasarkan semua kemungkinan yang bakal terjadi, kau percaya bukan kalau aku tak akan melupakan kepentingan umum demi kepentingan pribadi?” “Aku percaya, tentu saja aku percaya!” Lo-cocong benar-benar gembira, ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Tong Ou dapat menangkap rasa gembira yang meliputi perasaan neneknya, dia ikut tertawa. Selesai tergelak, tanyanya lagi, “Kapan Tong Hoa tiba di sini?” “Aku perintahkan dia untuk berdiam sementara waktu di dekat Gedung Keluarga Tio. Dia harus mengawasi terus gerak-gerik Wi Hong-nio, dia baru kuijinkan pulang setelah yakin rencana Naga Kemala Putih telah selesai dilaksanakan.” ----------------------- Page 193----------------------- http://zheraf.net “Tepat sekali keputusan ini, cuma dia masih harus melakukan satu pekerjaan lagi.” “Oh ya? Pekerjaan apa?” “Bunuh Pek Giok-khi, pemilik Pesanggrahan Kemala Putih!” Tong Ou agak tertegun, sesaat kemudian ia baru bertanya, “Kenapa?” “Kau anggap Pek Giok-khi masih ada nilainya untuk tetap dipertahankan?” Tong Ou tidak segera menjawab, ia berpikir sejenak kemudian baru berkata, “Siapa tahu di kemudian hari kita masih butuh kemampuannya.” “Aku rasa tak akan pernah. Coba bayangkan saja, dia sudah kita beli semenjak belasan tahun berselang, tapi baru hari ini kita pakai jasanya satu kali, bahkan sebenarnya dalam urusan kali ini, kita juga tidak harus menggunakan jasanya, bukan begitu?” Tentu saja benar. Perkataan Lo-cocong ini segera menyadarkan Tong Ou bahwa jalan pikiran serta kemampuan Lo- cocong dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan masih sangat hebat. Kemampuannya sama sekali tidak menunjukkan gejala mundur hanya karena usia. Maka segera jawabnya, “Segera akan kukirim surat perintah, agar Tong Hoa segera melaksanakan tugas ini!” “Bagus sekali! Dengan tindakan ini maka rencana Naga Kemala Putihmu dijamin tak bakal meleset, mengerti?” Tong Ou mengiakan dan segera berpamitan, dengan menulis sepucuk surat rahasia, ia perintahkan orang untuk mengirimnya melalui merpati pos. Ooo)))(((ooo Matahari tengah hari panasnya bukan kepalang, sedemikian teriknya, membuat sekujur tubuh Bu-ki bermandikan peluh. Sepanjang jalan, beberapa kali ia ingin berhenti untuk beristirahat, menunggu sampai matahari condong ke langit barat, baru melanjutkan kembali perjalanannya. Tapi setiap kali teringat kalau tempat itu sudah tak jauh dari rumah kediamannya, dia lalu tidak memperdulikan betapa teriknya matahari untuk tetap melanjutkan perjalanan. ----------------------- Page 194----------------------- http://zheraf.net Sepanjang perjalanan, dari cerita orang-orang, ia sudah mengetahui kabar tentang kalahnya Tayhong-tong oleh Benteng Keluarga Tong. Ia juga tahu kalau Sangkoan Jin telah menguasai Siangkoan-po dan berada di garis paling depan untuk menghadapi Tayhong-tong. Ia sempat berpikir, cara yang akan digunakan Sangkoan Jin untuk menghadapi serangan Benteng Keluarga Tong yang begitu hebat serta memunahkan ancaman bahaya terhadap Tayhong-tong. Dia juga pernah berpikir, dengan hanya mengandalkan kekuatan Sugong Siau-hong seorang, mampukah dia mempertahankan keutuhan Tayhong-tong? Dia tidak tahu dan tidak mampu menjawab. Sekalipun ia cerdas dan terlatih baik, tetap saja ia gagal mengambil kesimpulan. Dalam keadaan begini, dia hanya bisa menghadapinya selangkah demi selangkah. Rumah sudah muncul di hadapannya. Yang membuatnya tercengang adalah mengapa bangunan itu tak nampak terbengkalai. Mengapa semuanya teratur rapi dan bersih? Siapa yang masih berdiam dalam Gedung Keluarga Tio? Dia percaya tak akan ada orang di situ, lalu siapa yang telah membenahi bangunan itu? Dia mendorong pintu dan masuk. Jawaban pun segera muncul di depan mata. Wi Hong-nio sedang duduk di gardu, ketika melihat Bu-ki datang, ia segera melompat bangun dan berlarian menghampiri pemuda itu. Sesuatu perasaan aneh yang membuatnya tercengang sekilas melintas di benak Tio Bu-ki. Ooo)))(((ooo Berjumpa dengannya, mengapa Hong-nio tidak menampakkan rasa girang atau gembira? Bagaimana caranya ia bisa meninggalkan Benteng Keluarga Tong? Dia ikut berlari menyongsong kedatangan gadis itu. Ia menggenggam tangan Hong-nio erat-erat, dengan perasaan girang yang meluap-luap memanggil namanya, lalu bertanya, “Bagaimana caranya kau meninggalkan Benteng Keluarga Tong?” ----------------------- Page 195----------------------- http://zheraf.net Wi Hong-nio balas menggenggam tangan Bu-ki erat-erat, sahutnya, “Kita tak usah membicarakan dulu soal itu. Cepat ikut aku, akan kuperlihatkan sesuatu padamu!” Ia segera mengajak Bu-ki menuju ke ruang rahasia yang biasa digunakan ayahnya semasa masih hidup dulu. Mereka masuk, membuka ruang rahasia, mengeluarkan buku harian dan menyerahkannya ke tangan si pemuda. Bu-ki tahu benda ini pasti sesuatu yang sangat penting, maka ia segera membuka dan membacanya. Tulisan yang muncul di hadapannya adalah tulisan yang amat dikenalnya. Tak heran kalau rasa haru dan sedih seketika menyergap hatinya. Semakin dibaca, perasaannya semakin bergolak, akhirnya dia naik pitam, gusar sekali. Dengan wajah penuh amarah dia mendongakkan kepalanya dan memandang perempuan itu. Dengan penuh pengertian Wi Hong-nio menganggukkan kepalanya, ia berkata, “Pergilah untuk menyelesaikan persoalan ini, aku akan menanti disini, segala sesuatunya kita bicarakan lagi sekembalimu kemari!” Bu-ki mengangguk dan segera beranjak pergi dari situ, perasaannya saat itu ibarat sebaskom api yang sedang membara. Dengan nafsu meluap dan amarah yang tak terkendali ia segera berangkat menuju ke benteng Siangkoan-po. Rasa benci dan dendam telah menutup kesadarannya, dia seakan sudah melupakan segala sesuatu. Lupa untuk menanyakan persoalan yang seharusnya ditanyakan dulu. --Bagaimana caranya Wi Hong-nio bisa keluar dari Benteng Keluarga Tong? --Dari mana buku harian itu diperoleh? Bagaimana bisa ditemukan secara tiba-tiba? Seandainya ia tetap berkepala dingin dan memikirkan segala sesuatu dengan lebih cermat, seharusnya tak sulit untuk menemukan banyak hal yang aneh dan mencurigakan dari kata-kata Wi Hong-nio. Dia pasti segera akan bersangsi dan menaruh curiga atas keaslian buku harian itu. Tampaknya Tong Ou sudah memperhitungkan sampai di situ. Ia memperkirakan kejiwaan lawannya, setelah membaca buku harian itu, ia tahu dalam keadaan gusar dan penuh diliputi perasaan dendam, Bu-ki pasti akan segera meninggalkan tempat itu. Ketika ----------------------- Page 196----------------------- http://zheraf.net amarahnya mulai mereda, mungkin dia sudah tiba di benteng Siangkoan-po dan saat itu, biarpun ingin ditanyakan, segala sesuatunya sudah terlambat! Seperti inilah hidup manusia di dunia. Banyak kejadian memang berlangsung dalam keadaan seperti ini. Dalam kobaran dendam dan benci, orang gampang terlena, lupa untuk menyelidiki dulu persoalan yang sebenarnya, lupa untuk menelitinya secara mendalam. Ketika peristiwa sudah terjadi, menyesal tak ada gunanya, karena bila nasi sudah jadi bubur, tak mungkin semuanya dipulihkan kembali seperti sedia kala. Mungkin inilah yang disebut manusia dipermainkan nasib. Hanya saja, kadang-kadang cara manusia dipermainkan nasib bukan hanya itu. Ooo)))(((ooo Senja, matahari sore sudah hampir tenggelam di ujung langit. Seperti di hari-hari biasa, Pek Giok-khi mulai memasang lampu lentera dan menggantungkannya di depan pintu. Pesanggrahan 'Pek-giok-tay', tiga huruf yang besar nampak memantulkan cahaya yang terang ketika tertimpa cahaya lentera. Dengan bangga dia mengawasi sebentar papan nama sendiri yang berwarna emas itu. Baru kemudian balik ke dalam rumah, duduk di depan meja dan mulai mengerjakan pekerjaan malamnya, menulis huruf indah... Kepandaiannya menulis adalah yang terhebat di wilayah itu. Dengan hanya menjual beberapa lembar tulisannya, ia sudah bisa hidup cukup. Namun ia tak pernah merasa puas akan hasil itu, dia selalu ingin memperoleh uang lebih banyak lagi. Dia memang butuh uang banyak, karena ia perlu membiayai semua kesenangannya, kesenangan yang memerlukan uang seperti koleksi barang antik, menikmati wanita cantik, membeli pakaian mewah... Oleh sebab itu mau tak mau dia harus mengkhianati Tayhong-tong, diam-diam bekerja sebagai mata-mata Benteng Keluarga Tong. Membuat buku harian palsu untuk Benteng Keluarga Tong, Tong Hoa telah menghadiahkan uang sebanyak seratus tahil perak. ----------------------- Page 197----------------------- http://zheraf.net Dia harus pergi merayakannya, pergi menikmatinya. Dan dia memang berniat begitu, hanya saja karena malam belum menjelang tiba maka ia belum berangkat. Ia senang akan malam yang sepi dengan cahaya lentera yang benderang, meneguk secawan arak, menikmati dua tiga macam hidangan didampingi satu dua orang gadis cantik. Hal semacam inilah merupakan kesenangannya yang paling utama dalam hidupnya. Malam ini, dia pun berencana untuk menikmati hiburan semacam itu. Untuk menunggu datangnya waktu, ia mulai menulis berapa huruf. Sedang asyik menulis, mendadak ia menghentikan pitnya, mendongakkan kepala dan menjerit kaget. Ternyata Tong Hoa sudah berdiri di hadapannya, mengawasi wajahnya dengan sekulum senyuman. Sejak kapan Tong Hoa muncul di situ? Ia sama sekali tidak merasa apa-apa. Kejadian semacam ini belum pernah dialaminya sejak dulu. Biasanya, asal ada langkah kaki mendekat pintu gerbang, ia pasti akan mendengarnya, sekalipun perhatiannya sedang terpusat untuk menulis huruf, ia tetap akan menghentikan gerakan pitnya, bangkit berdiri dan menyambut kedatangan tamunya. Kunci sukses bagi seorang penjual jasa adalah keramah- tamahan dan sikap yang hormat, dia tak ingin tamunya menunggu terlalu lama. Tapi hari ini, ternyata ia tidak mendengar suara langkah kaki Tong Hoa, mungkinkah lantaran dia kelewat gembira, kelewat bangga? Buru-buru dia bangkit berdiri, ujarnya kepada Tong Hoa sambil tertawa, “Tong-kongcu, ada keperluan?” “Benar!” Tong Hoa manggut berulang kali. “Apa yang harus kulakukan?” “Sederhana sekali, aku percaya setiap orang dapat melakukannya.” “Oh ya? Apa maksud Tong-kongcu? Aku tidak paham...” “Jelasnya, aku hanya ingin kau melakukan tiga kata saja.” “Tiga kata? Menulis buku harian? Lagi-lagi menulis buku harian?” “Bukan!” “Lalu...” “Segera pergilah mati!” ----------------------- Page 198----------------------- http://zheraf.net “Segera pergilah mati?” Pek Giok-khi seakan tidak paham dengan kata-kata itu. Dia mengulang sekali lagi kata-kata itu dengan nada yang lebih berat. “Aku ingin kau segera pergi mampus!” Dengan sangat terperanjat, Pek Giok-khi mundur selangkah, matanya terbelalak lebar, diawasinya wajah Tong Hoa tanpa berkedip, “Apa kau bilang?” “Mampus! Aku menyuruh kau segera mampus, belum mengerti?” Paras muka Pek Giok-khi berubah hebat, badannya gemetar keras, terbata-bata ia bertanya, “Kenapa?” “Alasan tua semacam ini pun tidak kau pahami? Tentu saja untuk melenyapkan saksi dan membungkam mulutmu untuk selamanya!” “Melenyapkan saksi dan membungkam mulutku? Sudah sekian tahun aku bekerja untuk kalian, pernahkah kubocorkan rahasia penting kalian?” “Belum pernah.” “Mengapa mulutku harus dibungkam?” “Sebab kejadian apa pun pasti ada yang pertama kali, kami tak bisa menduga atau meramalkan semua persoalan yang ada. Ini namanya sedia payung sebelum hujan!” “Aku...” “Kau tak usah banyak bicara lagi. Aku amat menyukaimu, tapi aku harus melaksanakan perintah yang kuterima. Sekarang, kau akan menghabisi nyawamu sendiri, atau...” Mendadak Pek Giok-khi menyambar pit yang ada di meja dan melemparkannya ke arah Tong Hoa. Pada waktu yang sama tubuhnya berputar cepat ke belakang, kemudian kabur secepat- cepatnya meninggalkan tempat itu. Tampaknya Tong Hoa sudah menduga sampai ke situ, ia segera bergerak cepat melintangkan tubuhnya ke samping, begitu lolos dari sambitan pena, secepat anak panah yang terlepas dari busurnya ia menerkam ke muka, pedangnya disodokkan ke depan lalu ditarik ke belakang... Semburan darah segar segera memancar keluar dari punggung Pek Giok-khi, tanpa bersuara tubuhnya roboh tersungkur di atas tanah. ----------------------- Page 199----------------------- http://zheraf.net Tong Hoa membalikkan badan, mengambil selembar kertas dari atas meja, membersihkan noda darah yang membasahi ujung pedangnya, lalu sambil menyarungkan kembali senjatanya, ia berjalan keluar meninggalkan Pesanggrahan Kemala Putih. Ooo)))(((ooo Nasib selalu mempermainkan manusia, kata ini memang aneh tapi begitulah kenyataannya. Mimpi pun Tong Hoa tidak menyangka kalau perhitungan dan perkiraannya kali ini meleset jauh. Dia tak mengira telah melakukan kesalahan besar. Dalam anggapannya, tusukan maut yang dilancarkannya pasti telah merenggut nyawa Pek Giok-khi. Dia keliru besar! Tapi kalau mesti berbicara jujur, kesalahan ini tak bisa dibebankan ke pundaknya seorang. Manusia semacam Pek Giok-khi adalah manusia langka, belum tentu dalam sepuluh ribu orang terdapat satu orang seperti dia. Orang biasa jantungnya terletak di sebelah kiri, maka tusukan yang dilancarkan Tong Hoa tadi, seperti pada umumnya, dihunjamkan ke dada kiri Pek Giok-khi. Sayang dia tak menyangka, kalau Pek Giok-khi punya kelainan, letak jantungnya tidak di sebelah kiri tapi lebih bergeser ke arah kanan. Oleh sebab itu tusukan tersebut sama sekali tidak membuatnya tewas seketika. Pek Giok-khi pun terhitung manusia cerdik, begitu kena tusukan pedang, tubuhnya langsung tersungkur ke tanah dan pura- pura mati. Menanti berapa saat kemudian, setelah yakin Tong Hoa telah pergi jauh, dia baru berusaha merangkak bangun. Dia tahu sudah kehilangan banyak darah, walaupun tusukan tersebut tidak membuatnya tewas seketika, namun dengan kondisi luka seperti ini, biarpun tabib Hoa To hidup kembali belum tentu nyawanya bisa diselamatkan. Maka dengan langkah sempoyongan dia merangkak masuk ke dalam kamar tidurnya, membuka peti rahasianya dan mengambil keluar buku asli yang diserahkan Tong Hoa kepadanya. Memang begitulah kebiasaan yang dia lakukan selama ini, setiap kali selesai melaksanakan satu tugas, ia selalu menyimpan ----------------------- Page 200----------------------- http://zheraf.net bahan aslinya ke dalam peti rahasia. Baginya, menyimpan sedikit bukti akan lebih menguntungkan, siapa tahu suatu ketika akan diperlukan, seperti halnya sekarang, kalau toh pihak Benteng Keluarga Tong bersikap keji terlebih dulu, tentu saja dia akan menghadapi pengkhianatan ini dengan tindakan tidak setia kawan. Setelah mengambil keluar buku asli, tanpa sempat lagi membalut lukanya, dengan menahan rasa sakit yang merasuk hingga ke tulang, ia berjalan keluar meninggalkan pesanggrahan Pek-giok-tay. Dia berjalan dan berjalan terus hingga tiba di gedung keluarga Tio, setiap kali jatuh terjerembab, dia merangkak bangun dan berjalan lagi. Akhirnya ketika tiba lebih kurang satu kaki dari pintu gerbang gedung keluarga Tio, dia tak sanggup menahan diri lagi, “blaaam!” tubuhnya roboh terjengkang ke tanah. Tapi ia berusaha meronta terus, seinci demi seinci dia merangkak terus, tangannya sudah meraih ujung pintu gerbang, tapi sayang tenaganya sudah lenyap tak berbekas, kelima jarinya mengendor dan akhirnya terjatuh ke tanah bagaikan segenggam pasir. Meskipun begitu, tangan kirinya masih tetap menggenggam kitab asli itu, memegangnya erat-erat. Tong Hoa telah kembali ke tempat penginapannya, memesan sayur dan arak dan menikmatinya seorang diri, dia harus merayakan kemenangan dan keberhasilan yang telah diraihnya. Selama berada di Benteng Keluarga Tong, dia selalu ingin untuk meraih posisi yang lebih tinggi. Dia tahu, tidak mungkin baginya untuk menempati posisi yang diduduki Tong Ou saat ini, sebab tampaknya Lo-cocong amat menyayangi Tong Ou. Di samping itu, Tong Ou memang berbakat menjadi seorang pemimpin, memiliki kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa. Tapi bagaimana dengan Tong Koat? Dia berpendapat, kemampuannya sendiri masih jauh melebihi kemampuan orang itu, jadi sepantasnya bila posisinya berada jauh di atas posisi Tong Koat. Setelah berhasil menjalankan siasat Naga Kemala Putih ini, sekembalinya ke benteng nanti ia berencana untuk memamerkan jasa di hadapan Lo-cocong. Siapa tahu si nenek moyang jadi senang ----------------------- Page 201----------------------- http://zheraf.net dan mengutusnya untuk menjalankan tugas penting lainnya. Bila hal ini terjadi, sudah pasti dia akan semakin terpandang. Terhadap kemampuannya, ia selalu merasa bangga dan percaya diri. Maka cawan pun diisinya penuh-penuh, kemudian sekali teguk dia habiskan seluruh isi cawannya. Ketika meletakkan kembali cawannya ke meja, mendadak suatu perasaan tak tenang melintas dalam hatinya. Mengapa perasaannya tak tenang? Ia tidak tahu pasti, sambil menggenggam cawan araknya dia mulai berpikir dengan seksama. Ia mulai membayangkan kembali semua tingkah lakunya selama ini, dimulai dari melaksanakan siasat Naga Kemala Putih. Setiap langkah yang telah diperbuat kembali diingat dan dibayangkan secara cermat. Dia ingin tahu adakah kesalahan yang telah dilakukannya. Lebih penting lagi adalah mencari tahu persoalan apa yang tiba-tiba membuat perasaannya tak tenang. Tapi, perasaan tak tenang tetap berkecamuk dalam benaknya. Mengapa bisa begitu? Tiba-tiba ia melompat bangun. Ah benar! Dalam hal ini tidak boleh ada kesalahan yang dia lakukan. Sekarang dia teringat, ternyata ada satu hal dia telah lakukan secara ceroboh. Setelah menghabisi nyawa Pek Giok-khi, seharusnya ia menggeledah tubuh mayat itu serta seluruh bangunan rumahnya. Ia tak boleh membiarkan naskah asli Rencana Naga Kemala Putih terjatuh ke tangan orang lain, apalagi kalau sampai jatuh ke tangan orang Tay-hong-tong. Kematian Pek Giok-khi pasti akan menimbulkan kegemparan, orang-orang Tayhong-tong pasti akan menggeledah seluruh isi rumah, mencari barang-barang peninggalannya untuk mencari tahu sebab musabab terjadinya pembunuhan ini. Andaikata Pek Giok-khi belum memusnahkan naskah asli tersebut, bukankah siasat Naga Kemala Putih terancam gagal dan berantakan? Benar! Ternyata di sinilah letak kecerobohan yang membuat perasaannya tidak tenang. Buru-buru dia keluar dari kamar dan segera berangkat menuju ke Pesanggrahan Pek-giok-tay dengan langkah cepat. ----------------------- Page 202----------------------- http://zheraf.net Ketika hampir tiba, hatinya mulai tenang. Sebab di depan pintu Pesanggrahan Pek-giok-tay tidak ditemukan sesosok bayangan manusia pun! Jika mayat Pek Giok-khi ditemukan orang, kabar berita ini pasti akan tersebar dalam waktu singkat. Di depan pintu gerbang Pesanggrahan Kemala Putih pasti akan dikerumuni orang-orang yang ingin tahu, datang untuk memeriksa apa yang terjadi. Tapi kini tak seorang pun kelihatan, tandanya kematian Pek Giok-khi belum diketahui orang. Sungguh kebetulan sekali! Dengan langkah lebar Tong Hoa masuk ke dalam Pesanggrahan Kemala Putih, tapi ia tertegun, berdiri terperangah di depan pintu. Bukankah mayat Pek Giok-khi roboh tersungkur di tempat itu? Tapi sekarang, kecuali bercak darah yang masih menggenangi lantai, mayatnya sudah hilang tak berbekas. Ia melihat bercak darah itu menggenangi lantai di depan pintu hingga ke ruang dalam, buru-buru dia ikuti bercak darah itu hingga masuk ke dalam kamar Pek Giok-khi, kemudian dia pun menyaksikan sebuah peti yang penuh bercak darah, sebuah peti rahasia. “Celaka!” pekiknya di dalam hati. Buru-buru dia lari keluar dan menelusuri jalan yang penuh dengan bercak darah, mengikuti terus hingga tiba di depan pintu gerbang Gedung Keluarga Tio. Sekarang ia sudah tahu apa yang telah terjadi, tampaknya Pek Giok-khi dengan membawa naskah ask telah mendatangi gedung keluarga Tio dan bermaksud menyerahkannya ke tangan Wi Hong-nio. Tapi perasaan hatinya kini sudah jauh lebih tenang, karena ia sudah menemukan mayat Pek Giok-khi, mayat itu terkapar di depan pintu masuk. Dia menghampiri mayat itu, membolak-balikkan badannya dan menggeledah seluruh isi saku Pek Giok-khi. Namun tak ada yang ditemukan. Ia mulai keheranan, tercengang, kenapa tidak ditemukan sesuatu apa pun? Sekali lagi digeledahnya seluruh saku mayat itu, tetap tidak dijumpai sesuatu apa pun. Dia mencoba memeriksa keadaan di sekelilingnya, sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda kalau ada orang yang pernah mendatangi tempat itu. Lalu, apakah artinya dia sudah ----------------------- Page 203----------------------- http://zheraf.net memusnahkan naskah asli itu sejak awal? Berarti tujuan kedatangannya adalah untuk mencari Wi Hong-nio dan menuturkan kejadian yang sebenarnya, ataukah mungkin naskah asli itu sudah keburu diambil seseorang? Untuk beberapa saat Tong Hoa berdiri sangsi, dia tak berani mengambil kesimpulan apa pun. Menurut perkiraannya, sepertinya Wi Hong-nio belum tahu kalau di depan rumahnya terkapar sesosok mayat. Bila dia tahu ada kejadian seperti ini, dengan tabiatnya, sudah pasti jenasah tersebut akan segera dikuburnya atau menyuruh orang untuk menggotongnya pergi. Tak nanti dia membiarkan mayat itu tetap terbaring di sana. Dalam hal ini dia merasa sangat yakin. Itu berarti naskah aslinya telah diambil oleh seseorang yang kebetulan lewat tempat itu. Dia berpendapat perkiraannya paling mendekati kebenaran. Gedung Keluarga Tio terletak sedikit di luar kota, jarang orang berlalu-lalang di sana. Selama berapa hari tinggal di situ, belum pernah ia menyaksikan banyak orang yang lewat di sekitar sana. Satu-satunya yang bisa membuat dia agak tenang adalah hasil perkiraannya. Tampaknya Pek Giok-khi datang ke sana untuk menuturkan kejadian yang sebenarnya kepada Wi Hong-nio, tapi ketika tiba di depan pintu dia sudah tak sanggup bertahan lebih jauh hingga akhirnya tewas di situ. Lalu, apa yang terjadi dengan peti rahasia itu? Ia tak berhasil menemukan sebuah benda berharga pun dari saku Pek Giok-khi, tapi mengapa dia membuka peti rahasianya? Sengaja mengatur perangkap untuk menipunya? Pek Giok-khi pasti sudah menduga kalau dirinya bakal balik lagi kesana, dia pun kuatir dirinya belum tentu bisa mencapai gedung keluarga Tio sehingga menggunakan jurus tersebut untuk mengacaukan jalan pikirannya? Tong Hoa sama sekali tak yakin. Dengan perasaan was-was dia meloncat ke atas atap rumah lalu memeriksa sekeliling bangunan itu. Ia menyaksikan cahaya lentera masih bersinar terang di balik kamar Wi Hong-nio, tanda bahwa dia masih ada di dalam. Setelah memeriksa keliling sejenak, dia lalu melompat turun, menyeret mayat Pek Giok-khi ke balik semak belukar kemudian pergi meninggalkan tempat itu. ----------------------- Page 204----------------------- http://zheraf.net Dalam keadaan seperti ini dia hanya bisa pasrah pada nasib. Kembali ke dalam kamarnya, Tong Hoa menghabiskan sepoci arak. Bab 16. Kecerobohan Sepeninggal Bu-ki, Wi Hong-nio hanya duduk sendirian di dalam gardu kebun, dia tidak kembali ke kamarnya. Sambil duduk ia membayangkan kembali seluruh kenangannya bersama Bu-ki, dia merasa nasib telah mempermainkan mereka berdua. Hari perkawinan yang sebenarnya merupakan hari paling bahagia tiba-tiba berubah jadi hari kematian ayah Bu-ki, hari terbunuhnya Tio Kian, kejadian yang membuat perkawinan mereka batal dilangsungkan. Kemudian ketika bersua dalam sekilas pandangan di bukit Kiu-hoa-san, dia nyaris tak bisa mengenali wajah Bu-ki. Selanjutnya mereka berjumpa di kamar rahasia dalam Benteng Keluarga Tong, perjumpaan sekejap yang diikuti perpisahan, perpisahan yang terasa bagaikan perpisahan antara mati dan hidup. Dan baru saja, lagi-lagi mereka hanya berjumpa dalam sekejap, jangan lagi bermesraan, untuk mengucapkan sepatah kata pun tak sempat. Nasib macam apakah kehidupan mereka ini? Wi Hong-nio terbungkam, dengan termangu-mangu diawasinya langit jauh di atas sana. Walaupun awan putih telah berlalu, tetap tak ada satu jawaban pun yang bisa menjawab semua kegundahan di hatinya. Semakin jauh berpikir, tiba-tiba dari hati kecilnya muncul satu pemikiran yang aneh. Ia berpikir, mungkinkah Bu-ki tiba-tiba berbalik kembali ke sana hanya karena ingin berkumpul lebih lama dengannya, berbagi kehangatan bersamanya? Terhadap pemikiran semacam ini dia merasa sedikit agak geli, mana mungkin Bu-ki akan berbuat demikian? Dia seorang pemuda berdarah panas yang mementingkan balas dendam, belum pernah sikap dan pendiriannya berubah hanya karena persoalan cinta kasih. ----------------------- Page 205----------------------- http://zheraf.net Walaupun ia merasa jalan pikiran seperti ini amat menggelikan, namun ia tetap berpikir terus bahkan berharap jalan pikirannya itu menjadi kenyataan. Itulah sebabnya dia duduk terus di gardu, duduk menanti sambil mendengarkan suasana di luar pintu, memperhatikan semua gerakan di situ. Harapan berlalu sangat lambat, tapi lambat atau tidak, waktu tetap bergulir terus tanpa henti. Biarpun matahari bergeser sangat lambat, namun akhirnya sampai juga di langit barat, tenggelam di kaki langit dan akhirnya lenyap dari pandangan. Langit dari warna biru berubah jadi merah, lalu dari merah berubah jadi kelabu, akhirnya dari kelabu berubah jadi hitam, kemudian bintang-bintang bertaburan di angkasa, berkelap-kelip tiada henti. Di saat Tong Hoa berkunjung sekali lagi ke Pesanggrahan Kemala Putih, tiba-tiba Wi Hong-nio mendengar suara langkah kaki di luar pintu gerbang rumah. Dia tidak bergerak, ia hanya mendengarkan dengan hati- hati, sementara pikirannya bergolak. Bu-ki kah yang datang? Apakah dia benar-benar telah balik? Dia menunggu, menunggu terus dan akhirnya... “Blaaam!” sesuatu jatuh di depan pintu. Dengan amat terperanjat ia memburu ke luar pintu, tapi begitu pintu gerbang terbuka, lagi-lagi ia dibuat terkesiap. Ia menjumpai Pek Giok-khi roboh terjerembab di lantai, dalam tangan kanannya tergenggam setumpuk kertas yang cukup tebal. Ia membungkuk sambil memeriksa napas Pek Giok-khi dengan jari tangannya, namun tak ada tanda-tanda kehidupan, menunjukkan bahwa orang itu sudah mati. Mengapa ia datang kemari dalam keadaan luka separah itu? Mau apa dia datang kemari? Minta pertolongan? Sambil berpikir Wi Hong-nio mulai membuka jari tangan orang itu dan mengambil tumpukan kertas yang digenggamnya. Ia membuka lembaran kertas itu dan mulai membacanya, tak lama kemudian ia berdiri tertegun, terkejut bercampur ngeri. ----------------------- Page 206----------------------- http://zheraf.net Kenapa isinya sama persis seperti isi buku harian yang dibacanya? Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ia tersadar kembali, ia tahu apa yang terjadi. Bersama dengan itu, dia pun paham dan mengerti kejadian apa yang sebenarnya sedang berlangsung. Dia segera mengingat-ulang semua kejadian yang telah dialaminya selama ini, dimulai dari Tong Hoa berusaha mendekatinya, mengajaknya kabur dari Benteng Keluarga Tong, kembali ke tempat ini, menemukan ruang rahasia dan akhirnya menemukan buku harian... Dengan cepat gadis ini menemukan banyak kecerobohan yang telah dia lakukan selama ini, kecerobohan yang sama sekali tidak disadarinya. Kenapa Tong Hoa bisa begitu tergila-gila kepadanya? Sedemikian tergila-gilanya hingga tak segan mengkhianati Benteng Keluarga Tong dan membawanya melarikan diri? Ia kelewat bodoh, kelewat tolol, atau mungkin inilah penyakit yang sering diderita kaum gadis muda? Selalu mengira orang lain sudah tergila-gila kepadanya, menganggap dirinya sangat memukau, sangat memabukkan, walaupun ia belum tentu menyukai orang tersebut. Inilah kecerobohan pertama yang dia lakukan. Ketika Tong Hoa mengajaknya melarikan diri dari Benteng Keluarga Tong, kendati dia berkata sangat hapal dengan semua jalur keluarnya, tapi... mungkinkah sedemikian gampangnya mereka berhasil kabur dari situ? Apalagi sewaktu menggunakan bahan peledak untuk meledakkan lorong rahasia. Mungkinkah suara ledakan yang begitu keras tak sampai memancing perhatian para jago Benteng Keluarga Tong? Kenapa di tempat itu tiba-tiba bisa muncul sebuah lorong rahasia? Masa ada kejadian yang begitu kebetulan? Inilah kecerobohannya yang kedua. Setibanya di gedung keluarga Tio, ternyata Tong Hoa berhasil menemukan tombol rahasia yang membuka ruangan tersembunyi, lalu dia pun berhasil menemukan patung Naga Kemala Putih. Memangnya pemuda itu luar biasa lihaynya sehingga segala sesuatu berhasil dia pecahkan seorang diri? Padahal Bu-ki sangat hapal dengan tempat itu, dia pun tidak menemukan apa-apa setibanya di situ, kenapa justru Tong Hoa yang datang belakangan bisa menemukan semua rahasia itu? ----------------------- Page 207----------------------- http://zheraf.net Inilah kecerobohannya yang ketiga. Setelah berhasil menemukan buku harian, dalam waktu singkat ternyata Tong Hoa berhasil juga mendapat tahu kalau Bu-ki dalam perjalanan pulang, bahkan berdalih kurang leluasa bila tetap tinggal di sana, lantas berpamitan. Bukankah dia pernah bilang kalau dirinya tergila-gila padanya? Bahkan harus terjun ke lautan api pun dia tak akan menolak? Kenapa sekarang malah berpamitan hanya untuk alasan kurang leluasa? Inilah kecerobohannya yang keempat. Kecerobohan yang luar biasa, kecerobohan yang tak bisa dimaafkan! Memang begitulah manusia, harus menyaksikan dulu seluruh kenyataan yang ada, baru menyaksikan kelemahan-kelemahan yang telah dilakukannya dulu. Reaksi pertama yang dilakukan Wi Hong-nio adalah segera pergi mencari Tio Bu-ki. Ia memperhatikan mayat itu sebentar, satu ingatan segera melintas dalam benaknya. Orang itu dengan mempertaruhkan nyawa telah berusaha datang ke sini, jelas tujuannya adalah untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya, sebagai balas jasa kebaikan itu, bukankah dia berkewajiban untuk menguburkan mayatnya? Tapi ingatan lain kembali melintas, orang ini diburu seseorang untuk dibunuh, berarti ada orang ingin membungkam mulutnya serta menghilangkan saksi. Seandainya sang pembunuh menyusul sampai ke sini dan tidak menemukan mayatnya, pembunuh itu masih akan menghubungkan hilangnya sang mayat dengan kehadiran dirinya di situ, atau dengan perkataan lain, pembunuh itu sadar kalau dia telah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Dengan begitu pihak Benteng Keluarga Tong pasti akan merubah rencananya, bisa jadi mereka akan menggunakan siasat lain yang lebih keji untuk menghadapi Tio Bu-ki dan paman Siangkoan. Mana bisa dia membiarkan orang Keluarga Tong tahu bahwa dirinya telah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya? Setelah mengambil tumpukan kertas yang yang ada di tangan mayat itu, buru-buru dia kembali ke dalam rumah bahkan sengaja memasang lentera dan duduk di tepi jendela, ia berlagak seakan tidak tahu ada yang telah terjadi di luar sana. ----------------------- Page 208----------------------- http://zheraf.net Dia percaya pembunuh itu segera akan tiba di situ, datang dengan mengikuti bercak darah yang berceceran sepanjang jalan. Ternyata dugaannya tepat sekali, sayang dia tak tahu kalau orang itu adalah Tong Hoa. Lebih-lebih ia tidak tahu sejak kapan pemuda itu tiba di sana. Berada di dalam kamarnya, dia tak bisa memperhatikan keadaan di luar, ditambah lagi gerakan tubuh Tong Hoa memang sangat ringan sehingga tidak menimbulkan sedikit pun suara. Maka Wi Hong-nio hanya bisa menunggu dan menunggu, makin menunggu hatinya makin gelisah bercampur cemas, apakah orang itu sudah datang? Dia ingin sekali keluar dari kamar untuk memeriksanya, tapi kuatir bertemu dengan orang itu. Tapi dia pun ingin secepatnya pergi mencari Bu-ki dan menyampaikan berita ini kepadanya, dia tak ingin kekasih hatinya ini termakan oleh rencana busuk Benteng Keluarga Tong. Menanti dalam suasana gelisah dan tak tenang memang amat menyiksa batin, bukan saja pikirannya bertambah kalut, sang waktu pun seolah berjalan dengan merayap. ooooOOoooo Akhirnya kentongan kedua tiba juga, Wi Hong-nio memutuskan untuk tidak menunggu lagi, sebab menurut perkiraannya, orang yang seharusnya datang semestinya sudah datang sejak tadi, bisa jadi orang itu jauh lebih tak sabaran ketimbang dirinya. Tergopoh-gopoh dia keluar dari kamar, menuju ke pintu gerbang dan membukanya. Kini ia bisa menghembuskan napas lega, ternyata mayat orang itu sudah lenyap. Hal ini membuktikan kalau dugaannya tepat, orang yang membunuh Pek Giok-khi telah berkunjung ke sini dan menyingkirkan mayat itu. Tentu saja ia kuatir kalau sampai diketahui jati-dirinya. Sedikit banyak ia berterima kasih juga kepada orang itu, karena telah membantunya menguburkan mayat orang itu hingga dirinya tak perlu membuang waktu dan tenaga lagi. Bila punya uang, setan pun bisa diperintah untuk menggiling tepung, apalagi hanya menyewa kereta kuda untuk melakukan perjalanan malam? ----------------------- Page 209----------------------- http://zheraf.net Kendati Wi Hong-nio sangat jarang berkelana dalam dunia persilatan, namun dia masih cukup tahu arah benteng Siangkoan-po. Si kusir kuda adalah pedagang tulen, setelah menerima uang sewa tentu saja ia bekerja keras, kereta kudanya dilarikan kencang, sedemikian kencang membuat gadis itu agak pusing kepalanya. Tapi demi menyusul Bu-ki, apa artinya pusing kepala? Dalam hati ia terus menerus berdoa, dia berharap Bu-ki tidak menempuh perjalanan malam, dia berharap saat itu Bu-ki sedang beristirahat, dengan begitu ia baru punya kesempatan untuk menyusulnya, tiba lebih dulu di Benteng Siangkoan-po. Kentongan ketiga sudah lewat, Tong Hoa masih meneguk arak seorang diri, setiap kali habis meneguk secawan, dalam pikirannya terbayang pula wajah seseorang yang tak diketahui namanya. Wajah itu sangat buram, wajah yang tak mungkin bisa berubah jadi jernih dan terang, karena yang sedang ia pikirkan adalah orang yang telah mengambil naskah asli dari tangan Pek Giok-khi. Baru setelah ia menghabiskan cawan yang keduapuluh tujuh, satu ingatan melintas dalam benaknya. Mungkinkah Wi Hong- nio yang telah melarikan naskah asli itu? Mungkinkah dia yang sedang bermain sandiwara? Dengan cepat ia melompat bangun, dia menyesal, mengapa selama ini selalu mengesampingkan pemikiran semacam ini. Dipukulnya batok kepalanya sendiri keras-keras, kemudian menerjang keluar dari kamar dan langsung menuju ke gedung keluarga Tio. Tiba di depan pintu gerbang dia pun tidak mengetuk pintu, dengan sekali lompat dia melewati pagar pekarangan langsung turun di tengah halaman. Ia menemui kamar Wi Hong-nio masih seperti tadi, cahaya lentera menerangi seluruh ruangan. Perlahan-lahan dia menghampiri jendela, dengan jari tangan yang dibasahi ludah dia membuat sebuah lubang kecil di kertas jendela kemudian mengintip ke dalam. Ternyata Wi Hong-nio tidak ada di situ. Ia menerjang masuk, membuka pintu dan mendekati pembaringan. Seprei masih dalam keadaan rapi, tanda perempuan itu tidak pernah membaringkan diri, dia menghampiri lemari dan ----------------------- Page 210----------------------- http://zheraf.net membukanya. Ternyata isi lemari kosong, semua pakaian yang semula ada di situ kini hilang lenyap. Semua ini menunjukkan apa? Tentu saja tanda kalau Wi Hong-nio sudah meninggalkan tempat itu! Goblok! Tolol! Dogol! Tak hentinya dia memaki diri sendiri. Biarpun dalam hati memaki terus, kakinya sama sekali tak berhenti berlari. Dia keluar dari gedung keluarga Tio kemudian mencari tahu apakah ada seorang gadis yang melakukan perjalanan malam. Jawaban diterima dalam waktu singkat. Dia pun mencari seekor kuda lalu melakukan pengejaran dengan cepat. Ooo)))(((ooo Benteng Siangkoan-po. Ketika Tong Ou dan Siangkoan Ling-ling tiba di situ, kedatangan mereka disambut dengan sangat meriah. Di Benteng Siangkoan-po, Tong Ou sengaja tiap hari menemui Sangkoan Jin untuk diajak merundingkan rencana berikut dalam usahanya menyerbu benteng Tayhong-tong, setiap kali berunding dia sengaja pulang larut malam. Setiap kali selesai berunding sampai larut malam, dia pun sengaja memberitahukan hal ini kepada Siangkoan Ling-ling, agar gadis itu tahu kalau ayahnya amat penat dan menderita. Tentu saja dia mendesaknya agar menjalankan kewajibannya sebagai seorang putri yang berbakti. Untuk menunjukkan bakti serta cintanya, tentu saja tak ada cara yang lebih baik daripada membuatkan semangkok jinsom berusia ribuan tahun. Tentu saja cara ini merupakan cara yang paling berbakti. Oleh sebab itu setiap hari, setiap kentongan pertama nona ini selalu turun tangan sendiri membuatkan semangkuk kaldu ayam untuk ayahnya. Menyaksikan cinta dan bakti putrinya, Sangkoan Jin sebagai seorang ayah tentu saja tak pernah menaruh curiga. Maka setiap kali disuguhi kaldu ayam, dia selalu meneguknya hingga habis. ----------------------- Page 211----------------------- http://zheraf.net Tong Ou ikut girang. Tapi yang membuatnya sangat gembira adalah setiap kali melihat mangkuk berisi kaldu itu diteguk Sangkoan Jin hingga habis, setetes pun tak tersisa. Dia tahu, rencananya makin lama makin mendekati puncak keberhasilan yang gemilang. Racun yang digunakan adalah racun bersifat lambat, bila tidak mengerahkan tenaga dalam, siapa pun tak akan menemukan gejala atau tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan sewaktu mengatur napas pun tak akan dirasakan. Racun itu baru bekerja bila seseorang sudah mengerahkan tenaga dalamnya hingga mencapai paling puncak. Saat itulah seluruh kekuatannya akan runtuh, bahkan untuk mengerahkan tiga bagian tenaganya pun tak akan mampu. Tong Ou percaya, dengan kepandaian silat Tio Bu-ki, bukan masalah bagi pemuda itu untuk bertarung hingga ratusan jurus melawan Sangkoan Jin. Sebaliknya bagi Sangkoan Jin, pertarungan sebanyak seratus jurus akan banyak menguras tenaganya bahkan kekuatannya akan mengalami goncangan keras. Keadaan semacam inilah yang dia harapkan karena akan mencipta-kan kesempatan bagi Bu-ki untuk membunuh Sangkoan Jin. Menanti pemuda itu berhasil menghabisi Sangkoan Jin, Tong Ou baru akan menceritakan kejadian yang sesungguhnya bahwa rencana Naga Kemala Putih adalah hasil rancangannya, rencana yang khusus dia ciptakan untuk menandingi siasat Harimau Kemala Putih. Dia bisa membayangkan reaksi Tio Bu-ki pada saat itu, dia pasti akan merasakan pukulan batin yang amat berat, seluruh jiwanya pasti akan roboh. Berpikir sampai di situ Tong Ou tak bisa menahan diri lagi, ia segera tertawa terbahak-bahak. Jika Tio Bu-ki sudah rontok, jago mana lagi yang bisa diandalkan Tayhong-tong? Saat itu, bukankah seluruh dunia persilatan akan jatuh ke dalam cengkeramannya? Dengan penuh rasa bangga dia menenggak arak seorang diri. Dia yang biasanya kurang begitu suka minum arak, hari ini telah menenggak susu macan hingga setengah mabuk, sedemikian ----------------------- Page 212----------------------- http://zheraf.net mabuknya hingga dia sendiri pun tak tahu sejak kapan dia sudah tertidur di atas ranjangnya. Bu-ki tahu dengan jelas kapan dia naik ke ranjang untuk tidur, sebab dia sudah menempuh perjalanan siang malam, jangan lagi makan, air setetes pun belum pernah membasahi kerongkongannya apalagi memejamkan matanya untuk beristirahat. Tapi berjalan terlalu lama membuatnya benar-benar penat. Ia tahu dirinya sudah tak memiliki kekuatan cukup untuk menempuh perjalanan, jika tidak dipaksakan untuk beristirahat, jangan harap dia bias mengalahkan Sangkoan Jin. Maka dia harus mencari tempat untuk beristirahat dan tidur yang nyenyak. Lebih baik agak terlambat membalas dendam daripada sama sekali tak berkesempatan melakukan pembalasan. Itu alasannya mengapa dia mencari sebuah rumah penginapan dan tidur dengan nyenyaknya. Ooo)))(((ooo Tidak demikian dengan pemikiran Wi Hong-nio, yang ia pikirkan waktu itu adalah melakukan perjalanan secepat-cepatnya. Pada pendapatnya, kereta boleh berjalan terus sementara dia bisa menggunakan kesempatan itu untuk beristirahat dalam kereta. Dia cukup tahu, tidur sangat penting untuk memulihkan kekuatan, orang yang kurang tidur tubuhnya akan lemah. Kusir kuda yang dia sewa dua orang, mereka bisa tidur secara bergiliran, karenanya kereta kuda tetap dilarikan kencang- kencang. Goncangan kereta tidak membuat tidur Wi Hong-nio kurang lelap, dia justru tertidur sangat nyenyak, saking nyenyaknya sampai bermimpi. Entah berapa lama waktu sudah lewat, mendadak ia terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, hatinya merasa kaget. Kenapa kereta kuda tidak berlari lagi? Ini alasan pertama yang membuatnya tercengang. Buru-buru dia bangkit berdiri, menyingkap tirai kereta dan melongok keluar. Dua orang kusirnya sudah tak nampak lagi batang hidungnya, yang tersisa hanya dua ekor kuda penghela kereta yang sedang makan rumput. ----------------------- Page 213----------------------- http://zheraf.net Dia keluar dari kereta dan celingukan ke empat penjuru, ternyata kereta itu diparkir di bawah sebuah pohon besar yang rindang, tapi karena hari baru saja terang tanah, suasana di sekelilingnya tampak hening dan sepi. Ke mana perginya kedua orang kusir kereta itu? Karena lupa menanyakan nama mereka, maka dia pun tak tahu bagaimana harus memanggil orang-orang itu. Dalam keadaan begini terpaksa dia hanya bisa duduk di luar kereta, mengawasi kuda-kudanya yang merumput dengan termenung. Sementara itu mendadak ia merasa seakan ada seseorang sedang mengawasinya, dia mengira para kusir kereta telah kembali, maka dia pun mendongakkan kepalanya. Hampir saja jantungnya berhenti berdetak, apa yang terlihat olehnya hampir-hampir membuatnya mati lantaran kaget. Ternyata orang yang sedang mengawasinya bukan sang kusir kereta, melainkan Tong Hoa. Tong Hoa berdiri di bawah pohon dengan senyuman menghiasi wajahnya. Sambil tersenyum selangkah demi selangkah ia berjalan mendekat. Untuk sesaat Wi Hong-nio jadi gelagapan, dia tak tahu harus membalas senyuman itu atau jangan, sikapnya amat kalut, tapi akhirnya dia mengulumkan juga senyumannya. “Nyenyak tidurmu?” sapa Tong Hoa sambil berjalan mendekat. Wi Hong-nio tidak menjawab, untuk sesaat dia hanya bisa mengawasi pemuda itu dengan termangu. “Aku khusus kemari untuk mencarimu,” kembali Tong Hoa berkata, “tapi karena melihat tidurmu amat nyenyak, maka aku menunggu sambil berjalan-jalan di sekitar sini.” Wi Hong-nio celingukan memandang sekeliling tempat itu sekejap, tanyanya, “Mana kusir kudaku?” “Mereka sudah kusuruh pergi. Jangan kuatir, aku tak nanti membunuh mereka yang tak bersalah!” “Ada urusan apa kau datang mencariku?” tanya si nona kemudian setelah berhasil menenangkan pikirannya. “Tidak ada yang penting, aku hanya rindu padamu!” “Rindu padaku? Kalau begitu, bagaimana kalau kau temani aku melanjutkan perjalanan?” ----------------------- Page 214----------------------- http://zheraf.net “Bagus, tentu saja bagus. Jelas merupakan satu kehormatan bagiku!” Sambil berkata, dia segera naik ke atas kereta dan duduk di kursi kusir, sekali sentak tali les kuda, kereta pun berputar arah. “Jangan, jangan, jangan ke sana!” seru Wi Hong-nio lagi, “aku mau pergi ke arah sana!” “Kau keliru,” kata Tong Hoa seraya berpaling, “aku hanya bisa menemanimu untuk balik ke arah sana!” “Kenapa?” “Sebab aku tidak berharap kau berjumpa lagi dengan Tio Bu-ki!” “Tampaknya cemburumu semakin besar saja?” “Aku justru melihat kemampuan sandiwaramu makin lama makin hebat!” “Aku bersandiwara? Aku sedang bermain sandiwara? Sandiwara apa?” Tong Hoa tertawa licik, kembali dia menghentikan lari kudanya sambil berkata, “Kemarin, kau sudah membohongi aku semalaman suntuk, apakah sekarang kau masih ingin membohongi aku lagi?” Wi Hong-nio tahu, rupanya pemuda itu sudah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, maka segera jawabnya, “Siapa suruh kau menipuku lebih dulu dengan menggunakan siasat busukmu?” “Aku hanya melaksanakan perintah,” dengan sikap apa boleh buat Tong Hoa mengangkat bahunya. “Bagaimana sekarang? Menghalangi kepergianku juga merupakan bagian dari perintah itu?” “Tentu saja bukan, ini kemauanku sendiri.” “Kalau memang begitu, biarkan aku pergi!” “Tidak bisa.” “Kenapa tidak bisa?” “Jika kau ke sana berarti rencana Naga Kemala Putih akan terancam gagal total. Itu berarti tugas yang kujalankan telah gagal, atas kegagalan ini aku akan menerima hukuman. Tentunya kau tidak berharap aku memperoleh hukuman bukan?” “Keliru!” teriak Wi Hong-nio lantang, “aku justru berharap rencana kalian itu bakal gagal total!” ----------------------- Page 215----------------------- http://zheraf.net Habis berkata tiba-tiba ia mencabut pedangnya dan langsung ditusukkan ke tubuh Tong Hoa. Tentu saja Tong Hoa tak akan memandang sebelah mata ilmu silat yang dimiliki gadis ini, dalam anggapannya dia adalah seorang gadis yang memegang pedang pun tak becus. Karenanya dia menghindar ke samping sekenanya dan sudah lolos dari tusukan tersebut. Padahal Wi Hong-nio memang sengaja menusuk sekenanya, sebagaimana diketahui ia pernah belajar ilmu pedang dari Siau Tang-lo ketika berada di bukit Kiu-hoa-san, ditambah lagi ia memang memiliki bakat yang bagus maka kepandaiannya dalam menggunakan pedang sudah mencapai satu taraf yang cukup hebat. Hanya saja gadis ini tak ingin bertindak gegabah, dia sadar kemampuan yang dimilikinya masih bukan tandingan Tong Hoa. Jika ingin memenangkan orang itu maka dia harus mengunggulinya dengan menggunakan akal dan kecerdasan. Dengan pikiran itulah maka dia sengaja berlagak tak tahu ilmu silat dan menusuk sekenanya. Benar saja, perbuatannya itu berhasil mengelabui Tong Hoa, di saat dia berkelit dengan sekenanya itulah mendadak Wi Hong-nio mempercepat gerak serangannya, pedang yang ada di tangannya seakan sekuntum bunga yang sedang mekar, tiba-tiba mengebas ke kiri lalu menyelinap ke kanan, langsung menusuk jalan darah penting di dada lawan. Tong Hoa jadi gelagapan dibuatnya, untung ilmu silatnya terhitung cukup hebat, kalau tidak mungkin dia sudah tewas di ujung pedang gadis itu. Kendati begitu, ia keteter juga dibuatnya hingga tersudut dalam kondisi yang berbahaya. Pakaian yang dikenakan tampak tertusuk di beberapa tempat hingga robek tak karuan. Sejak belajar ilmu pedang dari Siau Tang-lo, baru pertama kali ini Wi Hong-nio menggunakannya untuk menyerang orang, pada mulanya gerak serangannya masih kelihatan kaku, namun makin lama gerakannya makin lancar dan cepat, pedangnya digerakkan sedemikian rupa hingga membentuk selapis jaring pedang yang luar biasa. Begitu melepaskan serangannya yang keenam, ujung pedangnya yang tajam berhasil menyambar pergelangan tangan kiri ----------------------- Page 216----------------------- http://zheraf.net Tong Hoa, darah segar segera menyembur keluar dari luka yang memanjang itu. Dengan cekatan Tong Hoa menjatuhkan diri ke tanah, kemudian bagaikan gasing dia menggelinding menjauh dan menyelinap ke balik kereta kuda. Menggunakan kesempatan itu buru-buru dia meloloskan pedangnya dan bersiap-siap menghadapi serangan berikutnya. Wi Hong-nio memang tak punya pengalaman dalam bertarung, ketika melihat Tong Hoa kabur ke belakang kereta, dia pun tidak berusaha untuk mengejar, sebaliknya gadis itu malah berdiri di atas kereta sambil mengawasi lawannya tanpa berkedip. Diam-diam gadis itu merasakan jantungnya berdebar keras, bagaimanapun selama hidupnya baru pertama kali ini dia melukai tubuh orang hingga berdarah, untuk beberapa saat lamanya dia hanya berdiri diam tanpa melakukan sesuatu. Tong Hoa bukan orang dungu, dari perubahan raut muka gadis itu, dia segera dapat menebak apa yang sedang dipikirkan, mendadak dia buang pedangnya ke tanah dan berjalan menghampiri sambil serunya, “Bunuhlah aku bila kau ingin melakukannya!” Wi Hong-nio malah dibuat tertegun oleh ucapan tersebut, pedang nya kembali diturunkan, dengan wajah menyesal katanya, “Biarkan aku pergi!” “Tidak, jika kau akan pergi, bunuhlah aku lebih dahulu. Toh sekembaliku ke Benteng Keluarga Tong, aku tetap akan diganjar mati, daripada mati tersiksa lebih baik mati saja di ujung pedangmu.” Untuk beberapa saat lamanya Wi Hong-nio terbungkam, ia memandang pedang dalam genggamannya sekejap lalu memandang pula ke arah Tong Hoa, pikiran dan perasaannya amat kalut, untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus diperbuat. Menggunakan kesempatan itu Tong Hoa berjalan mendekat, kembali katanya, “Ayoh, cepat turun tangan!” Ketika Wi Hong-nio masih tetap sangsi, Tong Hoa sudah maju mendekat dan merebut pedang di tangannya. Perempuan itu sama sekali tidak menjadi gusar atau terkesiap, reaksinya tetap tenang, karena baru saja dia mengambil keputusan, apa pun yang bakal terjadi, dia tak ingin tangannya ternoda darah. ----------------------- Page 217----------------------- http://zheraf.net Setelah merampas pedang itu, dengan wajah menyesal Tong Hoa berkata lagi, “Aku terpaksa harus bertindak begini, harap kau jangan marah.” Wi Hong-nio tertawa getir. “Tidak apa apa, toh aku sudah putuskan, tak akan membunuh siapa pun.” Ketika Tong Hoa menyodorkan kembali pedangnya, Wi Hong-nio segera menggeleng, “Sudahlah, aku tidak membutuhkan pedang itu lagi, ambil saja buatmu!” “Apa gunanya aku punya dua bilah pedang? Lebih baik simpan sebilah untuk menjaga diri,” ujar Tong Hoa sambil tertawa. “Tidak, ilmu pedang yang kupelajari adalah ilmu untuk membunuh manusia, bukan untuk melindungi diri, tidak baik bila kusimpan terus pedang itu.” “Bila ingin melindungi diri dari ancaman, tentu saja kau harus berusaha untuk membunuh lawan!” “Aku tahu, itulah sebabnya kuputuskan tidak akan menggunakan pedang lagi.” “Kalau begitu buang saja, aku harus pergi sekarang!” “Pergi?” paras muka Tong Hoa agak berubah, “hendak ke mana kau?” “Pergi mencari Bu-ki!” Mendadak Tong Hoa mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. “Hei, apa yang kau tertawakan?” tegur nona itu. “Aku sedang menertawakan kau!” “Menertawakan apa?” “Menertawakan dirimu yang kelewat bodoh.” “Aku bodoh? Di mana letak kebodohanku?” “Kau tidak merasa kalau dirimu bodoh? Sekarang kau sudah tak berpedang, memangnya aku akan membiarkan kau pergi?” “Kenapa kau melarangku pergi? Bukankah barusan aku telah berhasil mengunggulimu? Aku hanya tak ingin membunuhmu saja, kenapa aku tak boleh pergi?” Sekali lagi Tong Hoa tertawa tergelak, dia tertawa dengan riangnya. “Bukankah sudah kukatakan? Jika kau bersikeras akan pergi, bunuhlah aku terlebih dulu!” “Aku tetap akan pergi dari sini, namun aku pun tak akan membunuhmu!” ----------------------- Page 218----------------------- http://zheraf.net “Bagaimana caranya?” “Caranya? Kau pergi ke tempat yang kau suka, aku pun akan pergi ke tempat yang kupilih, bukankah semua jadi beres?” “Tidak bisa nona besarku, aku tak akan membiarkan kau pergi ke sana!” “Bagaimana sih kamu ini? Mengapa terus-terusan ngotot? Sudah kalah masih belum mau mengakui kekalahannya? Kau tetap tidak membiarkan aku pergi?” “Menang atau kalah bukan persoalan, yang penting dalam masalah ini, justru adalah mati atau hidup, asal kau bunuh aku, kau boleh pergi, bila membiarkan aku tetap hidup maka kau tak boleh ke sana.” “Baiklah! Kalau begitu kembalikan pedangku, akan kubunuh dirimu.” Sekali lagi Tong Hoa tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha ha... coba lihat, sudah begini masih belum mau mengaku kalau dirimu bodoh? Dalam keadaan seperti ini, memangnya aku akan menyerahkan pedang ini kepadamu? Apalagi kemenangan yang berhasil kau raih tadi hanya kebetulan saja, kau menyerang di saat aku tak siap. Sekarang, biarpun kau berpedang belum tentu sanggup mengungguli aku!” “Jadi kau memang manusia macam begitu?” “Bukan, aku bukan manusia begitu!” “Bagus sekali kalau begitu,” seru Wi Hong-nio kemudian, “aku tahu, kau memang sengaja berkata begitu bukan?” “Salah besar! Sekalipun aku bukan manusia macam begitu, namun situasi yang mendesak memaksa aku mau tak mau harus berbuat begitu.” “Maksudmu, kau tetap tidak membiarkan aku pergi?” “Aku terpaksa harus berbuat begitu, maaf.” Wi Hong-nio jadi sewot setengah mati, dengan napas terengah-engah karena menahan luapan emosi, serunya, “Ternyata aku telah salah menilai dirimu!” “Aku benar-benar minta maaf.” “Sudahlah, tak usah banyak bicara lagi, aku tetap akan pergi dari sini, tampaknya kali ini tiba giliranmu yang harus membunuh aku.” Selesai berkata, ia segera beranjak pergi dengan langkah lebar. ----------------------- Page 219----------------------- http://zheraf.net Tong Hoa sama sekali tidak menghalangi, dia hanya mengintil terus di samping Wi Hong-nio, mengikutinya ke mana pun dia pergi. “Kenapa kau tidak menghalangi aku?” “Sebab bila melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, kau tak akan mampu menyusul Tio Bu-ki!” “Lalu kenapa kau masih mengikuti diriku terus?” “Pertama aku harus melindungi dirimu, kedua, aku harus menghalangi kau menyewa kereta kuda.” “Kau....” dengan napas tersengal karena marah, Wi Hong- nio menuding hidung Tong Hoa, makinya, “kau memang manusia yang payah!” “Aku telah mengemukakan semua maksud dan tujuanku secara jelas, kenapa kau bilang aku payah?” Wi Hong-nio berpaling sekejap ke arah lain, lalu ujarnya, “Sudahlah, aku tak ingin berdebat denganmu, toh akhirnya aku yang kalah, Cuma kau harus tahu, apa pun yang terjadi aku tetap akan ke sana, aku pun pasti akan menemukan kembali kusir keretaku untuk melanjutkan perjalanan!” “Baiklah, kalau kau memang bersikeras terus, biar aku yang menghantar kau menuju ke sana.” Wi Hong-nio seakan tak percaya dengan pendengaran sendiri, ia membelalakkan matanya lebar-lebar, diawasinya wajah Tong Hoa tanpa berkedip. Sungguh? serunya tertahan. “Tentu saja sungguh, mari, kita segera balik ke kereta!” Setelah naik ke atas kereta, Wi Hong-nio baru percaya kalau apa yang dikatakan Tong Hoa memang benar. Tong Hoa duduk di tempat kusir, dia menarik tali les kuda dan kereta pun mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Pada mulanya Wi Hong-nio merasa sangat gembira, karena ternyata Tong Hoa bersedia membantunya, tapi setelah berjalan beberapa saat ia baru sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres, ternyata arah yang ditempuh kereta kuda itu menuju ke tempat yang berlawanan. “Berhenti!” ia segera berteriak. Tong Hoa segera menghentikan keretanya. “Ada apa?” dia bertanya. “Kau sedang membohongi aku! Bukankah ini jalan balik?” ----------------------- Page 220----------------------- http://zheraf.net “Benar, bukankah aku sudah bilang akan mengantarmu pulang?” “Kau tak usah berlagak pilon, seperti tidak tahu ke mana aku hendak pergi! Apa maumu?” “Tentu saja aku tahu ke mana kau hendak pergi, tapi dengan keadaan dan kedudukanku sekarang, mana mungkin aku bisa mengantarmu ke sana?” “Lalu kenapa kau mengatakan akan mengantarku?” “Apa salahnya kalau kuantar kau pulang ke rumah? Bukankah sejak awal sudah kukatakan, kau hanya bisa melanjutkan perjalanan dengan kereta jika tujuanmu adalah balik ke Gedung Keluarga Tio?” “Segera hentikan keretamu, aku mau turun sekarang juga!” Melihat gadis itu bersiap-siap melompat keluar dari keretanya, Tong Hoa menghentakkan tali les kudanya hingga kereta kembali bergerak. Tindakan sangat mendadak ini menyebabkan Wi Hong-nio hampir jatuh terjerembab. “Lepaskan aku!” teriak perempuan itu lagi. Tong Hoa sama sekali tidak menggubris, dia malah melarikan kudanya makin kencang. “Jika kau tidak segera menghentikan keretamu, aku akan melompat keluar!” kembali Wi Hong-nio mengancam. Namun Tong Hoa sama sekali tidak menggubris, dia tetap melarikan keretanya kencang-kencang. Wi Hong-nio menjadi nekad, ia benar-benar melompat dari atas kereta lalu bergulingan di tanah. Menyaksikan ini Tong Hoa terpaksa menghentikan keretanya dan membangunkan perempuan itu. “Jangan sentuh aku!” teriak perempuan itu penuh amarah, “Aku tak ingin bertemu lagi denganmu!” “Buat apa kau mesti marah-marah? Baiklah, kali ini aku putuskan untuk benar-benar menghantarmu.” “Sungguh?” “Tekadmu sudah begitu bulat, aku tahu tak akan berhasil mengha-langimu. Mari, segeralah naik ke kereta!” Kali ini Wi Hong-nio menolak untuk masuk ke dalam kereta, ia bersikeras duduk di samping Tong Hoa, katanya, “Aku akan mengawasimu, jika kau berusaha main gila lagi, aku segera akan lompat turun dari kereta!” ----------------------- Page 221----------------------- http://zheraf.net Kali ini Tong Hoa tak berani main gila lagi, ia benar-benar melarikan kudanya ke arah benteng Siangkoan-po, bahkan kudanya dilarikan kencang. Menyaksikan hal itu Wi Hong-nio menjadi sangat girang. Sayang kegembiraannya hanya berlangsung satu jam lebih sedikit, setelah itu tiba-tiba Tong Hoa menghentikan keretanya. Dengan heran Wi Hong-nio segera menegur, “Kenapa kau hentikan keretamu?” “Masa kau tidak bisa melihat sendiri?” “Melihat apa? Wajahmu tetap segar, sama sekali tak nampak penat atau masuk angin, mengapa kau harus menghentikan kereta?” “Tentu saja aku tidak penat, masa perjalanan sependek ini membuatku kelelahan? Tapi coba kau lihat ke depan!” Kini Wi Hong-nio baru mendongakkan kepalanya memandang ke depan. Ternyata mereka tiba di depan sebuah persimpangan, bukan hanya bercabang dua tapi tiga! “Oh, jadi kau tidak kenal jalan?” tanya si nona. “Aku tentu saja kenal, tapi kau sendiri bagaimana? Kenal jalan ini tidak?” “Aku tidak tahu...” “Nah itu dia!” “Apa ada yang tak beres? Jalan saja seperti yang kau tahu!” “Tapi, apakah kau percaya padaku?” Begitu kata-kata itu diucapkan, langsung Wi Hong-nio terbungkam seribu bahasa. Apakah ia percaya orang ini? Bagaimana kalau secara sengaja dia memilih jalan yang salah? Dia tak tahu, benar-benar tak tahu. Lantas apa daya? Wi Hong-nio merasa pikirannya bertambah kalut. Menyaksikan kebingungan si nona, Tong Hoa kembali tertawa licik, ujarnya, “Itu sebabnya aku sengaja berhenti di sini, agar kau bisa memilih jalan mana yang harus dilewati. Aku tidak mau disalahkan karena salah memilih jalan!” “Aku tak akan menyalahkan dirimu, jalankan saja keretamu menuju ke arah benteng Siangkoan-po.” “Lebih baik kau saja yang pilih,” Tong Hoa bersikeras dengan pendiriannya. ----------------------- Page 222----------------------- http://zheraf.net Dengan sorot mata tajam Wi Hong-nio mengawasi Tong Hoa tanpa berkedip, kemudian serunya, “Jadi kau punya tujuan lain? Sejak awal kau sudah tahu bahwa di sini terdapat jalan bercabang tiga kan?” “Benar,” ternyata Tong Hoa mengakui, “dan aku tak bisa membantumu untuk memilihkan jalan yang harus diambil, lebih baik kau pilihlah sendiri, jadi kalau sampai keliru, kau jangan marah kepadaku!” Dengan termangu Wi Hong-nio mengawasi tiga persimpangan jalan yang terhampar di depan matanya. Ia sangsi, jalan yang mana yang harus dipilih? Akhirnya, setelah berpikir sebentar, “Baiklah, aku turuti pilihanmu!” Tong Hoa mengerling ke arahnya, tiba-tiba ia menghentakkan tali les kudanya dan menjalankan kereta itu menuju ke cabang jalan yang tengah. “Berhenti!” tiba-tiba gadis itu berteriak lagi. “Ada apa?” “Jangan memilih jalan yang itu!” “Lalu harus lewat yang mana?” “Kau boleh memilih jalan yang lain kecuali jalan itu!” Dalam pikiran Wi Hong-nio, jalan yang pertama kali dipilih Tong Hoa pastilah jalan yang keliru maka dia sengaja menyuruh pemuda itu memilihnya terlebih dulu, dengan begitu akan tersisa dua pilihan saja. Tapi persoalannya sekarang adalah Tong Hoa akan memilih jalan yang mana? Kini pemuda tersebut sudah tahu kalau dia sedang mencoba kejujurannya, apakah dia akan memilih jalan yang benar atau tetap sengaja memilihkan jalan yang salah? Untuk sesaat Wi Hong-nio jadi sangsi, dia tak tahu bagaimana mesti memutuskan persoalan ini. Tentu saja Tong Hoa sama sekali tidak memedulikan apa yang sedang dipikir Wi Hong-nio, dia segera mencemplak kudanya dan memilih jalan sebelah kanan. Sebenarnya Wi Hong-nio ingin menggunakan siasat itu untuk mencoba kejujuran Tong Hoa, tak disangka siasatnya itu sekarang justru mempersulit diri sendiri! Jalan yang sekarang dipilih Tong Hoa benarkah jalan yang benar? Dia tahu, sulit sekali baginya untuk membuktikan kejujuran pemuda itu. ----------------------- Page 223----------------------- http://zheraf.net Dia mencoba berpaling, mengawasi wajah Tong Hoa dari samping, tapi wajah itu sangat tenang, seolah tak pernah terjadi sesuatu apa. Dia hanya berkonsentrasi mengemudikan keretanya. Ketenangan pemuda itu membuat Wi Hong-nio semakin sangsi, dia tak bisa menduga apa yang sedang dipikirkan Tong Hoa saat itu. “Berhenti!” mendadak teriaknya lagi. Tong Hoa sangat penurut, dia benar-benar menghentikan keretanya. “Ada apa lagi?” “Benarkah arah yang kau pilih sekarang?” sengaja gadis itu bertanya, dia berharap Tong Hoa tanpa sengaja memperlihatkan jawaban yang sebenarnya. “Tentu saja benar!” Baru saja Wi Hong-nio merasa gembira, terdengar Tong Hoa berkata lebih jauh, “Aku telah menuruti pilihanmu, mana bisa keliru?” “Lihay amat orang ini!” pikir Wi Hong-nio yang menjadi amat jengkel. “Sekarang kita lewat yang mana?” terdengar Tong Hoa bertanya lagi. “Pilih jalan yang sebelah kiri!” Tong Hoa menurut dan membelokkan keretanya ke kiri. “Yang ini bukan?” sengaja tanyanya. Wi Hong-nio hanya bisa melotot, tapi tak sepatah kata sanggup diucapkannya. Sambil tertawa, kembali Tong Hoa bertanya, “Kau benar- benar akan menggunakan jalan yang ini?” Wi Hong-nio berpikir sebentar, akhirnya dia berteriak keras, “Sudahlah, tak usah ke mana-mana!” “Tak usah ke mana-mana? Mau menanti di sini saja?” “Benar!” “Aku tak punya usul lain!” “Aku memang tidak membutuhkan usulmu!” “Aku tahu, kau membutuhkan usul dan pendapat dari orang lain bukan?” Wi Hong-nio tidak menjawab. Kembali Tong Hoa berkata, “Terus terang, biar kau menanti sampai besok pagi pun jangan harap bisa bertemu seseorang di tempat ini karena jalan ini sudah ----------------------- Page 224----------------------- http://zheraf.net lama dilupakan orang! Atau mau tanya arah pada orang lewat? Janganlah mimpi di siang hari bolong!” Mendengar rahasia terbongkar, merah padam selembar wajah gadis itu. Katanya kemudian, “Kau tak usah mencampuri urusanku, mau berjumpa dengan orang lewat atau tidak, itu urusanku sendiri. Kalau memang terjadi seperti itu, aku akan terima nasib!” “Baiklah, kalau begitu akan kutemani kau sampai ketemu orang lewat nanti!” “Kau tak perlu menemani aku, toh aku tidak butuh dirimu!” Tong Hoa tidak menggubris sindiran itu, dia hanya tertawa, “Masa kau tidak merasa, sepanjang perjalanan sampai kemari apakah kau pernah berjumpa dengan seseorang? Sia-sia saja penantianmu itu.” “Siapa tahu akan muncul seseorang dari depan sana!” Sekali lagi Tong Hoa tertawa, kali ini dia hanya tertawa tanpa menanggapi. “He, apa yang kau tertawakan?” tak tahan Wi Hong-nio menegur. “Menertawakan kebodohanmu!” “Kenapa?” “Coba bayangkan sendiri, orang yang datang dari arah depan sana itu datang dari mana? Seandainya berasal dari benteng Siangkoan-po, berarti dia adalah anggota Keluarga Tong, bila dia adalah anggota Keluarga Tong, memangnya mereka bersedia memberi petunjuk jalan kepadamu?” “Itu kan belum tentu. Asal saja kau tidak bersuara, mereka pasti akan memberitahu...” “Apa sangkut-pautnya aku bersuara atau tidak?” “Tentu saja besar sekali pengaruhnya, jika kau bersuara maka orang akan tahu tujuanku, tentu saja mereka segan memberitahu.” “Baiklah, kalau begitu aku berjanji tak akan membuka suara, bukan saja tidak bicara, aku akan bersembunyi di dalam kereta agar tidak diketahui orang lain, puas?” Tentu saja Wi Hong-nio sangat puas. Maka Tong Hoa pun masuk ke dalam kereta, memejamkan matanya dan beristirahat. Sementara Wi Hong-nio tetap di luar kereta, dengan mata melotot besar dia mengawasi sekeliling tempat itu sambil berharap ada seseorang yang muncul. ----------------------- Page 225----------------------- http://zheraf.net Bab 17. Bertaruh Setelah tidur sangat nyenyak, Tio Bu-ki bersiap untuk mengganjal perutnya yang lapar. Dia memerintah pelayan untuk mengantar sarapannya ke dalam kamar, sambil makan otaknya berputar terus mencari akal guna menghadapi Sangkoan Jin. Tentu saja Sangkoan Jin belum tahu kalau dia sudah mengetahui sebab musabab kematian ayahnya. Ketika ia menemuinya, Sangkoan Jin pasti tidak mempunyai persiapan apa pun. Berhasil atau tidak mengalahkan Sangkoan Jin, bagi Tio Bu- ki bukan sesuatu yang terlalu dipikirkan, sebab niatnya untuk membalas dendam sudah bulat. Buat dirinya paling banyak beradu jiwa dengan musuhnya dan kehilangan nyawa. Yang dia kuatirkan justru bagaimana caranya agar bisa bertemu empat mata dengan Sangkoan Jin, sebab tempat yang akan didatanginya sekarang sudah termasuk wilayah kekuasaan Benteng Keluarga Tong. Bertemu berdua saja dengan pamannya itu bukan pekerjaan yang mudah. Bukan hanya itu, seandainya bisa bertemu pun dia tidak tahu jago mana saja yang akan mendampinginya. Andaikan sebelum berhasil bertarung melawan Sangkoan Jin ia sudah keburu dikepung jago-jago Benteng Keluarga Tong, kejadian ini pasti akan sangat mengenaskan. Karena itulah dia harus dapat mengajak Sangkoan Jin untuk bertemu satu lawan satu. Tapi bagaimana caranya? Sampai selesai bersantap pun Tio Bu-ki belum berhasil menemukan cara yang tepat. Di akhirnya ia putuskan untuk melanjutkan perjalanan sambil berpikir. Ketika hampir tiba di Siangkoan-po, akhirnya ia mendapat suatu akal. Dengan menyamar sebagai seorang pedagang, ia menyusup masuk ke dalam Siangkoan-po dan tinggal rumah penginapan yang terbaik. Setelah memesan arak dan sayur, seorang diri ia bersantap sambil menikmati air kata-kata. Pelayanan di sana ternyata sangat baik. Penyakit lama para pelayan penginapan adalah asal melihat orang kaya selalu akan menunjukkan muka manis. ----------------------- Page 226----------------------- http://zheraf.net Ketika Bu-ki memberi kode ke arah mereka, seorang pelayan segera berlari mendekat sambil bertanya, “Tuan, mau pesan apa lagi?” “Tidak, aku hanya ingin bertanya apakah di sekitar tempat ini ada rumah judi?” “Ooh, ada, ada... Setelah keluar pintu gerbang, belok ke kanan, rumah judi itu terletak pada deretan yang ke delapan. Di depan rumah tergantung papan nama yang bertuliskan 'Hap-hin- ho'!” “Itu rumah judi?” “Benar, tapi rumah judi itu kelas atas, tidak sembarang orang dapat memasukinya!” “Bagus!” setelah memberi sekeping perak, dia buru-buru beranjak pergi meninggalkan rumah makan itu. Tio Bu-ki merasa mustahil baginya untuk masuk gedung kediaman Sangkoan Jin dan bertemu muka dengan pamannya itu, maka dia mengatur rencana lain, dia ingin semua orang yang ada di benteng itu tahu akan kehadirannya. Bila semua orang tahu akan kehadirannya, jago-jago Keluarga Tong pasti akan mengatur rencana untuk menghadapinya. Sangkoan Jin pasti akan tahu juga akan kehadirannya dan dalam keadaan begini, dia pasti akan berusaha untuk mengadakan pertemuan empat mata dengannya. Dan hal inilah yang diharapkan. Tempat yang paling tepat untuk membuat keributan dan keonaran adalah rumah judi. Apalagi judi lempar dadu yang menjadi kepandaian andalannya, siapa yang mampu menandinginya? Ia tahu tempat ini merupakan pusat keramaian dalam benteng Siangkoan-po, bila kabar kehadirannya tersiar, dengan cepat pihak Keluarga Tong akan mengetahui kehadirannya, dengan sendirinya Sangkoan Jin juga akan segera tahu atas kehadirannya. Dengan penuh keyakinan dan rasa percaya diri dia berangkat ke rumah judi Hap-hin-ho. Benar seperti yang dikatakan pelayan rumah penginapan tadi, rumah judi Hap-hin-ho merupakan rumah judi kelas atas, hampir semua penjudi adalah orang-orang kaya dengan dandanan yang perlente. Kalau di rumah judi seumumnya, adalah bandar yang melempar dadu dan pemain tinggal pasang besar atau kecil. Tetapi ----------------------- Page 227----------------------- http://zheraf.net di sini baik bandar maupun pemain sama-sama melempar dadu, jumlah mata dadu terbesar atau paling kecil yang menjadi pemenangnya. Permainan seperti ini yang paling disukai Bu-ki, sebab permainan dengan cara ini paling gampang menimbulkan keributan yang disusul dengan keonaran. Memang keributan yang menjadi tujuan utamanya! Untung dalam rumah judi Hap-hin-ho tersedia banyak meja judi, ada meja judi yang banyak dikerumuni orang, ada pula yang sedikit orangnya. Meja demi meja diperiksa Tio Bu-ki satu per satu. Tidak seberapa lama kemudian ia segera paham alasan perbedaan yang menyolok mata itu. Ternyata meja taruhan terkecil, antara sepuluh hingga seratus tahil perak paling banyak dikerumuni orang, seribu tahil hingga sepuluh ribu tahil agak jarang. Di atas sepuluh ribu tahil perak paling sedikit petaruhnya, waktu itu termasuk bandar hanya ada tiga orang. Di meja judi itu bandar duduk di tengah, dua petaruh ada di sisi kiri dan kanannya, membiarkan bangku di depan bandar kosong. Tanpa banyak bicara Bu-ki segera menempatkan diri di situ. Setelah menganggukkan kepala kepada tiga orang itu, Bu-ki berkata, “Apa aku boleh melihat dulu cara mainnya?” “Tentu saja boleh!” Dalam pertaruhan kali ini petaruh sebelah kiri memasang duaribu tahil sementara petaruh sebelah kanan memasang seribu tahil. Setelah tiga putaran, ada yang kalah ada pula yang menang. Ia lalu mengeluarkan berapa lembar uang kertas dan diletakkan ke meja sambil serunya, “Kali ini aku ikut bertaruh!” Bandar menghitung uang taruhan, ternyata limaribu tahil. Maka sebagaimana peraturan yang berlaku di rumah judi Hap-hin-ho ini, bandar melemparkan dulu dadunya, kali ini dia mendapat angka empat. Petaruh sebelah kiri mendapat angka tiga, berarti kalah. Kini giliran Bu-ki, pikirnya, “Agar cepat terjadi keributan, biar aku langsung unjuk kebolehanku!” Maka dia melemparkan ketiga dadu itu dengan mengerahkan sedikit tenaganya, begitu berhenti ternyata angka lima, maka dia yang menang. ----------------------- Page 228----------------------- http://zheraf.net Anak muda ini sama sekali tidak mengambil uang taruhannya, melihat itu sang bandar segera bertanya, “Kau ingin bertaruh sepuluh ribu tahil?” Tio Bu-ki mengangguk. Bandar tidak bicara lagi, dia mengambil dadu dan melempar ke meja. Lagi-lagi Bu-ki memenangkan pertaruhan ini. Seperti pertama kali tadi, kali ini pun dia tidak menarik uangnya. “Mau bertaruh duapuluh ribu tahil?” bandar bertanya sambil tertawa, diam-diam ia memaki kebodohan orang. “Mana ada penjudi yang memasang seluruh uangnya dalam sekali taruhan?” Kegembiraan bandar tidak berlangsung lama, untuk kesekian kalinya kembali Bu-ki berhasil meraih kemenangan. Dalam waktu singkat uang taruhan yang dipasang Bu-ki sudah mencapai delapanpuluh ribu tahil perak. Sekarang peluh sebesar kacang kedele mulai bercucuran membasahi jidat bandar, untuk sesaat dia hanya bisa memegang dadu tanpa berani melemparnya ke meja. Pada saat itulah mendadak muncul seorang kongcu berbaju perlente, setelah memandang meja judi dan Bu-ki sekejap, katanya kepada bandar, “Kau boleh mundur dari sini.” Bandar itu menyahut dan buru-buru menyingkir dari situ. “Aku pemilik rumah judi ini,” kongcu itu memperkenalkan diri, “Bagaimana kalau aku yang melayani permainan tuan sekalian? Tidak keberatan bukan?” “Tentu saja tidak,” sahut Bu-ki sambil tertawa. Dua orang petaruh yang lain buru-buru menarik kembali uang taruhannya seraya berseru, “Kami akan jadi penonton saja.” “Baiklah, aku she Chee, boleh tahu nama anda?” tanyanya kepada Bu-ki. “Aku she Tio.” “Bagus sekali, masih tetap dengan pasangannya?” “Benar, pasanganku delapanpuluh ribu tahil perak!” Chee Kongcu manggut-manggut, diambilnya ketiga biji dadu itu dan seperti gerakan yang dilakukan Bu-ki tadi, ia melempar dadu- dadu itu ke dalam mangkuk sambil mengerahkan tenaga dalamnya dan... ia mendapatkan angka enam sebanyak tiga biji. Sebuah kepandaian melempar dadu yang hebat. Bu-ki merasa sangat gembira, dia tahu sekaranglah saat yang tepat untuk menunjukkan kebolehannya. ----------------------- Page 229----------------------- http://zheraf.net Dia bersama Chee Kongcu masing-masing melempar satu kali dadu dan sama-sama menghasilkan angka enam, maka lemparan dadu kembali diulang. Sudah enam kali mereka saling melempar dadu, namun angka yang diperoleh tetap sama-sama angka enam. Kejadian ini menyulut kehebohan, para penjudi lainnya berbondong-bondong mengerubungi meja itu dan ikut menyaksikan pertarungan ini. Sekarang adalah lemparan yang ketujuh, Bu-ki tahu inilah saatnya untuk beraksi, apalagi ulahnya telah berhasil menarik perhatian orang banyak, maka ketika dua dadu yang dilempar kongcu itu mendapat angka enam, diam-diam ia mengerahkan tenaga dalamnya dan menambahi tenaga pukulan dadu ketiga secara diam-diam. Dadu itu berputar lebih kencang, ketika akhirnya terhenti ternyata angkanya adalah lima. Berubah hebat paras muka Chee Kongcu, tapi hanya sejenak kemudian sudah pulih lagi seperti sediakala, hanya saja diam-diam dia mengawasi lawannya dengan lebih seksama. Ketika tiba giliran Bu-ki yang melempar dadu, tentu saja angka yang diperolehnya adalah tiga angka enam. Uang sebesar delapanpuluh ribu tahil perak pun berubah jadi seratus enampuluh ribu tahil perak. Tak lama kemudian uang itu kembali membengkak jadi tigaratus duapuluh ribu tahil perak. Dalam keadaan begini Chee Kongcu mulai kehilangan ketenangan hatinya, peluh mulai bercucuran membasahi dahinya. Kini uang taruhan sudah meningkat menjadi enamratus empat-puluh ribu tahil perak. Ini menunjukkan bahwa bandar lagi- lagi menderita kekalahan! Bukan saja peluh telah membasahi jidatnya, bahkan telapak tangannya mulai basah dan gemetar, meskipun sudah memegang dadu namun sampai lama sekali belum berani juga melemparnya. Bukan saja ia tak berani melemparkan dadu itu sebaliknya malah celingukan ke sana kemari, seperti sedang menunggu kedatangan seseorang untuk membebaskan dirinya dari kesulitan. Siapa yang ia tunggu? Dengan cepat jawaban diperoleh karena seorang kakek berambut putih tampak sedang berjalan menghampiri mejanya. ----------------------- Page 230----------------------- http://zheraf.net Begitu melihat kemunculan kakek itu, Chee Kongcu kelihatan mulai lega dan segera menghembuskan napas panjang. Menyaksikan hal ini tanpa terasa Bu-ki turut mengalihkan perhatiannya ke wajah orang tua itu. “Ayah!” Chee kongcu segera berseru kegirangan. Ternyata orang tua ini adalah tauke yang sebenarnya dari rumah judi Hap-hin-ho. Dalam hati Bu-ki tertawa dingin. Dia tak bakal takut menghadapi siapa pun, meski saat itu ada tiga batang jarum yang dilontarkan ke arah mangkuk di atas meja judi. Sebatang demi sebatang datang saling susul, semuanya terarah ke dadu-dadu yang ada dalam mangkuk dan kelihatannya datang dari arah yang berbeda-beda! Menyusul kemudian tampak Chee Tauke menyambar mangkuk itu, tangan kanan menahan dasar mangkuk sementara tangan kiri disilangkan di depan dada, perlahan ia duduk di bangkunya. Tampak ketiga batang jarum itu masing-masing menembusi dadu dalam mangkuk sampai tembus ke baliknya. Tiga batang jarum dengan tiga dentingan, semuanya tembus dari dadu sampai tembus di dasar mangkuk. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa ketiga batang jarum itu mampu menembusi dasar mangkuk porselen itu dan memantek tepat di tengah-tengahnya. Serangan yang tepat, ketajaman mata yang hebat dan tenaga dalam yang sempurna, tak kuasa semua yang hadir bersorak-sorai memuji. Bukan hanya penonton yang bersorak, bahkan Bu-ki sendiri mau tak mau harus memuji kehebatan kakek itu. “Sekarang giliranmu,” ujar Chee Tauke kemudian sambil menyodorkan mangkuk itu ke depan Bu-ki. Kini sorot mata semua orang dialihkan kepada anak muda itu, semua orang ingin tahu dengan cara apa Bu-ki akan memenangkan pertaruhan itu. Sekulum senyuman menghiasi wajah Chee Tauke, memang dia tak mampu lagi membendung kegirangannya, sebab saat ini dia sudah berada dalam posisi tak terkalahkan apalagi dia telah menggunakan jarum panjang menembusi dadu-dadu itu kemudian ----------------------- Page 231----------------------- http://zheraf.net memanteknya menjadi satu, bagaimana mungkin dadu itu bisa berubah lagi? Dengan cara apa Bu-ki akan mengatasi tantangan itu? Semua orang yang hadir di arena mulai menguatirkan nasibnya. Di saat Chee Tauke sedang melemparkan dadunya, Wi Hong-nio pun sedang menanti dengan perasaan gelisah bercampur cemas. Sungguh aneh dan mengherankan, sepanjang hari, benar seperti apa yang dikatakan Tong Hoa, tak nampak seorang pun yang melewati tempatku. Tong Hoa benar-benar menepati janjinya, dia hanya duduk bersemedi di dalam kereta dan sama sekali tidak memedulikan keadaan di luar. Wi Hong-nio sudah tak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya keras, “He!” “Ada apa?” dengan malas-malasan Tong Hoa menggeliat lalu pelan-pelan bangun duduk. “Aku tak ingin menunggu lagi!” “Tidak menunggu lagi? Lantas apa yang akan kau lakukan?” “Aku mau pergi saja!” “Pergi? Lewat jalan yang mana?” “Kau berharap aku lewat jalan yang mana?” Wi Hong-nio balik bertanya. “Aku?” untuk sesaat Tong Hoa pun tak tahu bagaimana harus menjawab, setelah berpikir sejenak baru sahutnya, “kalau aku sebenarnya berharap kau memilih jalan yang kiri.” “Kenapa?” “Kenapa?” Tong Hoa menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, “tidak karena apa-apa, aku hanya menyampaikan harapanku saja.” “Baiklah! Kalau begitu kita menuju jalan yang menjadi harapanmu itu!” Tong Hoa melengak. Sebenarnya semua ini merupakan satu pertarungan mental, tujuan Wi Hong-nio adalah ingin menyelidiki niat Tong Hoa. Andaikata pemuda itu memberikan jawaban sekenanya setelah ditanya, hal ini menandakan kalau jalan itu sudah pasti tidak tembus ke Benteng Siangkoan-po. ----------------------- Page 232----------------------- http://zheraf.net Tapi nyatanya Tong Hoa baru menjawab setelah mempertimbangkannya beberapa saat, ini menunjukkan kalau dia pun sedang menduga-duga bagaimana reaksi dirinya setelah mendengar jawaban tersebut. Atau dengan kata lain, bisa jadi jalan tersebut adalah jalan yang benar. Dia sengaja mengatakan kalau jalan itu adalah jalanan yang dia harapkan, tujuannya jelas untuk mengalihkan pikirannya agar dia mengambil jalan yang lain. Sayang Wi Hong-nio kalah pengalaman, sekarang ia masuk perangkap, justru dia digiring untuk memilih jalan yang memang menjadi harapan Tong Hoa. Apakah jalan yang dipilih Tong Hoa adalah jalan yang benar? Kecuali Tong Hoa sendiri, tak ada yang tahu. Memandang Tong Hoa yang masih termangu, kembali Wi Hong-nio menegur, “Bagaimana? Kau batal untuk pergi?” “Siapa bilang tak mau pergi? Ayoh jalan, kita lanjutkan perjalanan!” Jawaban dari Tong Hoa membuat perasaan Wi Hong-nio semakin tenang, dia mengira pilihannya sudah tepat. Dengan lagak seolah-olah berat hati Tong Hoa naik kembali ke posisi kusir dan perlahan-lahan menjalankan lagi kereta kudanya. “Ada apa? Kenapa begitu lambat?” kembali nona itu menegur. “Suasana gelap gulita, berbahaya sekali nona.” “Berbahaya? Aku lihat kau memang sengaja memperlambat jalanmu, sengaja mengulur waktu bukan?” “Kenapa aku mesti mengulur waktu?” “Sebab kau tahu kalau jalan ini menuju ke benteng Siangkoan-po!” Tong Hoa tidak menjawab, ia membungkam diri dalam seribu bahasa. “Benar bukan?” desak Wi Hong-nio lebih jauh. “Kalau kau menganggap benar, ya benar. Tapi terus terang, aku berbuat demikian hanya karena memikirkan keselamatanmu!” “Hmm! Hanya setan yang mau percaya!” walaupun di mulut ia tetap ngotot, namun perempuan itu pun tahu kalau perjalanan memang tak bisa dilakukan cepat karena permukaan tanah memang bergelombang. “Kau merasa gembira sekarang?” tanya Tong Hoa kemudian ketika didengarnya gadis itu mulai bersenandung kecil. ----------------------- Page 233----------------------- http://zheraf.net “Tentu saja gembira, aku berhasil menebak isi hatimu, tentu saja aku jadi gembira.” “Aku rasa lebih baik kau pergi tidur saja, esok kau akan mengetahui dengan jelas apa yang terjadi.” “Hmm, baiklah, aku akan pergi tidur, tapi ingat, jangan berputar haluan!” “Memangnya aku manusia kerdil macam begitu?” “Moga-moga saja memang bukan.” Kereta kuda melanjutkan perjalanan sangat lambat, tapi Wi Hong-nio segera terlelap tidur. Sewaktu ia bangun dari tidurnya, matahari sudah bersinar terang sementara kereta masih bergerak- gerak tiada hentinya. Baru saja dia melompat bangun, tiba-tiba kereta itu berhenti. Buru-buru dia melongok keluar, tapi yang terlihat membuatnya kembali tertegun. Ternyata di hadapannya muncul lagi persimpangan jalan, satu mengarah ke kiri yang lain menuju ke kanan. Tong Hoa tahu gadis itu sudah mendusin, maka ujarnya sambil tertawa, “Coba kau berpalinglah dan tengok ke belakang!” Ketika gadis itu berpaling, lagi-lagi dia terperangah. Ternyata di belakang tubuhnya terbentang pula tiga jalan, tempat mereka berhenti saat itu tepat berada di tengah simpang lima itu. “Apa yang terjadi?” tak tahan ia bertanya. “Tadi kita berjalan melalui jalanan yang itu,” ujar Tong Hoa sambil menuding jalan di belakangnya, “sementara dua jalan yang lain adalah jalan yang hendak kau pilih kemarin.” “Maksudmu ketiga jalan itu semuanya tembus balik ke sini?” “Benar.” “Bagaimana sih kamu ini? Kau tahu, perbuatanmu telah membuang banyak waktuku?” “Tentu saja tahu, sebab memang itu tujuanku!” “Kau....” Wi Hong-nio hanya mengucapkan sepatah kata dan segera membungkam diri, dia tahu tak ada gunanya marah-marah pada Tong Hoa pada saat seperti ini, yang paling penting adalah bagaimana caranya agar bisa tiba di Siangkoan-po secepatnya. “Dari sisa dua jalan yang ada, jalan mana yang betul?” tanyanya kemudian. “Jalan di sebelah kiri.” ----------------------- Page 234----------------------- http://zheraf.net “Kau tidak menipuku?” “Aku tak akan menipumu.” “Kenapa?” “Sebab bila kita menempuh perjalanan tanpa berhenti, paling tidak malam nanti kita baru bisa tiba di Siangkoan-po!” “Sungguh?” “Aku berani bersumpah.” “Kalau begitu kita lewat jalan sebelah kiri.” “Aku usulkan lebih baik kita sarapan dulu.” “Tidak... Aku sangat gelisah, lebih baik segera lanjutkan perjalanan!” “Menurut perhitunganku, biar lebih awal tiba di situ pun tak ada gunanya, paling banyak kau hanya akan mengurus sesosok mayat, kenapa mesti terburu-buru?” “Kau...” kali ini Wi Hong-nio hanya mengucapkan sepatah kata dan tidak dilanjutkan lagi. Ia cukup memahami watak Bu-ki, setelah tahu kalau Sangkoan Jin adalah pembunuh ayahnya, pemuda itu pasti tak akan menunda sedikit waktu pun untuk pergi mencari musuhnya dan berusaha membunuhnya. Berpikir sampai di situ, dia mulai merasa bahwa apa yang dikatakan Tong Hoa cukup masuk di akal, buat apa ia terburu-buru tiba di tujuan kalau hanya untuk mengurusi mayat Sangkoan Jin? Apalagi meski terburu-buru sampai di sana, nasi toh sudah berubah jadi bubur, Bu-ki tetap sudah melakukan kesalahan besar, bila dia mengungkap kejadian yang sebenarnya, bukankah hal ini malah akan membuat pemuda itu merasa menyesal sepanjang masa? Tentu saja dia tak ingin kekasihnya menderita. Kalau memang demikian, lalu apa gunanya terburu-buru melanjutkan perjalanan? Berpikir sampai di situ, akhirnya dia pun mengangguk, “Baiklah, kita sarapan dulu!” “Jadi pikiranmu sudah terbuka sekarang?” tanya Tong Hoa sambil tertawa puas. Wi Hong-nio mengangguk pelan. “Padahal, tidak seharusnya kau datang ke Siangkoan-po,” kembali Tong Hoa berkata. “Kenapa?” “Sebab bila kau bertemu Bu-ki, dia pasti akan bertanya, ada urusan penting apa hingga kau datang menyusulnya.” “Lantas bagaimana?” ----------------------- Page 235----------------------- http://zheraf.net “Kehadiranmu menunjukkan kalau kau punya urusan penting yang akan disampaikan kepadanya,” ujar Tong Hoa lebih jauh sambil menatap tajam perempuan itu, “Apakah kau sanggup membuat sebuah karangan cerita untuk membohonginya?” Wi Hong-nio termenung tanpa bicara, sejujurnya, mampukah dia mengelabui Bu-ki? “Kalau tak mampu mengelabui dia, berarti kau harus menceritakan duduk perkara yang sebenarnya,” ujar Tong Hoa lebih jauh, “padahal ia sudah terlanjur membunuh Sangkoan Jin, apakah pengakuanmu tidak malah membuat hatinya makin tersiksa dan menderita?” Apa yang diucapkan Tong Hoa benar dan sangat masuk di akal, dia memang tak boleh menjumpai Bu-ki. Yang benar dia harus balik ke Gedung Keluarga Tio, berlagak seolah-olah tak ada kejadian apa-apa sambil menunggu kedatangan pemuda itu. Tapi, andaikata Sangkoan Jin berhasil membunuh Bu-ki? Perasaan Wi Hong-nio sangat kalut, ia bingung, gelisah dan cemas. “Kau kuatir yang mati adalah Bu-ki?” tiba-tiba Tong Hoa bertanya lagi. Wi Hong-nio tidak menjawab, dia tak ingin mengucapkan kata-kata yang bisa mendatangkan sial ke alamat kekasihnya. “Kalau memang itu kekuatiranmu, baiklah, mari kita berangkat ke sana untuk mengurusi jenasahnya!” “Tidak! Bu-ki tak bakal mati!” teriakannya mendadak bertambah keras, saking kerasnya nyaris membuat dia sendiri kaget. “Bila kau yakin kalau dia tak bakal mati, seharusnya pulang saja ke rumah dan menunggu kedatangannya di sana.” Wi Hong-nio bertambah sangsi, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus memutuskan hal ini. Bab 18. Waktu: Mao-si, Tempat: Bukit Singa Ketika Wi Hong-nio masih sangsi dan tak tahu bagaimana harus mengambil keputusan, Tio Bu-ki telah menerima sepucuk surat rahasia. Kapan surat rahasia itu dikirim. Ia sama sekali tak tahu, tatkala bangun dari tidurnya, di celah pintu kamarnya terselip sepucuk surat, surat rahasia itu. ----------------------- Page 236----------------------- http://zheraf.net Dia tahu, surat itu tentu diselipkan secara diam-diam di tengah malam buta. Sesudah dibuka, ternyata surat dari Sangkoan Jin, isinya amat singkat, hanya menerangkan kalau esok pada saat Mao-si (antara pukul 5 s/d 7 pagi) dia ditunggu di Bukit Singa. Dia mencoba membuka jendela sambil melongok keluar, saat itu waktu sudah menunjukkan lewat pukul 7 pagi, ini berarti Sangkoan Jin mengajaknya berjumpa esok pagi, bukan hari ini. Tapi Bukit Singa di mana letaknya? Ia sama sekali tidak risau, asal ditanyakan bukankah segera akan diketahui letaknya? Mengapa Sangkoan Jin mengajaknya bertemu esok pagi dan bukannya hari ini? Apakah hari ini dia ada urusan? Atau hari ini dia tak mampu menghindari pengawasan orang-orang Keluarga Tong? Semua ini tidak penting, yang paling penting saat ini adalah mencari tahu Bukit Singa itu sebenarnya bukit seperti apa? Cocokkah digunakan untuk bertempur menggunakan pedang? Ia memutuskan untuk datang ke Bukit Singa dan memeriksa keadaannya. Ia memanggil pelayan, menanyakan letak Bukit Singa, memesan sekati daging dan delapan biji mantau untuk menangsal perut. Dia memang perlu makan agak banyak, sebab semalam ia sudah menghamburkan banyak tenaga untuk bertarung melawan Chee Tauke, pemilik rumah judi. Jurus yang digunakan Chee Tauke memang sangat lihay, sedemikian hebatnya sampai Bu-ki mau tak mau harus bersorak memuji. Sebenarnya dia akan mengaku kalah begitu saja karena tujuan kedatangannya bukan mencari keuntungan materi tapi untuk memancing perhatian orang banyak. Asal mulai menarik perhatian orang, pasti akan ada yang melaporkan kehadirannya kepada pemimpin mereka, dan pemimpin mereka adalah Sangkoan Jin. Asal Sangkoan Jin tahu, dia pasti akan berusaha menghubunginya. Tadi ia sempat melihat kalau Chee Tauke membisikkan sesuatu ke telinga seseorang dan orang itu segera meninggalkan rumah judi Hap-hin-ho begitu mendapat kisikan. Ia yakin orang itu pasti sudah pergi memberi laporan. Oleh sebab itu menang kalah dalam pertaruhan ini sudah tak ada artinya lagi. ----------------------- Page 237----------------------- http://zheraf.net Tapi jurus yang digunakan Chee Tauke membangkitkan rasa herannya, ia jadi ingin tahu dan ingin mengalahkannya. Yang membuat rasa ingin menangnya muncul adalah tantangan dari lawannya, masa ia tak bisa memenangkan pertaruhan itu? Dorongan rasa ingin tahu membuat pemuda ini memutar otak mencari akal, cara dia bisa memenangkan taruhan ini. Dia menyambut sodoran mangkuk dari tangan Chee Tauke, mengawasi tiga batang jarum panjang yang menembusi dadu-dadu itu sambil otaknya mulai berputar. Dia ingin menemukan cara paling jitu untuk melemparkan tiga angka enam dalam lemparan berikut. Dengan tangan kiri memegang mangkuk, tangan kanannya mencabuti ketiga batang jarum itu kemudian diserahkan kembal i ke tangan Chee Tauke. Dengan perasaan puas bercampur bangga orang tua itu mengawasi lawannya. Tiba-tiba Bu-ki merasa senyuman orang itu amat memuakkan, dia muak melihat tampang lawannya yang seolah sudah yakin kalau kemenangan berada di pihaknya. Hanya muak saja tak ada gunanya, dia harus menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu, ia mencoba perhatikan sekeliling arena. Ada sebagian orang sedang memandangnya dengan perasaan simpatik, ada pula yang memandang setengah mengejek, seakan menertawakan kekalahan yang bakal dialaminya. Ketika berpaling lagi ke arah Chee Tauke, ia melihat senyuman kakek itu semakin melebar, terdengar ia sedang berseru, “Ayoh, silahkan!” Bu-ki termenung sejenak, tiba-tiba ia menemukan satu gagasan bagus. “Kau memang sangat lihay,” katanya kemudian. “Ehmm...” “Sayang aku mempunyai jurus yang jauh lebih hebat.” “Oh ya?” Chee Tauke menunjukkan rasa tak percaya, “Orang muda, tak ada gunanya kalau hanya melulu omong besar, tunjukkan dulu kebolehanmu!” “Kau tak percaya?” “Tentu saja tak percaya!” “Bagus, kalau begitu bagaimana kalau kita lipat duakan uang taruhan?” Chee Tauke agak tertegun, setelah mengamati lawannya sejenak ia baru menyahut, “Baik!” “Tapi kita mesti mengganti cara kita berjudi!” ----------------------- Page 238----------------------- http://zheraf.net “Ganti cara? Bagaimana gantinya?” “Kalau aku bisa mendapat tiga angka enam, bukankah hasilnya seni?” “Tentu, di sini tak berlaku bandar paling menang!” “Berati kita tidak bisa menentukan siapa menang siapa kalah.” “Kenapa?” “Sebab aku tak pernah salah perhitungan!” “Jadi kau sangat yakin?” “Tentu saja, kendati kau sudah melubangi setiap dadu sehingga bobotnya berubah, aku tetap punya cara untuk mendapatkan tiga angka enam!” “Lantas kau ingin menang kalah ditentukan dengan cara apa?” “Setelah kulempar dadu itu, bukan saja kujamin akan mendapatkan tiga angka enam, bahkan aku pun berani bertaruh jika kau melemparkan dadu itu lagi, kau pun akan peroleh tiga angka enam.” “Omong kosong, memangnya aku mesti pilih angka yang lain?” “Maksudku, kecuali mendapatkan tiga angka enam, kau tak nanti bisa mendapatkan angka yang lain!” “Oh ya?” “Jika kau bisa memperoleh angka selain tiga angka enam, anggap saja aku yang kalah!” Tampaknya Chee Tauke mulai tertarik, ditatapnya Bu-ki lekat lekat. “Bila lemparanmu kembali menghasilkan tiga angka enam, berarti akulah yang menang,” kembali anak muda itu berkata. Mendadak Chee Tauke mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. “Ha ha ha... anak muda, kali ini kau akan kalah dengan menyedihkan!” Bu-ki tidak bicara, dia hanya tersenyum. “Tak ada gunanya kalau cuma tersenyum!” Chee Tauke segera berpaling ke arah para penonton, kemudian terusnya, “Bukan begitu saudara sekalian?” Semua orang segera mengiakan. ----------------------- Page 239----------------------- http://zheraf.net “Apakah kalian ingin turut bertaruh?” kembali Chee Tauke bertanya. “Bertaruh apa?” ada yang tanya. “Bertaruh siapa di antara kami berdua yang bakal menang!” “Tentu saja Chee Tauke yang bakal menang!” “Ada yang berani pegang aku kalah?” Tak ada yang menjawab. “Berarti kalian semua bertaruh kalau Chee Tauke yang bakal menang?” sela Bu-ki tiba-tiba. “Tentu saja!” serentak semua orang berseru. “Kalau begitu kalian boleh pasang taruhan, aku akan bertaruh melawan kalian!” “Sungguh?” kembali semua orang berseru. “Tentu saja sungguh!” Maka para penonton pun mulai berbisik-bisik, ada yang mulai mengira-ngira ilmu simpanan apa yang akan digunakan pemuda itu, ada pula yang menilai tindakan orang ini kelewat goblok. Sebanyak apa pun pendapat dan pandangan orang tapi tindakan yang mereka lakukan ternyata sama dan seragam. Mereka mengeluarkan seluruh uang yang ada di dalam saku untuk dipertaruhkan. Meja judi nyaris tak muat untuk menampung semua uang taruhan itu. Tiba-tiba Chee Tauke mengulapkan tangannya memberi tanda agar semua orang tenang, kemudian kepada pemuda yang ada di hadapannya dia bertanya, “Memangnya kau sanggup membayar semua taruhan ini?” Bu-ki tertawa, dari sakunya dia mengeluarkan sekeping goanpo dari emas, sambil diletakkan ke meja tanyanya, “Cukup tidak emas ini?” Kembali Chee Tauke menyapu sekejap hancuran uang perak yang berserakan di meja, tanyanya lebih jauh, “Seandainya tidak cukup?” “Kalau tidak cukup, kita bagi rata sama uang emas itu,” ada yang mengusulkan. Semua orang berpendapat bahwa pertaruhan ini jelas akan mereka menangkan, ketimbang tak ada yang dibagi, peroleh sedikit keuntungan pun tidak apa-apa, maka serentak semua orang menyatakan setuju. ----------------------- Page 240----------------------- http://zheraf.net “Baiklah,” kata Bu-ki lagi sambil tertawa, “kalau toh semua orang berbesar hati, aku pun akan memberi sedikit keuntungan untuk kalian semua, seandainya aku yang menang maka aku hanya akan mengambil sepuluh persen dari uang taruhan kalian!” Sekali lagi terjadi kegaduhan, malah ada di antaranya yang sudah mengulurkan tangannya untuk menarik kembali uang taruhannya. Mereka agak grogi juga setelah menyaksikan keyakinan pemuda itu, tak mungkin di dunia ini ada orang yang mau bertaruh jika yakin pasti akan kalah. Menyaksikan kegaduhan itu, buru-buru Chee Tauke berseru, “Kalian tak usah kuatir, seandainya kalian kalah, aku bilang seandainya, biarlah aku yang membayar sepuluh persen yang menjadi tanggung jawab kalian semua.” Begitu perkataan tersebut diutarakan, sekali lagi terjadi kegaduhan, siapa yang tak ingin ikut dalam pertaruhan yang jelas tak bakal rugi ini! “Apakah kami masih boleh menambah uang taruhan?” ada yang tanya. Sorot mata semua orang dialihkan ke wajah Bu-ki, sambil tersenyum sahut anak muda itu, “Lebih baik kalian tanyakan saja persoalan ini kepada Chee Tauke.” “Kenapa mesti ditanyakan Chee Tauke?” “Sebab ketika tiba saatnya untuk membayar, dia yang akan merogoh koceknya, bukan aku!” Chee Tauke tak kuasa menahan diri lagi, ia segera tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha ha... silahkan kalau ada yang ingin menambah uang taruhannya, cuma aku lihat sekeping uang emas tak nanti mampu membayar seluruh taruhan yang ada!” Bu-ki memandang sekejap uang taruhan yang semakin menggunung itu, katanya kemudian, “Baiklah, akan kutambah lagi dengan semacam barang.” Sambil berkata dari sakunya dia mengeluarkan sebilah pisau yang sangat kecil, di bawah sinar lentera pisau itu memantulkan cahaya kekuning-kuningan yang amat menyilaukan mata. Sebilah pisau kecil yang terbuat dari emas murni, selain amat tipis, tajamnya luar biasa. “Pisau yang hebat!” tak kuasa Chee Tauke berteriak keras. “Bernilai?” ----------------------- Page 241----------------------- http://zheraf.net “Sangat!” “Cukup untuk membayar semua taruhan itu?” “Cukup sekali!” “Bagus kalau begitu,” seru Bu-ki sambil memasukkan kembali pisau emasnya ke dalam saku. “Kenapa tidak kau letakkan pisau kecil itu ke atas meja taruhan?” “Aku punya kegunaan lain.” “Kau bermaksud ingkar janji?” “Keliru besar, maksudku aku akan memanfaatkan pisau kecil ini, bukankah kau boleh menggunakan jarum, tentu saja aku pun boleh memakai pisau bukan?” “Tentu saja.” “Bagus, sekarang kalian boleh memasang taruhan.” “Baik!” serentak para penonton menyahut, mereka ingin melihat apa benar Bu-ki memiliki kemampuan untuk mengalahkan Chee Tauke. Bu-ki segera menggenggam dadu-dadu itu dan diletakkan dalam genggamannya, kepada semua yang hadir serunya, “Sekarang aku akan melempar dadu ini!” Sambil menahan napas semua orang memperhatikan tangan kanannya. Bu-ki menarik napas panjang, tiba-tiba ia melemparkan ketiga dadu itu ke atas udara, menyusul kemudian secepat kilat dia cabut keluar pisau emasnya dari balik saku. Dengan gerakan lurus dia melayang ke udara, menerjang ke arah ketiga dadu itu. Di saat dadu-dadu meluncur ke bawah, pisau emasnya menyambar ke kiri, kanan, atas dan bawah, secara beruntun melepaskan lima tusukan. Para penonton hanya menyaksikan pisau emas itu secepat sambaran kilat memancarkan limabelas kali kilatan sinar tajam, tahu-tahu Bu-ki yang sudah melayang turun telah memegang mangkuk judi itu dan mengangkatnya ke atas. Ting, ting, ting, tiga kali dentingan nyaring bergema di angkasa, tahu-tahu ketiga biji dadu itu sudah jatuh kembali di dalam mangkuk. Untuk berapa saat suasana dalam ruang judi jadi hening, perhatian semua orang dialihkan ke atas mangkuk yang berada di atas kepala Bu-ki. ----------------------- Page 242----------------------- http://zheraf.net Anak muda itu sendiri berdiri dengan wajah serius, tiada senyuman yang menghiasi bibirnya, karena apa yang dia lakukan sekarang belum pernah ia lakukan sebelumnya, dia tak tahu apakah berhasil atau tidak. Perlahan-lahan ia turunkan mangkuk itu dan meletakkannya ke meja. Suasana mendadak menjadi riuh rendah, seruan tertahan bergema memenuhi seluruh ruangan. Tiga biji angka enam! Bukan saja tiga angka enam bahkan dengan sangat jelas terlihat kalau Bu-ki telah memapas angka-angka lainnya di permukaan dadu-dadu itu sehingga ukiran angka-angkanya sama sekali terhapus. Sebuah gerak serangan yang cepat, tenaga dalam yang sempurna! Setelah berseru tertahan kini perhatian semua penonton dialihkan ke wajah Chee Tauke, mereka ingin tahu dengan cara apa bandar judi itu akan menghadapi kesulitannya. Berubah hebat paras muka Chee Tauke, dengan wajah hijau membesi dia mengawasi ketiga dadu itu tanpa berkedip. Apa yang dikatakan Bu-ki sangat tepat, mulai saat ini, kecuali tiga angka enam, jangan harap Chee Tauke bisa memperoleh angka lain. Tak dapat disangkal Chee Tauke sudah kalah! Semua orang tak berani berkata-kata, mereka memang tak tahu harus mengucapkan kata apa. Dengan senyum dikulum Bu-ki duduk kembali di bangkunya. Tiba-tiba Chee Tauke mengangkat kembali wajahnya yang hijau membesi, sambil memandang lawannya sekulum senyuman tipis tersungging di ujung bibirnya. Kenapa dia malah tersenyum? Bukan hanya Bu-ki yang ingin tahu, para hadirin yang menonton keramaian pun ingin tahu. Dengan senyuman menghiasi ujung bibirnya kembali Chee Tauke berkata, “Kali ini kau pasti kalah!” Bu-ki tidak berbicara, dia hanya putar otak tiada hentinya, dalam keadaan apa ia baru bisa dianggap kalah? “Aku beri tahu, dalam lemparanku berikut aku akan mendapatkan dua angka enam ditambah satu angka satu, cukup satu perubahan yang akan mengubah kekalahanku jadi kemenangan, ha ha ha ----------------------- Page 243----------------------- http://zheraf.net Chee Tauke tertawa amat riang seakan kemenangan sudah pasti akan diraihnya, terdengar ia berkata lagi, “Sekarang letakkan pisau emasmu ke meja taruhan, karena aku akan membayarkan kekalahanmu itu!” “Tak usah terburu napsu,” jengek Bu-ki sambil tertawa dingin, “hingga detik ini aku belum kalah!” “Kau segera bakal kalah!” Sambil berkata ia mengambil ketiga dadu yang tinggal angka enamnya itu dan diletakkan dalam genggamannya. “Sekarang perhatikan baik-baik!” Sambil berkata kakek itu melemparkan ketiga biji dadu itu ke tengah udara. Tak ada yang tahu obat apa yang sedang dijual kakek itu, jelas tinggal angka enam yang tersisa di permukaan dadu itu, mana mungkin dia bisa mengubahnya jadi angka satu? Sekalipun berpikir begitu namun tak seorang pun berani bersuara, mereka hanya mengawasi semua kejadian dengan seksama. Ketiga dadu itu sudah mencapai puncak lemparan dan kini mulai meluncur ke bawah. Pada saat itulah mendadak Chee Tauke mengambil sebatang jarum kemudian disambitkan ke atas, menyongsong datangnya dadu-dadu itu. Bersamaan dengan tindakan tersebut, Chee Tauke ikut melejit sambil menyongsong arah meluncur jatuhnya jarum. Tampaknya Bu-ki segera paham akan apa yang hendak dilakukan Chee Tauke, dengan cepat dia mempersiapkan pisau emasnya. Benar saja, begitu memungut jarum tersebut Chee Tauke membalikkan badan seraya membuat satu tebasan ke permukaan dadu yang sedang meluncur turun. Kini semua orang mulai paham obat apa yang sedang dijual Chee Tauke, ternyata dia ingin menggunakan jarumnya untuk mengukir angka satu di dadu itu. Sementara para penonton siap bersorak-sorai, mendadak Bu-ki menyambitkan pisau emasnya ke depan, langsung menyambar ke arah jarum kecil yang dilepas Chee Tauke itu. “Bagus!” mendadak Chee Tauke berseru keras sambil tertawa terbahak-bahak. ----------------------- Page 244----------------------- http://zheraf.net Sambaran pisau emas itu sangat tepat, begitu disambit ke udara, jarum itu segera terhajar hingga mencelat ke samping. Situasi semacam ini jelas sangat tidak menguntungkan kakek itu, mengapa ia justru meneriakkan kata bagus? Belum habis semua orang tertegun, tangan kiri Chee Tauke kembali diayun ke depan melepaskan sebatang jarum lagi dan kali ini jarumnya tepat menancap di salah satu dadu itu. Rupanya orang tua itu sudah menduga kalau Bu-ki pasti akan melemparkan pisau emasnya untuk menghalangi. Di saat ia melambung ke udara tadi, diam-diam tangan kirinya mempersiapkan lagi sebatang jarum, ketika perhatian semua orang tertuju pada tangan kanannya, diam-diam ia menggunakan jarum di tangan kirinya membuat ukiran angka satu di permukaan dadu, kemudian baru menyambitkannya ke atas. Maka tanpa sempat dicegah oleh Bu-ki lagi, terwujudlah angka 'satu' di dadu itu. Dua biji dadu yang jatuh duluan tentu saja berangka enam, tapi dadu yang jatuh belakangan ternyata berangka satu. Apa yang dikatakan Chee Tauke memang tidak keliru, angka satu telah mengubah posisi kalahnya menjadi posisi menang. Semua orang bersorak-sorai kegirangan, sementara Chee Tauke pun tertawa terbahak-bahak saking senangnya. Bu-ki sudah kalah, namun ia tidak sedih atau murung lantaran kejadian ini, malah sambil bertepuk tangan pujinya, “Hebat, hebat, sungguh hebat! Sangat mengagumkan, kali ini aku harus mengakui kekalahan!” Selesai bicara ia lemparkan pisau emasnya ke meja dan siap beranjak pergi dari situ. “Tunggu dulu!” mendadak Chee Tauke menghalangi. “Ada urusan lain?” “Kau tak ingin mengembalikan kerugianmu?” “Lain hari saja! Aku rasa nasibku hari ini kurang mujur, bila bertaruh terus kekalahanku akan makin besar, bukan begitu?” “Benar, tampaknya kau sangat memahami kebiasaan orang berjudi, setiap saat akan kunantikan kedatanganmu!” “Pasti!” “Boleh tahu namamu?” “Dalam perjudian hanya ada kata menang atau kalah, peduli amat siapa namamu?” “Ehmm, masuk di akal, boleh bersahabat denganmu?” ----------------------- Page 245----------------------- http://zheraf.net “Dalam arena perjudian tak kenal siapa ayah siapa anak, aku rasa tak perlu,” kemudian sambil menjura kembali Bu-ki menambahkan, “Selamat tinggal!” Selesai berkata, tanpa berpaling lagi anak muda itu berjalan meninggalkan rumah judi Hap-hin-ho. Suara pujian dan helaan napas terdengar bergema dari kerumunan orang banyak, mereka kagum atas kebesaran jiwa pemuda itu, terutama keberaniannya mengakui kekalahan. Tentu saja mereka tak tahu kalau tujuan kehadiran Bu-ki di arena perjudian itu bukan untuk mencari kemenangan melainkan agar Sangkoan Jin tahu akan kehadirannya, sehingga dia sama sekali tidak mempersoalkan menang kalahnya, tak heran kalau sikap dan penampilannya begitu santai dan tenang. Balik kembali ke rumah penginapan, Bu-ki baru menyadari kalau dia sudah menguras banyak tenaga untuk bertarung di arena perjudian tadi, karena merasa sangat lelah maka begitu merebahkan diri di ranjang, dia pun segera tertidur. Saking nyenyaknya tidur, dia sampai tak tahu kalau ada orang telah menyisipkan sepucuk surat ke kamarnya. Untung saja si pendatang tidak bermaksud jahat, coba kalau ia melepaskan bubuk pemabuk atau obat racun lainnya, niscaya saat ini dia sudah mati secara mengenaskan. Dalam perjalanan menuju ke Bukit Singa, Bu-ki terbayang kembali kejadian yang dialaminya semalam, keteledoran ini membuatnya termangu, berada di wilayah musuh, kenapa ia bisa tidak meningkatkan kewaspadaan sendiri, bahkan berlaku begitu ceroboh? Tiba di Bukit Singa, ia menjumpai di puncak bukit itu terdapat sebuah tanah datar yang cukup luas. Dia tahu, di sinilah dia bakal menantang Sangkoan Jin untuk bertarung. Ia suka tanah lapang yang luas, karena bila dipakai untuk bertarung maka dia tak akan merasa tertekan atau terkekang gerak- geriknya. Dia tak senang memakai perintang untuk memuluskan serangannya, dia anggap pertarungan semacam ini bukan satu pertarungan yang jujur, tapi cenderung main akal busuk dan tipu muslihat. Selama hidup ia paling benci menggunakan akal busuk dan tipu muslihat. ----------------------- Page 246----------------------- http://zheraf.net Dalam pandangannya, bila ingin bertarung, bertarunglah secara jujur dan terbuka, penggunaan tipu muslihat meninggalkan kesan curang, dia tak ingin melakukan perbuatan yang memalukan seperti itu. Walaupun ia sadar, kepandaian silatnya masih bukan tandingan Sangkoan Jin! Bab 19. Kejadian yang Sebenarnya Ketika Bu-ki sedang melakukan peninjauan di sekitar Bukit Singa, Wi Hong-nio pun sedang mengambil satu keputusan. Ia putuskan untuk balik ke gedung keluarga Tio. Dia berpendapat bahwa menyusul ke Siangkoan-po adalah tindakan bodoh, ia tak ingin Bu-ki memikul beban berat, tak ingin pemuda itu merasa menyesal sepanjang hidupnya. Dia tak tahu, ketidakhadirannya di Siangkoan-po justru merupakan tindakannya yang paling bodoh, tindakan yang membuat Bu-ki harus menanggung sesal sepanjang hidupnya. Tong Hoa sendiri tidak bermaksud membohonginya, dia berpendapat meski menyusul ke Siangkoan-po pun tak ada gunanya karena waktu itu Bu-ki pasti sudah selesai bertarung melawan Sangkoan Jin, jadi bujukan itu sesungguhnya muncul dari niat baiknya. Dia sama sekali tidak tahu kalau waktu yang dijanjikan Sangkoan Jin adalah esok, sebab dia selalu berpendapat, Bu-ki pasti akan langsung menyerbu ke benteng Siangkoan-po untuk melakukan pembalasan. Mimpi pun dia tak menyangka bahwa anak muda itu ternyata lebih memilih beristirahat dulu semalam sebelum bertindak lebih jauh. Mungkin takdirlah yang telah mengatur semua ini hingga Wi Hong-nio memutuskan untuk tidak berangkat ke Siangkoan-po. Bila takdir telah berbicara begitu, siapa yang bisa merubahnya? Bu-ki tak pernah kembali ke rumah penginapan, ia terus berdiam di atas Bukit Singa karena ia telah menemukan sebuah batu besar di tanah datar itu, batu besar yang cukup dipakai untuk berbaring sepanjang hari. ----------------------- Page 247----------------------- http://zheraf.net Seharian ia berbaring di atas batu sambil mengawasi mega yang bergerak di angkasa, menikmati waktu senggang sambil mempersiapkan diri menghadapi pertarungan besok. Dia suka dengan perasaan seperti ini, setiap kali hendak melakukan pertarungan ia memang biasa menenangkan dulu pikirannya, agar dalam pertarungan nanti, dia dapat menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya. Dalam suasana dan keadaan seperti inilah, tanpa terasa Bu- ki mulai tertidur. Ketika sadar kembali, bintang telah bertaburan di angkasa, indah sekali. Agak termangu dia mengamati sejenak bintang di langit, baru kemudian duduk bersila dan mulai mengatur napas. Ketika terjaga untuk kedua kalinya, fajar telah menyingsing. Bu-ki segera bangkit berdiri, mengambil pedangnya, melompat turun dari batu cadas dan menuju ke jalan masuk menuju ke Bukit Singa. Ia berdiri tegak di tengah jalan, mengawasi setiap gerakan di seputar tempat itu. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya ia menyaksikan sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat. Tak salah lagi, orang itu adalah Sangkoan Jin. Ia segera berlalu, berjalan menuju tanah lapang yang telah dilihatnya kemarin dan memilih posisi bagian tengah sebelah kanan untuk bersiap sedia. Sangkoan Jin segera menyusul tiba. Ia berjalan sampai di hadapan pemuda itu dan baru berhenti setelah mencapai jarak satu tombak, tanyanya, “Apakah kedatanganmu untuk mencari aku?” Bu-ki mengangguk. “Ada urusan penting?” “Ada!” “Apa urusanmu?” “Datang membunuhmu!” Bu-ki sangat tenang, suaranya juga tenang, membuat dia mau tak mau harus memuji ketenangan penampilannya sekarang. Sangkoan Jin sendiri bersikap sangat tenang, dia hanya menyahut, “Oh ya?” Kemudian mereka berdua diam, sama-sama membungkam, sama-sama saling memandang. ----------------------- Page 248----------------------- http://zheraf.net Sampai lama kemudian Sangkoan Jin baru bertanya, “Kenapa?” “Karena kau telah membunuh ayahku!” “Bukankah kau sudah tahu tentang siasat Harimau Kemala Putih?” “Benar, tapi aku tak tahu kalau di balik rencana tersebut ternyata masih ada rencana lain, Naga Kemala Putih!” “Naga Kemala Putih?” “Benar, kau pasti tercengang bukan? Dari mana aku bisa mengetahui tentang rencana ini?” “Betul, aku memang amat tercengang, rencana apa pula itu?” “Masa kau tidak tahu?” “Aku memang tidak tahu.” “Sangkoan Jin, kau tak perlu berlagak pilon lagi!” nada suara Bu-ki mulai bergolak, mulai dipengaruhi emosi, “Kau telah membunuh ayahku secara licik!” “Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan...” “Kau telah meracuni ayahku secara perlahan-lahan, menggunakan racun yang bersifat lambat, itulah sebabnya ayahku menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan. Dengan begitu kau baru memperoleh kesempatan untuk menjalankan rencana Harimau Kemala Putih. Padahal sejak awal kau sudah berniat mengkhianati Tayhong-tong, kau sudah berencana untuk bergabung dengan Benteng Keluarga Tong, bukan begitu?” Sangkoan Jin membelalakkan matanya lebar-lebar, diawasinya wajah pemuda itu sampai lama sekali, kemudian ia baru bertanya lagi, “Kau punya bukti?” “Punya!” “Di mana?” “Dalam buku harian ayahku!” “Buku harian ayahmu?” Sangkoan Jin bertanya keheranan, “Ayahmu pernah menulis buku harian?” “Rupanya kau pun tidak tahu soal ini? Betul, persoalan ini merupakan rahasia ayahku, semua kecurigaan dan kesaksiannya telah dia catat dalam buku harian itu.” “Dan kau percaya?” “Tidak ada alasan bagiku untuk tidak percaya!” ----------------------- Page 249----------------------- http://zheraf.net “Maka kau datang untuk membunuhku, membalaskan dendam bagi ayahmu?” “Benar!” jawaban Bu-ki kali ini diucapkan sangat tenang, “tapi aku akan memberi kesempatan yang sangat adil untukmu, kita bisa bertarung di tempat ini.” Seraya berkata dia mulai menghimpun tenaga dalamnya, bersiap melancarkan serangan. Sangkoan Jin tertawa, kesedihan dan perasaan apa boleh buat terselip di balik senyuman itu, hanya saja Bu-ki tidak melihat atau merasakannya. Sangkoan Jin tahu, kejadian ini pasti merupakan rencana busuk Keluarga Tong. Dia tahu, tak ada gunanya ia menjelaskan persoalan ini kepada anak muda tersebut, tak mungkin Bu-ki mau percaya pada semua omongannya. Lantas apa daya sekarang? Menerima tantangan Bu-ki untuk bertarung? Bertarung mati-matian? Seandainya dia memperoleh peluang untuk menang, tegakah dia membunuh Bu-ki? Kalau tidak melakukan perlawanan, apakah dia mandah dibunuh? Mati terbunuh di tangan Bu-ki sambil membawa kesalahan dan dosa yang sesungguhnya tak pernah ia lakukan? Untuk beberapa saat Sangkoan Jin merasa bingung, dia tak tahu apa yang mesti dilakukan. Sewaktu naik ke bukit tadi, dia memang sengaja tidak membawa senjata, bagaimana pun tujuan kedatangannya memang bukan untuk bertarung, namun setelah melihat Bu-ki meloloskan pedangnya, mau tak mau dia mulai mencoba untuk menghimpun tenaga dan bersiap sedia. Begitu dia coba mengerahkan tenaga, saat itu juga ia menemukan sesuatu yang tak beres, ternyata ia tak mampu lagi menghimpun tenaga dalamnya. Kenapa bisa begini? Paras mukanya berubah hebat, ia mulai membayangkan kembali semua kejadian yang dialaminya selama beberapa hari terakhir. Dia masih ingat, semenjak kedatangan putrinya di benteng Siangkoan-po, dia tak pernah menghimpun tenaga dalamnya lagi, hal ini membuktikan kalau masalah ini muncul pada saat ini, saat setelah kehadiran putrinya. ----------------------- Page 250----------------------- http://zheraf.net Mendadak perasaan hatinya tercekat, hawa sedingin salju mendadak muncul dari telapak kakinya dan langsung menerjang ke rongga dada. Selama ini dia sudah cukup waspada, cukup berhati-hati menjaga kemungkinan niat keluarga Tong untuk meracuninya, satu- satunya hal yang tak pernah dia risaukan selama ini adalah kuah jinsom yang dihidangkan putrinya sesaat sebelum ia pergi tidur. Mungkinkah putrinya yang telah meracuni dia? Apakah Siangkoan Ling-ling sudah berpihak kepada Keluarga Tong? Tidak, tidak mungkin, sudah pasti pihak keluarga Tong yang telah mencampuri kuah jinsom itu dengan racun di saat Siangkoan Ling-ling tidak ada. Mendadak dia seperti memahami semua rencana busuk yang sedang dipersiapkan Benteng Keluarga Tong. Jelas tujuan Keluarga Tong adalah meminjam tangan Bu-ki untuk menyingkirkan dirinya. Rencana busuk yang mereka rencanakan merupakan sebuah rencana berantai, mula-mula mereka merekayasa satu cerita agar Bu-ki salah paham dan menyangka dialah pembunuh ayahnya, kemudian meminjam tangan Ling-ling untuk mencampur racun ke dalam kuah jinsom, agar tenaga dalamnya lenyap, dengan keadaan seperti ini Bu-ki pasti dapat mengalahkan dirinya tanpa harus bersusah payah. Menilik semua tindakan yang dilakukan Keluarga Tong, semua ini membuktikan bahwa sejak awal mereka berencana untuk melenyapkan dirinya dan ingin memperalat Bu-ki untuk mencapai tujuannya. Mereka tak ingin turun tangan sendiri, kuatir perbuatannya akan berakibat orang lain enggan bergabung dengan mereka. Begitu memahami apa yang telah terjadi, perasaannya malah semakin lega, ia tak takut menghadapi kematian namun dia tak ingin mati dengan cara begini, dia harus membuat perhitungan dengan Keluarga Tong, atau dengan perkataan lain dia tak ingin mati saat ini. Berpikir sampai di situ, ia pun berkata, “Bagaimana kalau pertarungan ini sementara kita tunda dulu?” “Tidak bisa.” “Biarpun aku meminta sebagai paman Siangkoan?” “Kau sudah bukan pamanku lagi!” “Kau tidak takut menyesal?” ----------------------- Page 251----------------------- http://zheraf.net “Apa yang perlu kusesalkan?” “Kau tidak kuaur sudah terjebak rencana keji yang disusun Benteng Keluarga Tong?” Bu-ki melengak kemudian memandang wajah Sangkoan Jin dengan termangu. “Pernahkah kau bayangkan,” kembali Sangkoan Jin berkata, “Benteng Keluarga Tong ingin melenyapkan aku tapi tak leluasa untuk turun tangan sendiri, mereka kuatir di kemudian hari tak ada yang mau bergabung lagi, maka mereka merencanakan siasat ini agar kau yang membunuhku?” “Kemungkinan semacam ini memang selalu ada, hanya saja aku tak percaya.” “Kenapa?” “Sebab cara ini kelewat bodoh.” “Apa dasarnya kau berkata begitu?” “Kepandaian silatmu jauh di atas kemampuanku, memperalat aku untuk membunuhmu, apakah tindakan ini tidak kelewat bodoh?” “Kalau sudah tahu begitu, kenapa kau tetap datang mencariku?” “Dendam kematian ayahku tak boleh tak dibalas, biar tahu aku bukan tandinganmu tapi aku tetap harus mencoba. Bila seseorang sudah terdesak hingga terpaksa mengadu jiwa, kejadian apa pun bisa terjadi...” “Itu berarti kau punya kemungkinan bisa membunuhku bukan?” “Benar!” “Apa yang bisa kau duga memangnya tak bisa diduga pihak Benteng Keluarga Tong, khususnya oleh Tong Ou?” “Tentu saja bisa, tapi aku masih belum percaya kalau kejadian ini merupakan bagian dari rencana keji mereka.” “Kalau begitu kuberitahukan padamu, aku pun sudah keracunan, kau percaya?” “Kau?” dengan mata terbelalak Bu-ki mengawasi wajah Sangkoan Jin. “Benar, baru berapa hari ini aku terkena racun yang bersifat lambat, barusan aku mencoba menghimpun tenaga, tapi segera kujumpai kalau peredaran hawa murniku tersumbat.” ----------------------- Page 252----------------------- http://zheraf.net “Sungguh?” “Sungguh, kenapa aku mesti membohongimu? Memangnya kau anggap aku adalah manusia kurcaci yang takut mati?” “Kenapa bisa begitu kebetulan?” “Kejadian yang diatur secara teliti dan seksama baru meninggalkan kesan seolah kejadian tesebut adalah kejadian yang kebetulan, bukan begitu?” “Belum tentu, kau pernah mendengar istilah yang mengatakan: ibarat baju langit yang terjahit rapi?” “Jadi kau masih belum mempercayai aku?” “Aku tak punya alasan untuk percaya padamu.” “Berarti kau tetap besikeras hendak menantangku untuk bertarung?” “Benar, kita tak akan berhenti bertarung sebelum ada yang mati!” jawab Bu-ki tandas. Dengan pandangan mata tajam Sangkoan Jin mengawasi anak muda itu, lama kemudian ia baru berkata, “Baiklah! Karena persoalan sudah berkembang jadi begini rupa, tampaknya sudah saatnya untuk membuka semua kejadian yang sebenarnya, kemarilah, aku akan mengisahkan satu cerita dulu, selesai mendengar kisah itu kau pasti akan percaya kepadaku.” Berbicara sampai di situ dia mengajak Bu-ki menuju ke batu besar di tengah tanah datar dan duduk di situ. Setelah duduk, Sangkoan Jin mempersilahkan Bu-ki ikut duduk. Dengan melintangkan pedangnya di depan dada, Bu-ki duduk persis berhadapan dengan pamannya itu. “Tahukah kau kapan kau dilahirkan?” tanya Sangkoan Jin tiba-tiba. Bu-ki agak tertegun, dia tak habis mengerti kenapa Sangkoan Jin mengajukan pertanyaan yang seaneh itu. “Tentu saja aku tahu,” sahutnya. “Bukankah kau dilahirkan pada tanggal lima bulan sebelas jam Cho-si?” Tidak aneh jika Sangkoan Jin mengetahui hari kelahirannya, sudah banyak tahun ia berkumpul dengan ayahnya, tentu saja ia ketahui hal ini dari ayahnya. Hanya herannya, kenapa ia bisa mengingatnya sejelas itu? Dengan perasaan heran bercampur kaget anak muda itu mengangguk, “Benar!” ----------------------- Page 253----------------------- http://zheraf.net “Di kaki kiri dekat sisi kananmu terdapat sebuah tanda berwarna hijau bukan?” “Jadi ayahku juga menceritakan soal ini kepadamu?” Sangkoan Jin tidak menanggapi pertanyaan tersebut, kembali ujarnya sambil tertawa getir, “Masih ingat ketika terjatuh dari atas pohon pada usia tiga tahun? Jidat kirimu membengkak besar sekali, masih ingat terjatuh dari pohon apa?” Bu-ki menggeleng. “Kau terjatuh dari sebuah pohon waru,” Sangkoan Jin bicara lebih jauh, “waktu itu kau diajak ibumu bermain di kebun belakang, karena teledor kau tak ditemukan meski sudah dicari ke mana-mana. Ibumu memanggil-manggil namamu tapi tidak kau gubris, ketika ia mulai cemas hingga nyaris menangis tiba-tiba kau memanggil 'ibu!' dari atas pohon, ibumu yang gelisah bercampur gusar kontan mencaci maki, saking kagetnya kau pun terjatuh dari atas dahan.” Ketika bercerita sampai di situ, wajahnya nampak sangat murung, seakan sedang membayangkan kembali kejadian di masa lalu. Makin didengar Bu-ki semakin tercengang dibuatnya, kejadian masa dulu yang dia sendiri pun sudah lupa, kenapa paman Siangkoan nya malah ingat begitu jelas? “Kemudian sewaktu kau berusia duabelas tahun, hari itu kau sedang berlatih ilmu pedang dengan ayahmu, karena kurang hati- hati, ayahmu sempat melukai lengan kirimu, apakah hingga sekarang masih meninggalkan bekas luka yang dalam?” Tentu saja Bu-ki masih ingat kejadian ini, tanpa terasa dia lipat bajunya sambil memperhatikan bekas luka yang dimaksud. “Ini dia, masih membekas sampai sekarang!” Sekali lagi Sangkoan Jin tertawa getir. “Sekalipun sudah tertusuk hingga terluka, kau sama sekali tidak mengaduh atau mengeluh, bahkan masih melanjutkan latihanmu, darah segar pun berhamburan ke mana-mana mengikuti gerakan tubuhmu. Menyaksikan kejadian ini, ayahmu merasa sedih bercampur bangga.” “Dari mana kau bisa tahu tentang perasaan ayahku?” Kembali Sangkoan Jin tertawa getir. “Dari mana aku bisa tahu perasaan ayahmu? Segala sesuatu mengenai ayahmu, aku mengetahui jauh lebih jelas dari siapa pun!” ----------------------- Page 254----------------------- http://zheraf.net “Sudah pasti!” seru Bu-ki setelah terkesiap sejenak, “kau sudah banyak tahun bergaul dengan ayahku, tentu saja apa yang kau ketahui jauh lebih banyak dari siapa pun.” “Tidak, maksudku adalah semua yang kuketahui mungkin sama banyaknya seperti apa yang ayahmu ketahui.” “Kenapa bisa begitu? Apakah setiap urusan ayah selalu bercerita padamu?” “Mungkinkah begitu?” “Tentu saja tidak mungkin, tapi... dari mana kau bisa tahu tentang urusan ayahku bahkan sebanyak apa yang ayahku ketahui?” “Coba pikirlah sendiri, dalam keadaan seperti apa hal ini baru mungkin terjadi?” Bu-ki termenung sambil berpikir lama sekali, ia tetap menggeleng. “Tidak terpikir olehku.” “Mana mungkin? Padahal sederhana sekali masalahnya!” Bu-ki terkesiap, dipandangnya Sangkoan Jin dengan wajah tertegun, kemudian dengan mulut ternganga dan mata melotot besar bisiknya, “Kecuali...” “Betul!” Sangkoan Jin manggut-manggut, “Kecuali aku adalah ayahmu bukan?” Benar, perkataan ini memang yang hendak diucapkan Bu-ki. Tapi, mungkinkah itu? Sampai lama sekali Sangkoan Jin saling berpandangan dengan Bu-ki, kemudian ia baru bertanya lagi, “Kau masih belum paham?” “Paham soal apa?” “Akulah ayahmu!” tiba-tiba nada suara Sangkoan Jin berubah, sama sekali berbeda dengan logat bicaranya tadi. Belum selesai mendengar perkataan itu, sekujur badan Bu-ki sudah gemetar keras, agak tergagap bisiknya, “Kau... kau...” “Aku adalah ayahmu!” dengan menggunakan logat bicara yang paling dikenal Bu-ki, Sangkoan Jin berseru. Seketika itu juga Bu-ki merasakan kepalanya amat pusing, nyaris dia jatuh tak sadarkan diri. Betul, suara itu memang suara yang sudah didengar selama banyak tahun, suara yang amat dikenalnya semenjak dilahirkan, tapi... bukankah orang yang berada di hadapannya adalah paman Siangkoan? Kenapa bisa berubah jadi ayahnya? ----------------------- Page 255----------------------- http://zheraf.net Tak kuasa lagi dia mengamati wajah Sangkoan Jin dengan seksama, dia ingin menemukan titik terang dari garis wajah orang itu. Namun kecuali logat bicaranya, ia tak berhasil menemukan sesuatu yang mencurigakan. Wajah Sangkoan Jin tidak mirip dengan wajah seseorang yang mengenakan topeng kulit manusia, terlebih dia amat dekat dengan ayahnya, tapi kenapa tidak ditemukan sesuatu pertanda yang mengarah ke situ? “Kau tak akan menemukan apa-apa dari wajahku,” ujar Sangkoan Jin sambil tertawa. “Tak bisa menemukan apa-apa?” “Wajahku sudah dirombak, sudah diubah menjadi wajah lain.” “Aku tidak percaya!” “Aku tahu kau tak bakal percaya, sebab waktu itu bahkan aku sendiri dan paman Siangkoanmu juga tidak percaya, apalagi kau!” Logat bicara Sangkoan Jin ternyata logat Tio Kian! Bu-ki membelalakkan matanya semakin lebar, ia benar- benar tak percaya pada yang dikatakan orang ini, biar digebuk sampai mampus pun dia tak akan percaya. Kembali terdengar Sangkoan Jin berkata, “Kau pernah mendengar istilah tentang 'wajah suami istri'?” “Pernah!” “Dan tahu secara jelas arti dari perkataan itu?” “Tahu. Jika suami istri sudah hidup bersama terlalu lama maka lambat laun paras muka mereka berdua akan semakin mirip satu sama lainnya.” “Benar. Kecuali suami istri, sahabat yang berkumpul terlalu lama pun akan mengalami kejadian yang sama, tahu soal itu? Aku dan paman Siangkoan sudah duapuluhan tahun berjuang bersama- sama, mati hidup bersama, lambat laun paras muka kami berdua mendekati kemiripan, apa kau tidak merasakannya?” Setelah berhenti sejenak, katanya lebih jauh, “Tentu saja kau tak akan merasakannya, sebab termasuk kami berdua pun tidak merasakannya, namun ada satu orang yang menemukan kemiripan ini.” “Oya? Siapa?” “Biau-jiu, si Tangan Sakti Li Thian-hui!” ----------------------- Page 256----------------------- http://zheraf.net “Biau-jiu si Tangan Sakti Li Thian-hui?” “Pernah tahu tentang orang ini?” “Aku pernah mendengar, tapi bukankah dia hanya salah satu tokoh dalam cerita dongeng?” “Tidak! Benar-benar ada manusia seperti dia.” “Benar benar ada manusia macam dia? Benarkah dia sehebat seperti yang didengungkan orang selama ini, bisa mengubah paras muka seseorang menjadi paras muka orang lain?” “Bukankah aku adalah salah satu contoh hidupnya?” Sekali lagi Bu-ki mengamati wajah Sangkoan Jin sampai lama sekali, tapi akhirnya dia tetap menggeleng. “Aku masih belum percaya.” “Kenapa kau masih belum mau percaya?” kata Sangkoan Jin, “baiklah, akan kuceritakan sebuah kisah lagi, moga-moga saja kau bersedia mendengarkan.” Bu-ki tidak menjawab, dia hanya mengawasi lekat-lekat. “Masih ingat apa yang terjadi di musim gugur tiga tahun berselang?” “Masih ingat,” sahut Bu-ki setelah berpikir sejenak, “kau bersama ayahku lenyap hampir setengah bulan lamanya.” Bicara sampai di situ mendadak ia terperangah, serunya gagap, “Jadi kau...” “Benar, kami telah bertemu Li Thian-hui,” tukas Sangkoan Jin cepat, “begitu bertemu kami, ia nampak terperangah dan berulang kali menyatakan aneh.” “Kenapa?” “Dia bilang kalau wajah suami istri sudah banyak yang dilihatnya, tapi wajah sahabat belum pernah dijumpai, waktu itu kami keheranan dan bertanya apa yang dimaksud wajah sahabat, dia bilang, sama seperti suami istri, jika sahabat berkumpul terlalu lama, raut muka mereka lambat laun akan semakin mirip.” Bicara sampai di sini Sangkoan Jin berhenti sejenak, kemudian sambungnya lagi, “Maka Li Thian-hui pun mengajukan satu pertanyaan kepada kami.” “Pertanyaan apa?” “Dia bertanya kepada kami, ingin tidak berganti peran. Mula- mula kami kurang begitu paham dengan kemauannya, maka dia pun berkata lagi, katanya dia mampu memindahkan wajahku menjadi wajahnya dan wajahnya menjadi wajahku.” ----------------------- Page 257----------------------- http://zheraf.net Bu-ki tidak bicara lagi sebab apa yang diungkap Sangkoan Jin kelewat aneh, kelewat tak masuk di akal, membuatnya setengah percaya setengah tidak. Sangkoan Jin sama sekali tidak menggubris perubahan wajah Bu-ki, secara ringkas dia pun menceritakan apa yang dialaminya tiga tahun berselang. Ooo)))(((ooo Ternyata Sangkoan Jin dan Tio Kian tertarik sekali setelah mendapat tawaran dari Li Thian-hui, mereka bertekad untuk saling bertukar wajah, sebab mereka berpendapat, dengan berganti posisi dan identitas siapa tahu akan memperoleh hasil yang sama sekali di luar dugaan. Bagaimanapun juga mereka sudah lama saling mengenal, kedua belah pihak sama-sama memahami persoalan yang dialami rekannya sehingga tidak terlalu sulit untuk menyamar sebagai rekannya. Maka mereka pun mengajak Li Thian-hui kembali ke rumahnya dan membiarkan ia melakukan perubahan wajah. Kepandaian ilmu merubah muka yang dimiliki Li Thian-hui sangat hebat, ia melakukan operasi besar dan mengubah wajah kedua orang itu, tentu saja dengan bantuan tusuk jarum hingga mereka tak perlu merasakan penderitaan dan siksaan. Tiga hari kemudian, ketika mereka mulai bercermin, kedua orang itu benar-benar terperanjat bercampur heran. Sewaktu mereka saling berjumpa dan saling berpandangan, rasa kaget mereka semakin menjadi. Untuk meyakinkan kalau perubahan wajah itu tidak meninggalkan bekas yang bisa menimbulkan kecurigaan orang, mereka saling mengamati kembali wajah rekannya, ternyata memang tak ditemukan titik kelemahan sekecil apa pun. Maka mereka mulai mempelajari dan menirukan kebiasaan hidup rekannya, setelah lewat tiga tahun lagi, gerak-gerik mereka baru benar-benar mencapai puncak kesempurnaan, mereka sudah terbiasa menganggap rekannya sebagai diri sendiri. Berapa lama kemudian mereka mulai berpikir bahwa kejadian semacam ini sangat melanggar kebiasaan, timbul perasaan ----------------------- Page 258----------------------- http://zheraf.net menyesal, maka mereka pun bertanya kepada Li Thian-hui apakah ada kemungkinan untuk memulihkan kembali wajah mereka. Jawaban yang diterima membuat mereka berdua tertegun. “Hal ini mustahil bisa dilakukan, memangnya kalian anggap perubahan ini hanya sebuah permainan? Mau dirubah lantas dirubah sekehendak hati?” “Mengapa kau bisa mengubah wajah kami tapi tak dapat memulihkan kembali seperti sedia kala?” tanya Tio Kian. “Karena kulit kalian sudah terluka, sudah ditarik hingga berubah bentuk, tentu saja tak dapat dipulihkan seperti wajah dahulu!” “Andaikata kami ingin menunjukkan identitas kami yang sebenarnya, lalu apa caranya?” “Tak ada caranya.” Jawaban itu terasa amat kejam, bagai sebilah pisau tajam yang menghujam ke dada Sangkoan Jin dan Tio Kian, mereka terkejut bercampur sedih. “Kalian harus berganti peran, selamanya berganti peran!” kembali Li Thian-hui berkata. Tio Kian dan Sangkoan Jin saling berpandangan sampai lama sekali, kemudian baru menegaskan, “Benar-benar tak ada jalan keluar?” “Sebenarnya masih ada satu cara.” “Bagaimana caranya?” “Sebuah cara yang amat menderita dan tersiksa.” “Cara yang menyiksa?” “Benar!” “Kenapa?” “Sebab aku harus menguliti seluruh wajah kamu berdua, agar wajah yang sekarang musnah. Kemudian membiarkan kulit wajah kalian tumbuh kembali perlahan-lahan, kulit muka yang tumbuh kemudian akan berwujud wajah kalian yang dulu!” Tio Kian maupun Sangkoan Jin merasa teramat gusar, mereka tidak menyangka kalau Li Thian-hui menggunakan mereka berdua sebagai kelinci percobaan. Tanpa banyak bicara lagi serentak mereka berdua mengayunkan telapak tangannya dan dihantamkan ke dada Li Thian- hui. ----------------------- Page 259----------------------- http://zheraf.net “Dan Li Thian-hui tewas di tangan kalian berdua?” tanya Bu- ki setelah selesai mendengarkan kisah tersebut. “Ilmu merubah wajahnya memang hebat dan tiada tandingan, tapi kepandaian silatnya teramat cetek, mana mungkin tidak mampus?” “Kalau mendengar kisahmu ini, berarti di dunia saat ini tak akan ditemukan lagi saksi yang bisa membuktikan kebenaran ini?” “Jadi kau masih tetap tidak percaya kepadaku?” tanya Sangkoan Jin sambil menatap anak muda itu tajam. Bu-ki tertawa. “Bagaimana mungkin aku bisa percaya? Ceritamu terlalu khayal, kelewat tak masuk di akal!” “Terlalu khayal? Tapi yang kuceritakan adalah kisah yang sebenarnya. Tahukah kau, kadang-kadang kejadian sesungguhnya bisa kedengaran agak khayal?” “Tapi ceritamu itu...” “Apa yang mesti kulakukan agar kau percaya kepadaku?” tukas Sangkoan Jin tiba-tiba. Bu-ki segera terbungkam, tak mampu menjawab. Dengan wajah yang sangat serius Sangkoan Jin mengawasi pemuda itu, sekejap kemudian ia baru berkata, “Coba pinjamkan pedangmu kepadaku.” Bu-ki memandang Sangkoan Jin sekejap, dia pun tidak bertanya apa-apa dan menyodorkan pedangnya. Setelah menerima pedang itu, paras muka Sangkoan Jin berubah makin serius, dia mencabut pedang itu, mengawasi bagiannya yang tajam kemudian perlahan-lahan dia palangkan mata pedang yang tajam itu ke lehernya sendiri. “Hey, mau apa kau?” tegur Bu-ki terkesiap. Sangkoan Jin tertawa sedih. “Bukankah hanya dengan cara begini kau baru akan mempercayaiku?” Berubah hebat paras muka Bu-ki. “Jadi kau hendak merusak wajahmu sendiri?” ia bertanya. “Tidak, aku hanya akan memulihkan kembali wajah asliku,” jawab Sangkoan Jin tenang. Pikiran dan perasaan Bu-ki bergolak keras, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menghadapi kejadian ini. Memang hanya cara ini yang bisa membuatnya dapat melihat wajah orang ini yang ----------------------- Page 260----------------------- http://zheraf.net sesungguhnya, hanya dengan jalan menyayat kulit wajah yang ada, dia baru bisa membuktikan apakah orang ini ayahnya atau bukan. Tapi, andaikata dia benar-benar adalah ayahnya? Bukankah wajahnya akan hancur musnah? Bukankah wajah itu akan berlumuran darah? Tapi seandainya bukan? Mungkinkah tindakan yang ia lakukan hanya bertujuan untuk membohonginya? Andaikata orang yang berada di hadapannya adalah Sangkoan Jin? Dia cerdas dan banyak akal, terbukti dia sanggup mencelakai ayahnya, ini berarti bukan urusan yang sulit baginya untuk memulihkan wajah aslinya. Dia pasti sengaja berbuat begitu karena sudah menduga pemuda itu pasti akan mencegahnya. Pelik, persoalan ini betul-betul teramat pelik. Apa daya sekarang? Memandang mata pedang di tangan Sangkoan Jin yang siap menyayat wajah sendiri, ia bingung dan tak tahu apa yang mesti diperbuat. Ooo)))(((ooo Berita kehadiran Bu-ki di benteng Siangkoan-po dengan cepat sudah tersiar luas, Tong Ou pun mendengar berita ini. Dia pun tahu, tujuan Bu-ki mendatangi rumah judi adalah untuk menarik perhatian Sangkoan Jin, maka sejak awal dia sudah mengutus orang untuk mengikuti secara diam-diam dan memperhatikan arah kepergiannya. Pertarungan antara Sangkoan Jin melawan Tio Bu-ki, tentu saja dia ingin menjadi penonton saja, maka ia berpesan pada orang yang mengawasi gerak-gerik Sangkoan Jin agar segera memberi kabar bila menemui sesuatu yang tidak biasa, dia sudah siap untuk menyusul. Tapi yang membuat ia tercengangadalah dalam seharian penuh hari kedua, Sangkoan Jin sama sekali tidak melakukan sesuatu. Kemudian pada hari ketiga, petugas yang mendapat perintah untuk melakukan pengintaian itu baru muncul dengan wajah pucat sambil melaporkan lenyapnya Sangkoan Jin. Sejak kapan Sangkoan Jin meninggalkan tempat tinggalnya? Tak seorang pun yang melihat. Kejadian ini sungguh membuat Tong Ou tercengang dan tak habis mengerti. ----------------------- Page 261----------------------- http://zheraf.net Kenapa Sangkoan Jin harus pergi secara rahasia di luar tahu siapa pun? Apakah di antara dia dan Tio Bu-ki benar-benar ada rahasia yang amat besar? Dia tidak tahu, tapi ia segera mengutus orang untuk menyelidiki jejak Sangkoan Jin ke empat penjuru dan hasilnya tetap tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Sementara menurut laporan pelayan rumah penginapan yang didiami Bu-ki, sejak kemarin ia naik ke Bukit Singa, anak muda itu juga tak pernah balik lagi. Begitu mendapat laporan tersebut, Tong Ou langsung menyambar pedangnya dan berangkat ke Bukit Singa. Menurut perhitungannya, Sangkoan Jin pasti sudah mengundang Tio Bu-ki untuk berjumpa di Bukit Singa. Ketika Tong Ou berangkat, waktu sudah mendekati tengah hari. Perasaan itu timbul karena dia teringat akan satu hal. Pedangnya! Sebelum meninggalkan tempat itu Sangkoan Jin sama sekali tidak mengembalikan pedang itu kepadanya. Dengan langkah cepat dia menerjang ke muka, sembari melesat teriaknya keras, “Jangan!” Sayang semua sudah terlambat, segala sesuatunya sudah terjadi. Tatkala Bu-ki berhasil menyusul, Sangkoan Jin telah menghentikan langkahnya, menanti Bu-ki sepuluh langkah di belakangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuhnya. Bu-ki segera berhenti di hadapan Sangkoan Jin, kini jarak mereka tinggal dua-tiga langkah dan Sangkoan Jin sudah membalikkan seluruh badannya. Dalam waktu singkat Bu-ki berdiri dengan mata terbelalak lebar dan mulut melongo, darah bercucuran dalam hatinya, dia menjerit. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Yang dia saksikan adalah selembar wajah yang penuh berlepotan darah! Rupanya setelah beranjak pergi tadi, dalam jarak sepuluh langkah dia berjalan, secara diam-diam ia mulai menyayati kulit wajahnya. Ia baru berhenti sambil membalikkan badan ketika mendengar Bu-ki menjerit kalap. Ternyata dia adalah Tio Kian! Ayah kandung Tio Bu-ki! ----------------------- Page 262----------------------- http://zheraf.net “Ayah!” jeritan Bu-ki seakan terhenti di tenggorokannya, dia tak sanggup menjerit, tak mampu berteriak. Sekulum senyuman pedih tersungging di ujung bibir Tio Kian. Sebuah senyuman yang amat mengenaskan, senyuman yang mengerikan di balik wajahnya yang hancur berantakan. Sekalipun kelihatan amat menyeramkan, namun pandangannya nampak begitu lembut, begitu ramah dan penuh kasih sayang. Suatu pernyataan yang membuktikan bahwa ia sama sekali tidak menyalahkan putranya. Airmata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Bu-ki, ia bertekuk lutut dan menjatuhkan diri menyembah di tanah, bersembah sujud di hadapan Tio Kian. “Ayah!” akhirnya dengan suara yang parau tapi mengenaskan dia memanggil. Tio Kian tcrt awa sedih, sahutnya, “Kau tak perlu kelewat sedih, aku berbuat begini bukan hanya Bab 20. Sekali Lagi Berpisah Mati Melihat sikap ragu-ragu yang diperlihatkan Tio Bu-ki, tiba- tiba Sangkoan Jin menghela napas panjang, katanya, “Aku tahu kau pasti tak akan percaya, kau kuatir terjadi sesuatu yang di luar dugaan bukan?” Bu-ki tidak menjawab. “Kurasa begini saja, besok kita bertemu lagi di sini, aku jamin sampai waktunya aku pasti dapat memperlihatkan bukti yang bisa membuat kau percaya, kau percaya kan?” Bu-ki memandang Sangkoan Jin seketika, kemudian mengangguk. Memang tak mungkin baginya untuk menolak, sebab jika dia menolak, dapat dipastikan Sangkoan Jin akan segera merusak wajahnya sendiri, dan seandainya setelah wajah itu dirusak dan ternyata wajah ayahnya, apa yang akan dia lakukan? Tentu saja ia pun berpikir lebih jauh, seandainya besok Sangkoan Jin tidak datang, apa yang akan dia lakukan? Tampaknya dia mesti bertaruh dalam urusan ini. Seandainya besok Sangkoan Jin benar-benar tidak muncul, dia tetap saja dapat pergi mencarinya, bedanya ia menjadi tambah repot. ----------------------- Page 263----------------------- http://zheraf.net Begitu melihat anak muda itu mengangguk, Sangkoan Jin segera membalikkan badan dan pergi. Bu-ki hanya berdiri termangu- mangu, berdiri diam memandang Sangkoan Jin membalikkan badan dan pergi. Menunggu pamannya itu sudah berada sejauh duapuluh langkah dari tempat semula, mendadak satu perasaan tak tenang muncul di hati kecilnya, dia merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal, kedukaan yang mengenaskan segera akan berlangsung di depannya. Perasaan itu timbul karena dia teringat akan satu hal. Pedangnya! Sebelum meninggalkan tempat itu Sangkoan Jin sama sekali tidak mengembalikan pedang itu kepadanya. Dengan langkah cepat dia menerjang ke muka, sembari melesat teriaknya keras, “Jangan!" Sayang semua sudah terlambat, segala sesuatunya sudah terjadi. Tatkala Bu-ki berhasil menyusul, Sangkoan Jin telah menghentikan langkahnya, menanti Bu-ki sepuluh langkah di belakangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuhnya. Bu-ki segera berhenti di hadapan Sangkoan Jin, kini jarak mereka tinggal dua-tiga langkah dan Sangkoan Jin sudah membalikkan seluruh badannya. Dalam waktu singkat Bu-ki berdiri dengan mata terbelalak lebar dan mulut melongo, darah bercucuran dalam hatinya, dia menjerit. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Yang dia saksikan adalah selembar wajah yang penuh berlepotan darah! Rupanya setelah beranjak pergi tadi, dalam jarak sepuluh langkah dia berjalan, secara diam-diam ia mulai menyayati kulit wajahnya. Ia baru berhenti sambil membalikkan badan ketika mendengar Bu-ki menjerit kalap. Ternyata dia adalah Tio Kian! Ayah kandung Tio Bu-ki! "Ayah!" jeritan Bu-ki seakan terhenti di tenggorokannya, dia tak sanggup menjerit, tak mampu berteriak. Sekulum senyuman pedih tersungging di ujung bibir Tio Kian. Sebuah senyuman yang amat mengenaskan, senyuman yang mengerikan di balik wajahnya yang hancur berantakan. ----------------------- Page 264----------------------- http://zheraf.net Sekalipun kelihatan amat menyeramkan, namun pandangannya nampak begitu lembut, begitu ramah dan penuh kasih sayang. Suatu pernyataan yang membuktikan bahwa ia sama sekali tidak menyalahkan putranya. Airmata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Bu-ki, ia bertekuk lutut dan menjatuhkan diri menyembah di tanah, bersembah sujud di hadapan Tio Kian. "Ayah!" akhirnya dengan suara yang parau tapi mengenaskan dia memanggil. Tio Kian tertawa sedih, sahutnya, “Kau tak perlu kelewat sedih, aku berbuat begini bukan hanya bermaksud agar kau percaya kepadaku.” Lantas karena apa? Apakah masih ada rahasia lain? Demikian Bu-ki berpikir, namun ia tak mengutarakan keraguannya itu. “Ayah sengaja berbuat begini, setengahnya karena ingin menebus dosa,” kembali Tio Kian menerangkan. Menebus dosa? Menebus dosa apa? “Aku berharap kau mulai mempersiapkan diri, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan,” Tio Kian menyodorkan kembali pedang itu ke tangan putranya. Dengan sorot mata penuh perasaan ragu dan heran Bu-ki mengawasi ayahnya, selama banyak tahun dia selalu mengira ayahnya telah mati, sungguh tak disangka hari ini telah terjadi perubahan yang sama sekali tak terduga olehnya. ooooOOOoooo Ada banyak persoalan yang ingin dia tanyakan, tapi ia tak pernah bersuara lagi, setelah menyaksikan cara ayahnya merusak wajah sendiri, dia tahu, ayahnya pasti akan memberikan penjelasan secara panjang lebar. “Kau sangka paman Siangkoanmu telah membunuh aku? Kini kau sudah yakin dengan identitasku, berarti kau pun pasti tahu bahwa orang yang terbunuh itu sesungguhnya adalah paman Siangkoan bukan?” Bu-ki tidak bersuara, dia hanya mendengarkan dengan seksama. “Padahal akulah yang merancang siasat Harimau Kemala Putih, tapi semenjak wajahku dan wajah paman Siangkoan dirubah oleh Li Thian-hui, tabiatku pun perlahan-lahan mulai berubah. ----------------------- Page 265----------------------- http://zheraf.net “Aku sering berpikir, seandainya suatu hari perkumpulan Tayhong-tong dapat memusnahkan Benteng Keluarga Tong, maka seluruh dunia persilatan akan jatuh ke tangan kita dan saat itu kekuasaan tertinggi harus kubagi sama rata dengan paman Siangkoan serta paman Sugong. “Tiba-tiba timbul niat serakahku, aku pikir, kenapa kekuasaan harus kubagi rata dengan mereka? Seharusnya aku seorang yang menguasainya!” Berbicara sampai di sini Tio Kian berhenti sejenak, setelah menghela napas panjang lanjutnya, “Setelah muncul pikiran semacam ini, aku sering berubah jadi berangasan dan gampang marah, khususnya setiap kali bertemu dengan paman Siangkoanmu, aku pasti berpikir, bila ingin mengangkangi sendiri kekuasaan besar itu, aku harus menyingkirkan dia terlebih dulu.” “Kau tak mempertimbangkan paman Sugong?” tak tahan Bu- ki bertanya. “Paman Sugong-mu bukan orang yang punya ambisi besar, maka aku tak perlu merisaukan dirinya. Berbeda dengan paman Siangkoan, dia sama seperti aku, punya ambisi yang besar dan haus akan kekuasaan, satu-satunya keunggulanku adalah bahwa aku lebih cerdas dan banyak akal.” Sambil berkata Tio Kian berjalan menuju ke batu besar dan duduk di situ, kini darah yang membasahi wajahnya sudah mengering, dari balik mukanya yang remuk lamat-lamat masih terpampang wajah aslinya, itulah wajah Tio Kian. “Suatu hari,” kembali Tio Kian melanjutkan ceritanya, “akhirnya terpikir olehku untuk menjalankan siasat Harimau Kemala Putih. Selain bisa melenyapkan Sangkoan Jin dari muka bumi, aku pun bisa menggunakan kesempatan ini untuk menyusup ke dalam Benteng Keluarga Tong dan menunggu saat untuk membasminya. Maka di hari perkawinanmu itulah kupanggil Sangkoan Jin masuk ke dalam ruang rahasia, mimpi pun dia tak mengira kalau aku bakal melancarkan serangan untuk membunuhnya, dan cerita selanjutnya tak perlu kuceritakan lagi, karena kau pasti sudah mengetahuinya.” Raut muka Tio Kian menampilkan siksaan batin dan penderitaan yang luar biasa, sesudah tertawa getir lanjutnya, “Tahukah kau bahwa sebenarnya orang yang paling jahat adalah ayahmu?” ----------------------- Page 266----------------------- http://zheraf.net Bu-ki tidak berbicara, dalam hati dia pun merasakan siksaan dan penderitaan yang luar biasa, perasaannya amat kalut. Dia tak menyangka ayahnya yang paling dihormati dan paling disayang selama ini ternyata adalah pembunuh yang sesungguhnya, seorang pembunuh berdarah dingin yang tak segan menghabisi nyawa sahabat sendiri, seorang sahabat yang telah mendampinginya puluhan tahun Sedangkan tujuannya tak lebih hanya ingin mengangkangi kekuasaan, ingin menguasai perkumpulan Tayhong- tong seorang diri, ingin membasmi Benteng Keluarga Tong dan seorang diri menguasai jagad. Perbuatan semacam ini jelas merupakan tindakan yang biadab, perbuatan yang tak bisa dimaafkan Bu-ki, tapi apa yang bisa dia lakukan? Apa yang bisa dia perbuat jika si pelakunya ternyata tak lain adalah ayah kandung sendiri! Bagaimana sekarang? Dia awasi ayahnya, mengawasi wajah Tio Kian yang telah hancur berantakan, sama seperti perasaan hatinya sekarang, hancur lebur tak karuan. “Kau tak perlu bersedih hati,” terdengar Tio Kian berkata lagi, “aku sengaja menghancurkan wajahku untuk membuktikan identitasku yang sebenarnya tak lain karena bertujuan untuk menebus dosa, aku tidak seharusnya mencelakai Sangkoan Jin.” “Ayah!” Bu-ki tak mampu berkata-kata, dia hanya bisa menjerit dengan perasaan hancur lebur. “Ayah sudah tak berguna.” “Kenapa?” “Tong Ou si anak jadah itu telah meracuni aku!” “Mana mungkin?” “Tong Ou memang seorang musuh yang lihay, aku yakin dia pasti telah memperalat Ling-ling untuk meracuni aku, mencampurkan racun ke dalam kuah jinsom yang tiap pagi dibuat anak itu untukku.” “Jadi kau...” “Barusan aku mencoba mengerahkan tenaga, ternyata peredaran darahku sudah tak lancar, kekuatan tenaga dalamku sudah lenyap empatpuluh persen, Tong Ou memang anak jadah!” “Kenapa dia harus berbuat begitu?” “Dia ingin memperalat kau untuk melenyapkan aku, berbareng dengan itu dia pun bisa menggunakan kesempatan ini ----------------------- Page 267----------------------- http://zheraf.net untuk memberi pukulan batin yang terberat untukmu. Coba bayangkan saja, dia merekayasa semua kejadian dengan menciptakan siasat Naga Kemala Putih, jika kau termakan siasatnya dan berhasil membunuhku, kemudian dia mengungkap cerita yang sebenarnya, apakah kau tak akan menerima pukulan batin yang sangat parah?” Bu-ki bisa membayangkan, saat itu saban hari dia pasti akan bermabuk-mabukan, tak punya selera untuk mengurusi persoalan lain, dengan begitu urusan perkumpulan Tayhong-tong pasti akan terbengkalai, tak ada yang memimpin dan tak ada yang mengurus. Jika kemudian Benteng Keluarga Tong memanfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan serangan secara besar-besaran, bagaimana mungkin Tayhong-tong masih bisa menancapkan kakinya di dunia persilatan? Bisa jadi perkumpulan itu akan lenyap untuk selamanya dari muka bumi! Kejam benar manusia ini! Bu-ki mengumpat dalam hatinya. “Sekarang, kita harus menghadapi siasatnya dengan siasat!” “Menghadapi siasatnya dengan siasat?” “Benar, kau pura-pura berhasil membunuhku agar Tong Ou menceritakan kejadian yang sebenarnya kepadamu, lalu kau berpura-pura pikiranmu kalut, batinmu terpukul dan menyerang dia secara mem-babibuta.” “Kau anggap aku sanggup menghadapinya?” “Sulit untuk dikata, tapi kalau dilihat dari siasat yang dia gunakan terhadapmu, ini membuktikan bahwa dia pun tak yakin bisa mengungguli kemampuanmu. Kalau tidak, buat apa dia susah-susah menggunakan berbagai jurus kembangan untuk menghadapimu?” “Benar!” “Oleh sebab itu kau harus berlagak sangat marah, sangat menyesal hingga pikiranmu sangat kalut, agar dia memandang enteng dirimu. Selain itu, begitu mulai menyerang, kau harus berlagak seolah seranganmu kacau, banyak titik kelemahan dan banyak melakukan kesalahan, agar dia beranggapan kau sudah hampir gila.” “Seandainya dia memanfaatkan titik kelemahan itu untuk membekukku, bukankah sama artinya dengan bunuh diri?” “Tidak mungkin, dengan watak Tong Ou, tak mungkin dia langsung membekukmu, dia pasti akan mempermainkanmu seperti ----------------------- Page 268----------------------- http://zheraf.net kucing menangkap tikus. Setelah membuat kau mati tak bisa hidup tak dapat, saat itulah dia baru akan membunuhmu.” “Kau tidak berpikir cara ini terlalu berbahaya?” “Kalau tidak berani nyerempet bahaya, mana mungkin bisa diperoleh hasil yang baik?” sahut Tio Kian, “Soal yang tersisa adalah waktu yang paling cocok untuk pergi mencari Tong Ou.” Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kembali ia meneruskan, “Sayang aku telah melakukan satu kesalahan!” “Kesalahan apa?” “Aku kuatir kau mencari aku karena ada urusan penting, maka sewaktu menuju kemari, aku telah bertindak sangat rahasia sehingga tak seorang pun anggota Keluarga Tong yang tahu ke mana aku pergi.” “Apakah langkahmu itu keliru?” “Kalau dipikir sekarang, rasanya memang keliru besar.” “Kenapa?” “Sebab dengan watak Tong Ou, dia pasti mengutus orang untuk mengawasiku terus menerus, jika dia tahu bahwa aku datang kemari, sudah pasti dia akan segera menyusul kemari. Dia pasti ingin menyaksikan pertarungan kita berdua kemudian mulai mengejek dan mempermainkan dirimu.” “Ayah tak usah kuatir, aku telah melakukan satu perbuatan yang sangat tepat dan benar!” “Oh ya?” “Aku sempat bertanya kepada pelayan rumah penginapan, harus lewat jalan mana untuk tiba di sini.” “Bagus, kalau Tong Ou gagal menemukan jejakku, dia pasti akan mengutus orang untuk mencari tahu jejakmu di rumah penginapan. Saat ini dia pasti sudah tahu ke mana kau pergi.” “Soalnya adalah aku tidak mengatakan kalau akan kemari, aku hanya bertanya harus lewat jalan yang mana untuk sampai ke sini.” “Itu sudah lebih dari cukup, Tong Ou tali bakal melepaskan setiap titik terang yang berhasil dia dapatkan.” “Berarti dia segera akan menyusul kemari?” “Mungkin saja ia sudah mencari jejak kita di sekitar tempat ini.” “Lalu apa yang kita lakukan sekarang?” “Kita buat pengaturan di tempat ini.” ----------------------- Page 269----------------------- http://zheraf.net “Pengaturan?” “Betul! Kita lakukan pengaturan dan perubahan bentuk di sekitar sini, seolah baru saja berlangsung pertarungan yang amat seru, agar Tong Ou menyangka bahwa kita berdua sudah bertarung!” “Bagaimana dengan ayah?” “Aku? Gampang sekali, kini wajahku sudah hancur berantakan, jika aku berlagak mati, dia pasti dapat dikelabui.” “Jadi kau akan berlagak mati?” “Benar, dengan begitu Tong Ou tak akan menyangka kalau kau sedang bermain sandiwara!” “Tapi...” “Kenapa? Kau anggap kurang baik jika aku berlagak mati?” “Bukan, bukan begitu.” “Lalu maksudmu...” “Janji pertarunganku melawan Tong Ou!” “Peduli amat dengan segala janji, kau harus memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk menghabisinya, sebab tidak gampang untuk menemukan kesempatan lain....” “Kau ingin pegang janji? Terhadap manusia semacam ini pun kau ingin pegang janji? Hmm, jangan mimpi! Jadi kau anggap dia pun akan pegang janji?” “Paling tidak aku ingin menjadi seseorang yang pegang janji.” “Baik, jadilah orang yang pegang janji. Hanya saja aku perlu memberitahumu, setelah bertemu denganmu nanti, dia pasti akan memanas-manasi hatimu, memancing amarahmu agar kau menyerangnya.” “Kalau sampai dia berbuat begitu, artinya bukan aku yang terlebih dulu ingkar janji!” “Anakku, dunia persilatan itu penuh dengan kelicikan dan kemunafikan, kenapa sih kau harus menjadi seorang lelaki yang pegang janji? Kejujuranmu akan membuat kau kujur!” “Tapi, bukankah pegang janji merupakan hal yang diutamakan dalam pergaulan dunia persilatan?” “Cuh!” dengan gemas Tio Kian meludah, “Sudah banyak tahun aku hidup dalam dunia persilatan, selama ini belum pernah kujumpai orang yang pegang janji!” ----------------------- Page 270----------------------- http://zheraf.net “Tapi, bukankah ayah selalu mengajariku untuk jadi seorang lelaki yang pegang janji?” “Ajaran kembali soal ajaran, kenyataan jauh berbeda dengan ajaran, kalau kau tak pandai melihat keadaan, tak pandai menyesuaikan diri dengan keadaan, kaulah yang bakal hancur, mengerti?” “Aku tidak tahu...” “Kenapa kau masih berkeras kepala?” tukas Tio Kian jengkel, “Bayangkan saja, bila kita berhasil membasmi Benteng Keluarga Tong maka perkumpulan Tayhong-tong akan menguasai jagad, bayangkan sendiri, sampai waktu itu siapa yang akan memimpin seluruh dunia? Seluruh dunia persilatan akan menjadi milik siapa?” “Tentu saja menjadi milik ayah!” “Aku?” Tio Kian mendengus dingin, “mungkinkah itu?” “Kenapa tidak mungkin?” “Kedokku sudah terbongkar, wajah asliku sudah ketahuan setiap orang, semua anggota Tayhong-tong tahu kalau aku yang telah membunuh Sangkoan Jin. Dalam keadaan begini apakah aku masih pantas, masih berhak untuk memimpin mereka?” “Lalu...” Tio Kian tertawa getir. “Anak selalu menggantikan posisi ayahnya, Tayhong-tong akan menjadi milikmu, tahukah kau?” “Aku?” Tio Bu-ki melengak, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menanggapi perkataan itu. “Benar, aku sengaja merusak wajahku selain bertujuan untuk menebus dosa, aku masih mempunyai tujuan lain. Aku ingin mengumumkan bahwa mulai saat ini aku sudah melepaskan segala urusan Tayhong-tong, akan kuserahkan semua tugas dan tanggung jawab ini ke tanganmu!” Melihat pemuda itu tidak bicara, kembali Tio Kian berkata, “Oleh karena itu, jika kau ingin memimpin Tayhong-tong dengan baik dan benar, kau mesti paham bahwa menyelesaikan urusan di depan mata adalah paling utama! Soal pegang janji? Hmm, itu tergantung dengan siapa kita berhadapan!” “Apa yang ayah katakan tidak sesuai dengan watakku!” “Watak? Jika kau ingin mengikuti watak, lebih baik hiduplah mengasingkan diri di atas gunung atau di dasar jurang! Kalau ingin bergaul dan hidup dalam dunia persilatan, yang diutamakan adalah ----------------------- Page 271----------------------- http://zheraf.net mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, jangan bicara soal watak atau segalanya!” “Ayah, kau sangat berubah, kau berubah sekali...” “Jika seseorang sudah terlalu lama hidup dalam dunia persilatan, mungkinkah dia tak berubah?” “Benarkah kehidupan dalam dunia persilatan itu sangat berbahaya?” “Jauh lebih berbahaya daripada apa yang kau bayangkan selama ini!” Tiba-tiba Bu-ki menghela napas panjang, kesedihan muncul dalam hatinya. Mungkinkah baginya untuk hidup terus sebagai manusia dunia persilatan? Haruskah dia berjuang terus dalam dunia yang penuh kelicikan dan kemunafikan ini? Pikiran ini hanya melintas sekejap dalam benaknya, karena perkataan Tio Kian telah memotongnya. “Demi perkumpulan Tayhong-tong, demi melanjutkan perjuangan dan hasil karya yang berhasil kita bentuk selama ini, kau harus pandai menilai tiap suasana dalam dunia persilatan, pandai menghadapi kenyataan dan pandai memilah mana yang benar dan mana yang tidak, dengan begitu kau baru bisa bertahan sekuat batu karang.” Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau, dalam hati Bu-ki menjerit kalap. Tapi Tio Kian sama sekali tidak mendengar jeritan tersebut, kembali ia berkata, “Kau harus menyanggupi permintaanku ini, gunakan kesempatan emas ini dan bunuhlah Tong Ou!” “Ayah, mengapa kau paksa aku untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifatku?” tak tahan, akhirnya Bu-ki berteriak. “Sifat? Liangsim? Orang mati masih punya sifat? Orang mati juga masih punya liangsim? Jika kau tidak membunuh Tong Ou, Tong Ou yang akan membunuhmu!” “Aku lebih suka bertarung secara adil!” “Bertanding secara adil? Hmh!” Tio Kian mendengus dingin, “Masa kau masih belum tahu jelas maksud Tong Ou menghadapimu menggunakan cara seperti ini? Kau anggap yang telah dilakukannya itu tindakan yang adil?” ----------------------- Page 272----------------------- http://zheraf.net Bu-ki terbungkam. Tapi raut mukanya masih mencerminkan kekukuhan hati untuk mempertahankan pendiriannya. Tentu saja sikapnya tak luput dari pengamatan Tio Kian. Saking gelisahnya ia jadi geram sendiri, keras kepala amat anaknya ini, sudah berhadapan dengan maut masih belum juga mau sadar? Tio Kian merasa sedih sekali. Tio Kian tahu, Tong Ou adalah orang yang sangat berbahaya, dari perbuatannya memperalat Siangkoan Ling-ling untuk meracuni ayahnya sendiri saja sudah memperlihatkan betapa licik dan busuknya hati orang ini. Yang dilakukannya ibarat 'sekali timpuk dua ekor burung', sebuah rencana berantai yang menakutkan. Andaikata Bu-ki benar-benar membunuh dirinya, artinya sama saja pemuda itu telah membantu Tong Ou untuk melenyapkan orang yang ingin dia singkirkan. Sebaliknya jika Bu-ki bukan tandingannya, sementara dirinya sudah keracunan hingga tenaga dalamnya telah hilang empatpuluh persen, tentu saja Tong Ou jadi tak perlu mengua-tirkan kemampuannya sehingga setiap saat dia dapat menghabisi nyawanya Sebaliknya Tong Ou sendiri sama sekali tidak menyangka kalau rencana kejinya, siasat Naga Kemala Putih, secara kebetulan terbentur dengan peristiwa lain yang pernah dilakukan Tio Kian terhadap Sangkoan Jin. Mungkinkah takdir telah menentukan lain? Takdir menentukan kalau Benteng Keluarga Tong harus musnah dari muka bumi? Tapi sekarang Bu-ki menunjukkan sikap bahwa dia enggan memanfaatkan peluang emas ini untuk membasmi Benteng Keluarga Tong! Bagaimana mungkin Tio Kian tidak panik dan bersedih hati? Menyaksikan keteguhan hati Bu-ki, mau tak mau Tio Kian harus memutar otak mencari akal lain agar bisa mengubah pendirian putranya itu. Untuk berapa saat lamanya mereka berdua hanya saling berpandangan dengan mulut terbungkam. Sesaat kemudian tiba-tiba Tio Kian mendapat akal. Ia menjerit keras, kemudian sambil memegangi perutnya ia mengerang kesakitan, wajahnya menunjukkan sakit dan derita yang luar biasa. Dengan terperanjat Bu-ki segera berseru, “Ayah, kenapa kau?” ----------------------- Page 273----------------------- http://zheraf.net Sedemikian kesakitan yang diderita Tio Kian membuat orang tua itu tak sanggup berkata-kata, sesaat kemudian ia baru berbisik lirih, “Sungguh keji perbuatan Tong Ou!” Bu-ki merasakan hatinya bagaikan disayat pisau melihat penderitaan yang dialami ayahnya, ia berbisik, “Tong Ou, dia...” “Kau harus membalaskan dendam bagi penderitaanku ini!” tukas Tio Kian cepat. “Balas dendam?” “Benar!” darah segar mulai meleleh keluar dari ujung bibirnya. “Ayah!” jerit Bu-ki sambil memegangi bahu ayahnya. “Sekarang kau tentu sudah tahu bukan betapa kejam dan jahatnya Tong Ou?” Sekali lagi Bu-ki berdiri termangu, dia hanya bisa mengawasi ayahnya tanpa mampu berkata-kata. “Racun yang dia gunakan paling pantang bertemu darah, sekali darah bercucuran maka aku pun akan berubah jadi begini.” “Bagaimana keadaanmu sekarang ayah?” “Saat ini usus dan isi perutku sakit bagai diiris-iris, pendarahan sudah terjadi di seluruh bagian dalam tubuhku!” “Kenapa bisa begitu?” “Di sinilah letak kekejian Tong Ou!” sekali lagi Tio Kian menekankan kekejaman lawannya, “Dia jelas tahu kalau aku akan bertarung melawanmu, karena kuatir aku akan memenangkan pertarungan ini maka diam-diam ia meracuniku, sedangkan racun itu pantang bertemu darah, maka begitu terjadi pendarahan maka aku... maka aku...” Suara Tio Kian makin lama semakin bertambah lirih, akhirnya suaranya melemah. “Ayo kita cari tabib.” “Percuma! Aku tahu, tak ada obat yang bisa menyelamatkan jiwaku lagi!” “Ayah!” jerit Bu-ki sambil berusaha memayang ayahnya, tapi niat itu segera dicegah Tio Kian. “Kau tak usah membuang tenaga lagi, setiap orang pasti bakal mati, jadi kau pun tak usah terlalu bersedih hati.” Air mata sudah mulai bercucuran membasahi wajah Bu-ki. “Sebelum ajal datang menjemput, aku punya dua keinginan, semoga kau bisa memenuhi harapanku ini!” “Katakanlah ayah,” suara Bu-ki semakin sesenggukan. ----------------------- Page 274----------------------- http://zheraf.net “Pertama, kau harus menggunakan kesempatan ini untuk melenyapkan Tong Ou, sebab saat inilah peluang emas bagimu.” Dengan airmata bercucuran Bu-ki mengangguk. “Kedua, kau harus baik-baik memimpin Tayhong-tong, wujudkan cita-citaku yang belum tercapai!” Bu-ki tetap membungkam. “Kau bersedia mengabulkan keinginanku ini?” sorot mata penuh harapan terpancar dari balik mata Tio Kian. Bu-ki tetap membungkam. “Kau harus mengabulkan keinginanku ini,” suara Tio Kian bertambah lemah dan lirih. Akhirnya Bu-ki mengangguk. Tio Kian tertawa kemudian tubuhnya roboh terkapar ke tanah. “Ayah!” jerit Bu-ki sedih. Orang yang sudah mati tak mungkin bisa hidup kembali hanya lantaran jerit kesedihan. Yang membuat manusia sama sekali tak berdaya hanyalah kematian. Tio Kian mati dengan gembira, sebab segala rencananya telah berjalan sesuai dengan jadwal dan semuanya lancar. Sewaktu dia menjajal tenaga dalamnya dan menemukan bahwa kekuatannya sudah berkurang empatpuluh persen, ia tahu kalau racun yang digunakan Tong Ou adalah racun yang bersifat lambat. Biasanya racun semacam ini tak ada pemunahnya, jadi masalah mati hanya urusan cepat atau lambat, tapi pasti akan dialaminya. Siapa pun pasti berusaha untuk hidup lebih lama di dunia ini, tapi keteguhan hati Bu-ki sudah sangat membahayakan rencananya, maka untuk mengatasi hal ini Tio Kian segera mengambil keputusan untuk mengorbankan diri. Daripada akhirnya mati karena tersiksa, lebih baik dia gunakan kematian sendiri untuk melunakkan pendirian putranya. Dia sengaja melimpahkan semua tanggung jawab atas kematiannya itu ke pundak Tong Ou, agar Bu-ki membenci orang ini, agar ia ingin segera membunuhnya untuk membalas dendam. Penyebab kematian Tio Kian yang sesungguhnya bukan lantaran keracunan, melainkan karena dia telah menghancurkan isi perutnya sendiri dengan tenaga dalamnya. Cara mati seperti ini memang amat menyiksa, namun jauh lebih tersiksa bila melihat Benteng Keluarga Tong berhasil ----------------------- Page 275----------------------- http://zheraf.net menguasai dunia. Karenanya kematian semacam ini bagi Tio Kian tidak dianggap sebagai suatu penderitaan lagi! Tentu saja Bu-ki tidak tahu kalau sampai akhir hayatnya, ayahnya masih berusaha untuk menipu dirinya. Rahasia kematian Tio Kian pun berlalu untuk selamanya, mengikuti nyawanya yang telah meninggalkan raganya, selamanya tak seorang pun akan tahu kejadian sebenarnya. Kesedihan yang dialami Bu-ki saat ini tak terlukiskan dengan kata-kata. Selama ini dia selalu menganggap ayahnya telah tewas ketika menjalankan siasat Harimau Kemala Putih, kemudian secara tiba-tiba ia menjumpai ayahnya ternyata masih hidup, siapa sangka baru berkumpul satu jam, kini dia benar-benar telah mati. Dengan termangu-mangu ditatapnya wajah ayahnya yang mati sambil menahan penderitaan, ia biarkan air matanya jatuh bercucuran membasahi pipinya. Diam-diam ia bersumpah di dalam hati, dia harus membunuh Tong Ou untuk membalaskan sakit hati ini! Sambil mendukung jenasah ayahnya, dia berjalan turun dari atas batu besar kemudian menuju ke satu sudut di Bukit Singa. Di sebuah tempat dengan latar belakang pemandangan yang indah dia mengubur jenasah ayahnya. Setelah itu dia berdiri lama sekali di situ, mengenang kembali semua perjalanan hidupnya bersama ayahnya di masa lalu. Entah berapa lama sudah lewat... ia baru tersadar ketika mendengar suara langkah kaki yang ringan datang dari arah belakang. Tong Ou telah muncul. Bu-ki sama sekali tidak berpaling, sejak tadi airmatanya sudah mengering, yang tersisa saat ini hanya rasa benci dan dendam kesumat. Ia mendengar suara langkah kaki itu makin lama makin dekat dan akhirnya berhenti kurang lebih tiga tombak di belakang tubuhnya. “Ternyata hatimu cukup baik!” suara Tong Ou bergema dari belakang tubuhnya. Perlahan-lahan Bu-ki membalikkan badan, mengawasi Tong Ou tanpa berkedip. Kini ia sudah dapat mengendalikan hatinya, tiada ----------------------- Page 276----------------------- http://zheraf.net pancaran dendam dari matanya, juga tak ada raut gusar di wajahnya, ia berdiri di situ dengan sikap yang amat tenang. “Ternyata kau masih bersedia menguburkan jenasah musuh besar yang telah membunuh ayahmu. Kelihatannya hubunganmu dengan paman Siangkoanmu memang sangat akrab!” Bu-ki tidak menjawab, dia hanya berpikir bagaimana harus bersikap di hadapan Tong Ou agar tidak menimbulkan kecurigaan orang. Tiba-tiba Tong Ou tertawa, dari senyum berubah menjadi gelak tertawa. Menunggu sampai lawannya berhenti tertawa, Bu-ki baru bertanya, “Apa yang kau tertawakan?” “Aku sedang menertawakan dirimu!” “Menertawakan aku?” “Benar, menertawakan kebodohanmu, kau memang tolol, sangat tolol, teramat tolol!” Diam-diam Bu-ki tertawa dingin, sebab siapa yang paling tolol hanya dia sendiri yang tahu. “Aku sangat tolol?” dia balik bertanya. “Tentu saja, kalau tidak goblok, mana mungkin sampai terjebak oleh siasatku?” “Terjebak siasatmu? Siasat apa?” “Tahukah kau bahwa kau telah salah membunuh orang baik?” Tentu saja Bu-ki tahu, tapi dia berlagak pilon. “Aku telah salah membunuh siapa?” tanyanya. “Sangkoan Jin!” “Sangkoan Jin?” “Benar!” “Salahkah jika kubunuh musuh yang telah membunuh ayahku?” “Tidak!” “Lantas kenapa kau mengatakan aku telah salah membunuh?” “Masalahnya, dia bukan musuh besar yang telah membunuh ayahmu!” “Oya?” “Kau tidak percaya?” ----------------------- Page 277----------------------- http://zheraf.net “Tentu saja tidak!” Bu-ki melanjutkan sandiwaranya, “Memangnya buku harian ayahku itu palsu?” “Siapa bilang tak mungkin?” “Kenapa mungkin?” “Karena akulah pengarang buku harian itu!” Mendadak Bu-ki mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. “Apa yang kau tertawakan?” tegur Tong Ou. “Apakah kau tidak merasa geli? Mana mungkin kau yang mengarang buku harian ayahku?” sekali lagi dia tertawa terbahak-bahak. “Oh, jadi kau tidak percaya?” “Tentu saja tidak, apa tujuanmu berkata begitu? Sengaja memancing amarahku?” “Benar, aku memang sengaja memancing amarahmu, agar kau sedih dan merasa amat menyesal.” “Apa gunanya untukmu?” “Aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk membunuhmu!” “Kenapa? Bukankah kita berjanji akan bertarung?” “Duel?” Tong Ou mendengus dingin, “kalau mesti duel secara adil, belum tentu aku bisa mengungguli kemampuanmu.” “Kenapa?” “Sebab ilmu pedang yang kau pelajari dari Siau Tang-lo adalah ilmu pedang nomor wahid di kolong langit, kelewat hebat!” “Maka kau sengaja memancing amarahku, agar aku emosi dan tak mampu berkonsentrasi?” “Tepat sekali!” “Sayang karangan ceritamu kelewat jelek, bagaimana mungkin aku bisa mempercayai perkataanmu?” “Aku tahu!” “Jadi kita ubah hari dan tempat bertarung menjadi hari ini dan di tempat ini?” “Aku tak akan keberatan.” “Kau tak akan menyesal?” “Aku hanya menyesal karena telah salah membunuh paman Siangkoan.” “Dalam kejadian ini, kau memang patut merasa menyesal, padahal aku lihat kau kelewat goblok, kelewat gampang ditipu orang, manusia macam dirimu tidak pantas untuk menjadi pemimpin Tayhong-tong!” ----------------------- Page 278----------------------- http://zheraf.net Bu-ki tidak menjawab, dia tahu Tong Ou sedang menggunakan kelebihannya yaitu membuat panas hati orang. Bu-ki mendengus dingin, dengan berlagak makin lama semakin bertambah gusar. Ia meraung keras, padahal dalam hati kecilnya dia jauh lebih tenang dari siapa pun juga. “Tahukah kau, dalam keadaan seperti ini kau paling pantas jadi apa?” “Jadi apa?” “Jadi setan!” bicara sampai di situ Tong Ou segera tertawa terbahak-bahak, tertawa penuh kebanggaan. Paras muka Bu-ki berubah jadi merah padam, dia menunjukkan sikap yang semakin gusar. Diam-diam Tong Ou mengamati terus perubahan raut muka Bu-ki, dia tahu, sekaranglah saat yang paling tepat untuk turun tangan. Karena itu ujarnya, “Sekarang kita boleh bertarung secara adil!” Diam-diam Bu-ki tertawa dingin, duel secara adil? Kau sengaja memancing emosiku, agar kemampuan silatku terperosok, inikah yang disebut adil? Bu-ki semakin berlagak marah, dia memang sengaja berlagak begitu agar Tong Ou salah menilai dirinya, agar Tong Ou memandang enteng kemampuannya. Memandang enteng lawan merupakan titik kelemahan yang sangat mematikan dalam satu pertarungan. Maka bila ditinjau dari berbagai sudut, pertarungan ini jelas bukan sebuah pertarungan yang adil. Bab 21. Duel Perubahan alam merupakan hal yang paling sukar diramalkan, apalagi perubahan cuaca, boleh dibilang jauh lebih rumit ketimbang perubahan watak manusia. Matahari yang selama ini bersinar cerah di Bukit Singa, tiba- tiba berubah menjadi redup dan gelap, perubahan itu terjadi di saat Tong Ou dan Bu-ki siap bertarung. Menyusul kemudian awan gelap menutup seluruh angkasa, menghalangi cahaya matahari, membuat suasana jadi gelap remang- remang. ----------------------- Page 279----------------------- http://zheraf.net Angin mulai berhembus kencang, udara pun turut terasa lembab, pertanda sebentar lagi akan turun hujan angin. Hembusan angin kencang yang menderu-deru membuat ujung baju kedua orang yang sudah berdiri berhadapan itu berkibar kencang. Yang tidak terpengaruh oleh hembusan angin kencang itu hanya tubuh mereka berdua, berdiri tegar bagaikan Bukit Singa, serta pedang yang berada dalam genggaman mereka. Pedang yang digunakan untuk menentukan mati hidup lawan, pedang yang saling mengancam dada lawan, keduanya sama sekali tak bergerak kendati dihembus angin yang lebih keras. Tangan-tangan yang menggenggam pedang itu nampak begitu kokoh, nampak begitu siap untuk menghabisi nyawa lawannya. Tangan kokoh yang menggenggam pedang kokoh, bagi Tong Ou merupakan lukisan yang sangat tepat dan nyata. Tapi bagi Bu-ki keadaan ini jauh berbeda, gambaran yang keliru bagi saat dan tempat seperti ini. Sebab dia sedang marah, dia sedang dicengkeram nafsu. Orang yang sedang marah pasti rapuh pertahanannya, orang yang dipengaruhi nafsu genggaman pedangnya pasti tak kokoh. Ketika ini terlihat oleh Tong Ou, diam-diam ia merasa terperanjat. Bukan karena ia telah menemukan rahasia Bu-ki, tapi ia mempunyai pandangan lain terhadap sikap Bu-ki dalam menghadapi lawan. Dia tak menyangka bahwa dalam keadaan marah dan penuh nafsu, Bu-ki bisa bersikap begitu tenang selagi menghadapi lawan, kemampuan semacam ini jauh di luar dugaan dirinya. Bu-ki sendiri tercekat ketika menangkap perasaan kagum yang melintas di balik mata Tong Ou, dia segera sadar kalau dirinya telah melakukan kesalahan, dia pun mengerti kenapa Tong Ou menampilkan perasaan kagum terhadapnya. Dia tak boleh membiarkan Tong Ou menaruh perasaan kagum terhadapnya, dia ingin Tong Ou memandang enteng dirinya, dengan begitu dia baru memperoleh kesempatan untuk menemukan titik kelemahan Tong Ou dan mengalahkannya. Maka ia segera berganti sikap. Tangannya mulai melakukan gerakan gemetar, dia sengaja menggetarkan perlahan tangannya, ia sadar dengan kemampuan Tong Ou, tidak sulit baginya untuk melihat gerakan itu. ----------------------- Page 280----------------------- http://zheraf.net Benar saja, Tong Ou segera melihatnya, tanpa terasa ia tertawa dingin. Rupanya Bu-ki tidak setenang seperti yang dibayangkan semula. Walaupun Tong Ou sudah menangkap kalau tangan kanan Bu-ki mulai gemetar, namun dia tidak segera turun tangan. Saat ini bukan saat yang tepat untuk turun tangan, peluang terbaik masih harus ditunggu. Dia harus menunggu lagi. Bu-ki diam-diam mengagumi sikap Tong Ou, musuhnya benar-benar pandai mengamati lawan dengan kepala dingin. Tidak turun tangan secara sembarangan dan hanya menyerang jika menganggap saatnya telah tiba, manusia semacam ini sangat jarang dijumpai dalam dunia persilatan! Tangan Bu-ki bergetar perlahan sementara hatinya bergetar sangat keras, sebab dia harus segera menemukan cara baru untuk menghadapi ketenangan Tong Ou, bila bertahan terus dalam posisi seperti ini, lambat laun dialah yang akan dirugikan. Ia berencana memancing musuhnya agar melancarkan serangan dengan melakukan satu gerakan. Mendadak ia menjerit sekeras-kerasnya, seakan-akan sedang meluapkan seluruh kekesalan hatinya, kemudian sekaligus dia melepaskan tigabelas tusukan pedang ke tubuh lawan. Ilmu pedang yang ia gunakan saat ini adalah jurus pedang yang ia dapat dari ayahnya. Sesuai dengan nama Tayhong-tong, ilmu pedang ini dinamai Tayhong-capsah-si atau Tigabelas Jurus Ilmu Pedang Angin Topan. Ketigabelas tusukan yang dilontarkan Bu-ki itu merupakan jurus pertama dari Ilmu Pedang Angin Topan yang disebut Tayhong- kihun (Angin Topan Bermunculan). Dalam ilmu pedang ini, setiap jurus serangannya terdiri dari tigabelas gerakan, gerakan yang satu lebih cepat dari gerakan sebelumnya, ibarat disapu angin topan, serangan saling susul secara bertubi-tubi. Tong Ou sama sekali tidak melancarkan serangan balasan, dia mengambil sikap mempertahankan diri. Sambil mengincar datangnya ancaman, tubuhnya mengegos ke kiri, menghindar ke kanan, dengan gampang dia lolos dari ketigabelas tusukan itu. Selesai melancarkan serangan pertama, Bu-ki mundur selangkah ke belakang disusul kemudian tubuhnya menerjang lagi ----------------------- Page 281----------------------- http://zheraf.net ke depan. Kali ini dia melancarkan serangan dengan menggunakan jurus kedua, Siahong-si-ih (Angin Serong Hujan Gerimis). Serangan ini pun terdiri dari tigabelas gerakan, kali ini yang diarah adalah tigabelas jalan darah penting di tubuh lawan. Sesuai dengan nama jurusnya, Angin Serong Hujan Gerimis, setiap jurus serangan yang dilancarkan hampir semuanya bergerak menyerong, dari atas atau dari bawah, dari kiri atau dari kanan hampir semuanya menusuk jalan darah lawan secara miring. Kali ini Tong Ou tidak berusaha menghindar lagi, dalam kenyataan memang tidak mungkin bagi seseorang untuk berkelit terus-terusan menghadapi datangnya ancaman. Benturan nyaring bergema silih berganti, dalam waktu singkat pedang mereka berdua sudah saling bentur dua-tigabelas kali. Inilah ciri khas ilmu pedang Keluarga Tong, dalam setiap gerak serangannya mereka pasti akan berusaha membentur senjata lawan secara keras melawan keras! Kepandaian silat yang paling diandalkan Keluarga Tong memang bukan ilmu pedang, andalan mereka yang paling ampuh justru senj ata rahasia. Ilmu pedang Keluarga Tong bukan ilmu pedang yang bertarung jarak jauh, tapi lebih cocok untuk pertarungan jarak dekat karena ruang lingkupnya juga sangat kecil. Ruang lingkup yang kecil ditambah seringnya terjadi benturan senjata mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi orang-orang Keluarga Tong. Sebab mereka bisa memanfaatkan kedekatan dan keberisikan itu untuk melepaskan senjata rahasia. Untuk menghindari datangnya serangan senjata rahasia dari jarak dekat sudah merupakan satu urusan yang sulit, terlebih jika orang yang melancarkan serangan adalah jago dari Keluarga Tong yang termashur akan keampuhan ilmu am-ginya! Tapi Bu-ki sama sekali tidak jeri, dia bahkan menerjang terus tanpa berhenti, sambil menyerang, tiada hentinya pedang mereka saling beradu. Dia tahu, jika Tong Ou hendak melukainya dengan senjata rahasia, ia sudah melakukannya sejak tadi dan tak perlu menunggu sampai sekarang. Dalam hal ini Bu-ki merasa sangat yakin. ----------------------- Page 282----------------------- http://zheraf.net Tong Ou sendiri juga tahu kalau lawannya sadar kalau dia tak akan melukainya dengan senjata rahasia, namun dia memang tidak takut menghadapi Tio Bu-ki. Kecuali yakin dengan kemampuan silat sendiri, dia pun berpendapat bahwa Bu-ki saat ini sedang pada saat yang paling tidak menguntungkan baginya. Bagaimana tidak? Baru saja dia telah salah membunuh pamannya, Sangkoan Jin! Oleh sebab itu Tong Ou memutuskan untuk menghadapi lawannya dengan mengandalkan ilmu pedang, dia tak akan mempergunakan senjata rahasia. Tentu saja kecuali ilmu pedang Bu-ki membuatnya keteter sehingga jiwanya terancam! Kalau tidak, ia enggan menggunakan senjata rahasia. Ketika Bu-ki selesai melancarkan serangan dengan jurus keduanya Siahong-si-ih, ia segera sadar kalau dirinya keliru besar. Dia tidak seharusnya menggunakan dua jurus pertama dari Ilmu Pedang Angin Topan, sebab kedua jurus serangan ini terlalu lembut, kelewat lamban, setidaknya jika dibandingkan dengan jurus- jurus berikutnya. Saat ini pikiran dan emosinya sedang labil, dia butuh pelampiasan, mana mungkin melancarkan serangan dengan jurus yang lembut? Dia perlu jurus serangan yang ganas dan kalap, kalau perlu jurus-jurus serangan yang mirip orang nekad! Dengan cepat dia merubah cara bertarungnya, dengan jurus kesebelas Honghong-ci-ih (Angin Puyuh Hujan Deras) ia mendesak musuhnya habis-habisan. Di mana hawa pedangnya menyambar lewat, terdengar suara deru angin tajam menggelegar, daun dan ranting pohon yang berada di sekeliling tempat itu ikut beterbangan dan gugur ke tanah. Semua gerak serangannya mirip serbuan orang kalap, seakan-akan ada manusia gila yang sedang melampiaskan semua amarah dan dendamnya, menyerang secara ganas, mengancam secara brutal. Angin puyuh membuat ujung baju Tong Ou berkibar kencang. Hujan badai menyambar ke sekujur badan Tong Ou, menusuk jalan darahnya. ----------------------- Page 283----------------------- http://zheraf.net Tong Ou memang hebat! Biar diterpa angin puyuh dan hujan badai, ia sama sekali tak bergerak, tubuhnya tetap berdiri kokoh bagaikan batu karang. Pedang yang berada di tangannya bergerak cepat bagai titiran angin, membendung semua serangan yang datang bagai air bah itu. Tigabelas kali benturan nyaring menggelegar di angkasa, kemudian semuanya selesai. Angin telah berhenti berhembus, hujan pun sudah mereda. Peluh sebesar kacang kedele membasahi jidat Bu-ki. Tapi paras mukanya merah membara, merah bagaikan orang yang sedang murka. Penampilan macam ini memang disengaja oleh Bu-ki. Sewaktu menggunakan jurus serangan tadi, ia sengaja mengerahkan tenaga dalamnya dan memaksa wajahnya berubah jadi merah membara, dia ingin musuhnya salah menduga, salah mengira, dia sedang mencapai puncak kemarahannya. Menyusul kemudian ia segera mengeluarkan jurus serangannya yang keduabelas, Pohong-po-ih (Angin Topan Hujan Dahsyat). Kecepatan gerak serangannya kali ini jauh di atas kemampuan jurus kesebelas tadi, sementara arah serangannya pun sama sekali berbeda. Kalau dalam serangannya tadi dia hanya merangsek maju dari sisi depan musuhnya, maka pada jurus serangannya kali ini dia menyerang masuk dari tigabelas arah yang berbeda, tigabelas arah yang tak menentu jurusan dan sasarannya. Terhadap gerak serangan ini tampaknya Tong Ou seperti sangat mengenal dan hapal, sebab ia bergeser mengikuti gerakan tubuh Bu-ki, ke mana pun anak muda itu bergerak, dia selalu bergeser tepat di hadapannya dan “Tringg!” diiringi dentingan nyaring selalu berhasil membendung datangnya ancaman. Yang lebih lihay lagi adalah ketika Bu-ki sengaja membuka sebuah titik kelemahan kecil di saat melancarkan serangannya yang keduabelas, ternyata secepat sambaran kilat Tong Ou sudah menerjang masuk sambil menghadiahkan sebuah tusukan ke tubuh lawan melalui lubang kelemahan itu. Untung saja Bu-ki memang sengaja berbuat begitu sehingga jauh sebelumnya dia sudah mempersiapkan cara untuk ----------------------- Page 284----------------------- http://zheraf.net mengatasinya. Meski begitu, Bu-ki sendiri tetap belum berhasil menemukan peluang untuk melancarkan serangan balasan. Maka sadarlah anak muda ini bahwa dia tak boleh memancing musuhnya dengan sengaja membuka lubang kelemahan, untuk mengalahkan lawan dia perlu menggunakan kepandaian sesungguhnya dan lagi tak boleh bertindak gegabah. Ketika Bu-ki memperlihatkan lubang kelemahan tadi sebenarnya Tong Ou sudah kegirangan. Tapi begitu tahu bahwa musuhnya segera menyadari akan hal itu dan menutup kembali lubang tersebut, rasa girangnya segera saja sirna. Mendadak ia jadi sadar, titik kelemahan itu sengaja dibuat Bu-ki untuk menjebaknya, jelas dia mempunyai maksud untuk memancingnya masuk, agar dia masuk perangkap. Di samping itu dia juga mulai curiga, jangan-jangan kemarahan yang diperlihatkan Bu-ki hanya pura-pura. Mungkin ada sesuatu yang tidak beres di balik semua ini. Maka ketika Bu-ki melancarkan serangan dengan menggunakan jurus yang terakhir dari tigabelas jurus Ilmu Pedang Angin Topan, dia segera merubah cara bertarungnya. Dari bertahan, kini dia mengubah dirinya menjadi menyerang. Jurus ketigabelas yang digunakan Bu-ki ini disebut Luitian- ciauka (Guntur dan Petir Saling Menyambar), pancaran tenaga dalam yang disalurkan ke dalam pedang menerbitkan suara nyaring bagai guntur, di samping itu perubahan yang terjadi dalam setiap gerakan selalu disertai kilatan cahaya bagaikan petir. Selain itu sambaran pedang yang disertai kilatan cahaya menimbulkan gelombang tenaga serangan yang mengerikan, semuanya tertuju ke setiap jalan darah penting di pinggang lawan. Selama ini Tong Ou selalu bangga dengan kecepatan gerak yang dimilikinya, sekali ini dia tak menyangka kalau ilmu pedang yang dimiliki Bu-ki sedemikian lihaynya. Jika ia tetap mempertahankan cara bertarungnya seperti tadi, mungkin sekarang dia sudah tak mampu lolos dari ancaman maut. Paling banter yang bisa dia lakukan hanya mengadu nyawa, bahkan itu pun harus menggunakan senjata rahasia, baru bisa menghabisi nyawa lawannya! Padahal dia sangat tak ingin melakukan tindakan seperti itu. ----------------------- Page 285----------------------- http://zheraf.net Kalau tadinya dia masih memandang enteng musuhnya, sekarang pikiran semacam itu langsung lenyap! Sebagai gantinya ia meningkatkan kewaspadaannya. Sambil menghimpun tenaga ia menghindar ke kiri menerobos ke kanan, pedangnya bagaikan seekor ular berbisa mematuk tubuh pedang lawan yang berusaha menghampirinya. Jelas ilmu pedang yang dia gunakan saat ini bukan ilmu pedang keluarga Tong, itulah ilmu Pedang Ular Berbisa yang diperolehnya dari Siau Tang-lo ketika ia datang menukar obat pemunah racun. Bu-ki pernah juga mempelajari ilmu pedang tersebut, akan tetapi dia tak sanggup melukai lawannya, menyentuh pun tak sanggup. Mengapa bisa begitu? Rupanya Tong Ou telah menggabungkan ilmu Pedang Ular Berbisa ini dengan ilmu melepaskan senjata rahasia dari keluarga Tong dan ini membuat jurus serangan yang digunakannya selalu mengarah pada sasaran yang jauh berbeda dengan jurus aslinya. Kejadian ini bukan saja membuat Bu-ki tak mampu melukai lawannya, dia nyaris jatuh jadi pecundang di tangan lawan! Menghadapi serangan ilmu pedang ini, boleh dibilang Bu-ki telah hapal di luar kepala, dia menguasai setiap perubahan dalam ilmu pedang itu dan tahu sasaran mana yang dituju. Oleh sebab itu dia seperti tahu semua ancaman yang dilancarkan Tong Ou tertuju ke mana. Ini sama artinya dia menguasai titik kelemahan lawan, asal pedangnya diarahkan ke titik itu, maka ancaman lawan pasti akan gagal total. Tapi Bu-ki sama sekali tak menyangka kalau Tong Ou telah merubah jurus serangan itu, maka ketika dia menusuk titik kelemahan di tubuh Tong Ou, bukan saja titik kelemahan itu gagal dijebol, sebaliknya dia malah terperangkap dalam jebakan musuh! Untung saja jurus Luitian-ciauka ini mengutamakan kecepatan gerak sehingga di balik kecepatan itu Bu-ki sempat meloloskan diri dari perangkap! Kalau tidak, mungkin dia sudah tewas di ujung pedang Tong Ou! Selesai menggunakan jurus itu, Bu-ki segera melompat mundur ke belakang, berikutnya dia menyerang dengan menggunakan jurus ----------------------- Page 286----------------------- http://zheraf.net Kuijiu-patsi (Delapan Jurus Tangan Setan). Tong Ou tak ingin musuhnya memperoleh kesempatan untuk berganti napas, begitu serangan lawan berhenti, ia segera menggetarkan senjatanya sambil merangsek ke depan, dengan jurus Lengcoa-juttong (Ular Lincah Keluar dari Gua) ia menusuk pergelangan tangan kanan lawan. Tak sempat mengubah jurus untuk memunahkan ancaman yang datang, terpaksa Bu-ki melompat mundur lagi satu langkah. Tong Ou merangsek lebih ke depan, tetap dengan jurus Lengcoa-juttong ia meneruskan tusukannya ke arah pergelangan tangan kanan anak muda itu. Bu-ki terdesak, mau tak mau, sekali lagi dia mundur selangkah! Masih menggunakan jurus yang sama Tong Ou menusuk pergelangan kanan Bu-ki! Jurus serangan yang sebenarnya sangat sederhana ini ternyata bisa mendatangkan hasil luar biasa. Baru pertama kali ini Bu-ki menjumpainya, sayang orang yang menggunakan jurus itu bukan dia melainkan lawannya, kendati begitu dia berhasil juga menarik makna di balik semua ini. Kali ini dia tidak mundur, tangan kirinya menggunakan sebuah jurus yang sederhana Lohan-tuicha (Orang Tua Mendorong Kereta), berusaha menabok tubuh lawan. Mau tak mau Tong Ou harus menangkis datangnya ancaman itu, dia tak ingin beradu jiwa, tak ingin sama-sama terluka. Meskipun nanti tusukannya berhasil melukai pergelangan tangan Bu-ki, namun jika kena tabokan itu, jelas dialah pihak yang lebih rugi! Karenanya pedang yang semula dipakai untuk mengancam pergelangan tangan lawan segera berputar arah, kali ini dia menyerang tangan kiri. Siapa tahu jurus serangan yang digunakan Bu-ki di tangan kirinya hanya jurus tipuan. Memanfaatkan peluang di saat Tong Ou mengubah gerakan pedangnya, pedang yang ada di tangan kanannya dengan jurus Kuikui-koaykoay (Aneh dan Menyeramkan), bagai sukma gentayangan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, menusuk delapan jalan darah di dada. Dengan terperanjat buru-buru Tong Ou mundur satu langkah, dia menggunakan perubahan dari ilmu Pedang Ular Berbisa untuk membendung datangnya ancaman itu. ----------------------- Page 287----------------------- http://zheraf.net Pertarungan pun berlangsung amat seru, satu jam sudah lewat namun serangan demi serangan masih dilancarkan kedua belah pihak, peluh sudah mulai bercucuran dan membasahi tubuh mereka. Begitu serius dan rapat mereka berdua bertempur, sampai tak seorang pun tahu akan kejadian lain di dekat situ, juga tak ada yang menaruh perhatian pada keadaan di sekitar sana. Mereka tidak sadar atas kehadiran beberapa orang, ada penjual kue, ada penjual manisan... Rombongan itu muncul tanpa bersuara sedikit pun, begitu sampai segera bersembunyi di balik pepohonan sambil menonton jalannya pertempuran. Lama kelamaan Tong Ou sadar, jika pertarungan berlanjut terus, pada akhirnya dia bukanlah tandingan Bu-ki. Jika ingin menang, satu-satunya jalan adalah menggunakan senjata rahasia, tindakan yang sebenarnya sangat tak ingin dia lakukan. Tapi jika nyawa saja sudah mulai terancam, apakah ada waktu baginya untuk memedulikan nama serta kedudukan? Tangan kirinya merogoh ke dalam saku, menggenggam segenggam senjata rahasia. Tatkala pedang Bu-ki membabat tiba, mendadak ia menangkis serangan itu keras lawan keras, sehingga tubuh mereka berdua sama-sama tergetar mundur beberapa langkah. Menggunakan kesempatan ini, Tong Ou melepaskan senjata rahasia andalannya! Dia menyangka serangan itu pasti akan berhasil, semua senjata rahasia yang dilepaskannya pasti akan terhunjam di tubuh Bu-ki. Di luar dugaan, hampir semua am-ginya rontok dan berguguran ke tanah. Bukan dipukul rontok oleh Bu-ki, tapi dijatuhkan oleh sambitan berbagai jenis hidangan seperti kue, pia, cakue, saupia dan lain sebagainya. Makanan-makanan kecil itu melesat datang dengan membawa desingan angin tajam, menghajar tiap senjata rahasia yang muncul dan merontokkannya tepat di depan tubuh Bu-ki. Tak terlukiskan rasa kaget Bu-ki menghadapi kejadian ini, peluh dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Sebelum dia sadar sepenuhnya akan apa yang terjadi, satu kejadian lain yang sama sekali di luar dugaan telah berlangsung. Tong Ou telah tewas, tewas dibantai kawanan penjaja makanan kecil itu! ----------------------- Page 288----------------------- http://zheraf.net “Mengapa kalian membunuhnya?” tanya Bu-ki keheranan. Dia kenal orang-orang itu, kawanan penjaja makanan kecil ini adalah jago-jago yang memiliki ilmu silat hebat, mereka semua pernah mendapat didikan langsung dari Siau Tang-lo. Sedemikian setianya kawanan penjaja makanan kecil ini terhadap Siau Tang-lo, sehingga setiap kali diundang datang, berapa pun jauhnya mereka berada, kawanan itu segera akan menyusul datang. “Karena dia telah membunuh majikan kami!” si penjual kue menerangkan. “Siapa majikan kalian? Siau Tang-lo?” “Benar, dia telah membunuh Siau-ongya dengan cara yang licik dan keji.” “Raja muda Siau? Majikan kalian itu raja muda?” “Dulu dia adalah raja muda. Tapi bagi kami, selamanya dia adalah raja muda kami.” Tiba-tiba Bu-ki memahami segala sesuatunya, kenapa Siau Tang-lo bisa memiliki harta dan uang yang tiada habisnya, sampai- sampai di depan guanya, di bukit Kiu-hoa-san pun dibangun istana yang begitu megah, ternyata dia pernah menjadi seorang raja muda! “Dengan cara licik apa Tong Ou membunuh Siau-ongya?” tanya Bu-ki lagi. “Setiap tahun Ongya pasti menggunakan berbagai jenis mustika dan barang berharga lainnya untuk ditukar dengan obat pemunah, ada kalanya dia pun menggunakan ilmu pedang sebagai barang persembahan. Tentunya kau sudah tahu bukan mengapa dia sampai berbuat begitu?” kata si penjual kue. Bu-ki manggut-manggut, dia tahu Siau Tang-lo selalu mengguna¬kan obat pemunah itu untuk mengobati si Mayat Hidup, sebagai imbalannya Mayat Hidup dengan menggunakan ilmunya yang ampuh mengurut jalan darah dan nadi di tubuh Siau Tang-lo. “Tahun ini Tong Ou menyerahkan obat pemunah lagi untuk Ongya, tapi yang dia serahkan bukan obat pemunah melainkan racun!” Bu-ki sangat kaget. Mengapa Tong Ou melakukan perbuatan se¬perti ini? Dia tak berani memercayainya! Tapi dia bisa membayangkan apa yang kemudian terjadi. Ketika si Mayat Hidup minum obat pemunah yang sebenarnya racun dan kemudian keracunan, dia pasti menggunakan tangan beracun ----------------------- Page 289----------------------- http://zheraf.net pula untuk mengurut nadi penting di tubuh Siau Tang-lo. Akibatnya kedua tokoh sakti itu mati bersama secara mengenaskan! “Sudah kami selidiki, ternyata ada orang yang sengaja menukar obat pemunah itu dengan racun,” kembali si penjual kue berkata. “Oh, siapa yang melakukan penukaran itu?” “Tong Koat!” “Tong Koat? Kenapa?” “Karena dia ingin mencelakai kakaknya, agar Benteng Keluarga Tong jatuh ke tangannya!” Bu-ki tidak bicara lagi, dia percaya Tong Koat dapat melakukan perbuatan seperti itu, sebab dia memang manusia semacam itu. “Tapi Tong Koat keliru besar!” kata si penjual kue lagi, “Dengan berbuat begitu, bukan saja dia tak dapat mengangkangi Benteng Keluarga Tong, malah sebaliknya dia telah menghancurkan tonggak pondasi yang paling kuat Keluarga Tong!” “Kenapa?” “Karena hampir semua tokoh utama Benteng Keluarga Tong telah kami bantai hingga ludas, Tong'Ou merupakan korban kami yang terakhir!” Bu-ki membelalakkan matanya lebar-lebar, ia tak mampu bicara lagi. Apakah dengan begitu kekuatan Benteng Keluarga Tong jadi musnah? “Dunia persilatan di masa mendatang merupakan dunia persilatan milik Tayhong-tong kalian!” seru si penjual kue. Berbicara sampai di situ, ia segera berbenah dan siap beranjak pergi. “Harap tunggu sebentar,” seru Bu-ki tiba-tiba. “Ada urusan apa lagi?” “Aku ingin tahu nama kalian serta bagaimana caranya untuk mengontak kalian semua di kemudian hari!” “Aku rasa tidak ada perlunya lagi! Ongya adalah bekas raja yang kehilangan kekuasaan, selama ini kami mengikutinya dengan harapan suatu saat dapat membangun kembali kerajaan kami. Tak dinyana nasibnya sangat jelek, dia harus tewas di tangan orang- orang Keluarga Tong. Bagaimanapun kami sudah terbiasa hidup mengembara dalam dunia bebas, aku rasa dunia inilah yang akan menjadi rumah kami sepanjang masa. Nama tak penting untuk kami ----------------------- Page 290----------------------- http://zheraf.net semua karena tak bermakna apa-apa. Anak muda, kau harus pandai menjaga diri!” Selesai berkata ia segera memberi tanda, kemudian bersama rekan-rekannya segera berlalu dari situ. Bukit Singa yang luas sekali lagi tercekam dalam keheningan. Kecuali desiran angin di bukit, tak kedengaran lagi suara manusia. Bu-ki mengubur mayat Tong Ou di sisi kuburan ayahnya, lama sekali dia berdiri termenung di depan dua kuburan baru itu, pikirannya bergolak keras. Pagi tadi, kedua orang ini masih hidup, mereka masih merupakan tokoh-tokoh paling tangguh dalam dunia persilatan. Tapi sorenya mereka berdua telah terkubur sebagai mayat di tempat ini! Dunia persilatan benar-benar sangat berbahaya! Jangan lagi terha¬dap orang lain, terhadap sesama saudara pun ada yang tega untuk membunuh, contohnya seperti nasib tragis yang dialami Tong Ou. Kini Bu-ki mulai sadar, pikirannya mulai terbuka, dunia persilatan memang bukan tempat yang nyaman, bukan tempat yang patut didiami. Kini Tayhong-tong memang sudah menguasai seluruh dunia persilatan, tapi siapa yang berani menjamin tak ada kekuatan besar lainnya yang bakal muncul? Pertikaian, pertentangan, pertarungan hanya merupakan peristiwa yang cepat atau lambat pasti akan terjadi. Apakah tidak lebih baik menyerahkan semua persoalan ini kepada orang lain saja? Kenapa tidak ia serahkan saja kepada paman Sugong, agar dia yang dibikin pusing? Bu-ki memutuskan akan mengundurkan diri dari dunia persilatan, mundur dari segala pertikaian yang penuh bau anyir darah. Dia memutuskan untuk kembali ke bukit Kiu-hoa-san, tempat yang tenang dan nyaman untuk berpikir, berlatih dan melamun. Bila ada kesempatan nanti, mungkin saja dia akan turun gunung, berkelana sambil menolong mereka yang butuh pertolongan.Tapi, sebelum berangkat ke bukit Kiu-hoa-san, dia harus pergi menemui seseorang dulu. Kekasih yang paling dicintainya. Wi Hong-nio! TAMAT